KETIKA FLAMBOYAN BERBUNGA MARIA A. SARDJONO PART 17 Target 30 - TopicsExpress



          

KETIKA FLAMBOYAN BERBUNGA MARIA A. SARDJONO PART 17 Target 30 like #jacob_black kepadanya. Tina, tolonglah aku dengan eara melepaskan Bram dari pembicaraan kita. Dia itu sudah tidak ada kaitannya lagi denganku. Sedikit pun tidak. Jadi jangan kaitkan dia dengan kepergianku ke Solo. Oke? Sudahlah, Bapak yang sejak tadi tak banyak bieara mulai ikut ambil bagian dalam pembicaraan kami, Apa pun yang dirasakan atau dial ami oleh Ambar, itu adalah urusan pribadinya. Jadi scbaiknya kita akhiri sampai sekian saja pembicaraan menge¬nai Bramanto! Aku senang ditengahi oleh Bapak, Selesai makan ccpat-cepat aku mengatur pakaian dan barang-ba¬rangku yang akan kubawa ke Solo. Tak ada waktu Jain bagiku. Besok aku masih harus ke kantor. Dan malamnya aku akan berangkat, Dalam kerepotan seperti itu Tina masuk ke ka¬marku dan duduk eli tcpi tempat tidur, Dia me¬mandangi kesibukanku. 265 http: ebukita.wordpressBanyak juga bawaanmu, Mbakl komentarnya. Dua minggu itu lama, Tina. Selama dua minggu itu kau hanya akan ada di rumah Bude Yanti saja? Mungkin. Aku masih belum tahu apa rencana selanj utn ya. Sayang sekali kau tidak ada ill rumah kalau nanti keluarga Mas Gatot datang kemari, Mbak .... Tanganku yang sedang melipat blusku yang anti¬kusut terhenti demi mendengar perkataan Tina. Memangnya mereka itu mau apa? tanyaku de¬ngan perasaan yang mendadak jadi tak enak. Untuk berkenalan dan menyusun langkah se- 1 anjutnya .... Langkah bcrikut apa? selaku. Tanpa kusadari aku telah berbicara dengan cepat dan keras. Tina menatapku beberapa saat lamanya. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tetapi perasaanku semakin tak enak saja rasanya. Tentu saja melamar, Mbak! Kini kedua tanganku betul-betul telah berhenti dari kesibukanku semula. Seluruh pikiran dan pe¬rasaanku terserap kepada apa yang baru saja di¬katakan oleh Tina. Tina, apakah itu tidak terlalu cepat. .. ? tanyaku. Suaraku terdengar agak rnenggcletar. Mudah¬mudahan Tina tidak mcndengarnya. Aku tak mampu membayangkan seorang lelaki yang kurang ajar, yang tak tahu arti kesctiaan akan hadir di rumah ini sebagai uami adik kandungku. Lelaki yang tak pantas rnenjadi suami Tina, yang 266 kubenci kelakuannya tetapi yang ternyata kucintai dengan cara yang khusus itu, akan hadir untuk: men¬jadi bagian dari keluarga kami. Betapa sulitnya aku menerima kenyataan seperti itu. Tetapi itu kemauan Mas Gatot kok, Mbak! kudengar Tina menjawab pertanyaanku tadi. Katakan kepadanya untuk menunda niat itu sampai sedikitnya kau menyelesaikan ku1iahmu le¬bih dulu .... Tina tertawa mendengar perkataanku. Aku sung¬guh merasa jengkel mel ihat cara tertawanya yang jelas-jelas menunjukkan kctidakpeduliannya terha¬dap kata-kataku. Bahkan seperti menyepelekannya, Kok tertawa? aku membentak. Habis kau lucu sih, Mbak, Tina menjawab secna1cnya. Mana bisa sib orang mcmbendung aliran sungai yang deras dalam waktu sehari? Apa maksudmu? aku mernbentak Jagi. Ya, gamblang sekali kan rnaksudku. Percuma aja menahan kemauan Mas Gatot. Jam, Mbak, tenang-tenang sajalah. Kalau tidak, kau sendiri yang akan babak-belur mcmbentur batu karang! Aku menarik napas panjang. Menilik gejalanya, rnemang hanya sia-sia sajalah usahaku untuk me¬nyelamatkan adik tersayangku ini. Betapa polo dan tak bcrpengalamannya adikku ini, Gatot me¬mang sangat kurang ajar. Dia menginginkan seorang istri yang masih suci dan polos, yang beJum bcr¬pengalaman dalam seluk-beluk percintaan, tetapi di luar perkawinan, Gatot mcncari seseorang yang bisa menyalakan api gairalmya. 