Jika kita mengutip seni (art) dari perspektif nalar Imanuel - TopicsExpress



          

Jika kita mengutip seni (art) dari perspektif nalar Imanuel Kant,secara kognitif (citta) seni adalah merupakan sebuah fenomena (sat) sekaligus noumena (asat),seni dalam perspektif kognisi lebih merupakan suatu materi (matter) yang identik dengan tubuh ketimbang roh (spirit),di lain perspektif adalah seni dilihat dari perspektif afeksi,seni merupakan roh (spirit) yang juga identik dengan jiwa,Jean Paul Sartre melihat seni dari perspektif afeksional (perasaan) ketimbang kognitif (pikiran),namun demikian baik apa yang menjadi paradigma (kontruksi) perspektif terhadap seni baik dari Kant ataupun Sartre berbarengan tak lepas dari materi (shankata) ataupun roh (shankara) sebagai landasan kesadaran (vinana) dalam seni yang terkait pada nalar (raison) ataupun perasaan (emotion) yang menciptakan adanya penilaian (aksiologi) terhadap makna (meaning) serta nilai (value) yang tiada lepas dari fungsi (function)dari seni,manusia adalah merupakan mahluk yang berkesadaran,kesadaran manusia meletakkan manusia sebagai mahluk sempurna (arhat) ketika pikiran dan perasaan atau juga tubuh dan jiwa menjadi suatu keseimbangan (upekha) manusia pada eksistensi dirinya untuk memiliki kesadaran. Manusia tiada lepas dari pikiran (tantra),perasaan (mantra),tubuh (shakta) serta jiwa (shakti) yang adalah merupakan instrumen utama (superstructure) bagi manusia untuk melandaskan dirinya bagi suatu kesadaran bagi fungsi dirinya tak semata sebagai mahluk yang berkesenian,namun juga adalah sebagai mahluk sosial,manusia sebagai mahluk seni kerap dihadapkan pada kenyataan (das sein) bahwa penempatan dirinya sebagai individu semata tiada cukup tanpa dibarengi penempatan fungsi dirinya sebagai mahluk sosial,seni kemudian mesti disadari sebagai bagian dari budaya yang tak lepas dari diri manusia sebagai individu dengan masyarakatnya (sosialitas),keindahan (sundaram) dihadapkan dari beragam perspektif penilaian (apresiasi) dari berbagai keunikan manusia dengan segala kebebasan yang ada pada dirinya,namun kemudian kebebasan (nibbana) dihadapkan pada keunikan dari yang liyan (others) sebagai kebebasan yang liyan pula,masyarakat seolah meniadakan keunikan ataupun juga kebebasan dalam tuntutan kebutuhan komunikasi (interaksi) antar manusia sebagai tak hanya kebutuhan masyarakat (social needs) atas individu sebagai salah satu unsur utama yang membentuknya,namun juga kebutuhan individualitas (actuality) yang manusiawi sebagai mahluk sosial. Definisi keindahan (pulcrum) dihadapkan pada keunikan atas seni itu sendiri,seni sebagai kebebasan manusia sekaligus makna bagi kebebasan dirinya lalu dihadapkan pada pemenjaraan (asylum) ketika nilai memainkan peran (parole) serta atas kebebasan seni manusia,manusia sebagai mahluk seni (homo esteticum) yang bebas dihadapkan pada sebuah kenyataan sosial (social reality) bahwa seni tak lepas dari differensiasi keunikan antar manusia yang menjadikan adanya perbedaan kategorial kebudayaan pada masyarakat,kebebasan seni kemudian dihadapkan pada kebebasan penilaian (hermenetika),individualitas seni dihadapkan pada sosialitas seni,sebagaimana makna dihadapkan pada nilai,kebudayaan lalu dipersandingkan dengan masyarakat yang pada akhirnya mengikis otentisitas niat awali dari seni sebagai kebebasan manusia (individu) dalam membebaskan kehendak dirinya untuk seni,lepas dari nilai selain makna kebebasan manusia serta kebebasan seni regresional. Manusia sebagai mahluk individual adalah mahluk berkesenian,namun ketika masyarakat menciptakan sebuah barometer penilaian (aksiologi sosial),maka keunikan serta kebebasan individualitas (individual freedom) seolah larut dalam nilai (perspektif) ketimbang makna (persepsi),fungsi seni sebagaimana fungsi individual kemudian mesti bergeser pada tak hanya penilaian seni atas seni namun juga sebuah narasi besar perseptual (kopulasi) dari sebuah masyarakat terhadap manusia sebagai kebebasan seni