KEDUDUKAN PETANI PENGGARAP DALAM PERSPEKTIF HAK MENGUASAI OLEH - TopicsExpress



          

KEDUDUKAN PETANI PENGGARAP DALAM PERSPEKTIF HAK MENGUASAI OLEH NEGARA . Abstract This observation examine the position of worker farmers according to Forestry Law No.41/I999 and implement regulation by government No.34/2002 about Forestry system and organizing Forestry, Forest execution planning, Forest usefulness and using Forest area toward farmer conservation forest, that have been cultivated for years and descendingly. And then both are looked by government right. Powered isnt meant having, but it means giving a right. In common explanation 11 (2) UUPA, stated that government power right about owned land, limited its content, mean while about unowned land is wider and full. It means that the country can give that land to someone or legal body with a right according to its aims and needs to the institution (department, board, specific area) to be used for each implementation. The purpose for this observation is that there is important to keep balancing of natural resources by maintaining the function of forest, beside that the society around the forest that have been worked or worker farmers for years and descendingly cant be neglected. The using method of thesis observation is empire juridical, means that studying law used in society. The specification of the research is descriptive, correcting datum is done by browsing / observation and interviewing certain population and using random sampling. Analytical data using is analitycal qualitative technic. In this observation, writer saw, looked that land status of ex-Kerinci Seblat National Park in District of Gunung Raya, Kerinci Regency, Province Jambi is Social Participation System Production (HP3M) possessing forest area by worker farmers is done by agreement from its leaders which everybody ought to pay yearly custom payment on Kenduri sko event (Kenduri adat) . Beside that, the prosperity of people surrounding forest (worker farmers) can be reached because of participation of them on social forest program. So, participation of government (in this case Department of Forestry) in overcoming problem of possessing land have taken attention on people importance around forest and give guidance and socialization about land status to society so that those will know what status of land they worked. Penelitian ini menelaah kedudukan petani penggarap berdasarkan Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan clan Pengunaan Kawasan Hutan terhadap tanah yang merupakan eks hutan lindung, yang telah digarap selama bertahun-tahun dan turun termurun. Kemudian keduanya ditinjau dari hak menguasai negara. Dikuasai bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang. .Dalam Penjelasan Umum 11(2) UUPA menyebutkan bahwa hak kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak, dibatasi oleh isi dari hak itu, sedangkan terhadap tanah yang tidak dipunyai dengan sesatu hak adalah lebih luas dan penuh. Dengan demikian maka negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukannya dan keperluannya kepada suatu badan penguasa (departremen, jawatan, daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Tujuan penelitian ini dimaksudkan bahwa perlunya menjaga keseimbangan sumber daya alam dengan mempertahankan hutan dengan fungsinya, di samping itu bahwa kehidupan masyarakat sekitar hutan yang telah bekerja sebagai petani penggarap selama bertahun-tahun dan secara turun temurun tidak dapat diabaikan begitu saja. Metode penelitian yang diguriakan dalam penelitian tesis ini adalah Yuridis empiris, yaitu mempelajari hukum diterapkan dalam masyarakat. Spesifikasi penelitian ini bersifat deslcriftif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan/observasi dan wawancara/interview, penentuan populasi dan sampel mengunakan random sampling. Telcnik analitis data yang digunakan • teknik analisis kualitatif. . Dalam hasil penelitian tesis ini penulis melihat, mengamati bahwa status tanah eks Taman Nasional Kerinci Seblat dikecamatan Gunung Raya Kabupaten Kennel Propinsi Jambi adalah hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M) penguasaan tanah kawasan hutan yang dilakukan oleh petani penggarap tersebut dilakukan atas persetujuan tokoh-tokoh adat setempat yang mana masyarakat diwajibkan membayar iuran adat yang dibayar setiap tahunnya pada acara kenduri sko (kenduri adat) . Oleh karena itu peranan pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) dalam menyelesaikan sengketa penguasaan tanah hams memperhatikan kepentingan masyarakat disekitar hutan serta memberi penyuluhan dan disosialisasikan tentang status tanah tersebut kepada masyarakat sehingga