JEJAK SYARIAH DAN KHILAFAH DI NUSANTARA (6) Oleh : Ir - TopicsExpress



          

JEJAK SYARIAH DAN KHILAFAH DI NUSANTARA (6) Oleh : Ir Muhammadun Bendera Turki di Kapal Aceh Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani.[24] Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585 melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.[25] Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton.[26] Kapal-kapal besar yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.[27] Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh.[28] Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istambul setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Khilafah Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka dikatakan sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga istana kesultanan.[29] As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan Syaikh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli. [30] Abdur Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin Shah untuk menduduki jabatan kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdur Rauf menerima tawaran tersebut.[31] Karena itu, ia resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn) penerapan syariat Islam.[32] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb. Menurut Abdur Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.[33] Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun, terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki qânûn (undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur Rauf as-Singkeli.
Posted on: Sat, 16 Nov 2013 12:45:46 +0000

Trending Topics



>
Heres the photo again for you to tag your selected uninitiated FBI

Recently Viewed Topics




© 2015