sekaligus sebagai individu,kemudian dengan mengacu pada apa yang pernah dikatakan Emile Durkheim,bahwa sebuah masyarakat kerap meniadakan eksistensi individu pada sebuah kolektivitas (sociality),maka tak dapat dipungkiri bahwa manusia sebagai mahluk seni juga dihadapkan pada sebuah masyarakat,seniman sebagaimana kaum intelektual,dikatakan Antonio Gramschi kemudian dihadapkan lebih pada sebuah fungsi masyarakat ketimbang fungsi budaya sehingga keunikan seni seolah hilang selain sebuah anonimisitas dari ketiadaan identitas individu yang terkikis (regresif) kebebasan dirinya karena adanya dominasi nilai (value domination) ketimbang makna (asat) bahkan nilai aksiologis (sat) kemudian dihadapkan pada sebuah hegemoni kapitalistik. Keberadaan seni dan kadar pengikisan makna ataupun bahkan peniadaan makna oleh sebuah masyarakat kekinian kemudian menjadikan seniman terjebak pada sebuah selera pasar (public taste) yang menciptakan seni dari sebuah budaya tinggi (ideosinkretisitas) bagi sebuah kejatuhan penilaian dari budaya tinggi (high culture) atau budaya dalam (depth culture) pada suatu adaptasi struktural seni (pop culture) pada realitas sosial (kenyataan kolektif) yang ada (budaya massa),strukturalitas sosial (social structure) kemudian menjadikan seni ditempatkan pada struktur nilai (structure of value) karena makna sama sekali bebas struktur (liberte) sebagaimana halnya materi (fur mich) dan roh (an sich) dari penilaian aksiologi manusia atas seni melalui perasaan (gending) atau pikiran (sastra),seni yang identik dengan pikiran (en soi) dan materi (fenomena) adalah seni (sign) sebagai bagian masyarakat,sedangkan seni yang identik dengan perasaan (pour soi) dan roh (noumena) adalah seni (symbol) sebagai lahan awal dari adanya manusia sebagai mahluk budaya dengan setiap dinamika yang ada pada keduanya hingga kini. Adanya objek penekanan (repress) pada suatu kenyataan yang ada pada masyarakat (realitas sosial) sebagai acuan awal dari suatu dialektika yang kemudian menjadi sebuah paham (isme) adalah merupakan keberlanjutan dari teori Karl Marx dimana pada kontruksi Marx masyarakat merupakan struktur,masyarakat dalam perpektif pemikiran Marx adalah suatu modal bagi adanya sosialisme sebagai sebuah kekuatan sosial teoretis yang lahir dari kelas sosial terbawah yang ada pada suatu struktur sosial,konsep kelas sosial pada pemikiran Marx tak beda dengan pemikiran Peter L.Berger dalam wacana sosiologi yang meletakkan susunan (statifikasi masyarakat) dalam berbagai lapisan sosial (kelas sosial) pada suatu masyarakat,sebuah struktur sosial (socio structure) tak lepas dari perbedaan status sosial yang menentukan kelas-kelas sosial (kasta sosial) ataupun kelompok sosial yang ada pada suatu masyarakat sebagaimana layaknya sebuah komunitas ataupun sebuah mazhab,Antonio Gramschi juga membagi sebuah masyarakat (society) sebagaimana layaknya juga sebuah pemerintahan dalam kedudukan yang setara bagi adanya suatu negara. Masyarakat dan pemerintahan (government) diasumsikan Gramschi sebagai dua aspek utama pembentuk negara,negara (state) yang terdiri dari suatu masyarakat serta pemerintahan tak lepas dari tiga lapisan sosial yang berkaitan dengan kelas sosial (politik) yang menjadikan negara ada,lapisan menegah (middle class) dianggap memiliki peran terpenting yang mengontrol sikap kelas menegah atas (leisurre class) ataupun menegah ke bawah (pressure class) yang dalam sawala (wacana) Marxis disebut dengan kaum proletariat (marginal class) dan kaum bourjuis sebagai lapisan sosial atau kelompok sosial yang menempati aras bawah (subordinate) dan atas sebagaimana halnya sebuah piramida,mayoritas masyarakat pada piramida sosial lapisan terbawah dianggap sebagai sebuah kenyataan sosial (bottom up) yang memiliki kekuatan revolusi (mass power),pemahaman terhadap mayoritas masyarakat sebagai kekuatan sosial dianggap sebuah kenyataan (satyam) bahwa kekuatan massa (realisme sosialis) adalah sebuah modal (superstructure) bagi adanya perubahan