Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia Gerakan politik Islam di - TopicsExpress



          

Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia Gerakan politik Islam di Indonesia senantiasa menarik untuk dianalisis baik oleh ilmuwan politik dalam negeri maupun Asing. Intelektual politik Indonesia antara lain Nazaruddin Sjamsuddin, Syafi’i Maarif, Deliar Noor. Selain itu dari peneliti politik Asing antara lain yang dilakukan Herbert Feith, Geertz, J. Benda, Karl Jacson, William liddle, dan Hiroko Horikosi. Ketertarikan ilmuwan politik tersebut senantiasa berawal dari beberapa asumsi antara lain: pertama, Islam politik Indonesia berbeda pola gerakannya dengan Islam di berbagai Negara Islam. Islam politik Indonesia lebih menerima demokrasi tetapi kental dengan budaya lokal. Kedua, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, sehingga memiliki power politik yang cukup besar. Dan Ketiga, Islam politik memiliki serentetan sejarah perjuangan dan perlawanan. Secara makro eksistensi Islam politik dalam pembangunan politik bangsa tidak dapat dikesampingkan sebagaimana dikatakan peneliti senior LIPI, Taufik Abdullah bahwa peranan Islam dalam sejarah masyarakat-masyarakat di Indonesia sejak abad ke-15-terutama sejak abad ke-17 dan seterusnya â €“sangat besar. Islam merupakan kekuatan historis yang cukup besar dalam dinamika sejarah. Peneliti dan sejarawan lain Onghokhan menambahkan, “Sejak penyebaran agama Islam di Indonesia, agama memainkan peranan penting. Bahkan pada abad ke-20, Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme sekuler, komunisme dan sosialisme. Apabila dianalisis awal masuk Islam dan Islam yang berkembang di masyarakat Indonesia lebih bernuansakan Islam Fiqih atau Tasawuf. Masyarakat lebih banyak membicarakan dan mempertentangkan masalah Fiqih ketimbang politik. Sehingga organisasi-organisasi Islam pada awalnya lebih mengedepankan pemurnian agama atau puritanisme. Seperti yang dilakukan Muhammadiyah, Persis, NU dan kelompok tarekat atau tasawuf. Puritanisme inilah yang menjadi khas satu organisasi Islam. Aliran Tasawuf kebanyakan dibawa oleh para wali terutama wali songo sekitar abad 15-an dan Fiqih banyak dibawa oleh kaum pembaharu yang lebih mengemuka sekitar awal abad 20-an. Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia lebih mudah menerima Demokrasi, karena demokrasi tidak berkaitan dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan Fiqih dan tasawuf. Fenomena tersebut berbeda dengan kondisi Negara-negara Islam terutama di Timur Tengah. Negara-negara tersebut agak sulit menerima Demokrasi, mungkin disebabkan beberapa faktor antara lain: pertama, Demokrasi adalah faham Barat, dimana negara-negara Barat dianggap sebagai biang keladi kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki sekitar tahun 1923, sehingga sampai sekarang masih banyak gerakan politik Islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Kedua, ada gesekan peradaban dimana negara-negara Islam semasa berdiri Khilafah Islamiyah pernah berjaya, sehingga ilmuwan politik Amerika yakni Samuel Huntington mengeluarkan tesis perlu adanya dialog peradaban dan yang dimaksud adalah peradaban Timur dan Barat (Islam vs Barat).