267 http: ebukita.wordpress• < Tina ... aku mulai merasa putus asa. Suaraku terdengar lcmah, sedikit pun tak ada sisa-sisa ben¬takanku tadi. Kau tahu bahwa aku sangat menya¬yangimu dan ingin sekali melihatmu bahagia, kan? Tahu sekali, Mbak! Ada pandangan lembut dalam mata Tina tatkala menatapku. Kalau begitu kau pasti tabu mengapa aku tidak menyetujui Gatot menjadi kekasihmu, kan? Apalagi sampai menjadi suamimu! Itu aim juga memabaminya, Mbak. Tetapi keoapa ... ? Belum selesai bicaraku, Tina sudah menyambar perkataanku itu dengan jawaban yang membuatku tersudut. Karena kau belum kenal betul siapa Mas Gatot sebagaimana aku mengenalnya. Kau hanya melihat sisi buruknya saja, Mbak. Kau hanya kenal seba¬gian dari dirinya saja, yang kau nilai jelek. Padahal manusia mana pun di dunia ini tak ada yang sem¬puma. Padahal pula, sisi baik Mas Gatot yang cu¬kup banyak. itu belum kaulihat. Jadi, Mbak, jangan¬lah terlalu mcncemaskan diriku. Aku tidaklah sebo¬doh yang kausangka. AIm sudah eukup dewasa untuk melihat-lihat dan mcmpunyai wawa an lebih mendalaml katanya dengan suara bersungguh¬sungguh. Aku masih belum rnarnpu berkata apa pun. Rasa seperti dipojokkan itu masih rnengharu-biru hatiku. Bahkan kemudian timbul suatu pemikiran baru. Selarna ini aim menganggap Tina pasti akan menderita atau sedikitnya tak akan berbahagia jika ia tetap melanjutkan rencananya menikah dengan 1 268 Gatot. Tetapi baru sekarang rnuncul pikiran lain, yang menentang semua anggapanku selama ini. Yaitu, apakah Tina pasti berbahagia jika tidak me¬nikah dengan Gatot? Sungguh mati aku tak mampu menjawab perta¬nyaan yang baru muncul di kcpalaku itu. Bahkan terbayang olehku keadaan Tina yang pasti akan seperti bunga layu dan kering seandainya terenggut dari Gatot. Sudahlah, Tina... aku menyerab ... , sahutku lama kemudian. Mudah-mudahan saja kekhawatir¬anku agak bcrlcbihan. Meli.hatku scperti tawanan pcrang, Tina bangkit dari duduknya dan dengan spontan ia memeluk dan mencium pipiku. Maaf, aku telah membuatmu sedih, Mbak, ka¬tanya dengan penuh perasaan. Aku sungguh sa¬ngat berbahagia mernpunyai kakak perempuan yang begitu menyayangi dan memperhatikan diriku. Air mataku menitik. Kernelut apa pun yang rna¬sib tinggal dan bermegah-rnegah dalam hatiku, ku¬singkirkan sejenak. Tanpa kata-kata, kubalas peluk dan cium kasih Tina itu. Dan kemudian tanpa kata pula, kuselesaikan pekerjaanku mengatur barang¬barang yang akan kubawa ke Solo besok malam. Tetapi meskipun demikian, selama pcrjalananku ke Solo hari berikutnya, aku tak pemah bi a me ... ngikis ingatanku pada kata-kata Tina da.n pelukan kasihnya atas kepasrahanku terhadap pilihan hidup¬nya. Setiap ingatan itu rncnyusup pikiranku, air mataku menitik lagi. Dan scgcra kuhapu diam- 269 http: ebukita.wordpress diam agar tidak terlihat oleh sesama penumpang kereta api yang kunaiki ini. Seandainya saja perasaanku terhadap Gatot tidak ikut ambil bagian dalam persoalan ini, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk menghadapi Tina dan mengatakan kebenarannya. Kebenaran ten tang kelakuan Gatot yang terang-terangan memperli¬hatkan kekurangajaran dan kenakalannya terhadap¬ku. Adub, Tina, Tina, aku menangis da1am hati. Kalau saja kau tahu bagaimana aku membenci Gatot yang telah berhasil membuka pintu hatiku yang selama ini tertutup. Dan kalau saja kau tabu bagaimana aku rnembenci diriku sendiri yang