sosial dan politik pada suatu negara. Dalam pengetahuan seni ataupun juga ilmu filsafat, mazhab realisme sosialis dikenal pada George Lucacs,seni dalam mazhab Lucacs adalah seni sebagai agensi dari fenomena sosial yang bisa juga disebutkan sebagai kenyataan sosial,karya seni (ouvre) adalah sebuah produk seniman yang menjadikan kondisi sosial sebagai modal penciptaan (pulcrum creatum),segala kenyataan sosial dan kebenaran (facto) serta peristiwa yang menyangkut perasaan masyarakat menjadi acuan (modal) bagi sebuah perjuangan sosial,dalam Marx seni menjadi modal bagi propaganda perjuangan sistem kelas proletariasi,namun dalam realisme sosialis seni lebih diposisikan pada kondisi sosial (realitas sosial) yang cenderung ubah,namun demikian hanya segelintir seniman yang dapat dipahami masyarakat sekalipun seniman tersebut memahami masyarakat,meski seniman realis sosialis dalam karyanya lebih lunak dicerna oleh seniman yang lain sebagai penanda (signifier),dengan kata lain kondisi alienatif justru semakin melebar ketika masyarakat (mayoritas) yang menjadi acuan berkesenian justru tak memahami seniman dan karyanya ketimbang seniman. Dinamika sosial (social dinamic) yang memberikan pengaruh pada pergeseran atau pergantian kondisi sosial sebagai suatu realitas sosial (social shift) menjadikan karya seni realisme sosialis kadang dihadapi oleh kendala ruang dan waktu yang juga cepat berubah (anicca) sebagai suatu fenomena sosial yang dinamis,sehingga ada kalanya batasan pengertian terhadap suatu hasil karya seni mazhab Lucacs kerap dihadapkan pada sebuah nisbi (relativitas) baik sebagai karya yang tadinya dianggap sebagai realis sosialis menjadi bukan realis sosialis ketika kondisi realitas sosial masyarakat kemudian berubah,keindahan kerap dianggap bukan prioritas utama dalam seni realisme sosialis ketimbang perwujudan pembenaran sosial atau reifikasi kondisi sosial atas suatu materi atau aksi seni,maka dapat dikatakan bahwa seni realisme sosialis yang sebenarnya adalah seni yang tak hanya dipahamai secara subjektif oleh penciptanya ataupun seniman semata. Paham realisme sosialis adalah paham (isme) yang mesti dimengerti oleh masyarakat meskipun kadang penganut mazhab tersebut dihadapkan pada pemahaman dirinya sendiri atas sebuah karya ataupun kelas tertentu (social group) yang tak mencakup pemahaman masyarakat (mayoritas) terhadap dirinya ataupun seni yang diciptakanya,sehingga fenomena seni semacam ini tak dapat disebut sebagai suatu fenomena sosial,meskipun dapat menjadi realitas kecil (mikro realitas) pada suatu kondisi sosial (social condition) namun tak berarti adalah realitas masyarakat sepenuhnya apalagi mewakili sebuah masyarakat sebagai agen sosial (social agent) dalam berkesenian,dengan kata lain realisme sosialis dalam seni adalah seni yang tak hanya dipahami oleh sebuah kelas atau kelompok sosial tertentu ketika seni dianggap mewakili sebuah realitas sosial,realitas seni mesti merupakan realitas sosial yang juga dapat dipahami tak hanya oleh seniman itu sendiri tapi juga oleh masyarakat yang diwakili olehnya sebagai bagian dari sebuah realitas sosial pada dirinya sebagai mahluk sosial sekaligus mahluk yang berkesenian. Mengkaitkan kontruksi penalaran Karl Manheim tentang ideologi dan utopia,pemahaman seni atas realitas sosial adalah merupakan pemahaman masyarakat terhadap seni yang tak terbatas pada sebuah kelas ataupun suatu kelompok sosial (kasta) semata bahkan diharapkan realisme sosialis dapat mengatasi atau melampaui ruang ataupun waktu ketika seniman harus menjadi masyarakat itu sendiri dimana kondisi seni adalah kondisi sosial dan menjadi bagian dari sejarah sebuah masyarakat dimana seni menjadi salah satu bagian yang ada di dalamnya,melampaui ruang (templum) atau waktu (temphus),masyarakat adalah seniman dan seniman adalah masyarakat sehingga dapat dikatakan kemudian bahwa dalam sawala (diskursus) realisme sosialis,seni adalah realitas sosial dan realitas sosial adalah seni yang