[1] Ketiga, belum selesainya masalah Palestina dan Israel. Gerakan Palestina melahirkan solidaritas negara-negara Islam Timur Tengah, sedangkan Israel melahirkan solidaritas negara-negara Barat. Perbedaan yang sekaligus menjadi keunikan Islam Indonesia inilah yang senantiasa merangsang untuk diteliti dan dianalisis oleh para ilmuwan politik. Bahkan dengan munculnya gagasan Demokrasi bagi umat Islam Indonesia terjadi konsolidasi umat dengan terbentuknya Masyumi di awal kemenerdekaan RI yang pernah berjaya dan berkuasa dengan tokoh militannya Mohammad Natsir yang pada tahun 2008 dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden SBY. Masyumi sampai sekarang menjadi impian bagi setiap Partai politik Islam. Bahkan pasca jatuhnya rejim Orde Baru tidak sedikit Partai Islam mengatasnamakan penjelmaan Masyumi. Islam Politik dalam Konstalasi Politik Nasional Dalam babakan Islamisasi nusantara, telah terbentuk tradisi yang menempatkan sistem nilai dari ajaran-ajaran Islam sebagai sistem nilai yang membentuk sikap dan tingkahlaku manusia Indonesia. Sistem nilai demikian, ada yang bercampur dengan sistem nilai yang lain, ada yang hadir secara utuh lalu berkembang dan terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya. Sehingga dari sudut pandang gerakan politik , Islam memiliki tiga fungsi: (1) Sebagai pandangan ideal untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan doktrin Islam. Penjajah Belanda misalnya, dinilai kafir sehingga wajib dilawan oleh kaum muslimin. (2) Sebagai nilai-nilai yang membentuk sikap dan tingkah laku muslim sehingga dikenal adanya muslim yang saleh dan kurang saleh. Konsekwensinya, seorang pemimpin muslim dipatuhi apabila kesalehannya tidak diragukan. Tidak mengherankan jika banyak pemimpin pergerakan Islam berasal dari kalangan ulama, kiyai atau figure yang terkenal kesalehannya. Pada masa lalu, Raja-raja Islamlah yang tampil sebagai pemimpin dengan ulama sebagai tangan kananya. (3) Sebagai perekat solidaritas sosial. Islamlah yang selalu diangkat sebagai pemersatu mereka, mengatasi pembelahan sosial. Sebelum abad ke-20, pola gerakan Islam politik masih bersifat komunal dengan solidaritas yang bersifat mekanis. Solidaritas sosial ini berkembang dalam struktur masyarakat agraris dan biasanya berpusat pada tokoh-totkoh kharismatis. Artinya, pengertian “nasionalismeâ€� terbatas dalam konsep etnis- kultural. Misalnya, perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme pada abad ke-19 diyakini sebagai gerakan nasionalisme untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, perang Diponegoro, perang Padri atau perlawanan Zenal Musthofa di Tasikmalaya. Pada saat ini, gerakan demikian akan dipandang sebagai gerakan lokal atau “provinsionalisâ€�. Ciri-ciri gerakan Islam mulai berubah, dari pola komunal menjadi pola asosiasional dan solidaritas yang bersifat organis. Para pemimpinnya tidak lagi dari pedesaan tetapi dari kelas menengah perkotaan. Mereka pun mulai menerapkan bentuk organisasi modern. Jika pada masa sebelumnya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya bersifat paternalistis, maka pada awal abad ke-20 berubah menjadi lebih rasional. Gerakan yang berpola asosiasional membuat aktivitasnya meluas dan tidak lagi localized. Pengambilan keputusan pun lebih demokratis dengan menggunakan mekanisme musyawarah. Tradisi denmokrasi dan partisipasi mulai terbentuk. Akar kesadaran Gerakan Islam politik modern dimulai sejak lahirnya Syarikat Islam (SI) sebagai tranformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1911. SI ini merupakan partai politik Islam pertama di Indonesia yang terkemuka dan merupakan partai modern dan menasional. Ilmuwan politik seperti Koever da Deliar Noer menyebutkan sebagai partai politik pertama di Indonesia sedangkan ilmuwan lain seperti Van Niel dan Ingelson menyebutkan bahwa SI merupakan organisasi politik Indonesia abad 20 yang paling menonjol setiadaknya sampai dekade pertama abad 20. Bahkan seharusnya yang menjadi landasan kebangkitan Nasional adalah SDI atau SI sebab keberadaannya relatif lebih diterima diseluruh pelosok Nusantara. Berbeda dengan Boedi Utomo (BU) yang