telah mernbiarkan Gatot masuk ke hatiku dan berhasil menyalakan kcmbali api yang mati dalam diriku. Sungguh mati, Tina, aku ingin melepaskan seluruh ingatan, seluruh kejadian yang pernah kualarni bersama Gatot. Semua itu membuat diriku menjadi kotor oleh noda-noda bcrbau busuk yang tak mung¬kin bisa dicuci bersih . Aduh, Tina, Tina, .aku rncnangis terus dalam batin. Kenapa perubahan yang tcrjadi di dalam hatiku ini disebabkan olch eorang lelaki yang kaucintai, yang kauharapkan akan menjadi pendam¬ping hidupmu? Bagairnana rnungkin aku sanggup mcnghadapi kcnyataan yang ada di hadapanku? Bayangkanlah, aku pernah mcngalami sentakan¬sentakan sensasi melalui sentuhan tubuh dengan suami adikku sendiri, Bayangkanlah pula bagaimana malunya aku terhadap diriku sendiri karena men- ... 270 cintai lelaki yang dicintai mati-matian oleh adik yang kusayangi dengan sepenuh hatiku itu. Sedernikian tenggelamnya aku ke dalam pikiran yang tyrus membuntuti diriku di sepanjang perja¬lanan dari Jakarta ke Solo sampai-sampai tak ku¬perhatikan penumpang-penumpang lain di sekitarku yang akan menjadi ternan seperjalananku selama kira-kira tujuh sampai delapan jam ini, Padahal di samping, di belakang, dan di depanku sudah terja¬lin tanya-jawab dan perkenalan di antara penum¬pang dengan teman sebelahnya. Tak jarang perke¬nalan itu akan berlanjut sampai di luar kereta api. Salah satu sahabat keluarga temanku juga berawal . dari perkenalan di kercta api. Ayah temanku keco¬pctan dalam perjalanan di kereta api, Sesama pe¬numpang rnerninjami uang. Dan akhirnya kedua : keluarga mereka rnenjadi sahabat sampai sekarang. Bahkan katanya sudah seperti saudara saja. Di stasi un Circbon, kereta api berhenli sekitar tiga menit lamanya. Kusentuhkan dahiku ke kaca jendela. Dan kulayangkan pandanganku ke peron, menyak ikan kesibukan orang-orang yang lalu la¬lang di tempat itu. Meskipun hari sudah larut ma¬lam, masih aja banyak penjual makanan hilir-mu¬dik menjajakan dagangannya. Bahkan kalau ada kereta api berhenti, mcreka egera rna uk ke ger¬bong-gerbong kelas ekonomi yang pintunya selalu terbuka. Duniaini memang milik orang yang berduit..., kudengar gumam uara. di sampingku. Suara e¬orang laki-laki rnuda. 271 http: ebukita.wordpress Ya, aku menjawab tanpa menoleh. Meskipun tak begitu pasti apa yang dimaksud oleh lelaki itu aku mengiyakan saja. Mereka, para penjual itu tidak berani masuk ke kereta api kita. Maka eli sini terasa tenang, nyaman, dan tetap sejuk oleh alat pendingin. Di gerbong kelas ekonomi yang panas, sesak, berisik, dan terkadang juga pengap, bahkan pemah lam¬punya mati, penjual-penjual itu masuk dan me¬nambah penuh serta berisiknya tempat yang kurang nyaman itu, kudengar laki-laki itu berkata lagi. Lebih panjang dad perkataan sebelumnya Aku ingin mengatakan ya saja seperti tadi, tetapi kuurungkan. Sebab rasanya tak pantas kalau aku diramahi orang yang duduk -di sampingku te¬tapi aku tak membalasnya dcngan sikap yang sarna. Memang benar, sahutku berbasa-basi. Dan itulah mengapa semakin dalam saja jurang perbe¬daan antara si orang berduit dan yang tidak. . Dan orang-orang seperti saya adalah orang¬orang yang terjepit di antara c1ua duma itu, ko¬rnentar laki-laki itu lagi. Kini aku memalingkan wajahku dari arah luar jendela kereta api, masuk ke dalam. Dan kupan¬dangi wajah si sumber suara. Tiba-tiba hatiku ber¬dctak keras untuk beberapa saat lamanya. Wajah lelaki muda eli sarnpingku itu mirip wajah Gatotl Untuk seketika larnanya aku marah kepada