Judul : Code Game ‘L D’ Kategori : Serial Fiksi - TopicsExpress



          

Judul : Code Game ‘L D’ Kategori : Serial Fiksi Misteri Episode : #8 Tekanan Milly terbelalak. "Garry? Ah, dia... dia hanya seorang..." Dipegangnya lengan Damar. "Apa yang ada dalam pikiran Anda? Apa yang Anda pikirkan? Anda hanya menunggu sejak tadi disini, siapa gadis itu...?”tanyanya setengah berbisik melihat tubuh ramping namun mempunyai struktur tulang yang bagus. Posturnya tegak dengan mata yang tajam. Damar mengedip-ngedipkan mata karena silau, Jendela kaca itu memantulkan bias cahaya dari luar sehingga mempersempit jarak pandangannya keluar jendela. “Hanya keponakan perempuanku. Mungkin dia akan mengajukan sedikit pertanyaan tentang Garry Bisma dan Denny Bisma. Kumohon kerjasama anda, kali ini.” “Anda tak mau berterus terang pada saya. Anda membuat saya jadi ngeri... sangat ngeri. Mengapa Anda menakut-nakuti saya?"tanya Milly pucat pasi, ia seolah anjing pelacak yang bisa mengendus setiap bahaya yang datang. Ia bersyukur ini bukan karena ini bukan tentang skandalnya dikantor. "Mungkin," kata Poirot, "karena saya sendiri juga ngeri." Ia mengeluarkan lampiran foto-foto yang dikirim Rad saat mengirim email, dan Rad mengatakan ada yang membuka laptopnya saat ia menerima telepon, sebab sensor yang dipasang oleh teman pengacara Doni tempo hari berfungsi, begitu ia membuka laptop alat itu berkedip-kedip menyala dan telah memindai wajah si penyusup tanpa ketahuan. Sepasang mata dengan lensa kontak abu-abu gelap itu terbelalak lebar, menatap Damar. Suaranya terdengar seperti bisikan ia bergumam kesal sejenak, "Apa yang Anda takutkan?"tanya Damar. “Benarkah itu anak anda? Ia bersahabat dengan Rad keponakanku yang sedang berlibur di Paris. Damar mendesah, sebuah desah yang dalam dan panjang. Katanya, "Lebih mudah menangkap seorang pembunuh daripada mencegah pembunuhan." Sambil mengetuk-ngetuk lengan kursi roda mekaniknya. Milly menjerit panik, "Pembunuhan? Jangan gunakan kata itu! Aku tak percaya bagaimana Fallen bisa sampai kesana. Jangan-jangan ia ingin menyusul ayahnya, siapa yang membawa anak itu? Bagaimana mungkin?!!"ucapnya berulang-ulang. Kaila menghampiri mereka dan memperhatikan tingkah wanita itu. "Tapi," kata Damar, "Saya telah mengucapkannya. Mungkin saya telah mengirim keponakan saya berlibur ke kota yang salah, dan saya sudah meminta pengacara keluarga saya untuk mengutus orang menjemput serta mengawal dia hingga tiba ditanah air" Kemudian suaranya berubah. Kini ia berkata dengan cepat dan tegas. "Nona Milly, hari ini anda dan saya harus duduk satu meja mengungkap kasus lima belas tahun yang lalu karena erat kaitannya dengan pembunuhan yang terjadi dalam keluarga saya satu tahun berikutnya. Tolong aturlah supaya anak itu bisa pulang secepatnya ketanah air. Dapatkah itu anda lakukan?" "Saya...? ya... saya kira bisa. Tapi mengapa...?"tanya Milly yang hilir mudik menopang sikunya dan menggigiti kuku ibu jari karena ia gelisah setengah tak percaya Fallen bisa sampai ke Paris, siapa yang membantu membuat passport dan visa untuk anak itu, ayahnya saja tak akan sebodoh itu melakukannya. "Sebab tak ada waktu lagi. Anda