masyarakat fnengetahui status lahan yang digarapnya. TINDAKAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH JAPIN DAN KAWAN-KAWAN (PETANI PENGGARAP) SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 55/UU-VIII/2010 YANG MENCABUT KETENTUAN TINDAK PIDANA PERKEBUNAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN Hukum Pidana Sengketa tanah perkebunan berawal dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam merampas tanah milik rakyat (adat) untuk kepentingan perkebunan, hingga sekarang sengketa antara petani dengan perusahaan perkebunan yang menerima dan menguasai tanah berdasarkan peralihan hak atas tanah-tanah milik kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia. Dalam memperjuangkan kepemilikannya kembali, kedudukan petani semakin lemah dengan terbitnya sanksi pidana dalam Pasal 47 UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Gugatan judical review pun diajukan oleh Japin dan rekan-rekan yang senasib ke Mahkamah Konstitusi, dan gugatanya dikabulkan, atas dasar itu, yang menjadi persoalannya adalah apakah Pasal 47 Perkebunan dianggap sebagai tindakan kriminal terhadap petani penggarap dan tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Japin dan rekan-rekan setelah dikabulkannya permohonan pencabutan tersebut oleh Mahkamah Konstitusi, dimana mereka telah menjalani masa penangkapan dan penahanan dalam proses penyidikan. Metode yang digunakan dalam menganalisis data untuk bahan penulisan ini adalah metode penafsiran hukum secara sistematis, yaitu menggabungkan pasal-pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, selanjutnya dianalisis secara kualitatif yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas dengan menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan dan lapangan. Akhir dari penelitian ini dapat disimpulkan, keberadaan Pasal 47 UU Perkebunan tidak dapat diterapkan karena sengketa tanah perkebunan memerlukan pembuktian melalui pengadilan perdata namun proses penangkapan dan penahanan ditingkat penyidikan telah dilalui tersangka, hal ini dikukuhkan oleh putusan MK serta penyidikan secara otomatis dihentikan namun tersangka telah dirugikan. Upaya hukum berupa praperadilanpun tidak dapat dilakukan karena tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP tentang penghentian penyidikan, karena penghentian penyidikan yang terjadi dalam perkara yang penulis teliti ini, pasal yang diterapkan menjadi tidak berlaku, sedangkan penghentian penyidikan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP salah satunya dikarenakan kurangnya alat bukti yang didapat oleh penyidik. Disini terjadi korban atas keberadaan hukum yang tidak pasti dan dianggap salah sejak dari awal namun diperbaiki setelah rentang waktu yang cukup lama (8 tahun). KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM A. Kasus Posisi Pokok persoalan sebenarnya dimulai sejak dari adanya kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia terhadap pengambilalihan berbagai tanah milik rakyat (adat) yang dirampas untuk kepentingan perkebunan, dimana sampai sekarang telah menimbulkan sengketa kepemilikan antara petani penggarap dengan perusahaan perkebunan (baik perusahaan negara maupun swasta) yang menerima dan menguasai tanah tersebut dengan dasar peralihan hak atas tanah-tanah milik kolinial Belanda tersebut. Dalam memperjuangkan kepemilikannya kembali, kedudukan petani penggarap ini semakin lemah dengan terbitnya undang-undang yang mengkriminalisasikan para petani, yaitu adanya ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (selanjutnya disingkat UU Perkebunan). Gugatan judical review dilakukan oleh Japin, seorang petani penggarap yang menduduki tanah perkebunan di Dusun Silat Hulu, Desa Bantan Sari, Ketapang, Kalimantan Barat, bersama denggan 3 (tiga) orang lainnya yang mengalami nasib serupa, yaitu dengan jalan mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 21 yang mengakibatkan adanya ancaman hukuman dalam Pasal 47 UU Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK). Adapun Pasal 21 UU Perkebunan yang dipersoalkan oleh para pemohon berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, pengguna tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.” Menurut MK unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya dalam Pasal 21 UU Perkebunan merupakan rumusan pasal yang terlalu luas. Pasal ini memunculkan pernyataan : Siapa melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya milik siapa, dan bagaimana jika tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun disebabkan kesengajaan atau kelalaian pemilik kebun sendiri, kemudian juga kata-kata aset lainnya tidak memberikan batasan yang jelas, sedangkan dalam penjelasannya disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik menurut MK merupakan kasus yang ada sejak masa Hindia Belanda, yaitu ketika itu memberikan banyak hak erfpacht tanpa batas yang jelas, sehingga melanggar hak ulayat (tanah adat) sesuai hukum adat (erfelijk individueel bezitrecht). Kondisi ini mengakibatkan konflik kepemilikan tanah termasuk tanah yang menjadi aset perkebunan antara pemilik hak erfpacht dengan masyarakat adat yang menguasai hak ulayat. Masalah muncul lagi setelah Pemerintah Pendudukan Jepang mengizinkan rakyat menduduki tanah perkebunan milik pemegang erfpacht untuk digarap dengan sistem bagi hasil dengan Pemerintah Pendudukan Jepang, kemudian pasca kemerdekaan Indonesia, pendudukan tanah itu masih berlangsung sehingga menimbulkan sengketa antara rakyat dengan Pemerintah, termasuk terhadap pengusaha perkebunan yang mendapat izin pengusahaan perkebunan. Beragam peraturan perundang-undangan kemudian diterbitkan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Pada intinya ketentuan tersebut menganjurkan untuk menyelesaikan sengketa secara musyawarah, oleh karena itu MK menilai, masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik sangat beragam. sehingga penyelesaiannya harus mengacu pada pertimbangan-pertimbangan keadaan yang berbeda, menyangkut waktu munculnya pendudukan maupun penyebab pendudukan. MK berkeyakinan kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu, MK berpendapat, penjatuhan sanksi berdasarkan Pasal 47 ayat (2) UU Perkebunan tidak tepat dikenakan pada orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat. Sebab, timbulnya hak-hak adat berdasarkan ipso facto, artinya, seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif. Sebaliknya, hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah. Adapun pemberian hak-hak baru dalam bentuk Hak Guna Usaha (selanjut disingkat HGU) atau Hak Pakai (maupun Hak Pengelolaan) berdasarkan ipso jure, menurut MK, berdasarkan dari pada ketentuan perundang-undangan. Untuk mengatasi persoalan sengketa pemilikan tanah perkebunan yang berhubungan dengan hak ulayat, menurut MK, seharusnya negara konsisten dengan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan tentang eksistensi masyarakat hukum adat, kemudian Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional (PMA/Ka.BPN) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan : Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, LSM dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. MK berpendapat, sebelum dilakukan penelitian yang komprehensif untuk memastikan keberadaan masyarakat hukum adat dengan batas wilayahnya yang jelas dan pasti sebagaimana dimaksud oleh penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan, sulit menentukan siapakah yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 47 UU Perkebunan. Ketidakjelasan rumusan Pasal 21 UU Perkebunan dan kemudian diikuti oleh ancaman pidananya dalam Pasal 47, menurut MK hal ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensial berpotensi besar terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Kedua pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD’45) yang menyatakan : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut MK, kedua pasal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menghendaki tegaknya kepastian hukum yang adil, selain itu, bertentangan dengan prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Sehubungan dengan ini, seharusnya setelah putusan MK ini diputuskan, maka kriminalisasi terhadap petani diharapkan sudah berakhir, dimana dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan para pemohon, namun diluar itu, sebenarnya pemohon khususnya Japin telah menjalani tindakan kepolisian berupa penangkapan dan penahanan oleh penyidik Polsek Ketapang, Polres Kalimantan Barat, selama 61 (enam puluh satu) hari, terdiri dari 1 (satu) hari penangkapan, 20 (dua puluh) hari penahanan dan 40 (empat puluh) hari perpanjangan penahanan. Tindakan penyidik ini berupa penangkapan dan penahanan berikut perpanjangannya sudah sesuai hukum acara pidana (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut KUHAP) karena waktu proses penyidikan tersebut belum lahir putusan MK ini, dimana pemohon ini diduga melanggar Pasal 47 UU Perkebunan, sehingga penyidik berwenang untuk melakukan tindakan penangkapan dan penahanan sampai dengan perpanjangan penahanan, kemudian sekarang Pasal 47 UU Perkebunan yang dijadikan dasar penangkapan, penahanan berikut perpanjangan penahannya telah dicabut, namun masa penangkapan dan penahanan tidak mungkin dikembalikan lagi, dan untuk persoalan yang semacam ini, perlindungan terhadap orang yang pernah disangka melakukan tindak pidana sama sekali tidak ada aturannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun tugas akhir ini dalam bentuk legal memorandum dengan judul “ TINDAKAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH JAPIN DAN KAWAN-KAWAN (PETANI PENGGARAP) SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 55/UU-VIII/2010 YANG MENCABUT KETENTUAN TINDAK PIDANA PERKEBUNAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN.” B. Permasalahan Hukum Adapun yang menjadi permasalahan hukumnya dalam penelitian ini 1. Apakah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dianggap sebagai tindakan kriminalitas terhadap petani penggarap ? 2. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Japin dan kawan-kawan (petani penggarap) setelah dikabulkannya permohonan judicial review Pasal 47 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi, dimana mereka telah menjalani penangkapan dan penahanan dalam proses penyidikan ? Penggarap yang telah mengusahakan tanah dalam jangka waktu mendapat prioritas untuk mendapatkan hak atas tanah Putusan No. 475K/Pdt/2010 (AMBROSIUS vs Lurah Rejosari dkk) Ringkasan Duduk Perkara Penggugat telah mengusahakan tanah Negara Bebas yang terletak di JI. RE. Martadinata, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang sejak tahun 1994 (oleh ayah penggugat sejak tahun 1975). Selama itu, tidak ada pihak yang menggugatnya. Penggugat, serta masyarakat lain juga, telah mengajukan permohonan hak atas tanah Negara tersebut kepada Camat Pangkalbalam, selaku pejaba pembuat akta tanah, penggugat kemudian ditetapkan untuk membayar kontribusi yang besarnya Rp. 3.331.200, - dan dari seluruh kewajiban tersebut Penggugat telah membayar sebesar Rp. 1.000.000,-. Meskipun demikian, penggugat belum diberikan surat keterangan penguasaan fisik tanah tanpa alasan yang jelas. Pada Tahun 2006, Penggugat mendapati tanahnya dipancang papan yang pada intinya akan dibangun Mako Polsek Pangkalbalam (Tergugat II) di atas tanah tersebut. Tergugat II menyatakan mendapatkan tanah tersebut dari Tergugat I dengan hibah dan telah memperoleh surat keterangan penguasaan fisik tanah Nomor : 27/KRS–SKPFAT/2006 tanggal 18 Mei 2006. Penggugat merasa hibah tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan kemudian Penggugat mengajukan gugatan ke PN Pangkal Pinang. Di tingkat pertama PN Pangkal Pinang menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bangka Belitung. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung ditingkat Kasasi. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa Tergugat I telah mengalihkan hak penguasaan tanah obyek sengketa kepada Tergugat II dengan bertentangan dengan kepatutan, oleh karena sebelumnya penggugat telah menguasai tanah tersebut lebih dari 30 tahun dan pernah mengajukan permohonan hak namun tidak diproses oleh Tergugat I. Kutipan Pertimbangan Mahkamah Agung: Menimbang, bahwa alasan-alasan kasasi tersebut diatas, dapat dibenarkan, judex facti/Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri salah dalam menerapkan hukum karena kurang memberikan pertimbangan yang seksama terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan yang menunjukkan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Tergugat I telah mengalihkan hak penguasaan tanah objek sengketa kepada Tergugat II tanpa alas hak yang jelas. Daftar inventaris barang milik Tergugat I bukanlah bukti sah kepemilikan Tergugat I terhadap tanah objek sengketa karena selain bukan termasuk bukti sah yang diakui oleh UU, juga daftar inventaris tersebut adalah produk yang dibuat sendiri oleh Tergugat I ; b. Selain itu, tindakan Tergugat I yaitu mengalihkan hak penguasaan tanah objek sengketa kepada Tergugat II bertentangan dengan kepatutan dengan pertimbangan sebagai pihak yang telah mengusai serta mengusahakan tanah objek sengketa secara terus menerus dalam waktu cukup lama yaitu ± 30 tahun tanpa ada keberatan dari pihak-pihak lain termasuk Tergugat I serta telah mengikuti proses perolehan hak seperti penggarap-penggarap lainnya maka Penggugat adalah penggarap yang beritikad baik; dan sebagai penggarap yang beritikad baik, sudah sepatutnya, Penggugat berhak mendapatkan kesempatan pertama untuk mengajukan permohonan sertifikat hak milik atas tanah obyek sengketa ; c. Selain itu, Tergugat I telah melakukan tindakan sewenang-sewenang sehingga melanggar asas pemerintahan yang baik karena tanpa alas hak yang jelas mengeluarkan surat keterangan penguasaan fisik tanah kepada Tergugat II, juga tanpa sebuah penjelasan atau alasan yang jelas Tergugat I tidak mengeluarkan surat keterangan penguasaan fisik tanah untuk Penggugat.
Posted on: Sun, 20 Apr 2014 16:52:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015