berdampingan sebagaimana harapan (sollen) dan kenyataan (sein) yang senantiasa mesti laras pada dinamikanya,termasuk seniman dan masyarakat,realitas sosial adalah realitas seni,titik berat seni realisme sosialis adalah keindahan yang diawali,sebagaimana diucapkan Nixon dan Baudirllard “In Shadow of Silent Mayority”,maka dapat dikatakan seni yang anomi bukan realisme sosialis sama sekali. Masyarakat adalah sebuah kenyataan yang terbentuk secara alamiah (natural),kebutuhan individu atas suatu interaksi pada dasarnya bukan kebutuhan sosial ketimbang kebutuhan psikologis individual manusia pada dirinya,kebutuhan manusia atas sebuah interaksi adalah realitas alamiah manusia hingga akhirnya kemudian manusia disebut sebagai mahluk sosial yang diawali dari kebutuhan individualitas manusia atas sebuah interaksi (komunikasi),kebutuhan manusia atas suatu interaksi dengan individu lain memunculkan adaptasi manusia atas yang lain hingga akhirnya terbentuk sebuah kelompok sosial yang melahirkan sebuah masyarakat yang terstruktur serta menjadi sistem sosial yang diawali dari kebutuhan manusia atas sebuah interaksi sosial yang dimulai dari kebebasan sekaligus kebutuhan individualitasnya,individu ataupun juga masyarakat adalah merupakan satu kesatuan yang saling mengisi sebagaimana posisi manusia sebagai mahluk individual serta mahluk sosial yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang juga adaptasional dengan realitas eksistensial yang lain,adaptasi manusia pada akhirnya tak hanya dihadapkan pada adaptasi yang kompromistis dengan sesamanya ketika dialektika hubungan antar manusia dibutuhkan bagi sebuah dinamika bagi kemajuan manusia baik secara sosial ataupun individual. Alam sama sekali tak terikat oleh keterbatasan ruang atau waktu sebab alam sendiri adalah awal dari adanya ruang ataupun juga waktu,alam adalah sebuah kenyataan kosmis yang teratur (order thing),namun dalam kenyataan yang ada ketika adaptasi manusia dihadapkan pada alam serta masyarakat,apa yang menjadi harmoni antara manusia dengan alam sama sekali bukan berarti sebuah harmoni dengan sebuah masyarakat,manusia sebagai mahluk alamiah kemudian dihadapkan pada ketidakseimbangan dirinya sebagai mahluk yang alamiah karena pada realitas yang ada hukum manusia sama sekali tak dapat laras sepenuhnya dengan hukum alamiah yang justru menjadi awal dari keterkaitan manusia dengan setiap bagian dari apa yang ada pada alam,harmoni dengan alam bukan harmoni sosial terutama ketika masyarakat telah jauh dari alam,kondisi sosial hanya memberikan pengaruh dampak yang kecil terhadap alam,namun kondisi alam dapat memberikan pengaruh lebih besar atas sebuah kondisi masyarakat termasuk karakter keunikan individualitas manusia satu sama lain. Manusia sebagai mahluk sosial adalah kedudukan dirinya sebagai individualitas,individu dan sosialitas adalah sebuah realitas alamiah yang tak dapat dipungkiri oleh kebenaran sejarah (historical truth) meskipun sebagian kecil darianggota masyarakat (individu) mampu hidup dalam keterasingan dirinya atas yang lain (bhagava),individualitas manusia adalah posisi utama manusia sebagai realitas alamiah,manusia adalah mahluk alamiah yang diawali alam yang membentuk individualitasnya dalam suatu masyarakat,manusia kemudian membatasi alam dengan ruang serta waktu,meski alam sama sekali tak dapat dibatasi oleh keduanya,alam adalah suatu kenyataan yang tiada batas yang senantiasa terus menjadi (bhava) demikian juga masyarakat yang merupakan bagian dari kenyataan alamiah tersebut,masyarakat yang terbentuk secara alamiah sama sekali tak terikat oleh waktu meskipun sebagian besar terikat oleh ruang (primitive society),masyarakat alamiah (natural society) bahkan belum mengenal ruang (space) ataupun waktu (time) hingga mungkin dapat dikatakan bahwa manusia yang pada awalnya harmoni dengan alam sama sekali tak terikat oleh keduanya sebagai sebuah liminal (batasan) bagi kebebasan dirinya dengan alam yang berbeda dengan apa yang telah tercipta pada