Judul: k-light 2: forest war 4tall crystals genre: fantasy/ - TopicsExpress



          

Judul: k-light 2: forest war 4tall crystals genre: fantasy/ sci-fi By: Avans Cross lines [avanscrosslines.blogspot] info: babnya panjang-panjang moga ga mabok bacanya hahaha BAB 2 KISAH LALUKU 2 tahun yang lalu… Kita masih memandang Sunset dijembatan itu. Indah. Karena ini bukanlah musim panas. “Kamu, tidak akan masuk kesana?” tanyaku meyakinkan. “Tidak akan,” jawabmu tegas. “Kenapa? Bukannya kamu pernah bilang bahwa kamu ingin mengikuti jejak Ian?” tanyaku memandangnya yang sedang menatap ke arah matahari. Mata abu-abunya tampak jingga dan bersinar oleh cahaya lembayung senja. “Dan bukankah perusahaan itu pernah dimiliki orang tua kandungmu?” tambahku sedikit ragu. Kamu melirikku. “Darimana kamu tahu?” tanyamu. Aku hanya tersenyum. “Iya. Aku lupa kamu itu memang gadis pintar. Komputerku, emailku, segalanya. Kamu mengetahui kata sandinya,” tambahmu tersenyum tipis. “Dengan kamu masuk ke perusahaan itu kamu bisa mencari tahu tentang orang tuamu,” ucapku. “Tidak! Aku tidak ingin mengetahui tentang mereka lagi. Mereka sudah mati!” jawabmu terlihat emosi. Aku hanya diam. Tak berani berkata-kata. “Maafkan aku, Shan,” timpalmu segera. Tadinya aku ingin menanyakan tentang alasannya tapi aku urungkan niatku tak ingin menambah bebanmu lagi. “Lalu apa yang akan kamu lakukan mulai dari sekarang dan kedepannya?” tanyaku menyentuh pundakmu yang tinggi. Sepantar dengan kepalaku. “Aku akan bekerja di Vereyon bersama kakakku dan aku ingin… mengalahkan sang raja,” ucapmu pasti. Kamu memejamkan mata. Merasakan hangatnya kilauan senja menembus kulit putihmu yang pucat itu. *☼* Setelah kutukan itu hilang dari tubuhmu. Matamu kembali berubah seperti mata ibumu, abu-abu. Kamu bilang padaku bahwa kamu punya takdir baru. Takdir untuk menyelamatkan anak-anak. Setidaknya, anak-anak di desaku dan beberapa desa di sekitarnya. Kamu diberi kesempatan olehnya. Oleh sesosok makhluk yang kamu bilang sang raja ketakutan. Diberi kesempatan untuk bertarung dengannya dan menyelamatkan anak-anak untuk selamanya. Kamu, menyuruh Ian dan aku membuat senjata. Dan kamu sendiri yang mendesain senjata-senjata tersebut. Senjata-senjata yang tadinya kita pikir bisa mempermudah kita dalam memusnahkan mereka. “Danny, kau yakin akan melakukan pertarungan ini lagi?” Tanya Ian padamu. “Kenapa kak Ian bertanya seperti itu?” tanyamu curiga. “Bukankah kamu sudah pulang kedunia ini? Dengan selamat? Dan kita semuapun selamat? Tak ada yang mati. Lagi pula kamu sudah terbebas dari kutukan itu? Untuk apa kita melawan mereka lagi?” tanyaku bertubi-tubi. “Aku hanya ingin menyelamatkan anak-anak,” jawabmu tampak memelas. Membuat hatiku terharu. Bahkan tak ada orang yang tersentuh hatinya saat mendengar jawaban mulia itu. “Dan aku, tidak akan memaksa kalian ikut dalam pertempuran ini,” tambahmu bersikap bijak. “Tidak! Aku akan ikut!” kataku ngotot. Seperti biasa kamu hanya senyum melihat wajahku yang tampak konyol. “Pasti aku juga akan ikut!” timpal Ian. Kamu berpikir sesaat. Tapi saat itu kamu belumlah egois. “Baiklah,” jawabmu pelan. Saat itu, baru setahun aku belajar dan bekerja di Universitas Kie Light. Aku memilih jalan itu dari hal yang aku inginkan dulu. Yaitu langsung bekerja di perusahaannya. Tapi aku ingin lebih maju dan lebih sukses dengan masuk ke Universitas yang masih baru dibangun tersebut. Untunglah aku bisa masuk ke Universitas tersebut tanpa biaya berkat Ian. Ian yang dulunya hanya sebagai kepala bagian kini [2 tahun lalu] naik jabatan menjadi salah satu manager bagian Weapon Production. Bagian yang memproduksi senjata dan alat-alat tajam. Universitas Kie Light sendiri, dibangun dengan tujuan untuk mencari tenaga-tenaga kerja yang professional, pintar dan bertanggung jawab. Dengan masuk ke U.K.L tersebut otomatis kami telah dianggap sebagai pegawai mereka. Karena disana tidak hanya diajarkan materi standar mata kuliah ditambah dengan teori-teori kepegawaian, produksi, pemasaran, kewirausahaan, dan sejenisnya. Tapi kami juga bekerja langsung menjadi karyawan mereka dan bahkan kami juga dituntut untuk menguasai bidang bagian produksi tertentu dan menciptakan sesuatu produk baru dari bidang yang kami tekuni. Dan tentu saja kami digaji oleh mereka. Pencarian bidang bagian ini tidak ditentukan oleh kami sendiri tapi oleh semua dosen dan kepala manajer bagian. Dibutuhkan waktu satu tahun agar mereka memutuskanku, kami menekuni satu bidang. Tak banyak yang lolos saat pemutusan itu. Aku beserta puluhan orang lain dari 1000 orang Lolos masuk ke tingkat 2. Dan aku ditempatkan untuk fokus di bidang bagian persenjataan. Bukan cuma aku seorang tapi berdua bersama orang