JEJAK JEJAK MAKASSAR (19) Geliat pasar butung di kampung pecinan - TopicsExpress



          

JEJAK JEJAK MAKASSAR (19) Geliat pasar butung di kampung pecinan pertengahan tahun 1970-an lumayan riuh. Ia bagian dari kota tua di kota Makassar yang bersisian dengan dua pelabuhan laut yang cukup sibuk, pelabuhan Sukarno pelabuhan yang di labuhi kapal bermuatan tonase besar dan kapal Pelni untuk penumpang. Sedang pelabuhan Hatta di labuhi kapal bertonase sedang, kecil dan kapal kayu. Inilah sebagian dari beberapa factor sehingga pasar butung banyak di kunjungi. Ketika itu para pedagang mayoritas menjajakan sayur dan rempah-rempah, kain dan sarung, dan yang lainnya. Ia juga sebagai pasar grosir untuk bahan kain dan sarung. Pasar ini menjadi ruang interaksi berbagai suku dan etnis. Cina, Arab, Makassar, Bugis, Toraja, bahkan Melayu, dan yang lainnya. Aku lahir dan tumbuh kembang disini berpuluh tahun dengan suasana nyaman dan damai kendati fasilitas hidup ketika itu amatlah terbatas. Bagunan gedung untuk petak-petak lods masih bangunan belanda di bangun tahun 1827 dan sangat kokoh berarsitektur unik. Ketika mencoba menarik ingatku ke masa itu dan membandingkan bangunan-bangunan yang ada saat ini, kadang begitu sulit menarik benang merahnya. Mengapa bagunan ketika itu dan kini sangat jauh berbeda dari beberapa sisi, baik kwalitas (ke kokohan) maupun dari sisi ke unikan dan keindahan arsitekturnya. Saban hari kuhabiskan waktuku setelah sekolah dan sedikit bermain, membantu orang tua melayani pembeli di lods sayur dan rempah. Pelanggannya cukup banyak sebab ayahku terbilang memiliki relasi yang cukup luas, dari pelanggan harian, rumah makan di emperan pelabuhan dan kapal-kapal yang berlabuh, ransumnya juga di sediakan di lods ayahku. Sementara pedagang eceran kain dan sarung dari berbagai kabupaten dan pulau bersesak tawar menawar dan bongkar muat di lods dan ruang yang lebih luas, pokoknya suasana pasar ini sudah sangat ramai ketika itu. Dalam hiruk pikuk transaksi berbagai barang di pasar butung dan sekitarnya, dinamikanya juga di warnai sekelompok orang yang secara terorganisir menjajakan barang-barang “palsu” yang di kemas seakan asli dan di promosi berasal dari luar negeri khususnya negara-negara maju. Berbagai asesoris yang menghiasai tubuh, mulai dari kain hingga logam mulia. Tersebutlah Lambara Daeng Torro’ yang akrab di sapa Daeng Torro’, seorang lelaki berkulit legam dengan kumis tebal melintang antara bibir dan hidungnya. Dialah pemimpin kelompok pedagang barang-barang “palsu” yang kerap di sebut “pakappala tallang” (bahasa Makassar ; pelayar kapal karam) sebuah idiom yang bermakna penipu yang di tujukan bagi kelompok ini. Orang-orang yang bergabung di kelompok ini biasanya “pemberani” dan berdarah dingin. Saban hari kerjanya menipu dengan penampilan parlente dan serba necis. Bila diusik tak segan-segan melukai dan membunuh orang yang mengusiknya. Lambara Daeng Torro’ sesuai namanya “Lambara bermakna di abaikan atau terabai sedang Torro’ bermakna dobrak atau mendobrak”. Yang bergabung dalam kelompok “preman” ini mayoritas kerabat beliau jadi relatif sangat solid. Proses pengkaderannya sangat natural, bila merasa punya nyali tapi skill atau keterampilan untuk terjung ke dunia kerja terbatas biasanya tempat ini menjadi tertuju. Mereka punya peran yang berbeda-beda dan bekerja dengan system yang cukup apik. Rata-rata mereka pandai “bersilat lidah” untuk zaman sekarang mereka memiliki potensi sebagai sales yang pandai mengolah kata secara verbal walaupun sebagian dari mereka buta aksara. Dari sisi organisasi mereka terikat hubungan kekerabatan yang sangat kental, tak ayal khayal kita di bawa menjelajahi sebuah geng di Amerika dalam film Godfather yang di pimpin oleh Vito Andalini yang di perankan Marlon Brando dengan sangat baik, walau tak sebesar klan ini tapi di beberapa sisi secara substansi sama. Atau mungkin dinamikanya bagai para Mafioso di italia dan Yakuza di Jepang. Daeng Torro’, secara pisik memiliki rupa dan sosok sangar, karakter yang keras membingkai laku kesehariannya. Orang-orang di sekelilingnya sangat segan dengannya bukan karena ia pemimpin sebuah geng pakappala tallang tapi sudah kerap kali di buktikannya dengan duel maut, pertarungan satu lawan satu baik dengan tangan kosong maupun dengan masing-masing menggenggam badik. Dia tidak kebal seperti yang kerap di mitoskan kebanyakan suku bugis-makassar bila seorang jagoan. Hingga suatu malam sunyi ketika masyarakat telah terpulas bersama mimpinya, Daeng Torrro’ pulang terseok-seok dengan puluhan luka di sekujur tubuhnya sambil memeluk ususnya yang terburai meninggalkan perutnya, setelah di tikam lawan duelnya. Dokter di rumah sakit Stella Maris disisi pantai losari memberi tahu keluarganya bila Daeng Torro’ terluka di 19 titik di sekujur tubuhnya. Dari beberapa sisi keras yang dimilikinya ia menyimpan sisi kemanusiaan yang cukup mencolok. Daeng Torro’ sangat penyayang pada anak-anak dan perempuan. Dari beberapa “jagoan” di zamannya hanya ia yang beristeri satu dan menyayangi isteri dan anaknya. Kami pun yang hidup di lingkup pasar butung ketika itu merasa sangat aman sebab dalam waktu senggangnya ia kerap mengumpulkan anak-anak di belikan penganan dan di bagi-bagikan uang. Hingga ada suatu peristiwa yang mencengangkan warga, seorang kawan kami beretnis Tionghoa bernama Apui di pukul seorang dewasa yang juga beretnis Tionghoa hingga terluka. Daeng Torro’ mendatanginya menghajar hingga babak belur dan pingsan, tentu tak ada yang berani melerai, karena yang melakukannya daeng Torro’ dan semua orang tahu bila ia menolong dan membalaskan perlakukannya pada Apui. Daeng Torro’ dan Apui dua sosok manusia yang secara kultur dan usia bersisian jauh, tapi mereka memiliki rasa yang tak terbatasi oleh berbagai pernak-pernik hidup. Rasa dan nuraninya berkelindang bersua di ujung cahaya kemanusiaan, saling menyapa dalam bahasa sacral yang tak terdeteksi oleh sisi-sisi pragmatisme. (Kotamobagu, jumat 25 januari 2013)
Posted on: Sun, 30 Jun 2013 06:00:45 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015