dianggap sebagai penjelmaan Priyayi Jawa dan lebih memiliki mosi untuk memperjuangkan masyarakat Jawa sehingga banyak daerah-daerah di luar Jawa yang menolaknya seperti Paguyuban Pasundan (Gerakan Politik masyarakat Sunda) yang pada awalnya menolak bergabung dengan BU. Pasca gerakan SI inilah muncul gerakan-gerakan politik nasional lainnya seperti PNI 1926 bentukan Soekarno, Partai Penyadar (1936), Persyarikatan Komunis (1920-an) dan Partai Islam Indonesia (PII) (1938-an). Sekitar tahun 1920-an SI mengalami perpecahan internal sehingga tidak dapat lagi menjadi wadah pemersatu gerakan Islam politik. Pada tahun 1937-an berdiri federasi baru bagi berbagai unsur Islam yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI). MIAI didirikan secara bersama-sama antara K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah/sub kultur modernis), K.H. Abdul Wahab Hasbullah (NU/sub kultur tradinisonalis), K.H. Ahmad Dahlan (non partai) bertujuan untuk menggalang persatuan partai dan organisasi Islam dalam menghadapi situasi yang makin krisis, dijadikan ajang musyawarah sehingga konflik-konflik yang melemahkan perjuangan umat dapat diminimalisasi. Lewat MIAI diharapkan posisi Islam dapat sepadan dengan penting dan besarnya jumlah umat Islam. MIAI berhasil mengintegrasikan berbagai ormas Islam dari berbagai aliran. Awalnya, MIAI didukung oleh 7 organisasi yakni PSII, Muhammadiyah, PUI, Al-Irsyad Cabang Surabaya, Hidayatullah, Islamiyah Banyuwangi, dan Khairiyah. Namun di tahun 1941 berkembang menjadi 21 organisasi antara lain; SI, Muhammadiyah, PUI, Al-Irsyad, Jong Islamicten Bond, Al-Islam (Solo), Al-Ittihadul Islamiyah (Sukabumi), PII, PAI, PUSA (Sigli), Musyawaraah Al-Tholibin (Kandangan-Kalimantan), NU, Al- Jami’atul Washliyah, Nurul Islam (Tanjungpandan, Bangka Belitung), Al-Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), MUI (Tolitoli, Sulawesi Tengah), Persatuan Muslimin Minahasa (Menado), Al- Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putra Borneo (Surabaya), Persatuan India Putra Indonesia dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaysia di Mesir. Di masa Jepang, MIAI semula dibiarkan. Namun, karena sifat dasar yang anti penjajah tak kunjung berubah, MIAI dibubarkan pada Obtober 1943 dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pada masa jaman kolonialisme Jepang gerakan politik Islam mendapat dukungan penuh, karena Jepang memiliki kepentingan untuk mendapat dukungan dari gerakan Pan Islamisme untuk melawan sekutu. Yang pada masa itu Pan Islamisme juga tengah berseteru dengan sekutu. Tokoh-tokoh Masyumi dan ormas Islam senantiasa menghadiri pertemuan- pertemuan internasional Islam termasuk Moh. Natsir. Pasca Kemerdekaan RI, diadakanlah Kongres Umat Islam di Yogyakarta tepatnya pada tanggal 7-8 November 1945 untuk membentuk satu partai politik Islam. Pada Kongres tersebut disepakati mendirikan Partai Masyumi yang bebas dari bau kolonial dan didukung hampir oleh semua organisasi Islam lokal dan nasional dengan komponen utamanya NU dan Muhammadiyah. Terjadilah duet kepemimpinan Masyumi pertama antara NU dengan Muhammadiyah. K.H. Hasyim Asari (NU) sebagai Ketua Syuro dan Soekiman Wirjosandjojo (PII yang sekaligus sebagai orang Muhammadiyah) sebagai Ketua Badan Eksekutif/Pimpinan Pusat. Pasang Surut Partai-Partai Islam Perjalanan partai-partai Islam mulai awal kemerdekaan senantiasa terfragmentasi. Integrasi faksi-faksi dalam Masyumi mulai retak karena dominasi faksi nasionalis yang kuat dalam pemerintahan. Unsur masyumi tetap memiliki otonomi dalam kegiatan di bidang sosio-keagamaan. Namun, federasi juga mempunyai akibat negatif, dimana semangat golongan seringkali lebih