yang terus menggodaku, Shen. Posisiku saat itu berstatus karyawan eksklusif yang artinya hanya sebatas asisten desainer senjata dan masih harus mengikuti pelatihan kembali sebelum benar-benar menjadi seorang desainer. Sedangkan Shen dipromosikan sebagai asisten kepala produksi yang bertanggung jawab atas kinerja karyawan-karyawan dibawahnya. PT. KIE LIGHT adalah perusahaan yang sangat besar tak mudah untuk menjalankan perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut memiliki lebih dari 100 ribu karyawan. Dengan urutan tingkatan jabatan yang sangat panjang dan banyak. Bayangkan saja Perusahaan itu di Negara Indo dimiliki oleh 10 orang, dengan tingkatan 1 direktur utama, 100 direktur bagian, 100 manager utama, 1000 manager bagian, 10000 kepala bagian: desainer, pemasaran, produksi, teknisi, dll, puluhan karyawan esklusif [baru ada saat universitas itu didirikan], dan 100000 karyawan bawahan [dalam 1 perusahaan]. Di Indo setidaknya terdapat 5 perusahaan bernama sama dan didunia terdapat 100 lebih perusahaan bernama Kie Light tersebut. Menjadi seorang karyawan eksklusif memiliki banyak keuntungan. Kami tidak perlu bekerja bertahun-tahun agar dapat naik jabatan. Asalkan kami memiliki kemampuan setidaknya setara dengan kepala bagian. Kami otomatis akan dipromosikan menjadi salah satu dari kepala bagian tersebut. Tentu saja dengan syarat yang juga tidak mudah. Aku yang hanya berstatus karyawan eksklusif desainer atau asisten kepala desainernya hanya diberi izin untuk memberi pendapat dan saran tentang bentuk-bentuk senjata yang akan dibuat. Belum diberi izin untuk mendesain senjata itu sendiri. Dan rencana kita tahun itu untuk membuat senjata maupun membawanya keluar dari perusahaan akan sangat sulit. Meskipun Ian adalah manager Weapon Production, dia tidak bisa mengirim desain senjata-senjatamu untuk diproduksi tanpa persetujuan kepala desainer. Kepala desainerku adalah seorang wanita berumur 26 tahun. Dia adalah putri sulung manager utama. Atasan Ian. Itulah alasan kenapa dia tidak bisa memproduksi desain senjatamu itu. “Pembuatan senjata itu akan sulit dilakukan,” ucap Ian padamu. “Lalu bagaimana sekarang?” kataku. “Kita gunakan kembali senjata masa lalu kita,” katamu. “Tapi senjataku telah patah. Bahkan ada yang hilang,” kataku meyakinkan. Aku melihatmu tampak berpikir. “Apa perusahaan itu tidak menciptakan senjata sejenis pedang dan semacamnya?” tanyamu. “Pedang, samurai dan sejenisnya. Produksi senjata itu sudah mulai menurun. Saat ini senjata seperti itu tidak digunakan untuk perang atau keamaan. Hanya diproduksi sebagai pajangan rumah saja,” ujar Ian. “Lalu apa yang kalian banyak produksi saat ini?” tanyamu penasaran. “Apapun. Pistol, revolver, assault riffle, rocket, bom, senjata mesin dan senjata api lainnya,” jelas Ian. “Kita gunakan saja senjata-senjata itu,” usulmu. “Tapi tidak mungkin itu bisa mengalahkan mereka. Peluru senjata itu bukan terbuat dari logam kemenangan,” ucapku. Kamu malah tersenyum. “Kita buat saja pelurunya dari logam kemenangan itu,” usulmu lagi. “Dan logamnya dari mana?” tanyaku lagi. “Seperti kataku sebelumnya. Kita leburkan senjata kita dan jadikan peluru,” ucapmu. “Itu tidak akan cukup. Lempengan logam senjata keramat itu tidak akan bisa menciptakan peluru yang banyak. Kita butuh banyak amunisi jika ingin menggunakan senjata api,” desak Ian. “Kalau begitu lapisi saja pelurunya dengan selembar tipis cairan logam kemenangan atau celupkan saja ujung peluru aslinya pada carian logam tersebut,” katamu tak kehilangan akal. “Cuma butuh goresan kecil saja kan untuk memusnahkan mereka? Itu sudah cukup. Aku kira sebuah peluru dapat menembus puluhan Sandekala. Atau sebuah bom yang diledakan kemudian serpihan-serpihannya menyebar melukai mereka semua,” tambahmu. Menurutmu awalnya. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa aku dan Ian setuju dengan pendapatmu itu dan itu memang masuk akal. “Baiklah,” ucap Ian. “Tapi, bagaimana kita bisa membawa senjata itu keluar dari perusahaan?” tanyaku. “Shanty, memangnya kamu lupa siapa aku ya?” Tanya Ian nyengir. “Tapi bagaimana, hal itu akan tetap diketahui pihak lainnya,” ucapku. “Tenang saja. Kepala bagian pemasaran, Inventori, dan pengiriman bisa kuatasi. Aku tetap atasan Weapon Production,” ucap Ian mengingatkanku. “Tapi ada hal lain yang tak bisa kuatasi,” tambah Ian. “Apa?” tanyamu. “Peleburan senjata kita. Kepala bagian produksi tidak boleh mengetahui tentang peleburan itu. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya?” ucap Ian. “Aku heran bukankah nama jabatanmu itu menunjukan dengan pasti apa tugasmu. Manager Weapon Production. Yang artinya justru lebih bisa menguasai bagian produksi itu sendiri kan?” heranmu. “Iya aku tahu tapi kepala bagian produksi tidak seperti kepala bagian yang lainnya. 