sebuah masyarakat kekinian yang justru tak laras (disharmoni) dengan alam ketika batasan ruang dan waktu demikian melekat pada masyarakat tersebut. Alam yang membentuk masyarakat adalah sebuah hasil dari sebuah seni penciptaan yang diawali oleh sebuah kehendak (cetana),sebuah seni yang melahirkan seni,sebuah kehendak yang bagi manusia menghasilkan kehendak,banyak hal yang ada pada alam adalah sebuah hasil karya seni Tuhan (monad),sebuah naturalitas seni yang tak dapat dibuat oleh manusia,setiap apa yang merupakan seni yang ada pada alam identik dengan apa yang dinamakan oleh Leibniz sebagai sebuah monad,monad adalah suatu materi alamiah (natural matter) yang memberi suatu fungsi pada manusia,yang salah satunya fungsi estetis yang tak melulu ada karena sebuah kebudayaan (artefak) ataupun karena adanya sebuah kepercayaan ataupun agama (chiffer),fungsi seni terhadap sebuah materi yang dihasilkan tanpa campur tangan manusia dikatakan sebagai sebuah monad,disiplin ilmu pengetahuan yang memandang apa yang dihasilkan oleh alam,terutama yang merupakan sebuah materi,disebutkan sebagai monadologi,yang mana jika dihubungkan dengan kaidah estetika alamiah (estetika kosmologis) dapat dikatakan sebagai monadologi seni,monadologi seni (monadology of art) mengkaji mengenai perspektif estetis manusia (human aestetics) terhadap setiap apa yang ada pada alam ataupun segala apa yang dihasilkan oleh alam secara otentik. Adanya monad sama sekali tak terkikis oleh waktu (kala) yang diciptakan manusia (waktu otentik) selain oleh sebuah kondisi (waktu pragmatik),dua konsep perihal waktu (zeit) yang diperkenalkan oleh William Berret yang juga menyangkut ruang otentik (human creation) ataupun juga ruang pragmatik (natural creation),yang mana bila dihubungkan dengan agama (religion) kemudian memunculkan waktu mesianik (mesianic time) menyangkut berbagai awal penciptaan (unde creatum) ataupun penantian apokaliptik (cathastrope) menyangkut Tuhan,dengan kata lain sebuah monad adalah sebuah kenyataan natural (natural reality) dari adanya kontemporalitas alam (nirkala) terhadap waktu otentik,estetika dalam monad (natural art) adalah kenyataan alamiah yang nirwaktu (kontemporer) selain sebuah kondisi dari ruang semesta (unspace),monad adalah seni namun hal ini dianggap seni ataupun sebagai sebuah keindahan bilamana dianggap sebagai keindahan (estetika) oleh sebuah masyarakat,dengan kata lain sosialitas (masyarakat) adalah intisari (rangkulan) yang mengutama (prima konklutif) dalam memberikan pengesahan serta penegasan (afirmasi) bahwa sebuah monad tertentu adalah sebuah seni. Namun legitimasi semacam ini lebih terkait pada sebuah peradaban alamiah (natural selection) yang masih melirik alam sebagai keindahan tanpa batas (tacit art) dan bukan merupakan legitimasi budaya (cultural legitimation) sebagaimana artefak (artefact) sebagai seni yang tak hanya mendapatkan legitimasi kebudayaan,namun juga berasal dari kebudayaan,namun demikian apa yang merupakan monad kerap juga dianggap sebagai artefak ataupun juga bahkan merupakan chiffer (chiffre) ataupun bahkan ketiganya sekaligus,apa yang merupakan legitimasi estetika (legitimation of aesthetics),bukan berarti sebuah legitimasi sosial ataupun legitimasi kebudayaan dari sebuah masyarakat (social legitimation),namun tak dapat dipungkiri bahwa setiap apapun pada hakekatnya tak dapat lepas dari legitimasi setiap manusia bahwa segala apapun berasal dari alam (causa naturalia) serta merupakan monad bagi mereka yang memahaminya. Dengan kata lain baik artefak (monad budaya) ataupun chiffer (monad agama) adalah estetika (seni),monad adalah seni alamiah (natural art) serta merupakan kenyataan alam (natural reality) yang mau tak mau mesti dianggap sebagai bagian dari sebuah masyarakat yang memang terbentuk pada dasarnya secara alamiah sebagai kenyataan sosial (social reality) yang natural bahwa manusia sendiri adalah sebuah monad yang berdialektika menciptakan “monad” lain melalui sebuah kehendak,yang