Jangan Kuburkan PDIA [opini] =================== APA itu fakta - TopicsExpress



          

Jangan Kuburkan PDIA [opini] =================== APA itu fakta sejarah? Sir Geoffrey Elton, seorang sejarawan Inggris terkenal, menyebut “sesuatu yang terjadi di masa lalu dan meninggalkan jejak dalam dokumen yang dapat digunakan sejarawan untuk merekonstruksikannya di masa kini” (something that happened in the past, which had left traces in documents which could be used by historian to reconstruct it in the present). Melalui penelitian dokumen, para sejarawan dapat merontokkan persangkaan dan menawarkan publik; pandangan yang lebih terbuka sehingga tidak menelan mitos dan mengunyahnya sebagai sejarah utama (Richard J. Evans, In Defence of History, 1997:75). Jika dikontraskan dengan Aceh, apakah kita memiliki fakta sejarah --yang katanya gemilang di masa lalu itu? Mungkin ada, tapi kebanyakan hanya “fakta tangan kedua”, sejarah oral, atau mitos yang diturunkan dari generasi ke generasi. Yang disebut fakta sejarah di sini hanya informasi (entah benar atawa salah) yang diseberangkan dari seseorang ke seseorang lain tanpa menggunakan dokumen-dokumen pendukung. Dokumen historis ----------------- Berbicara tentang dokumen, sangat sedikit yang dapat disebut sebagai dokumen historis yang orisinil di pusat-pusat dokumentasi, museum, dan kepustakaan. Dari yang sedikit itu pun hanya bahan foto kopian (atau digitalisasi) tanpa pernah memiliki yang asli. Mengapa bisa begitu? Karena pemerintah --terutama di masa kini-- tidak menganggap penting pemeliharaan dokumen-dokumen historis Aceh sebagai bendahara atau aset daerah. Indikator paling nyata adalah keberadaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang dibiarkan terlunta-lunta. Kini lembaga yang didirikan pada 26 Maret 1977 (atau bersamaan dengan momentum 104 tahun penyerangan Belanda ke Kerajaan Aceh) “bagai kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup pun tak mau”. Dari hasil wawancara saya ke pengurus PDIA, mereka tidak menerima gaji sejak 13 bulan terakhir. Pemerintah Aceh sendiri tidak menunjukkan kepedulian, terlihat alokasi dana yang sangat minim. Baru tahun ini ada anggaran yang agak besar, Rp 500 juta, tapi tak cukup bahkan untuk membayar tunggakan gaji, apalagi membuat program kegiatan. Kontras dengan anggaran yang dihablurkan untuk seremoni politik dan “bansos”. Lembaga yang didirikan bersama antara Pemerintah Istimewa Aceh dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ini diharapkan menjadi pusat kajian Aceh (Acehnese studies), seperti yang digagas oleh perintisnya, Teuku Ibrahim Alfian, yang sekaligus menjadi direktur pertamanya waktu itu. Jika diingat gemerlap peresmiannya pada 3 September 1977 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Syarif Thayeb dan Gubernur Aceh Muzakkir Walad, serta dihadiri sejarawan dan ahli Bahasa Melayu dari Belanda Prof A Teeuw, ketua Proyek Kerjasama Belanda Indonesia, mantan sekretaris Keresidenan Aceh (1939-1942) Dr AJ Piekaar, dan mantan Adspirant Controleur Lhoksukon (1932-1934) dan juga pensiunan Walikota Enshedé Belanda Mr A Vler, maka akan sangat miris melihat kondisi lembaga ini sekarang. Sepi, kusam, dan berdebu. Bahkan untuk biaya operasional pun terpaksa menyewakan ruangannya kepada publik. Kini nasib pusat dokumen ini tinggal menunggu gusuran. Dari informasi yang saya terima, Pemerintah Aceh dan Unsyiah berencana menutup lembaga ini dengan pelbagai alasan. Alasan pragmatis yang sudah terlihat, bangunan PDIA akan digunakan sebagai Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM). Padahal Unsyiah sudah mendapatkan anggaran untuk pembangunan RSGM yang kini masih dibangun di Darussalam. Alasan lainnya adalah karena penilaian kinerja lembaga ini terus melemah sehingga dimerger dengan lembaga sejenis. Ini alasan aneh. Seharusnya lembaga non-profit seperti PDIA didukung regulasi dan anggaran yang memadai agar dapat dimaksimalisasi perannya sebagai pusat riset dan kesejarahan. Pemberlakuan juga harus setara dengan perpustakaan, museum, dan juga pusat penelitian