ditonjolkan dibandingkan semangat persatuan, terutama ketika menghadapi daya tarik posisi politik formal dalam pemerintahan. Pada bulan Juli 1947 SI keluar dari Masyumi dan menjelma menjadi PSII yang bergabung dalam kabinet Amir Syarifuddin yang berasal dari kubu Komunis-Sosialis. Pada tahun 1952, NU keluar dari Masyumi berdasarkan Kongres di Palembang. Dengan berpisahnya PSII dan NU dari Masyumi berarti Islam politik terfragmentasi menjadi Masyumi, PSII, NU dan Perti, selain ada pula Partai Persatuan Tharikat Islam (PPTI) dan AKUI (Aksi Kemenangan Umat Islam). Bahkan kekuatan Islam politik akhinya saling berhadap-hadapan. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo, NU menjadi bagian dari kabinet sedangkan Masyumi menjadi oposisi. Fragmentasi Islam politik akhirnya berimplikasi pada pemilu 1955. Kendati aliran Islam secara total mendapat jumlah terbesar yakni 45,2% (116 kursi), nasionalis 27,6% (71 kursi). Sosialis Kiri-Komunis 15,2% (39 kursi) dari total 257 kursi. Namun setelah dibagi berdasarkan garis partai, hasil tertinggi adalah PNI (57 kursi), disusul Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi) dan PKI (39 kursi), sisanya partai-partai kecil termasuk partai Islam yang kurang dari 10 kursi. Akibatnya, kendati pemerintahan yang dibentuk merupakan koalisi PNI-Masyumi- NU, tetapi formatur yang ditunjuk presiden adalah PNI sebagai pemegang suara terbesar. Hal ini akan sangat berbeda jika Islam politik tetap memakai satu bendera bernama Masyumi. Analis politik Indonesia senantiasa mempetakan kekuatan- kekuatan politik Indonesia dengan model segitiga emas sebagaimana yang diungkapkan Harold Crouch dan William Liddle. liddle mengatakan bahwa pada masa soekarno segita tiga itu terletak pada kekuatan politik Nasionalis, Islam dan PKI. Nasionalis terletak pada Soekarno dan PNI (partai terbesar), Islam terletak pada Masyumi yang merupakan kekuatan kedua sebelum pecah dengan NU yang mendirikan partai sendiri. Sedangkan PKI merupakan partai terbesar ketiga terutama pada tahun 60-an. Ketiga kekuatan ini saling bersaing dan saling menjatuhkan sehingga terjadi instabilitas politik kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden. Dekrit merupakan kemenangan nasionalis dan PKI yang berdampak pembubaran Masyumi tahun 1960. Pasca Masyumi dibubarkan segitiga emas terletak pada Soekarno, TNI-AD dan PKI. Terjadi persaingan antara TNI-AD dan PKI. TNI-AD dengan mendapatkan dukungan dari eks- Masyumi untuk melakukan perlawanan politik (hal ini merupakan awal dari TNI berpolitik praktis) dengan menjatuhkan rejim Soekarno dengan memanfaatkan ketergesaan PKI untuk berkuasa dengan melakukan kup G 30 S. Dengan peristiwa itulah jatuhnya rejim Soekarno beserta PKI dan muncullah Orde Baru. Pada masa Orde Baru terbentuk segitiga emas kembali yakni Nasionalis, Islam dan TNI. Nasionalis terletak pada Soeharto dan Golkar sedangkan Islam terutama eks-masyumi yang tidak diijinkan berdiri kembali partai masyumi kemudian terbentuk fusi PPP yang tidak menampung eks-masyumi begitu pula sebelum fusi dengan terbentuknya Parmusi sebagai pengganti Masyumi pada pemilu 1977. Eks Masyumi yang kecewa terhadap koalisi dengan TNI yang menjanjikan akan mendirikan kembali partai Masyumi pasca Orde Lama. Efek dari kekecewaan ini maka Islam dijadikan kekuatan lawan oleh Soeharto dan Golkar di masa awal Orde Baru dengan menggunakan TNI sehingga Islam berlawanan dengan TNI. Dimunculkanlah kembali isu-isu pendirian Negera Islam Indonesia (NII). Bahkan pada zaman ORBA muncul istilah KBA (Koalisis ABRI dan Birokrasi). Juga istila ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Di akhir masa Orde Baru sekitar tahun 90-an Islam dilirik kembali oleh Soehato dan Golkar sehingga aspirasi Islam lebih diakomodir dengan munculnya UU PA, Bank Muamalah. ICMI dll.