KAMI BANGSA ACEH TIDAK PERLU Transmigrasi JAWA Berapa jumlah - TopicsExpress



          

KAMI BANGSA ACEH TIDAK PERLU Transmigrasi JAWA Berapa jumlah penduduk Aceh sekarang ini? Data yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh untuk keperluan Pemilu 2014, jumlah penduduk provinsi yang memiliki otonomi khusus ini adalah sebesar 5.015.234 jiwa. Lalu berapa angka kemiskinan rakyatnya? Angka kemiskinan di Aceh sebesar 19,46 persen dinilai masih tinggi secara nasional sehingga diperlukan upaya serius menurunkannya, kata Asisten deputi Menko Kesra bidang penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat Hadi Santoso di Banda Aceh. "Kalau dilihat dari sisi urutan secara nasional maka Aceh berada pada urutan ke-29 dari 33 provinsi di Tanah Air," katanya menjelaskan seusai menghadiri pembukaan rapat koordinasi strategi penanggulangan kemiskinan Aceh. (Waspada Online, 10 April 2013). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menyebutkan bahwa jumlah keluarga kurang mampu (miskin) di Aceh tercatat 634.967 rumah tangga atau sekitar 60 persen dari total rumah tangga di Aceh. (Serambi Indonesia, Selasa, 14 Agustus 2012). Data diatas merupakan serangkaian fakta melalui angka persentase yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Tentu saja hal ini membuka mata kita bahwa persoalan kesejahteraan rakyat belumlah selesai di Aceh. Walau secara anggaran, provinsi ini salah satu daerah tingkat I yang punya jumlah dana yang gila-gilaan banyaknya. Kemiskinan rakyat Aceh semakin diperparah dengan korupsi yang terjadi dengan angka yang sangat fantastis sekali. Data yang dikeluarkan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) tahun 2012, menempatkan Aceh sebagai daerah nomor II terkorup di Indonesia. Dengan raihan rangking di urutan II, anggaran rakyat yang dimakan oleh “koruptor” sebesar Rp 669,8 miliar. Sungguh angka yang luar biasa. Beberapa lokasi transmigrasi di Aceh. Ditengah carut marutnya kemiskinan dan ketidakjujuran aparatur pemerintahnya, para petinggi di Aceh kembali membuat manuver baru yaitu dengan penandatangan MoU tentang ketransmigrasian dalam lingkup Kerja Sama Antar Daerah (KSAD) di Indonesia. Aceh menjadi salah satu daerah yang menyatakan siap menerima penduduk “kiriman” dari luar propinsi. Sebanyak 27 Kepala Daerah (Kada) yang terdiri dari 19 Gubernur dan 8 Bupati/Walikota memberikan dukungan terhadap program transmigrasi yang diselenggrakan Kementerian Tenaga Kerja dan Tramsigrasi tahun 2013. 19 Gubernur yang menyatakan dukungannya terdiri dari 5 (lima) provinsi pengirim transmigran (Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Bali) dan 14 (empat belas) provinsi penerima tansmigran (Aceh, Sumbar, Bengkulu, Sumsel, Kalbar, Kaltim, Gorontalo, Sulbar, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultera, Maluku dan Maluku Utara). (JPNN, Rabu, 26 Juni 2013). Pemerintah Aceh dalam hal ini latah dan salah langkah. Juga lupa diri bahwa persoalan kemiskinan di Aceh belum selesai. Seperti kata pepatah lama : Anak di pangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan. Arti pepatah itu secara harfiahnya begini : rakyat sendiri masih lapar dan tidak sehat, Pemerintah Aceh malah menerima rakyat dari daerah lain untuk disejahterakan oleh pemerintah disini. Rakyat Aceh masih banyak yang lapar. Akses terhadap modal sangat sulit sekali. Bahkan banyak diantara rakyat Aceh yang tidak punya lahan. Bahkan di beberapa daerah, sengketa lahan antara rakyat Aceh dengan pemilik modal dari luar masih sangat tinggi sekali. Disisi yang lain, sengketa lahan antara rakyat dengan pemerintah dan TNI/Polri juga masih sering terjadi di negeri yang pemerintahnya kadang tidak tahu diri ini. Koalisi NGO HAM, sempat merilis beberapa contoh kasus sengketa lahan antara rakyat dan pemodal/pemerintah. Sebut saja sengketa lahan antara petani dan perusahaan sawit di Tamiang. Juga sengketa lahan pertanian antara warga dan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) juga di Aceh Tamiang. Kemudian sengketa lahan antara warga dengan TNI di Simpang Keramat Aceh Utara. Sengketa lahan dengan pihak yang sama juga terjadi di Sabang dan Lambaro Skep. Juga sengketa lahan dengan perusahaan di Aceh Barat Daya dan Nagan Raya. Masalah lainnya adalah regulasi yang menyulitkan rakyat Aceh untuk maju. Bupati Aceh Tengah H. Nasaruddin menyebutkan, dukungan infrastruktur sangat berperan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat di daerah ini. Selain infrastruktur jalan, katanya, persoalan lain juga signifikan bagi pemberdayaan masyarakat adalah terkait dengan regulasi kehutanan. “Untuk wilayah Aceh Tengah, hanya 21 persen berstatus sebagai areal penggunaan lain yang selama ini diperuntukkan bagi lahan pertanian, perkebunan kopi, peternakan dan permukiman warga. Sisanya sebanyak 79 persen berupa kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan tanaman industri yang tidak bisa digarap atau dimiliki masyarakat, akibat terbentul oleh keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan RI” (Rakyat Aceh, Kamis 11 April 2013). Apa yang dikeluhkan oleh orang nomor satu di Aceh Tengah itu merupakan keluhan hampir seluruh rakyat Aceh. Keterbatasan lahan akibat berlakunya Undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat merupakan persoalan yang tidak kalah serius. Melihat fakta-fakta diatas, kebijakan pemerintah Aceh yang menjadi salah satu daerah tujuan transmigrasi harus kita tolak secara mentah-mentah. Gubernur Aceh Zaini Abdullah berdialog dengan Menakertrans Muhaimin Iskandar. Foto Atjehpost Penolakan ini bukan karena rasis dan anti kepada pendatang apalagi anti Jawa, namun sebagai upaya membuka mata kita semua, bahwa Aceh belum selesai dengan dirinya sendiri. Aceh masih miskin. Masih bodoh, masih berkonflik lahan dengan pemilik modal. Bagaimana logikanya bila kita menerima transmigrasi ke Aceh, padahal disatu sisi kita sendiri sampai dengan saat ini belum punya lahan untuk tempat menanam ubi. Bagimana kita mau berbagi dengan pendatang yang dikirim secara sistematis dan berjumlah banyak, padahal banyak diantara kita disini yang belum punya rumah, konon lagi bicara sawah, ladang dan empang tempat memelihara ikan. Saya menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh lintas etnis untuk menolak impor manusia dari luar ke Aceh. Kita belum butuh tambahan penduduk. Toh dengan angka yang sudah ada, kita masih megap-megap dalam bernafas, serta masih banyak yang “berak angin” karena belum makan pagi karena tidak punya pekerjaan dan tak punya lahan untuk sekedar menanam ubi kayu untuk makan anak dan istri. * Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan hukum.
Posted on: Sun, 30 Jun 2013 07:15:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015