sosial-humaniora lainnya di Aceh. Prahara itu semakin di depan mata. Sejak RSGM dioperasikan pada 2012 di lingkungan PDIA, Yayasan Stichting Peutjut-Fonds, salah satu lembaga pengampu institusi dokumen itu, telah meminta kepada pengurus untuk menyelamatkan pelbagai dokumen dalam bentuk peta dan sketsa yang dihibahkan, seperti Town Plan of Koetaradja (Tataruang Kutaraja), Kaart Historische Schetskaart van den Atjeh-Oorlog (Peta Sketsa Sejarah Perang Aceh), Schets van de Kraton en Omgeving gemaakt in 1874 (Sketsa Keraton Aceh dan Lingkungannya), dll. Di lembaga ini pun masih ada beberapa dokumen langka seperti Geschiedenis van Nederlansch-Indie (Sejarah Nusantara), Rijkdom van Atjeh (Kekayaan Aceh), Familie-en Kampongleven op Groot Atjeh (Kehidupan Keluarga dan Kampung di Aceh Besar), catatan biografis dan budaya Simeulue (Simaloer), dll. Alasan yayasan Belanda itu tentu benar. Bagaimana mungkin sebuah institusi sosio-kultural akan beroperasi bersama dengan institusi sosio-ekonomis? Akan banyak aura negatif yang akan merusak institusi sejarah itu. Waktu juga menjadi saksi, di antara dokumen PDIA, ada yang mulai hilang seperti piranti penyimpan elektronik (external hard disk) yang berisi 400-an pindaian manuskrip yang berasal dari Pidie dan Aceh Besar, akibat terlalu terbukanya PDIA dan kurangnya dukungan pengamanan dan perlindungan dokumen. Padahal, dokumen historis bermanfaat bukan hanya bagi sejarawan, tapi juga bagi beragam disiplin ilmu. Seperti adagium Friedrich Nietzsche, Gott ist tot, PDIA pun sebenarnya telah lama mati. Yang mematikannya adalah arogansi kekuasaan yang tidak memahami pentingnya lembaga budaya seperti ini ada di tengah diktum pembangunan yang semakin mekanistik dan teknokratis. Memang tanpa ancaman pembubaran pun, lembaga ini sudah begitu melempem. Tidak ada pakar yang bisa melakukan pengkajian dokumen, tidak ada tenaga ahli yang bisa membantu menerjemahkan dokumen-dokumen yang berbahasa Belanda, tidak ada filolog yang menjadi staf PDIA, tidak ada pustakawan yang mumpuni, tidak ada pejabat struktural dan fungsional kecuali hanya sang direktur, tidak banyak publikasi kegiatan, dan kurangnya minat peneliti melirik PDIA karena jumlah dokumen dan bukunya yang tidak ‘wah’ (hanya sekitar 3.000 buku). Secara penampakan, PDIA sama sekali tidak menarik. Namun memilih membunuhnya juga bukan tindakan bijak. Hal ini bukan demi 14 tenaga honorer yang masih bekerja di sana, tapi demi kepentingan dokumentasi, pembangunan sejarah dan kebudayaan Aceh jangka panjang. Jika PDIA versi sekarang kurang kuat, perkuatlah agar lebih bermartabat, demi pengembangan keilmuwan yang berdialektika dengan referensi, literatur, dan dokumen. Merangsang kritisisme ---------------------- Pemerintahan Zaini Abdullah bisa melakukan perombakan secara fundamental agar PDIA menjadi lembaga profesional seperti semangat awal pendiriannya. Bukan hanya PDIA, pemerintah Aceh juga harus merangsang kritisisme dan daya nalar para pengkaji etis dan pembuat kebijakan strategis agar mendesain pembangunan ke depan dengan referensi yang benar, berdasar pada apa yang pernah dilakukan di masa lalu dan dilanjutkan secara bertahap di masa sekarang. Tidak latah-latahan dan tuna sejarah. Palung kontradiksi telah nampak kini, ketika banyak proyek pembangunan terasa janggal karena para pemegang kebijakan tidak mengerti Aceh sebenarnya. Keberadaan pustaka, museum, dan pusat penelitian sejarah bukan hanya institusi untuk mencari kesibukan bagi mahasiswa dan dosen, tapi pertemuan kultural dan intelektual paling sahih di antara pemerintah, politikus, ilmuwan, seniman, dan masyarakat sipil. Akan menjadi ironi berlipat-lipat jika pemerintahan Zaini-Mualem dikenang sebagai pemerintahan yang tega mengubur sejarah karena ketidak-peduliannya pada institusi sejarah dan dokumen Aceh. Jadi, jangan kuburkan, tapi kenanglah pusat-pusat kebudayaan itu agar tetap hidup seribu tahun lagi. * Teuku Kemal Fasya, Peneliti Sosial dan Kebudayaan. Email: [email protected]
Posted on: Fri, 25 Oct 2013 08:09:00 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015