sudah punya keberanian besar terjun dalam sebuah kasus. Sekarang buktikanlah! Lakukan saja apa yang saya katakan dan jangan bertanya-tanya mengapa." Milly mengangguk, tanpa berkata-kata, lalu membalikkan badan mengambil ponselnya. “Fallen, mama minta kamu pulang sekarang, mama tahu kamu pasti mencari papa, tapi…”perkataannya terputus sambil melirik kedua tamunya. “Papa sudah pulang ke Indonesia sekarang. Dia menunggumu disini.”bohongnya. Fallen mendengar ada nada kuatir dan gugup pada suara ibunya. “OK! Besok aku pulang mama, jangan kuatir…”katanya lunak. Ibunya sedang tertekan, mungkin saja papa tengah marah dan mengancam lantaran ingin bertemu denganku, batin Fallen. Sejenak Fallen membalik badan, ia mengernyitkan alis. Ia baru sadar jika ada yang tidak beres. Ada penyusup yang masuk ke kamarnya. Ada beberapa benda diatas meja yang bergeser dari tempatnya. Tak ada yang hilang. Ingatan fotografisnya berkerja dengan baik. Dan ia tak perlu berlama-lama lagi menunggu setelah melihat ada bayang yang lincah melompati bangunan-bangunan dibawahnya. “Yamakasi…? Quel con! Bego banget sih!”ketusnya. Melompat menyusul orang itu. Dengan kelenturan tubuhnya ia mudah melakukan freerunning, sebab dia juga seorang Traceur. Free running adalah sebuah evolusi gerakan Yamakasi. Bergerak seperti binatang. Bergerak mengalir bagaikan air atau menemukan keseimbanganmu sendiri dengan sebuah filosofi yang benar. Bila di Parkour David Belle memiliki prinsip bergerak secara nyaman dan mementingkan efisiensi untuk cepat sampai di tujuan, maka Sebastian memiliki pemikiran yang berbeda. Free running lebih bersikap individu yang bergerak untuk menujukkan yang namanya "Kebebasan Bergerak". Ini adalah bagian dari Free runner. Fokuslah dengan apa yang ada di dalam dirimu melebihi yang ada di luar sana. Untuk apa hanya melompat ke depan kalau bisa melompat dengan cara yang lebih indah dan menarik. Sekejap saja Fallen sudah berada dihadapan orang itu. “Merde….!!! Sial….!!!”maki pemuda eropa dengan tubuh kurus namun berotot dihadapannya. Wukk!!! Ia melancarkan serangan, rupanya pemuda eropa itu atlit capoera. “Connard…! Bajingan…!”dengus Fallen. Ia menunjuk wajah pemuda itu dan mata pemuda itu mengikuti gerakan telunjuknya, sekejap saja pemuda asing itu mematung terhipnotis. Fallen mengejar pemuda itu kealam bawah sadarnya. Sesaat pemuda asing kebingungan melihat ia dan Fallen bukan lagi berada dilorong sempit melainkan di tengah kawah berapi. “Casse-toi! Pergi lu!”usirnya ketakutan saat Fallen mendekat. Mendadak ia merasa jantungnya sakit dan tubuhnya menggigil beku, keringat dinginnya membulir dengan wajah membiru. Pemuda itu ambruk dengan mata terbelalak! Dari mulutnya keluar asap, jantungnya telah hangus terbakar dari dalam. Fallen kemudian segera berlalu dari lorong itu. **** Beberapa saat kemudian Zata mengikuti gadis berambut kurus berambut hitam itu masuk ke ruangan. Ia mendengar suara gadis itu didalam sebuah kamar yang terbuka lebar, dan suara tiga pria. Ia keluar lagi lewat di depan beberapa pintu lalu menaiki tangga yang lebar. Tak ada orang di lantai atas ketika ia membuka kunci apartemen. Dengan mudah ia menemukan kamar tidur