40 tahun dia mengabdi di perusahaan itu sebagai kepala bagian produksi senjata dan belum pernah ada yang menggantikan posisinya. Itu karena ketelitiannya dalam mengawasi bahan produksi maupun karyawan bawahannya sangat ketat. Sehingga dia sangat dipercaya oleh manager utama. Aku tak akan bisa memintanya meleburkan logam-logam kemenangan itu. Logam-logam yang harusnya dijadikan perhiasan,” ujar Ian panjang lebar. “Bagaimana jika dileburkannya lewat…” ucapmu. Namun Ian langsung memotong perkataannya. “Aku tidak bisa Danny. Itu akan semakin rumit. Aku tidak punya koneksi dengan kepala bagian produksi perhiasan ataupun managernya,” ucap Ian. “Aku belum mengatakan apa-apa,” ucapmu pada Ian. “Iya tapi aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kau menyuruh aku meleburkan senjata itu dibagian peleburan produksi perhiasan kan?” tanya Ian memastikan. Kamu hanya bisa diam tanpa kata. Aku berpikir sesaat. “Siapa nama kepala bagian produksi itu?” tanyaku pada Ian. “Erland. Nama kakek tua itu,” jawab Ian tampak aneh mukanya saat mengatakan namanya. “Mungkin kita bisa merundingkan ini dengannya?” saranku pada Ian. “Tidak. Aku tidak mau,” ucap Ian menggeleng seperti ketakutan. Trauma dengan nama itu. “Terakhir aku berurusan dengannya. Membuat kesalahan sedikit saja saat aku jadi bawahannya, aku bukan hanya dimarahi. Tapi juga dinasehati habis-habisan. Berjam-jam duduk diruangannya. Mendengarkannya bicara ini itu tentang kehidupan. Seperti seorang guru yang mengajari anak sd…” ucap Ian tampak konyol. Kata-katanya langsung terhenti saat kita tersenyum menatapnya. “Apa?” tanyanya. “Tidak apa-apa,” jawabmu. “Aku punya orang dalam. Asisten kakek tua itu,” ucapku. “Siapa?” Tanya Ian. “Namanya Shen Alvaconi,” jawabku menatapmu sembari tersenyum. Raut mukamu tampak kesal saat aku menyebutkan namanya tapi kamu mencoba untuk meredam rasa cemburu itu. Perundingan besar-besaran dilakukan hal ini yang sedikit aku benci. Aku harus berunding dengan lelaki itu. Huft. Aku duduk berdua dengannya di meja kantin. shen nyengir sedari tadi. Terus tersenyum padaku. Menatapku seperti menatap putri raja tanpa berkedip. Membuatku jadi salah tingkah. “Bisa tidak jangan menatapku seperti itu?” pintaku tampak kesal. “Iya. Baiklah. Ada apa? Tak biasanya kamu mengajak ngobrol empat mata denganku,” tanyanya. “Aku punya permintaan darimu,” kataku padanya. Dia hanya tersenyum. Aku jelaskan semua padanya berharap dia mau membantuku tapi ada hal yang membuatku terkejut saat itu dan hal itu membuatku mendadak kesal padanya. “Tidak Shan, aku kapok dimarahi pak tua itu lagi. Aku tidak mau lagi. Apapun alasannya,” ucap Shen. “Please…” ucapku memohon terpaksa menunjukkan raut muka memelas padanya. Dia terlihat seperti tidak tega padaku. “Baiklah. Tapi aku punya permintaan,” pintanya. “Apa?” tanyaku. “Bawa aku ikut bertarung bersama kalian,” ucapnya. “Apa kau sungguh-sungguh percaya perkataanku itu mengenai ‘mereka’?” tanyaku heran. “Ya, memangnya kenapa?” tanyanya balik. “Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir mungkin anak kota ‘modern’ sepertimu tidak percaya dengan mitos. Apalagi soal berperang dengan mitos itu sendiri,” ucapku. “Apa aku belum pernah cerita padamu ya, bahwa aku juga pernah melihat makhluk itu. Meskipun singkat,” balasnya. “Baiklah…” ucapku menghembuskan napas berat. Tak ingin bertele-tele dengannya lagi. “Akan aku ajak kau jika kau berhasil membujuk pak tua itu.” Jam istirahat makan siang pun berakhir. Aku pergi dari kantin. Membawa tas selendangku dari ruangan Miss Alley, kepala desainerku itu. Aku harus pergi ke ruang kelas mengikuti beberapa jam pelajaran di kampus U.K.L sebelum bekerja kembali dengan wanita itu. Universitas itu terletak beberapa ratus meter dari perusahaan. “Shan!” panggil seseorang dari belakang mahasiswa lain yang juga menuju ke Universitas tersebut. Aku lihat Shen disana. Wajahnya kusam dan pucat. Seperti habis melihat hantu. “Dia ingin bertemu langsung denganmu,” ucap Shen pelan. “Kau kenapa?” tanyaku heran. “Masuk saja ke ruangannya dan kau akan merasakannya sendiri,” ucapnya emnarik lenganku membawaku ke lokasi pak tua itu berada. Perusahaan Kie Light benar-benar luas seperti kota dalam gedung. Bahkan perusahaan yang menampung karyawan sebanyak itu tidak terlihat terlalu padat. Banyak ruangan, belokan, jalan-jalan kecil yang bercabang dan rumit. Memiliki 70 lantai keatas dan 70 lantai ke bawah tanah. Kami naik lift turun menuju lantai bawah tanah paling dasar. Tempat dimana senjata-senjata rahasia diproduksi. Suasananya cukup panas dan warnanya senja. Aku melihat beberapa titik sudut