mungkin salah satunya adalah bahwa ketika Tuhan disebut sebagai monad,maka manusia kehilangan dirinya sendiri,dikatakan Leibniz bahwa ketika Tuhan disebutkan Tuhan (on decontruction),maka Tuhan adalah monad,yang memungkinkan untuk menjadi sebuah chiffer (agama) ataupun juga sebuah kebudayaan (artefak),monad dianggap seni (keindahan) ketika legitimasi seni adalah merupakan sebuah legitimasi sosial manusia atasnya,Tuhan adalah seni. Kebudayaan identik dengan simbol (symbol) sementara peradaban menciptakan berbagai tanda (sign),kebudayaan ataupun juga peradaban (civillization) adalah merupakan sebuah realitas yang terkait dengan suatu masyarakat,masyarakat terbentuk oleh adanya suatu kebudayaan,kebudayaan (culture) membentuk adanya peradaban yang kemudian memunculkan kebudayaan lain yang pada dasarnya tak lepas dari peradaban ataupun kebudayaan yang ada sebelumnya sebagai landasan sejarah dari adanya kebudayaan dan peradaban pada sebuah masyarakat sebagai suatu kenyataan sejarah yang membentuk dialektika bagi keduanya,peradaban serta kebudayaan,kebudayaan ataupun peradaban menciptakan sebuah kenyataan sosial (social reality) yang memposisikan seni (art) tidak semata merupakan sebuah hasil atau akibat dari suatu kebudayaan,namun seni juga kemudian dihasilkan oleh sebuah peradaban. Kebudayaan adalah sebuah lahan antropologis (arkeologis),sedangkan peradaban adalah lahan sosiologis (teknologis) yang dari keduanya menghasilan tanda (techne) serta simbol (arche),baik sosiologi (sign) ataupun juga antropologi (symbol) keduanya tak lepas dari sebuah realitas sosial bahwa kemudian dalam perkembangan yang ada keduanya tak lepas dari persepsi manusia mengenai seni,tanda ataupun simbol pada akhirnya dianggap seni yang dihasilkan oleh sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang mana sekaligus adalah juga menjadi cikal bakal dari adanya sebuah masyarakat berikutnya sebagai sebuah kenyataan determinal (gestalt) antar sejarah (distingtion) antara masyarakat,peradaban serta budaya sebagai dasar awali bagi seni sebagai kenyataan sosial,seni yang abadi adalah seni yang bebas ruang (templum) atau waktu (temphus),awal dari adanya seni yang abadi adalah merupakan seni yang tak semata dimulai dari sebuah kehendak manusia akan sebuah penciptaan karya seni,namun adalah sebuah karya seni yang dimulai melalui sebuah perenungan kontemplatif (meditation) sehingga sebuah karya seni tak hanya memiliki nilai maknawi atas perasaan semata. Adanya perenialitas (nicca) dalam seni mencakup seluruh nilai maknawi indriawiah manusia yang melampaui roh (spirit),selain kesadaran manusia akan sebuah pembebasan dari apa yang dianggapnya sebagai sebuah kesadaran akan sebuah cipta yang selalu dapat diapresiasi secara abadi sebagai seni dengan berbagai relativitas penilaian unik (oprressed) dari keunikan manusia yang menilainya sebagai sebuah kenyataan apresiatif (aksiologis),yang adalah tak hanya mewakili kisi noumenalitas (pour soi) atau fenomenalitas (fur mich) pada sebuah batasan dimensi sejarah,dengan kata lain,bila kita mengutip dari Herbert Marcuse mengenai eksistensi manusia multidimensional,maka seni yang merupakan seni yang abadi (perenial) adalah seni yang multidimensional,yang tak semata merupakan seni pada ruang atau waktu pada masa lampau semata,namun juga adalah seni pada saat kini serta nanti dan mengatasi ketigannya atau bahkan malahan melampaui salah satu,keduanya atau bahkan ketiganya. Keabadian (perenialitas) adalah sebuah matra ganda (multidimensionalitas) dimana seni tetap merupakan seni bahkan ketika simbol (symbol) atau tanda (sign) terkikis oleh sebuah kondisi alamiah (nature condion) atau sebuah kehendak dari sebuah kekuatan agung (vidya cetana),yang sama sekali bukan karena determinasi manusia atas ruang ataupun waktu,namun semata karena alam atau Tuhan yang tak terkait dengan ruang ataupun waktu sama sekali,selain sebuah kehendak atau kondisi yang meniadakan sebuah tanda (peradaban sosial) atau simbol (social culture) tanpa mengilangkan kisi rohaniah (spiritualitas) yang ada pada kondisi atau kehendak yang meniadakanya,seni perenial (abadi) adalah sebuah karya meditatif (bhavana) yang diakui oleh masyarakat sebagai bagian dari roh masyarakat (zeitgeist) yang menjadi titik tolak dari adanya sebuah peradaban yang kemudian menghasilkan kebudayaan lain yang tak lepas dari simbol (makna) ataupun tanda (nilai) sebagai seni yang lepas dari asumsi keindahan penilaian manusia atas seni sebagai keunikan perseptual yang nisbi. Penilaian atas seni (aksiologi seni),dikatakan oleh Meinong senantiasa akan dihadapkan pada makna (meaning) serta nilai (value) yang pada perkembangan budaya yang ada (peradaban) aksiologi kemudian dihadapkan pada fungsi seni atas,tak hanya pada kisi rohaniah manusia,namun adalah juga menyangkut kesadaran manusia akan keabadian seni atas kehendak serta kondisi alam serta Tuhan atas sebuah karya seni indrawiah,seni perenial dapat diibaratkan bagai wanita yang sangat cantik,pria yang sangat tampan,anak yang sangat lucu atau pemandangan yang sangat indah,seksualitas (intercourse),atau bahkan orang yang sangat kejam (sadoch) serta kotoran yang mungkin teramat sangat menjijikan (necrophilia) sebagai sebuah monad (monade) yang dapat pula menjadi sebuah artefak alamiah (natural artefact),terutama ketika legitimasi budaya (cultural legitimation) ikut turut serta dalam sebuah legitimasi alamiah manusia atasnya sebagai sebuah bagian realitas dari sebuah masyarakat lintas jaman (new age),atau bahkan menjadi,sebagaimana dikatakan Hamersma,sebagai suatu “chiffer” ketika legitimasi agama (religion legitimation) dari sebuah masyarakat menganggap hal tersebut sebagai seni yang abadi bagi ketiganya,sebagai artefak (simbol dan tanda),sebagai monad (natural creatum) atau bahkan sebagai chiffer (chiffre). Mengkaitkan seni dengan dokrin Aldous Huxley,maka dapat dikatakan bahwa perenialitas (keabadian) dalam seni adalah seni abadi (perenial art),penyatuan kondisi alam serta kehendak Tuhan pada manusia sebagai pencipta (kontruksi),pemelihara (dekontruksi) sekaligus penghancur (rekontruksi),ketiganya sebagai awal bagi kebangkitan seni bagi kesadaran masyarakat sebagai realitas sosial yang juga abadi terhadap berbagai perspektif aksiologis perenial terhadap seni yang mendapat legitimasi sebagai seni perenial (nicca) dari berbagai jiwa masyarakat (nous) pada tiap ruang ataupun waktu yang multidimensional tanpa menghilangkan kesadaran manusia sebagai satu kesatuan perenialitas dengan sebuah karya seni,baik sebagai manusia yang mencipta (A),menafsir (U) atau bahkan menghancurkan (M) sebuah karya seni tanpa dapat menghancurkan medan kesadaran yang ada padaNya sebagai keindahan ke-Tuhanan. Hal yang lain adalah bahwa adanya legitimasi manusia atas seni pada beberapa keajaiban pada dunia yang juga ada pada Borobudur,Borobudur adalah menjadi salah satu contoh lain seni perenial (abadi) yang telah ada sebelum dibangun (brahman) dan tetap ada meskipun dihancurkan (shivam) oleh sebuah kehendak (cetana) ataupun kondisi alam (samsara),selain kehendak Tuhan,keindahan (negativitas) bukan seni,namun seni tetap seni meski dihadapkan pada ketidakindahan (positivitas) yang keduanya ada (being) atau tiada semata (nothingless) karena differensiasi manusia dengan kenisbian (anicca) yang unik (ideosinkretis) selayaknya alam serta Tuhan sebagai seni perenial yang menghasilkan akibat perenial (abadi) bagi seni yang mewakili hubungan manusia (nanti), alam (kini), serta Tuhan (dulu),seni perenial adalah seni bermatra ganda (multidimensi) yang tak terikat ruang (pada) ataupun waktu (sejarah) selain sebuah keajaiban dunia yang dikarenakan alam (mirage) yang memungkinkan bagi eksistensiNya untuk seni dan mendapat berbagai legitimasi dari suatu masyarakat secara universal (holistik),terutama pada berbagai lintasan (trajectory) multidimensi jejak sejarah (trace) umat manusia pada umumnya atas seni dan keabadianNya. Eksistensialitas pada seni