Fallen. Di sudut kamar ada tempat cuci tangan dengan keran air panas dan air dingin. Di atasnya, dalam lemari kaca, tersimpan berbagai macam tube, tempat krim, dan botol-botol obat. Tangan Zata bekerja dengan cepat dan cekatan. Apa yang harus dilakukannya tidak membutuhkan waktu lama. Ia sudah turun ke lantai bawah dan berada dilorong pintu masuk utama ketika gadis keluar dari kamar lain. Wajah gadis itu terlihat marah dan kesal. "Beres?" katanya singkat. Gadis menggamit Zata, mengajaknya masuk ke ruang kamarnya dan menutup pintu. Katanya, "Dengar, Zata. Gua gak suka ini.” "Apa yang lu gak suka, apa? hah?"sinis Zata Gadis itu menggeleng samar. Katanya, "Gua ketemu Fallen kemarin pagi. Dia kelihatan menyedihkan. Digenggamnya kedua tangan Zata. Katanya, “Berat sekali buat gua, Zata. Tapi Fallen udah lakuin yang terbaik... satu-satunya hal yang bisa dia lakuin." "Sebab itu," kata Zata, "Lu datang nemuin gua?" Gadis itu mengangguk. Ia bertanya, "Lu bisa lakuin sesuatu?" Zata menjawab, "Gua kagak tahu. Tetapi, setidak-tidaknya gua bisa pergi kesana dan melihat sendiri."Secara halus Zata mengalihkan percakapan dan menyinggung Malaikat Putih. "Malaikat Putih?..emmhh Malaikat Putih? Gua kagak kenal dia…”jawab gadis itu mengedik bahu. “Nih kuncinya! Gua heran ya, koq bisa Falcon titip apartemennya ama cewek model elu”kata Zata membalik badan berlalu. Gadis cuma mendengus dengan mulut manyun. Mereka semua sama aja, jutek! gerutunya. Disebuah lorong di seberang jalan Oki dan Arga sudah menunggunya, “Falcon telpon gua, kita kudu ati-ati sama cowok kemaren, namanya Rad. Cucu orang tajir, tapi ternyata cewek yang namanya Adel itu udah keduluan rekrut dia. Dia Oneironaut natural, makanya dia cepet tanggap tanpa perlu dilatih”kata Arga “Udah lu beresin semua? Falcon curiga ada yang udah ngincar dia, kalo gak polisi ya Malaikat Putih…”kata Oki menggandeng pundak Zata. “Malaikat apaan make topeng mulu, jangan-jangan mukanya bopeng lagi bekas cacar, hahahaha….”ledek Zata. Mereka tertawa ngakak. Tak lama sekelebat bayangan melintas. “Hmmm… bener kata mak gua, dinding aja punya telinga!”cibir Arga. “Berarti lu biang gossip juga dong kayak emak lu, eh?”timpal Oki dengan mimik yang aneh. “Setan lu!!”maki Arga menyikutnya. Zata terdiam sesaat. Lalu dengan isyarat ia mengajak keduanya berpencar dengan melakukan free running. Dari kejauhan seseorang mengawasi ketiga pemuda yang tangkas melompati bangunan-bangunan dan lenyap entah kemana. “Falcon memang hebat dengan prajurit indigo dan melatih mereka menjadi traceur.”kagumnya. Memang banyak kemiripan dalam keempat orang yang tergabung dalam tim Falcon dengan penampilan yang eksentrik. Tindik, tato dan baju berwarna gelap. Empatik, penuh rasa ingin tahu, berkeinginan kuat, independen, dan sering dianggap aneh oleh teman dan keluarga, mengenal dirinya dan memiliki tujuan yang jelas, memiliki spiritualitas di bawah sadar yang kuat semenjak kecil, meyakini bahwa dirinya layak untuk berada di dunia. Zata dengan lega melompat lalu mendarat dengan posisi stand up. Tepat didepan kamarnya, “Zata….! Oh Tuhan, lama-lama kamu semakin mirip seperti tokoh kartun yang sering kau tonton? Siapa