[2] Hal ini dilakukan karena pertama, terjadi dualisme kekuatan TNI antara Moerdani yang telah banyak mengkader TNI nasionalis (disebut dengan TNI pelangi) dan ada TNI Hijau (muncul isu ijo royo-royo) serta TNI merah putih. Kedua, Konflik TNI melahirkan ketidaksolidan TNI sebagai kekuatan politik Soeharto maka dipilihlah Islam sebagai kekuatan politik tandingan sebagai alternatif dukungan politik bagi Soeharto dan Golkar. Keberpihakan Soeharto terhadap Islam diperlihatkan dengan memunculkan Panglima TNI dari kubu TNI hijau yaitu muncul Faisal Tanjung sebagai alumnus PII (Pelajar Islam Indonesia) dan beliau yang menjamin hidup kembalinya PII. Pada masa reformasi, Islam tetap menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan oleh elit-elit politik sehingga bermekaran partai- partai Islam sebanyak 17 partai Islam muncul sebagai peserta pemilu tahun 1999 dan tahun 2004 sebanyak 6 partai. Pada SU MPR 1999 terlihat pertarungan antara Islam dan Nasionalis ketika memperebutkan kekuasaan eksekutif. Islam tercermin dari PKB, PAN, PBB. Nasionalis ditonjolkan PDIP. Sementara Golkar yang berhaluan nasionalis lebih mengambil tiarap karena menyelamatkan diri dari hujatan-hujatan yang menekan Golkar bubar sebagai pertanggungjawaban ORBA, Golkar kemudian berpihak kepada Islam begitu pula TNI berpihak pada Islam dengan mendukung Gus Dur sebagai Presiden padahal pemenang Pemilu adalah PDIP. Sayang kemenangan ini tidak berumur panjang. Dengan demikian jatuhnya Soeharto, Habibie (yang tidak direspon naik menjadi presiden kembali) dan Gus Dur apakah karena politik Islam, sebagaimana para pengamat politik yang menyatakan bahwa dunia internasional tidak menghendaki kemenangan kelompok Islam tetapi saya lebih melihat pada faktor utama yakni krisis ekonomi internasional yang menjadi faktor dominant, selain itu tidak terkonsolidasikannya kekuatan- kekuatan politik di dalam negeri. Dalam hal ini saya sepakat dengan para pengamat ekonomi seperti Faisal Basri yang berkomentar bahwa kejatuhan para pemimpin nasinal tersebut merupakan efek dari kegagalan program IMF dan kelemahan tim ekonomi nasional dalam menentukan lembaga ekonomi dunia. Politik Aliran dalam Internal Islam Politik Para pengamat politik Indonesia masih menganggap relevan analisis Geertz untuk melihat politik nasional termasuk Islam politik. Geertz membagi kekuatan politik kepada tiga unsur yaitu Priyayi, Santri dan Abangan. Priyayi mempertahankan nilai-nilai aristokrat dan nilai-nilai baru sebagai bumbu. Santri lebih mendasarkan pada nilai-nilai Islam. Abangan lebih menjadi kelompok yang tak berideologi dengan mengedepankan rasionalitas. Analisis Geertz dalam Islam politik dapat digunakan dengan melihat realitas perilaku Islam politik. Pemilahan ini dapat terlihat dari mulai terbentuknya partai-partai Islam semenjak sebelum kemerdekaan. Partai Islam lebih bersifat lokalis (Perti yang hanya di minangkabau) dan berdasarkan aliran seperti SI yang lebih didominasi kaum saudagar (pedagang). Pasca kemerdekaan Masyumi pecah dengan NU, ini pun didasarkan pada berbeda aliran antara kaum tradisionalis (NU) dan Modernis (Muhammadiyah, Persis, dll), lebih-lebih terlihat lagi ketika masa ORBA, NU kembali ke Khittah tahun 1984 berdasar Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang kemudian NU keluar dari PPP. Hal tersebut karena persaingan antara kaum tradisional (NU) dengan kaum modernis yang terkumpul dalam MI. Begitu juga pasca ORBA partai-partai terbangun karena aliran agama yang menjadi aliran politik, NU dengan PKB, Muhammadiyah dengan PAN