nyala api diujung. Kami menuju kesana. Berjalan diatas lantai besi carang sehingga kami dapat melihat apa yang ada dibawah kami. Yaitu deretan senjata-senjata yang siap dipasarkan. Banyak karyawan dibawah sana. Bermandikan keringat karena panasnya udara disini. Aku lihat disudut jauh tenyata cahaya itu adalah lelehan cairan logam panas yang mendidih. Kami berbelok ditikungan pertama. Menuju sebuah ruangan berwarna putih, cerah, dan sejuk. “Tunggu disini,” ucap Shen langsung keluar dari ruangan itu. Aku duduk di sebuah sofa yang empuk dan nyaman membuatku relax. Karena di ruangan yang tak terlalu besar ini udaranya sejuk. Rasanya seperti menemukan oase di gurun sahara. Atau rasanya seperti singgah di beranda surga setelah tadi berjalan-jalan di halaman neraka. Tak lama kemudian seseorang masuk. Seorang bapak cukup gendut berumur 60 tahun yang memakai kemeja dan helm kerja berwarna kuning. Kulitnya coklat berpeluh keringat. Rambutnya putih dengan kumis tebal yang juga putih. Meski ada beberapa helai yang masih hitam. Dia terlihat garang. Dibelakangnya, Shen mengikuti dan duduk disampingku. Sedangkan bapak berplat nama Erland didadanya itu duduk dibalik meja kayu didepan kami. “Keluarlah Shen. Kerja kembali atau mengikuti pelajaran disana. Terserah kau. Aku ingin bicara berdua dengan nona muda ini,” ucap pak tua itu. Shen langsung keluar dari ruangan itu dan pergi entah kemana. “Jadi, ada yang ingin kau bicarakan, nona?” tanyanya. Sopan namun tegas. Jantungku berdegup kencang. Belum apa-apa aku sudah merasakan sesuatu yang janggal disini. “Begini, pak…” ucapku mengawali. Dia menatapku lekat dan dalam. “Seperti yang Shen bilang…saya mau meminta izin untuk…” aku diam kebingungan. Apalagi bapak itu memperhatikanku dengan serius. “Meleburkan sesuatu,” tambahku. “Iya terus. Apa yang ingin anda leburkan?” tanyanya. “Iya seperti yang Shen bilang ke bapak. Meleburkan… sejumlah…. lempengan logam…” jawabku terputus-putus. “Logam apa? Dan untuk apa?” tanyanya ganas. “Seperti yang Shen bilang. Logam-logam itu emas… perak… perunggu…” ucapku sembari tersenyum sinis. Namun ekspresinya dingin. Tak berkomentar seperti menunggu jawaban dari pertanyaan keduanya. “Itu untuk dijadikan senjata… eh maksudku dijadikan peluru. Eh bukan! Dijadikan pelapis peluru… maksudku. Eh maksud saya. Hehehe..” ucapku gugup bukan main. Mentalku langsung ciut karena raut mukanya. Dia membuatku jadi salah tingkah sendiri. “Untuk digunakan apa peluru berlapis emas itu? Peluru apa yang akan dilapisi emas itu?” tanyanya lagi. “Untuk menembak sesuatu. Aku tidak tahu peluru apa. Mungkin pistol. Atau bom atau Shot gun. Apapun,” ucapku. “Meleburkan emas, untuk dijadikan pelapis peluru pistol yang akan digunakan untuk menembak sesuatu?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk pelan. “Berapa peluru yang ingin dilapisi? Digunakan untuk menembak apa? Dan darimana kamu punya pistol?” tanyanya bertubi-tubi. Aku kebingungan sendiri mendengar pertanyaan-pertanyaannya. Tak mampu berkata-kata. Mana aku tahu berapa peluru yang bisa dilapisi oleh lelehan logam kemenangan dari seonggok lempengan pedang-pedang yang patah. “Kami pinjem senjatanya, kami ingin berburu Sandekala!” ucapku spontan. Kebingungan bukan main. Aku seperti diinterogasi oleh pak tua itu. Lebih baik jujur saja sekalian toh akhirnya dia bakalan tahu juga. Aku harap dia mengerti dan tidak bertanya lagi. Namun aku lihat mukanya tampak geram. “Hey, nona muda! Memangnya perusahaan ini milik nenek moyangmu ya? Seenaknya saja ingin membuat peluru, berburu mitos. Buat apa? Tidak ada gunanya? Memangnya kamu mau ya aku laporkan pada dosenmu?! Atau pada atasanmu itu? Sudah tua masih berkhayal tentang makhluk-makhluk mitos. Sekalian saja kau berburu beberapa peri kecil dan bawa padaku?” geram pak tua itu berdiri mengoceh tepat dihadapanku sembari menunjuk-nunjuk mukaku. “Kamu disini untuk belajar! Kamu disini untuk bekerja! Belum juga jadi staff penting sudah berani-berani meminta hal yang aneh-aneh. Bilang mau pinjem senjata lagi, memangnya mainan? Bisa-bisa aku laporkan kamu keatasan. Mungkin kamu bakalan dipecat. Masih untung dipecat bagaimana kalau dilaporkan ke polisi?....” pak tua itu terus bersungut-sungut padaku. Tak peduli meskipun pada gadis secantik aku. “Hey, nona, hidup itu penuh tantangan. Tidak mudah menghadapi tantangan. Kau harus berjuang untuk mendapatkan apa yang kau mau bukan berharap dari orang lain. Kau bukan siapa-siapa bagiku? Hanya anak kecil? Kau tidak bisa mengalahkanku? Butuh waktu bertahun-tahun agar kau bisa mengalahkanku tahu!” katanya mulai melebar. Membuatku tidak mengerti dengan kata-katanya yang berbelit. Membicarakan hal ini dan itu dan kebanyakan soal perjuangan