yaa ummhh Gaara… Godaime Kazekage.. itu..kartun Naruto ah! iya Naruto..”tebak Ariga kakaknya yang bekerja di Bank, kontras sekali penampilan mereka berdua. “Cih!.....”decak Zata membanting pintu kamarnya. **** Damar dan Kaila memasuki lorong utama dan bertemu dengan penyelia gedung, mereka menanyakan letak apartemen Fallen berdasarkan alamat yang diberikan oleh Milly, sepertinya penyelia itu cukup waspada mau tak mau Kalia mengeluarkan identitasnya. Tiba-tiba terdengar sebuah suara tak sabar memanggil dari kamar seberang. "Dokter... tolong aku butuh dokter, panggilkan dokter sekarang, aku hampir gila!!!"jeritnya panik Kaila bergegas masuk ke kamar itu. Damar dengan kursi rodanya mengikuti. Kamar tidur itu benar-benar kacau keadaannya, serbuk-serbuk bertebaran di lantai, tempat obat dan berbagai perlengkapan kosmetika, terguling dimana-mana, pakaian berserakan dari lemari. Ia kelihatan gelisah dan berteriak-teriak tak jelas. Di tempat tidur terbaring sesosok gadis, rambutnya pirang tidak wajar dan wajahnya kosong namun berkesan liar. Gadis itu berseru, "Ada yang menaruh ulat belatung merayap-rayap di sekujur badanku, sungguh. Aku berani sumpah. Aku hampir gila. Demi Tuhan, suntiklah aku."pintanya memelas. Kalia sudah memanggil dokter lengkap disertai ambulan, dokter itu berdiri di samping tempat tidur, suaranya menghibur dan amat profesional. Diam diam Damar keluar dari kamar itu. Ada satu pintu lain di seberangnya. Ia membukanya. Ruangan itu kecil-kecil sekali, perabotannya amat sederhana. Di tempat tidur, terbaring seorang gadis kurus, tak bergerak-gerak. Damar menggerakkan kursi rodanya mendekati tempat tidur dan memandangi gadis itu. Rambut hitam, wajah yang panjang dan pucat... dan... ya, masih amat muda. Secercah warna putih tampak kemilau di antara pelupuk mata gadis itu. Matanya terbuka, kaget, dan ketakutan. Ia terpana, lalu duduk, dan menggerakkan kepalanya kebelakang, seakan hendak menyisihkan rambutnya yang hitam lebat kebiru-biruan menggunakan toning. Ia bagaikan bocah yang ketakutan... badannya mengerut... beringsut menjauh... bagaikan binatang liar yang mengerut melihat ada orang asing menawarinya makanan. Ia berkata, suaranya amat muda, sepertinya ia sedang meyakinkan dirinya tidak sedang berdelusi. Lelaki dihadapannya itu nyata, dan tergesa, "Siapa Anda?"tanyanya. "Jangan takut, nona."kata Damar menyabarkan "Di mana dokter? Apa Falcon sudah datang? Aku perlu dia sekarang!"rengeknya setengah menjerit.Tepat saat itu dokter muda itu masuk ke kamar. Gadis itu menatap seragam yang dikenakan pria muda dihadapannya berkata dengan suara lega, "Oh, syukur kau datang. Siapa dia?" "Ini kawanku, benar kau bernama Sheila. Bagaimana perasaanmu sekarang?" Gadis itu berkata, "Tidak karuan. Bingung..., Mengapa aku ikut-ikutan mencoba serbuk yang menjijikkan itu?" Dokter muda itu berkata datar, "Kalau aku jadi kau, aku takkan mengulanginya." "Tidak... takkan pernah lagi."ketusnya lemah. Damar tanya "Siapa yang memberi Anda?" Mata gadis itu melebar, bibir atasnya bergetar sedikit. Katanya, "Mereka menyediakannya di sini..., di pesta ini. Kami semua mencobanya. Mula-mula... rasanya hebat sekali." Kaila