Indonesia masih jauh dari krisis. Ekonomi Indonesia semester - TopicsExpress



          

Indonesia masih jauh dari krisis. Ekonomi Indonesia semester pertama 2013 masih bertumbuh 5,8% dan tahun ini, seburuk apa pun kondisi ekonomi dunia, ekonomi Indonesia diperkirakan masih bisa melaju di atas 5,5%. Krisis ekonomi masih jauh. Dari fase normal, ekonomi Indonesia harus melewati dua fase sebelum sampai pada situasi krisis. Sesuai Protokol Pengelolaan Krisis, kedua fase itu adalah fase waspada dan siaga. Pemerintah menegaskan, ekonomi Indonesia saat ini masih berada di fase waspada. Tapi, mengapa pasar modal dan pasar valas bergejolak keras? Kenapa para pelaku pasar panik, rupiah melemah hingga menembus Rp 11.000 per dolar AS dan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia terpangkas hingga 15% dalam tiga hari. Walau belum masuk fase krisis sesuai kriteria pemerintah, kepanikan para pelaku pasar cukup membuat geger. Jika tidak ada respons yang meyakinkan dari pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuanan, rupiah bisa bergerak liar hingga di atas Rp 15.000 per dolar AS. Kepanikan pelaku pasar tidak boleh dipandang remeh, karena alasan kepanikan mereka cukup rasional. Sejumlah fundamental Indonesia bermasalah. Meski laju pertumbuhan ekonomi di atas 5,5%, Indonesia terkena sejumlah defisit, dari yakni defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan defisit neraca pembayaran. Gejolak pasar modal dan pasar valuta asing pada paruh kedua Agustus 2013 dipicu oleh sejumlah defisit itu, khususnya defisit neraca transaksi berjalan yang melejit tajam, dari US$ 5,8 miliar kuartal pertama ke US$ 9,8 miliar kuartal kedua 2013. Defisit transaksi berjalan itu dinilai cukup serius. Selain karena sudah mencapai 4,4% dari PDB —naik dar 2,6% kuartal sebelumnya—, defisit transaksi berjalan dipicu defisit neraca perdagangan yang terus membesar. Kondisi ini memicu capital outflow, sehingga neraca pembayaran pada kuartal I-2013 defisit US$ 6,6 miliar, sedangkan pada kuartal II-2013 defisitnya mengecil jadi US$ 2,5 miliar. Defisit neraca perdagangan yang pada tahun 2012 sebesar US$ 1,6 miliar, pada kuartal kedua 2013 sudah menembus US$ 3 miliar. Penyebab utama defisit perdagangan adalah impor minyak dan produk minyak serta impor produk nonmigas, terutama produk industri yang terus membesar. Di samping karena free trade agreement (FTA) yang sudah ditandatangani, defisit yang makin menganga disebabkan oleh impor produk industry terus meningkat. Deindustrialisasi sudah terjadi. Neraca perdagangan industri manufaktur yang sebelumnya positif, pada tahun 2010 defisit US$ 3,1 miliar dan pada tahun 2012 defisit mencapai US$ 23,6 miliar. Tahun ini, defisit perdagangan bakal lebih besar lagi. Karena selain impor nonmigas, impor migas dan BBM masih menunjukkan peningkatan signifikan. Tidak heran, jika para pelaku pasar memiliki persepsi negatif. Mereka memperkirakan, deficit neraca transaksi berjalan bakal terus membesar. Kondisi terburuk bisa terjadi sewaktu-waktu karena cadangandevisa yang dikuasai Bank Indonesia pada akhir Agustus 2013 tinggal US$ 98 miliar. Turun dari US$ 120 miliar yang pernah dicapai tahun 2011. Pemerintah harus serius mengerem konsumsi BBM, menghapus subsidi BBM, dan membangun industri. Kemajuan sektor industri akan menyelamatkan neraca perdagangan dan memperkuat fondasi ekonomi Indonesia. Dengan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, Indonesia tidak bisa terus-menerus tergantung pada sector pertanian. Lahan pertanian tidak bertambah dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali membuat lahan kian terbatas. Saat ini masih sekitar 39 juta orang atau 37% penduduk Indonesia hidup di sektor pertanian. Sebagian tenaga kerja sektor pertanian dan angkatan kerja baru mesti dialihkan ke sektor industri yang saat ini baru menyerap 13% atau 14 juta tenaga kerja. Sektor jasa belum bisa diandalkan sebagai lahan usaha penyerap tenaga kerja. Indonesia bukanlah Singapura, negeri kecil yang bisa bisa hidup dari sektor jasa. Lagi pula, sektor jasa membutuhkan tingkat penddikan dan keterampilan yang jauh lebih tinggi. Sektor jasa tetap saja harus dikembangkan, tapi dengan penyerapan tenaga kerja yang terbatas. Telantarnya sektor industri telah menimbulkan berbagai dampak buruk. Pertama, tingginya angka pengangguran, penduduk miskin, dan tenaga kerja sektor informal. Sekitar 70% atau 85 juta tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Umumnya mereka adalah tenaga tidak terampil dan separuhnya bekerja di sektor perdagangan, termasuk para perantau di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Kedua, tercecernya sektor industry menyebabkan ekonomi Indonesia mudah terguncang krisis global. Anjloknya harga saham dan depresiasi rupiah merupakan dampak nyata dari lemahnya sektor industri. Pasar dalam negeri didominasi produk industri impor. Bukan hanya produk elektronik dan otomotif yang diimpor. Indonesia sudah lebih banyak mengimpor produk makanan dan minuman olahan daripada mengekspor. Indonesia dengan jumlah penduduk 250 juta —di antaranya 60 juta kelas menengah— hanya menjadi pasar bagi produk industry impor. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia membutuhkan devisa dalam jumlah besar untuk bisa mengimpor. Kita mengapresiasi respons pemerintah, BI, dan OJK meski agak terlambat. Mumpung ekonomi Indoneisa belum sampai fase krisis, empat kebijakan yang diluncurkan cukup menenangkan pasar. Pemerintah meluncurkan kebijakan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan dan memperbaiki neraca pembayaran, kebijakan menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli, dan kebijakan untuk meningkatkan investasi. Begitu pula kebijakan BI dan OJK menstabilkan rupiah dan menahan penurunan harga saham. Meredam gejolak pasar sangat penting agar rupiah tidak bergerak liar. Tapi, yang tidak kalah penting adalah membenahi fondasi ekonomi Indonesia agar tidak terjadi defisit perdagangan yang memukul neraca transaksi berjalan dan neraca pembayarannya. (*)
Posted on: Tue, 27 Aug 2013 03:48:47 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015