dalam kebudayaan adalah seni yang lebih menekankan fungsi maknawiah dari sebuah simbol,artinya aspek idealitas yang terkandung di dalamnya lebih ditekankan sebagai ruh (spirit) dari sebuah simbol yang tak hanya semata berupa materi namun segala apa yang diapresiasi,meski pada umumnya simbol pada budaya lebih merupakan sebuah wujud (bonum) namun bukan berarti simbol semata adalah sebuah materi meski ide atas sebuah simbol tersebut kadang meski terwujud untuk dapat dindrai lebih sebagai sebuah makna (noumenalitas) ketimbang nilai (fenomenalitas) yang lebih merupakan fungsi pada sebuah tanda,seni adalah sebuah ikon yang menyangkut keduanya,seni secara fungsional bernilai juga bermakna karena seni menyangkut peradaban serta kebudayaan yang menjadikan simbol ataupun tanda ada sebagai sebuah ikon seni,arkeologi adalah merupakan cabang dari disiplin ilmu pengetahuan antropologi yang menekankan adanya penempatan simbol yang ada sebagai suatu artefak. Namun dalam perkembangan dinamika ilmu pengetahuan,paskamodernitas (postmodernisme) menjadikan arkeologi mengerucut menjadi sebuah cabang dari sebuah induk dari ilmu pengetahuan (filsafat),arkeologi dalam filsafat diperkenalkan oleh Michael Foucoult untuk merunut kembali setiap unsur ilmu pengetahuan yang terpilah sebagai sebuah artefak ilmu pengetahuan yang tercecer (pastische) karena banyaknya penyimpangan (perverse) oleh berbagai kepentingan dari keterkaitan arkeologi dengan berbagai ragam ilmu pengetahuan lain di luar antropologi,arkeologi kemudian memposisikan apa yang telah menjadi sejarah sebagai sebuah kontruksi untuk dirunut kembali (bricolage),arkeologi bahkan membangkitkan sejarah yang telah dianggap berakhir. Arkeologi kemudian seakan menjadi sebuah antitesis dari berbagai diskursus modernitas mengenai kematian ideologi (Daniel Bell) ataupun berakhirnya sejarah (Francis Fukuyama),dukungan Frijrof Capra dalam aksioma pembalikan peradaban,kesesuaian perseptif Max Horkheimer tentang “Camera Obcsura” dengan postmodernitas Jaqques Lacan (oposisi biner) ataupun dualitas monistik Bergson dalam “Russell paradoks” kembali diangkat untuk ditinjau kembali sebagai suatu keberduaan (schizoprenia) ataupun juga keberbalikkan Horkheimer dan Lacan sebagais ebuah kenyataan ketimuran,terutama pada taoisme (chamb),matinya absurditas menjadi tautologi menjadikan dualitas kemudian disulap menjadi kenyataan sosial (social reality) yang paradoksikal setelah Aburdene dan Naisbitt,benturan peradaban (Huntington) kemudian diselaraskan dengan benturan antar kebudayaan,sebagai tandingan kategorial bagi Dominique Srinati,hingga kemudian dikatakan Frijrof Schuon bahwa setiap manusia dihadapkan pada suatu transfigurasi. Dalam filsafat posmodern (paska modern) setelah Capra memposisikan peradaban pada pemberbalikan pada awal adanya kebudayaan,teknologi (ilmu) membawa manusia pada arkeologi (pengetahuan),ilmu dan pengetahuan yang pada dasarnya terpisah ditinjau kembali menjadi sebuah kesatuan definitif baru sebagai sebuah hasil rekontruksi sosial dari realitas sosial yang pernah terjadi pada sejarah,realitas sosial yang pernah ada pada sejarah kemudian menjadi harapan (sollen) pengetahuan untuk dapat ditinjau kembali sebagai ilmu (demistifikasi) ketika ilmu gagal mendefinisikan pengetahuan sebagai sebuah kenyataan (sein),dengan kata lain sebuah penebusan atas kegagalan fajar budi (savoir) seolah memberikan posisi (statuta) bagi arkeologi (conaissance) untuk mempersiapkan sebuah pencerahan baru (new age) sebagai sebuah keseimbangan dominasi rasionalitas manusia (materiailsme) atas emosi manusia (spiritualisme),Imperasi Kant dihadapkan pada impresi Sartre,sementara jiwa sentrifugal Marx (yoga) dihadapkan pada tubuh sentripetal Hegel (samkya) sebagai suatu keterkaitan (gestalt) bagi sebuah dialektika kontemplatif Feurbach (wu) atau dikatakan spasi Nietzche sebagai meditasi nirwaktu (perenialitas).
Posted on: Tue, 26 Nov 2013 09:07:17 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015