KENANGAN MASA KECILKU DI LAGUBOTI: “MARTUMBA” 1970-an. Hanya - TopicsExpress



          

KENANGAN MASA KECILKU DI LAGUBOTI: “MARTUMBA” 1970-an. Hanya ada dua puncak keramaian di kampung saya, Laguboti. Pertama, perayaan Tahun Baru. Kedua, perayaan 17 Agustus. Sebenarnya masih ada keramaian lainnya, tetapi waktunya tidak tentu dan tidak semeriah Tahun Baru dan 17 Agustus, misalnya pementasan Opera Batak dan pemutaran film layar tancap (biasa gratis, disebut “pilim perei”, paling sering adalah promosi produk seperti batrei ABC, deterjen Dino, jamu Viat Sing, dan Bodrex. Hanya sesekali film penerangan dari kabupaten). Ada juga pertandingan sepakbola dengan klub satu-satunya yang sangat diidola, Sinar Muda Laguboti atau SML. Perayaan 17 Agustus disambut antusias. Malamnya diadakan taptu. Ribuan siswa SD, SMP, dan SMA dengan iringan drum band SMA yang amat sederhana, berbaris dan jalan beriring seputar pusat kota, lengkap dengan obor di tangan. Penduduk mengelu-elukan sepanjang jalan. Meriahnya bukan main. Keesokannya, pada hari H diadakan upacara besar di Tanah Lapang (lokasi SMA Negeri sekarang, kemudian dipindahkan ke Lapangan Tangsi). Pak Camat, Pak Buterpra (Koramil sekarang), dan Pak Kapolsek, pejabat kecamatan, dan ibu-ibu Dharma Pertiwi dengan gaun kebaya corak batik kekuningan berada di tempat kehormatan, di bawah tenda terpal coklat pekat dengan tingkap menjulang. Malamnya diadakan resepsi, makan malam unsur Muspika, pejabat kecamatan, guru, ulama, dan tokoh masyarakat. (Pertama sekali pada tahun 1975, berdua dengan Rohani Hutapea, kami membawakan deklamasi, judulnya saya lupa, pengarangnya adalah Bapak M Malau, guru SMAN Laguboti. Waktu itu kami duduk di kelas 6 SD). Pada perayaan 17 Agustus di Laguboti, acara yang ditunggu-tunggu adalah “martumba”. Tumba khusus dibawakan anak-anak SD, semuanya perempuan. Di Laguboti pada waktu itu ada 14 SD, yaitu SD 1, SD 2, SD 3, SD Simaremare Jae 1, SD Simaremare Jae 2, SD Pardinggaran, SD Hutahaean, SD Tanding 1, SD Tanding 2, SD Sitoluama, SD Sintongmarnipi, SD Sidulang, SD Haunatas, SD Lumbanhariara. Martumba adalah menari sambil bernyanyi, tanpa musik pengiring. Penari menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa, gestur dan bloking atraktif memadukan tarian tradisional tortor dengan kreasi Melayu. Lagunya juga bervariasi, mulai dari lagu Batak, lagu Melayu, dan Pop Indonesia. (Tumba konon berasal dari Pahae, semacam tarian muda-mudi saat terang bulan). Penari biasanya melilitkan ulos di pinggang. Saat memasuki lapangan masing-masing SD menyanyikan lagu wajib pembuka, ada dua. Pertama, “Tanggal tujuh belas agustus, taon opat pulu lima, ari na mauliutus, di bangso Indonesia, dst”. Kedua: “Tanggal tujuh belas bulan delapan hari Indonesia merdeka, seluruh rakyat Indonesia, dst”. Partumba dipimpin seseorang –biasanya gadis muda tercantik– dengan pluit yang dibunyikan untuk mengomando gerakan-gerakan pembuka. Saya adalah murid SD 3 (SD Tolu). Partumba SD Tolu biasanya membuka tumba dengan lagu: “Tangan di botohon da inang, ujungnai ma jari-jari da inang. Jongjong hami di son, SD Tolu Laguboti da inang. Rege, rege, rege, da inang, dst”. Yang paling saya ingat adalah lagu Melayu “Burung Nuri” ciptaan A Chalik. Penari berpasang-pasangan. Gerakannya indah, meliukkan tangan dan pinggang. Liriknya demikian: “Burung Nuri terbang tinggi, balik turun di atas dahan. Mari-mari kasih hati, aku rindu kepada tuan. Rupamu elok tak bandingan. Suaramu nyaring lagu merdu, Oo oo oo oo......” Berikutnya adalah lagu “Pesta ke Bulan”. Pada waktu itu lagu ini sangat populer, dibawakan Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora. Liriknya: “Di malam minggu ke mana kita pergi, semua tempat sudah kita kunjungi. Bagaimana dek kalau kita ke bulan, pasti meriah di sana ada pesta. Dengan apa bang kita pergi ke sana, usung kusenang ke sana pergi berdua. Jangan khawatir abang sudah sedia, kendaraannya ialah burung unta. Shalala shalala oh gembira, pergi ke bulan hanya berdua saja.....” Martumba tidak diperlombakan. Tidak perlu ada pemenang. Inti pementasan hanya hiburan. Dan, tentu, anak-anak akan senang karena menerima saweran (tidak tahu persis apakah dibagi atau masuk ke kantong guru). Kemeriahan perayaan 17 Agustus di kampung saya, Laguboti, kini tidak semeriah dulu lagi. Yang saya dengar tidak ada lagi atraksi martumba. Selesai acara, semuanya bubar, pulang ke rumah masing-masing. Perayaan 17 Agustus disambut dingin, sudah terjebak pada rutinitas penaikan bendera, pembacaan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Hal yang sama juga terjadi di kecamatan lainnya di Tanah Batak. Martumba kini hilang dari kebiasaan anak-anak. Jika ada kegiatan keramaian, sudah berubah menjadi tarian modern dengan iringan musik rock, disko, hip hop, dan lain-lain. Begitulah waktu terus bergerak dan berubah. Ya, yang abadi hanya perubahan. Hanya perubahan .....
Posted on: Sun, 21 Jul 2013 03:37:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015