hidup. Mukaku pucat, telingaku sakit, dan badanku panas dingin dibuatnya. “Kau tahu nona, kenapa aku bertahan diposisiku selama 40 tahun?” tanyanya. Aku menggeleng. “Butuh perjuangan besar agar aku tidak dilengserkan oleh orang-orang muda seperti kalian. Kau tahu aku hanya lulusan sekolah dasar saat masuk ke perusahaan ini. Tapi seseorang, salah seorang pemilik perusahaan ini mempercayaiku diposisi ini. Hingga akhir hayatnya dia percaya padaku dan beberapa pemilik lainpun mempercayakan hal ini padaku. Kau tahu kenapa?” tanyanya diujung pembicaraan. Aku menggeleng lagi. “Karena aku bahagia bekerja di perusahaan ini, bangga dengan posisiku, tekun, rajin, tegas, dapat dipercaya, aku pekerja keras tak pandang bulu, dan tak akan pernah ada orang yang bisa merubah keputusan yang telah aku buat,” ujarnya melebar. Mengoceh lebih dari satu jam. Tempat yang tadinya aku anggap beranda surga ini jadi terasa panas, keringat dingin mengucur didahiku, jantungku berdebar. Dia bahkan tak memberiku seteguk air untuk membasahi tenggorokanku yang kering ini. Dia tiba-tiba terdiam. Menghembuskan napas berat. Dia mengusap wajahnya dengan sehelai sapu tangan yang ada di saku kemejanya kemudian duduk di kursinya kembali. Aku tertunduk. Lelah mendengar perkataannya. “Siapa namamu?” tanyanya dengan suara yang pelan dan sopan. “Shanty, pak,” jawabku. “Katakan bagaimana rencanamu tentang ‘perburuan’ Sandekala itu?” tanyanya tiba-tiba. Hal yang tak aku sangka-sangka. Tanpa bertanya-tanya lagi aku katakan saja langsung padanya. “Kami akan perang dengan mereka. Menggunakan senjata api berpeluru yang dilapisi logam-logam itu,” jawabku. “Kau percaya mereka ada?” tanyanya. “Bukan hanya percaya tapi kami juga pernah bertarung dengan mereka sebelumnya.” “Kalian menang?” “Tidak. Kami kalah. Hampir semua dari kami mati. Namun seseorang mengadakan transaksi dengan mereka sehingga orang-orang yang telah mati hidup kembali,” jawabku. Menjawab dengan pasti. Aku heran pada pak tua itu. Dia sepertinya mengetahui tentang Sandekala tapi kenapa ketika diawal tadi dia menyebut itu cuma mitos? “Apa tujuanmu perang melawan mereka?” “Dulu menghilangkan kutukan dari tubuh temanku. Sekarang tujuan kami untuk melindungi anak-anak. Kami ingin memusnahkan mereka semua,” jawabku cepat mengimbangi pak tua itu yang bertanya cepat menginterogasiku seperti tersangka. “Senjata apa yang akan kalian gunakan?” “Apapun. Yang menggunakan peluru. Yang bisa meledak, menembak dan memusnahkan mereka dengan cepat.” “Jadi, rencana kalian membuat peluru berlapis logam kemenangan?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk yakin. “Kau pikir kalian bisa menang jika menggunakan senjata api?” tanyanya meragukan. “Ya. Pedang membuat kami cepat lelah dan itulah yang membuat kami kalah. Sedangkan senjata api menggunakan peluru. Tidak perlu tenaga besar.” “Kau yakin?” “Ya tentu saja,” “Bukankah itu artinya kau membutuhkan banyak peluru?” “Ya. Sudah kami perhitungkan. Tapi sebuah peluru bisa menembus puluhan tubuh Sandekala kan?” jawabku meyakinkan. “Dan dari jarak jauh pula menyerang mereka,” tambahku. “Bagaimana jika peluru kalian habis? Kalian tidak bisa menyerang mereka lalu kalian kalah lagi.” “Tak akan. Jikalau itu terjadi kami masih punya waktu untuk kabur,” jawabku sangat yakin. Karena tujuan kita hanya menyerang mereka bukan? Di hutan hitam ratusan meter dari desa. Tak akan sampai gunung Transfranssischo. ada jarak yang cukup untuk kabur seandainya kalah dan seperti kamu kira jika kita membawa ribuan peluru. Tak akan habis dalam waktu 2 jam. “Tadinya, kami ingin membuat sebuah pedang yang dilengkapi pistol. Tapi itu tak akan terwujud tanpa izin dari anda dan tentu saja kepala desainer. Iya kan?” tanyaku memastikan. “Tidak akan pernah,” ucapnya. “Kecuali kamu kepala desainernya. Aku bisa memproduksi senjata desainmu itu,” tambahnya seakan memberiku kesempatan. Tapi aku tak mungkin bisa mengambil kesempatan itu dengan cepat. Tak mungkin wanita itu bisa lengser dari posisinya saat ini? Dan itu artinya aku tak mungkin bisa menjadi kepala desainer kecuali 3 hal. Menunggunya memberikan jabatan itu padaku, menunggu direktur menaikan jabatannya sebagai manager hingga aku bisa menggantikan posisinya. Atau bekerja keras, dan berusaha menjadi lebih baik dari wanita itu. Otomatis aku akan diangkat menggantikan posisinya. Tapi itu butuh waktu yang agak lama setidaknya lulus dari Universitas 2 tahun lagi. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini tentang pembuatan senjata-senjata baru. Kembali ke rencana B tentang pelapisan peluru itu. Aku harus berusaha membujuk pak tua itu mewujudkan rencana kita. “Tak bisa kah anda membantu kami? Soal pelapisan peluru itu?” tanyaku memohon. “Tidak,” ucapnya tanpa ragu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tak mungkin kita bisa melakukan pelapisan itu tanpa bantuan darinya. Aku mencoba sedikit bertele-tele dengannya. “Bapak tahu soal Sandekala? Bapak percaya mereka ada?” tanyaku. Tentu saja dia tahu. Dia orang tua. Dia lahir di masa lalu. Di masa saat mitos diyakini oleh orang-orang akan keberadaannya. “Ya,” jawabnya pelan. “Aku memang munafik mengatakan mereka sebagai mitos belaka. Aku bukan hanya percaya, tapi aku pernah melihat dan bertarung dengan mereka juga,” tambahnya dengan mata memandang ke sudut kosong seakan mengingat masa lalunya. “Kami bertarung dan kami kalah… sesungguhnya aku pun telah mati. Tapi transaksi dilakukan hingga akhirnya kami termasuk aku hidup kembali. Sejak saat itu 30 tahun yang lalu aku tidak ingin berurusan dengan mereka lagi. Berusaha agar aku tidak percaya bahwa mereka pernah ada,” ujarnya. “Apa bapak masih bisa melihat mereka? Apa bapak tidak pernah ada niat bertarung dengan mereka lagi dan menyelamatkan anak-anak?” tanyaku. “Tidak. Aku sudah tidak bisa melihat mereka lagi. Orang bilang bahwa orang tua atau orang dewasa tidak akan bisa melihat mereka jika sejak kecil kau tidak pernah melihat mereka. Itu tidak benar. Mereka ada hanya jika kau percaya dan takut. Itulah yang dialami oleh anak-anak dan sebagian orang tua di desa-desa. Jika kau tidak percaya, mereka tidak akan ada. Tidak akan memunculkan wujudnya dihadapanmu. Mereka tidak akan bisa melukaimu, mengganggumu jika kau tidak mengusik mereka ataupun takut akan keberadaan mereka,” ujarnya. “Tapi, bagaimana dengan anak-anak? Kenapa mereka menculik anak-anak itu?” tanyaku. “Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti hal satu itu. Penjelasanku tadi hanya pendapatku semata,” jawabnya. Membuat aku kesal saja setelah penjelasannya tadi yang sempat memberiku pencerahan soal cara membuat mereka hilang dari muka bumi ini. Membuat anak-anak berani, membuat anak-anak tidak mempercayai keberadaan makhluk itu, membuat anak-anak berasumsi bahwa makhluk itu hanya dongeng dan ilusi semata atau membuat anak-anak percaya mereka tidak akan menyakiti mereka. Itu mungkin cara yang sia-sia. Anak-anak akan sulit dipengaruhi dengan kata-kata itu. Mereka akan tetap memakai pemikiran mereka yang sejak awal telah diterapkan oleh orang tua mereka. Mereka akan tetap takut disaat mereka takut. Mungkin hal ini harus aku tanyakan lagi pada nenekku. Sejak dulu dia tidak pernah menjelaskan apa-apa padaku tentang mereka. Hanya menyuruhku tetap diam dirumah hingga senja berakhir. “Kami harus tetap bertarung memusnahkan mereka. Itu adalah cara satu-satunya yang kami yakini agar mereka pergi,” ucapku. “Tak akan ada gunanya. Mereka tidak akan pernah habis. Jumlah mereka tak terhingga. Lebih berguna jika kau memindahkan seluruh warga desa ke kota atau meratakan desa, hutan maupun gunung untuk dijadikan kota metropolitan. Aku yakin mereka tidak akan pernah muncul lagi,” jawabnya lagi. membuatku semakin kesal. Mana mungkin aku bisa melakukannya? Lain halnya jika aku menjadi direktur utama perusahaan ini, atau jadi salah satu pemilik perusahaan ini, jangankan kota metropolitan mungkin aku bisa membuat manusia berjalan diudara jika aku punya banyak uang. “Tapi… apa anda mau membantu kami soal peluru itu?”pintaku terdengar memelas karena aku sudah lemas. Tubuhku kelelahan mendengar omongannya. “Tidak. Aku tidak akan merubah keputusanku. Kau harus berusaha keras jika kau ingin mendapatkan apa yang kau inginkan,” ucapnya keras kepala tetap bertahan dalam keputusannya. Aku hanya bisa diam dan tak berkata apa-apa lagi. Aku keluar dari ruangannya dan mengatakan kabar kegagalan ini padamu. Tapi kamu bilang masih ada rencana C *☼* Beberapa bulan setelah itu. Tepat sebulan sebelum musim panas tahun lalu… Beberapa pedang patah dan retak. Bahkan ada yang hilang. Itulah terakhir kali kita melihat senjata-senjata keramat kita. Rencana C mu adalah menyelundupkan senjata-senjata itu ke ruang peleburan dibawah tanah itu. Hal yang tak akan mungkin bisa kita lakukan tanpa bantuan orang dalam. Shen akan jadi tokoh utama dalam rencana C ini sedangkan beberapa kepala bagian persenjataan akan menjadi pemeran pendukung. Menciptakan alibi dan mengecoh system keamanan super ketat dibawah komando Ian. Dan seperti kataku, kamu tak akan mungkin bisa menerobos masuk perusahaan ini. Butuh kartu Id staff/ mahasiswa untuk bisa masuk ke gerbang utama perusahaan itu. Dan seperti kataku pula biar aku yang memimpin rencana C ini. Saat senja tiba, aku menyuruh beberapa staff memasukan senjata itu pada truk yang membawa logam-logam mentah. Sedangkan Shen bertugas mengurusi pak