diriku sendiri. Kenapa kubiarkan wajah lelaki itu muncul di dalam pikiranku sampai-sampai aku menilai wajah orang yang duduk .di isiku itu mirip dengan 1 272 wajahnya. Tetapi setelah kupandangi lebih lama dan lebih teliti, kemarahan pada diriku sendiri ter¬urai. Wajah orang itu memang benar mirip Gatot. Sial bukan nasibku ini? Mau menjauhi Gatot, di sini malah ada seorang lelaki yang wajahnya mirip dia. Terjepit bagaimana? tanyaku sambil mencoba mengusir pikiranku. Yah, saya mernilih naik kereta api yang tiketnya lebih mahal ini dengan tujuan supaya lebih cepat sampai dan dapat duduk dengan nyaman. Saya bu¬tuh beristirahat setelah menyelesaikan tugas-tugas saya. Tetapi mau membeli makanan dan minuman yang ditawarkan pramugari kereta api tadi ngeri. Harganya mahal-mahal, Padahal makan malam yang . dihidangkan sebagai bagian dari layanan kereta ini tadi •tidak cocok dengan mulut saya. Mau mem¬beli dari luar, tak ada penjaja yang masuk sampai kemari. Inilah yang saya katakan terjepit tadi. Dan itu bukan hanya di kcreta api saja, tetapi di mana¬mana dan di pclbagai ektor kehidupan, Celaka¬nya, kaurn yang di ala sering menatap dcngan pandangan mcrcmehkan, sedangkan yang di bawah, menatap dengan pandangan macam-rnacarn yang semuanya bisa dikatakan keliru! Kutanggapi perkataan tetanggaku ini dengan se¬nyum. Kupahami sungguh apa yang ia maksudkan. Sebab seperti itu jugalah yang sering kualami meskipun tak kupedulikan. Kedengarannya Anda memancLang dunia dengan edikit pesirnis, kataku kernudian. 273 http: ebukita.wordpress, \ Mungkin, lelaki itu mengakui sambil terse¬nyum. Tetapi setidaknya saya masih peduli terha¬dap Iingkungan sekitar. Sedangkan Anda, sejak: kereta api yang kita tumpangi ini meuinggalkan Stasiun Gambir hanya duduk membisu saja dengan wajab murung dan sedih. Sedikit pun Anda tidak merneduIikan sekitar Anda. Maaf, saya mernang suka bicara apa adanya.. Ak:u tertegun, Cara lelaki .itu bicara juga meng¬ingatkanku pada Gatot yang suka bicara ceplas¬ceplos dan blak-blakan. Saya tidak sedang murung dan tidak sedang sedih, dustaku. Persi kalau aku sedang memban¬tab apa yang dikatakan oleh Gatot. Kemiripan wa¬jab dan eara bicara Iaki-laki yang mirip Gatot itu rnenyebabkan aku bersikap sarna juga tanpa -kusa¬dari. Mudah-rnudahan memang Mbak tidak sedang sedih seperti yang terlihat oleh saya ladi. Laki¬laki itu tersenyum penuh pengertian, dan itu yang mernbedakan ilia dengan GaloL Maaf kalau saya keliru. Tak apa. Mungkin rnemang wajah saya tampak seperti orang yang sedang bersedih, Saya tidak menyadari itu. Karena sikapnya yang lebih sim¬patik daripada sikap Gator terhadapku, aku mulai memperlihatkan kerarnahanku. Kalau saya boleh berkata dengan jujur, saya memang menangkap kesedihan dari wajah Mbak, laki-laki itll bcrkata lagi. Suaranya terdengar me¬ngandung simpati. Maaf, saya tadi empat melihat . , ,.. 1 274 Mbak menitikkan air mata, yang mungkin juga ti¬dak Mbak sadari. Aku tertegun. Bukan hanya karen a dia telah melihat air mataku, tetapi juga karena earanya berbicara, Meskipun sarna-sama suka bieara blak¬blakan seperti Gatot, tctapi laki-laki itu mempu¬nyai keinginan untuk menenggang perasaan orang. Ada kesan yang ia ingin katakan bahwa bersedih dan menangis adalah bagian dari ekspresi manu¬sia yang wajar dan karenanya tak perlu dipersoal¬kan. Melihatku terdiam, laki-laki itu berkata lagi de- ngan terburu-buru. Maafkanlah kalau perkataan saya tadi menying¬gung perasaan Mbak. Lupakanlah, katanya. Mari kita ganti