datang, ia memegang bahu pamannya dari belakang. Damar bertanya lembut, "Tapi siapa yang membawanya kemari?" Gadis itu menggeleng. "Entahlah, saya tak tahu.... Mungkin Falcon. Tapi saya tak tahu apa-apa." Kaila berkata halus, "Apakah ini untuk pertama kalinya Anda menggunakan kokain, Sheila?" Gadis itu mengangguk. "Sebaiknya ini yang terakhir bagimu," sela dokter muda itu dengan cepat. "Ya, kurasa begitu... tapi, tadinya rasanya asyik sekali." "Dengar, Sheila," kata dokter muda itu. "Aku ini dokter dan aku tahu benar apa yang kukatakan ini. Sekali kau terjebak dalam urusan obat bius ini, kau akan menjerumuskan dirimu sendiri, kau akan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan.” Nasehat itu lebih mirip seperti ayah yang tengah memarahi anaknya. “Aku telah melihat banyak kasus kecanduan obat bius. Aku tahu, obat bius menghancurkan seseorang, badannya maupun jiwanya. Minuman beralkohol tak ada artinya jika di bandingkan dengan obat bius. Sekarang juga harus kau hentikan. Percayalah, ini bukan lelucon! Apa yang akan dikatakan ayahmu kalau tahu kejadian malam ini?"tanyanya menatap lekat-lekat wajah gadis belia itu. "Ayah?" suara gadis itu meninggi. "Ayah?" Sheila tertawa. "Kalau saja aku bisa melihat wajahnya sekarang! Dia tak boleh tahu. Dia akan mengamuk!" "Dan dalam hal ini dia berhak marah," tukas dokter muda itu."Dokter... dokter...!" jeritan terdengar dari kamar seberang. Dokter muda itu menggerutu lalu keluar dari kamar itu. Sekali lagi Sheila menatap Damar. Ia kelihatan bingung. Katanya, "Siapa kalian sebenarnya? Dan kalian tak ada di pesta tadi."tunjuknya gemetar kearah Damar dan Kaila. "Tidak, saya memang tak ada di pesta itu. Saya kawan dokter tadi."jawab Kaila."Anda juga dokter? Anda tidak kelihatan seperti dokter."pandangnya curiga. Gadis itu tertegun, kebingungan. Ia terbelalak menatap Damar dalam beberapa lama dan kembali meracau tak karuan.... **** "Nama saya?,"tanya dokter muda itu, dengan sikap tenang, agar pernyataan sederhana itu menimbulkan kesan bagaikan tirai pertunjukan yang pelan-pelan terbuka, "nama saya Dimas...”Kata-kata itu berhasil menimbulkan kesan tertentu. Damar tersenyum mengenalkan namanya. Ternyata dokter muda itu pernah mendengar namanya. Dengan sopan Damar pamit meninggalkan dokter muda yang mulai sibuk dengan dua gadis yang menjadi korban pesta kokain di apartemen dimana Fallen tinggal. Falcon? Siapa lagi sekarang?dengus Kaila. Setelah menanyakan ciri-ciri orang yang mereka panggil ‘Falcon’. Dengan sigap Kalia menunjukkan foto Fallen. “Ya itu Falcon, tapi dia pergi beberapa hari, mereka mengambil kokain itu dari kamarnya.”kata gadis berambut hitam itu sebelum dimasukan kedalam mobil ambulan. “Ok! Tinggal memberitahukan orangtua para gadis itu sekarang. Oh ya…keponakan, seleramu bagus juga.”sindir Damar. Kaila mengeryit alisnya. “Maksud, om?”tanyanya. “dokter Dimas, dia memang cocok denganmu.”tandas Damar. “Sepertinya aku sedang diinterogasi seorang paman? Baiklah… kami menjalin hubungan tiga bulan yang lalu”jawab Kaila menyerah sambil menggaruk alisnya.(bersambung)
Posted on: Sun, 14 Jul 2013 15:57:18 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015