tua itu. Mungkin sedikit membuatnya pingsan. Dan Ian mengadakan rapat rekayasa di ruang meeting. Dan itu melibatkan beberapa pihak keamanan. Ruang keamanan, ruang kamera monitor diambil alih oleh beberapa siswa/ karyawan eksklusif lain yang mau bersekongkol menjalankan rencana ini. Truk itu sudah masuk lubang buaya. Lift raksasa yang mampu menampung 10 truk itu turun ke kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah tanah. Dan aku menyusulnya lewat bagian dalam. Menyusul Shen yang tengah menunggu disana. Aku tidak tahu apa yang digunakan Shen untuk membius pak tua itu hingga bisa begitu tertidur pulas di sofa di ruangannya. “Berapa lama obatnya akan bekerja?” tanyaku pada Shen. “Tiga jam,” “Apa itu cukup?” “Pasti. Aku sudah mempelajari dan cukup ahli menggunakan system operasi peleburan dan percetakan kerangka senjata,” jawab Shen yakin. Shen dan aku menuju ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat ribuan tombol control dan kaca layar lebar anti panas yang tepat berhadapan dengan kuali raksasa berwarna merah menyala. Didalamnya hanya tersisa sedikit lelehan logam cair seperti lava. “Bagaimana cara kerjanya?” tanyaku. “Di sebelah kuali itu ada bak penampung. Semua logam mentah dari truk akan ditampung disana kemudian kita tinggal memasukan bubuk logam itu ke kuali dan kita panaskan,” jelasnya. “Bukankah kita harus memisahkan logam tersebut berdasarkan jenisnya?” tanyaku heran. “Tentu saja jika logam-logam itu sendiri mudah dipisahkan. Contohnya saja emas. Mereka tidak menggunakan kuali ini untuk meleburkannya tapi terkadang beberapa gram emas bisa ditemukan diantara ratusan kilo bijih besi. Dan kita bisa memisahkannya. Para ilmuan berhasil menciptakan suatu zat yang bisa memisahkan logam itu secara otomatis dalam bentuk cair,” jawab Shen. Dia langsung memasukan pedang-pedang keramat yang patah itu ke kuali raksasa tersebut dengan menekan salah satu tombol dihadapan kami. “Dalam waktu kurang dari satu jam semuanya akan mencair dengan sempurna,” katanya. Kemudian dia memasukan cairan dari bak penampung lainnya pada kuali tersebut. Itu adalah zat yang dia ceritakan warnanya hitam pekat. Zat itu melebur bersama cairan logam panas. “Kamu lihat disana!” tunjuk Shen padaku sebuah benda kotak besar dengan banyak lubang-lubang yang bercabang. “Itu adalah Filter. Alat yang menyaring cairan logam itu dan memisahkannya. Mengeluarkan berbagai jenis logam pada lubang-lubang itu. Cairan logam akan terus mengalir sampai keruang pembekuan untuk dicetak atau atau hanya dijadikan berbagai lempengan logam padat,” ujarnya. “Apa semua logam itu akan mengalir ke ruang pembekuan yang sama?” tanyaku melihat banyak cabang yang mengarah ke berbagai sudut yang berbeda. “Tidak. Ruang pembekuan logam mulia dan logam biasa. Sebagaimana yang kita tahu bahwa logam dari pedang-pedang itu adalah logam mulia. Cairan logam itu akan mengalir melalui 3 wadah panjang yang mengalir ke ruang pembekuan logam mulia. Ruangan itu dijaga pula oleh kepala bagian produksi perhiasan. Tapi tenang saja, Nora, teman kita. Kamu ingatkan? Dia sekarang menjaga ruangan itu sementara atasannya menghadiri rapat rekayasa yang temanmu buat itu.,” jawabnya menjelaskan. Dia menekan tombol bertuliskan Filterisasi di hadapannya. “Sekarang logam yang kau sebut logam kemenangan itu sedang mengalir ke ruang pembekuan dimana Nora berada,” “Apa kita bisa mengetahui berapa banyak cairan logam-logam tersebut? Apa kau bisa memprediksi berapa banyak peluru yang bisa dilapisi oleh benda itu?” tanyaku. “Tentu. Jangan panggil aku Shen yang pintar jika aku tidak bisa melakukannya. Haha!” ucapnya bangga. Kemudian dia mengutak atik keyboard dan memencet beberapa tombol di hadapannya dan dia menekan tombol terakhir. “Ini dia!” serunya. Dilayar monitor itu muncul data-data yang akurat terpampang jelas. “Terdapat 5 kg Emas, 10 kg perak, dan 30,5-sekian kg perunggu. Jika berat ketiganya disatukan kira-kira 45 kg,” dia menerangkan. “Jika kita ambil 10 gram untuk melapisi sebutir peluru Revolver. Maka itu cukup untuk melapisi 4500 butir peluru revolver,” tambahnya lagi. “Dan senjata apa saja yang akan kita gunakan? Apa hanya pistol?” Tanya Shen. “Satu-satu dari semua jenis senjata yang ada di ruang penyimpanan,” jawabku. “Tapi kita tidak akan bisa melapisi peluru terlalu banyak. Beberapa senjata memerlukan peluru yang besar. Contohnya saja Boom dan Rocket Launcher,” kata Shen. Aku terdiam sejenak. Berpikir sesaat. Tak mungkin kita membatalkan rencana ini. Lagipula musim panas sebulan lagi tak akan ada banyak waktu untuk kita berlatih menembak. Maka aku putuskan Rencana D. “Mungkin jangan dilapisi. Kita potong beberapa mili ujung peluru yang lancip dan menggantinya dengan beberapa milligram logam kemenangan. Menurutku itu cukup dan akan berhasil. Karena ujung peluru yang lancip itulah yang akan menembus tubuh ‘mereka’ bukan samping, atas, bawah, atau belakang pelurunya. Dan untuk beberapa peluru lainnya. Seperti bom dan roket. masukan Serpihan-serpihan kedalamnya agar ketika itu meledak bisa menghamburkan serpihan logam-logam kemenangan yang bisa mengalahkan mereka,” ujartku panjang lebar. “Apa itu masuk akal?” tanyaku pada Shen. “Ya,” jawabnya. Dan rencana itupun dijalankan. 