dan PBB dengan DDII serta PERSIS (sekarang keluar dari PBB), PKS dengan gerakkan harokah dan Tarbiyah terutama di kampus-kampus. Dengan demikian betapa sangat berpengaruhnya aliran atau madzhab dalam agama terhadap perilaku politik dalam partai-partai Islam. Yang semua itu menjadikan Islam politik sebagai bayang-bayang kebesaran tanpa kemenangan. Agenda Islam Politik ke Depan Islam Politik akan senantiasa menjadi bayang-bayang yang diharapkan sekaligus juga ditakuti oleh kekuatan-kekuatan politik yang tengah bersaing. Dengan demikian Islam politik akan senantiasa menjadi penentu kepemimpinan nasional ke depan. Hanya tinggal memilih antara maju dengan kekuatan sendiri atau berkoalisi dengan kekuatan nasionalis. Terdapat beberapa agenda yang harus dilakukan Islam politik ke depan antara lain: pertama, mengembangkan paradigma politik dari isu politik yang senantiasa menjual ideologi Islam berbentuk memperjuangkan Piagam Jakarta, dikembangkan kepada aspek-aspek yang menyangkut kehidupan real masyarakat berupa program reformasi ekonomi dan supremasi hukum yang ditawarkan kepada masyarakat. Elit-elit Islam politik yang akan atau yang telah menikmati segala macam kenikmatan politik harus mulai menyadari bahwa realitas politik yang diperankannya belum mampu membawa negara ini kearah yang lebih mensejahterakan rakyat. Kemiskinan dan penganguran setiap tahun senantiasa meningkat dan harga sembako semakin sulit dan mahal. Sudah saatnya bagi elit politik dan seluruh rakyat untuk melakukan muhasabah (refleksi diri) dan muraqabah (kerja keras, tekun, jujur, dan cermat) dalam menghadapi persoalan bangsa yang semakin terpuruk sehingga terhindar dari kebangkrutan. Agenda kedua, membangun demokrasi di internal partai. Kelemahan partai-partai Islam senantiasa lebih mengedepankan sistem patrimonial, otoritas tradisional dan kepatuhan, sehingga ketika terjadi konflik internal partai lebih cepat memisahkan diri dengan membuat partai baru ketimbang melakukan islah dan muhasabah. Misalnya kasus konflik PPP, PKB dan konflik internal PBB. Agenda ketiga, Partai-partai Islam membuka ruang yang sangat lebar terhadap munculnya kader-kader muda yang visioner. Pada akhir tahun 2007-an muncul opini pemimpin bangsa dari kaum muda. Opini tersebut lahir mungkin sebagai antitesa dari realitas politik di era reformasi yang antara lain: pertama, di era reformasi terjadi perubahan sistem politik tetapi tidak melahirkan perubahan aktor politik, sehingga reformasi dianggap sebagai perubahan kulit saja. Kedua, munculnya elit- elit poitik yang senantiasa terkait dengan kasus-kasus hukum di masa lalu, sehingga melahirkan sulitnya supremasi hukum dan hukum masih tetap menjadi pelindung sebagian elit. Ketiga, Masyarakat merasa jemu dengan kepemimpinan bangsa yang lamban dalam menangani krisis. Keempat, adanya kesulitan anak muda untuk muncul menjadi aktor politik baru karena dihambat oleh aktor lama yang masih ingin tetap bercokol sebagai pelaku politik. Antitesa tersebut cukup beralasan karena Pertama, dilihat dari sejarah kepemimpinan nasional yang mampu melakukan perubahan yang signifikan senantiasa dipelopori dari pemimpin yang dalam kategori muda seperti Soekarno diusia 43 tahun menjadi Presiden dan ia mampu melakukan perubahan begitu pula Soeharto diusia 47 tahun menjadi Presiden dan ia pun mampu melakukan perubahan yang signifikan. Akan tetapi berbeda kepemimpinan pada masa reformasi yang rata-rata dipimpin oleh Presiden yang berusia di atas 55 tahun melahirkan kepemimpinan yang rapuh sehingga mudah berganti-ganti kepemimpin yang melahirkan instabilitas politik dan ekonomi. Begitu pula dengan pemimpim-pemimpin negara lain yang dipimpin dari kaum