pokok pernbicaraan. Mbak nanti akan turon di Purwokerto, Yogya, atau •Solo? Solo. Dan Anda, Dik? Kereta Argo Lawu mernang hanya berhenti di tiga tempat saja sebelurn mengakhiri pcrjalanannya di kota Solo. Itu pun hanya tiga menit. Saya juga turon eli Solo. Pulang ke rumah. Anda orang Solo rupanya, aku menanggapi perkataan lelaki itu dan mulai rnelupakan ejenak kcsedihan yang kubawa dari Jakarta tadi, Ya, saya memang orang Solo. Saya di Jakarta hanya dua hari, ada urusan yang harus saya selc¬saikan. Berarti tidak sempat melihat-lihat kota Jakarta, kalau bcgitu. Sayang sekali.. .. Apa boleh buat. Mau mampir ke rumah sepupu 275 http: ebukita.wordpresssaja pun tidak sempat Laki-laki itu tersenyum lagi. Mbak sendiri pasti bukan orang Solo: Bukan. Saya orang Jakarta meskipun nenek¬moyang saya asli orang Solo. Ke Solo menjenguk saudara, barangkali? Bisa dikatakan• begitu, sahutku. Pokoknya menghabiskan cuti. Tetapi jangan lupa mencicipi nasi liwet Solo dan tengkleng-nya. Apa itu tengklengl Tengkleng itu gule kambing tetapi tidak merna¬kai santan. Rasanya lezat, segar, gurih, pedas, dan ab, pokoknya enak. Laki-laki itu tertawa. Solo itu gudangnya makanan cnak lho. Apalagi kalau kita rnau keluyuran dan nongkrong di pasar tradi¬sional. Jajan pasarnya juga enak. Belum termasuk ayam bakar dan soto ayamnya, kan? Bude saya juga mcngatakan begitu. Aku juga tertawa. Konon orang Solo itu terkenal suka rnenikrnati hidup, termasuk makan enak. Begitulah di sepanjang perjalanan kami mengo¬brol diseling tidur-tidur ayam. Mengobrol macam¬macam hal tentang kota Solo dengan seseorang yang lahir di kota itu cukup menyenangkan juga. Dan yang jelas, bisa mengurangi kesedihan dan kejemuanku mengarungi kola demi kota lewat sta¬siunnya. Kami tiba di Solo pada pagi hari tatkala cuaca rnasih gelap. Namun tampaknya Stasiun Balapan dan juga kota Solo tidak pemah tidur. Sepagi itu sudah terlihat kesibukannya, Di luar sana dalam 276 keremangan pagi, kulihat becak kota Solo yang gemuk-gemuk sedang membawa perempuan dengan barang dagangan yang menumpuk di atasnya, lewat di jalan yang masih sepi sambil mengobrol keras dengan pengemudinya. Ada bermacam dagangan yang sempat singgah pada penglihatanku. Kelapa, sayur-mayur, buah-buahan, dan entah apa lagi. Tampaknya., rnereka semua menuju ke pasar. Sering kali aku menyaksikan bagaimana pe¬rempuan Jawa lebih banyak ikut ambil bagian di bidang ~konomi di pasar dibanding perempuan¬perempuan suku lainnya. Secara kecil-kecilan aku pemah melakukan penelitian pribadi mengenai hal itu. Di pasar tradisional Jakarta misalnya, keba¬nyakan perempuan yang berdagang di sana adalah orang Jawa. Jarang sekali aku melihat perempuan Betawi berdagang di pasar. Dan sekarang ku-sak¬sikan dengan mata kcpalaku sendiri bagaimana perempuan-perernpuan Solo naik becak sambil du¬duk eli atas tumpukan dagangannya, rnenuju ke pasar. Ada yang menjemput, Mbak? Ternan eperja¬lananku sudah berada di sisiku deugan bawaannya yang cuma satu tas kecil. Beda dengan yang ku¬bawa. Satu kopor beroda dan satu tas besar yang beri i bermacam keperluanku, Aku tabu, seandainya kukatakan tidak ada yang mcnjcmputku, ia pasti akan mcnawarkan diri untuk mengantarku. Ada. Aku menganggukkan kepalaku. Saya sudah mengabari saudara saya, barinya apa, nama kereta apinya apa, dan sampainya jam berapa. 