3 jam lebih, akhirnya penggabungan peluru dan logam kemenangan itu berhasil. Menciptakan sebuah peluru berbahan tembaga dengan ujungnya yang terbuat dari emas perak maupun perunggu. Ribuan peluru telah jadi. Lebih banyak dari yang telah diprediksikan. Kira-kira 7000 peluru. Siap dikemas dan diselundupkan keluar perusahaan. Bersama 15 jenis senjata api yang berbeda didalamnya. Misi telah berhasil. Kita kembali berdiskusi. Bersama Ian dan seluruh saudaramu yang lain. Kamu yakin perang menggunakan senjata itu 100% akan berhasil. Yakin bahwa tak aka nada kematian. Tak bedanya dengan aku. Sama yakinnya denganmu. Apalagi aku mengetahui sesuatu. Kita dapat berlatih dengan cepat menggunakan senjata api itu. Tak akan banyak waktu dan tenaga. Cuma harus fokus dan dor! Musuh akan mati. Bukan 1 bukan 2 bukan 3 yang jelas lebih dari sepuluh akan mati dalam satu tembakan. Bahkan minimal 20 katamu yakin. Itupun jika menggunakan pistol biasa. Lain hanya dengan bom, rocket, atau senjata mesin canggih lainnya. Kira-kira 300000 Sandekala bakalan musnah sore itu. Jumlah yang banyaknya 100 kali lipat dibanding saat kita pertama kali bertarung. Semua itu kamu jelaskan padaku. Pada kita semua. Mengubah semua keraguan menjadi kepastian yang mutlak. Tak akan ada kematian, yakinmu sekali lagi. Hari H pun tiba. Tepat akhir musim panas tahun lalu. Puncak dari Sandekala mampu turun mencapai desa dengan jumlah 100 kali lebih banyak dibanding hari pertama musim panas. Kala itu… kita semua sama seperti tadi sebelum bertarung. Berdiri di tepian. Menghadap hutan. Menantang matahari. Mengangkat senjata. Berseru. Melihat kemenangan di depan mata. Tapi semua itu salah. Semua hal yang telah direncanakan gagal total. Berantakan. Hancur lebur. Meninggalkan luka di medan perang. Mengingat kepingan-kepingan sakit saat kita berdiri kepayahan. Memandangi saudara kita tergeletak mati tak berdaya. Tak ada kesempatan untuk membuat mereka hidup kembali. Kita sudah tahu kisah itu. Aku tak sanggup menceritakannya lagi padamu. Itu hanya akan membuatmu tersiksa, semakin terluka, dan menumbuhkan bibit-bibit dendam di hatimu. Tak akan bisa kupungkiri, tak akan bisa kumengelak dan menghindari. Lari dari kenyataan. Berusaha membela diri. Menipu diri sendiri. Bahwa tragedy itu merupakan kesalahanku…juga. Bukan hanya kamu yang merasa bersalah. Bahkan aku merasa kamu tidak bersalah. Akulah yang menawarkan, akulah yang menyarankan, akulah yang mengatur, dan menjalankan rencana persenjataan tersebut. Kamu hanya mendukung, memastikan, dan membenarkan segala logika yang ada. Akulah yang salah. Salah perhitungan melewatkan hukum-hukum fisika yang ada. Melupakan logika yang fatal bahwa segalanya tidaklah seimbang. Ruang-waktu-kapasitas-kecepatan. Hingga akhirnya kita kalah. Hutan hancur, kita terluka, dan mereka tertawa. Kita akan tahu pasti berapa jumlah Sandekala yang akan musnah jika mereka semua berdiri ditanah lapang dan seseorang melemparkan bom emas ketengah-tengah kerumunan makhlut itu. Tapi siapa yang akan bisa menduga berapa yang akan musnah jika bom itu dilemparkan kekerumunan yang sedang berdiri diantara pohon beringin raksasa dan ratusan pohon tinggi berdiri rapat disekitar mereka. Sama halnya dengan peluru pistol. Berhenti melesat ketika sesuatu yang padat tertabrak olehnya. Sungguh kesalahan yang benar-benar fatal. *☼* Aku merasa bersalah Hingga detik ini. Setidaknya akan seperti itu hingga kamu mau tersenyum lagi padaku. Dan itu pasti membutuhkan waktu yang tak singkat. Maka dari itu aku bertekad. Semenjak kepulangan kita tahun lalu. Aku melakukan berbagai riset, percobaan, penelitian, bekerja, belajar dengan serius, mencoba menemukan sesuatu, tak akan mengulang kesalahan sama, dan sebisa mungkin tak akan membuat kesalahan baru. Semuanya ku perhitungkan dengan baik, seakurat mungkin. Hingga akhirnya tercipta senjata-senjata ini. Senjata-senjata yang sedang kita gunakan bertarung saat ini. Dan ini semua tak akan tercipta sempurna[kuharap] tanpa bantuan dari mereka. Teman-teman kita. to be continued... kisah lain ACL di avans cross lines page
Posted on: Sun, 01 Sep 2013 07:33:26 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015