muda senantiasa melakukan perubahan signifikan seperti Ahmaddinejad Presiden Iran yang terpilih pada usia sekitar 51 tahunan, lee kuanyu yang terpilih pada usia 48 tahun, Aroyo Filifina diusia 51-an, Tony Blair Inggris diusia 48 tahunan dan Bil Cilnton pada usia 50-an dan terakhir adalah Barac Husein Obama. Kedua, kaum muda merupakan pemilih mayoritas sehingga opini tersebut bagian dari menarik simpatik kaum muda untuk mendorong anak muda tampil menjadi elit baru. Sehingga moto partai senantiasa dikemukakan partainya adalah partai anak muda. Ketiga, terbuka ruang bagi anak muda untuk tampil menjadi elit baru walaupun masih sedikit seperti di Partai Demokrat ada Anas Urbaningrum, di PDIP ada Budiman Sujatmiko, di Golkar ada Priyo Budisantoso, di PKB ada Muhaimin Iskandar, PKS ada Rama Pratama dll. Keempat, adanya gereget mencari pemimpin yang dapat mempercepat penyelesaian krisis. Indonesia kalah dari Thailand yang dapat menyelesaikan krisis dalam waktu relatif singkat sekitar 2-3 tahun sedangkan Indonesia sudah 10 tahun reformasi belum juga ada tanda-tanda untuk bangkit dari krisis. Kelima, dengan kaum muda menjadi pemimpin bangsa akan terhindar dari kasus-kasus masa lalu sehingga supremasi hukum akan mudah dilaksanakan dan elit muda akan terkonsentrasi untuk melakukan perubahan. Berbeda dengan kaum tua yang senantiasa terkait dengan kasus masa lalu sehingga ia sibuk untuk menyelamatkan diri dan fokus perubahan menjadi terabaikan. Sebenarnya dalam rangka mempercepat sirkulasi kepemimpinan nasional akan sangat tergantung kepada sistem kaderisasi dan rekruitmen politik dalam partai politik. Apabila partai politik membuka ruang yang lebar bagi anak muda untuk tampil menjadi elit maka trend kepemimpinan anak muda akan dengan cepat terwujud. Hal ini dapat terlihat seperti Soekarno dan Soeharto menjadi tampuk pimpinan bangsa karena partai membuka diri untuk mendorong mereka menjadi elit bangsa. Walaupun pada zamannya banyak juga kaum tua menjadi aktor politik. Untuk pemilu 2009, icon politik akan tetap didominasi kaum tua karena partai-partai besar masih mencalonkan kaum tua seperti PDIP masih mencalonkan Megawati, Golkar tergantung JK begitu pula partai-partai baru masih menganggkat Wiranto, Sutiyoso, Rizal Ramli, dll.. Apabila pigur-pigur tersebut masih dipertahankan maka peluang SBY akan semakin besar untuk memenangkan pilpres. Karena berdasarkan lembaga-lembaga Survei SBY masih di atas mereka reputasinya walaupun terjadi penurunan reputasi SBY. Akan tetapi kalau ada kaum muda pun yang ditonjolkan belum tentu juga mampu menandingi reputasi mereka karena ruang dan waktu belum berpihak kepada kaum muda secara luas untuk menunjukkan sebagai calon alternatif dan solutif. Pemilu langsung akan sangat memberikan peluang terhadap kandidat yang memiliki popularitas. Populerly election akan melahirkan ‘personalized politics’ sedangkan partai politik sebagai politicle mesine hanya menjadi pelengkap persyaratan presiden belum menjadi penentu kemenangan. Hal itu terbukti pada pemilu 2004, Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif tidak mampu memenangkan pilpres. J. Cristiadi mengatakan bahwa sudah saatnya rakyat menentukan agenda prioritas, khususnya utuk menentukan pilihan yang selalu melekat dalam demokrasi, yaitu antara mewujudkan keterwakilan (representativeness) dan membangun pemerintahan yang efektif (governability), tetapi dikontrol oleh rakyat. Pilihan kedua tampaknya perlu dilakukan agar demokrasi prosedural tidak semakin terjebak pada demokrasi kulit, simbolik, hanya berisi slogan-slogan mengatasnamakan rakyat.
Posted on: Sun, 01 Sep 2013 06:03:13 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015