277 http: ebukita.wordpress Wah; komplet plet, Laki-laki itu tertawa, ke¬mudian mengulurkan tangannya. Kalau begitu sampai eli sini perjumpaan kita. Selamat bersenang¬senang eli kota Solo dan lupakan apa pun kesedihan Anda! Setelah uluran tangannya kusambut, laki-laki itu pergi. Karena bawaannya tidak banyak, sebentar saja dia sudah lcnyap di balik punggung penum¬pang-penumpang lain yang juga baru turon dari kereta api. Selain kereta yang kutumpangi, ada satu kereta lagi yang baru berhenti, menumpahkan pcnurnpangnya, yang lalu memenuhi peron Stasiun Balapan. Tetapi aku sempat tertegun agak lama mendengar ucapannya tadi sehingga rneskipun rna¬taku sudah tidak melihatnya lagi, perkataannya rnasih tetap tcrngiang-ngiang di tclingaku. Pikiranku tentang lelaki itu lenyap oleh mun¬culnya Mas Tonti dari batik pilar. Putra budeku itu melarnbai-larnbaikan tangannya ke arabku. Ambar! Dengan langkah lebar ia berjalan ke arahku. Rupanya Mas Tomi yang disuruh Bude Yanti untuk menjemputku. Begitu bcrdekatan, kami bcrpelukan sesaat la¬manya. Bagiku, dia adalah kakak lelaki yang tak pcrnah kumiliki. Aku membuatmu repot ya, Mas, kataku. Pagi¬pagi buta begini harus bangun menjemputku. Belum tentu etahun sekali kok! Mas Tom tertawa sarnbil mcngarnbil tasku. Sementara aku tetap rnenarik kopor. Ayo, ikuti aku ke tempa: parkir. 278 Bagaimana kabar Mbak Tri, Mas? tanyaku¬sambil mengekor di belakangnya. Baik. Dia senang sekali mendengar kau datang. Aku juga rindu kepadanya. Apakah kalian sudah tambah momongan lagi? Ah, dua orang anak saja sudah repot setengah mati, Mbar. Mas Tomi tertawa. Tetapi tiba-tiba dia memutuskan bicaranya. Tangannya melambai¬larnbai ke arah seseorang dan meneriaki namanya. Hai, Anto! Anto! Yang dipanggil menoleh, tertawa, dan langsung berjalan ke arah kami dengan tergesa. Aku tcrkejul. Orang yang dipanggil oleh Mas Tomi itu adalah laki-laki yang tadi duduk di sebelahku dan mengo¬brol dcnganku. Terkadang, bumi ini memang sernpit. , Tomi! Laki-laki bernama Anto itu langsung menepuk pundak kakak sepupuku begitu berada di dekatnya. Kau sekereta api denganku atau men¬jernput sescorang? Menjernput adik sepupuku! Mas Tomi me¬nunjuk aku. Melihat siapa yang ditunjuk o1eh Mas Tomi, Anto tertawa lebar, Aku sudah kcnal meskipu n bel um tahu siapa namanya, katanya kcmudian. Kebetulan kami duduk bersebelahan di kcreta. Namanya Arnbar, Mas Tomi menyebutkan na¬maku. Kalau begitu aku juga akan mcmanggilrnu Ambar, sahut Anto samL il mcnatapku. Dan kau boleh rnernanggilku Anto, begitu saja. Sctuju? 279 http: ebukita.wordpress Kuanggukkan kepalaku. Mas Tomi tersenyum. Dunia temyata sempit, yaT katanya kemudian. Nab, bagaimana? Kita bisa meninggalkan temp at ini sekarang, Ambar? Ayolah, aku menjawab .. Kau naik apa, To? Mas Tomi bertanya kepada Anto. Garopang. Ada becak, ada andong. Ikut kami sajalah, To. Sarna ternan sendiri kok sungkan. Terima kasih kalau begitu. Begitulah yang terjadi di hari pertama aku tiba di kola Solo, kota yang berbeda dad kota Jakarta ini. Kulihat tcmpat-tempat yang berbeda di sini. Kutemui pula orang-orang yang barn kukenal. Ha¬rapanku, aku akan segera rnelupakan Gator dan ernua yang berkaitan dengan dirinya sehingga ka¬lau pulang ke Jakarta nanti aku sudah sernbuh dari penyakit gilaku inil 280 Sepuluh SORE hari di kota Solo. Udara begitu cerah, langit bersih dan angin sepoi-sepoi mengembus lembut ke atas tanaman mas di sekitar teras temp at aku dan Bude Yanti sedang duduk. Dedaunan dan bunga-bunga yang mekar di halaman tampak indah tersirami cahaya mentari sore yang......... Next
Posted on: Tue, 29 Oct 2013 15:22:35 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015