KITAB 1000 PENGOBATAN 1 WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni - TopicsExpress



          

KITAB 1000 PENGOBATAN 1 WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito EP : 113 LORONG KEMATIAN MATAHARI belum lama tenggelam. Kegelapan malam terasa begitu cepat menghantui permukaan bumi. Dalam waktu singkat kawasan bukit batu 113 Lorong Kematian tenggelam dalam kepekatan menghitam. Kesunyian yang menyelimuti tempat itu merubah suasanaseperti sunyinya pekuburan. Sebelumnya tempat ini telah menjadi ajang ertempuran antara Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan melawan kelompok manusia pocong di bawah pimpinan Yang Mulia Ketua. Manusia jahat luar biasa ini kemudian diketahui ternyata Pangeran Matahari adanya. Musuh bebuyutan Pendekar 212 dan para tokoh silat golongan putih. Ketika angin dari arah utara bertiup agak kencang dan debu yang membumbung ke udara tidak sanggup memecah kesunyian, sekonyong konyong seperti hantu laiknya, dari reruntuhan pintu rahasia di selatan 113 Lorong Kematian muncul satu sosok lelaki mengerikan. Orang ini nyaris tidak mengenakan pakaian. Kulit wajah dan tubuhnya yang bugil menghitam gosong. Di beberapa bagian kelihatan daging mengelupas kemera han. Rambut di atas kepala awut-awutan, kotor berdebu dan menebar bau sangit akibat terbakar. Di tangan kanan, orang ini memegang sebuah bendera besar berbentuk segi tiga, bergagang besi berujung runcing, hampir menyerupai sebatang tombak. Sesekali dari mulutnya keluar suara erangan halus, mungkin tak tahan oleh rasa sakit pada sekujur tubuh yang melepuh. Selain itu setiap menghembuskan nafas, kepulan asap ke merahan keluar dari dua lobang hidung. Siapakah gerangan mahluk mengerikan ini? Dialah Pangeran Matahari! Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Kematian Kedua), di dalam rumah panggung beratap ijuk hitam yang terletak di bagian belakang 113 Lorong Kematian, Yang Mulia Sri Paduka Ratu (Puti Andini) hendak diperkosa oleh Wakil Ketua yang sesungguhnya adalah Yang Mulia Ketua dan bukan lain adalah Pangeran Matahari. Dengan menyebadani Sri Paduka Ratu, Pangeran Matahari akan berhasil menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian luar biasa yang ada dalam diri Sri Paduka Ratu. Namun niat keji Pangeran Matahari tidak kesampaian. Karena di saat itu pula Bunga bersama Naga Kuning, Ratu Duyung, dan Gondoruwo Patah Hati datang menyerbu. Pangeran Matahari menyambut serangan ke empat orang itu dengan dua pukulan sakti yaitu Gerhana Matahari dan Telapak Matahari. Rumah kayu langsung tenggelam dalam kobaran api lalu meledak hancur luluh. Yang Mulia Sri Paduka Ratu berhasil diselamatkan, namun Pangeran Matahari sendiri tanpa diketahui Wiro dan kawankawan melesat loloskan diri dari bangunan yang meledak dalam keadaan hampir keseluruhan tubuh hangus terbakar. Manusia yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, dan Segala Congkak ini, begitu berhasil setamatkan diri segera menyelinap masuk ke dalam 113 Lorong Kematian lewat pintu belakang. Dia tahu, kalaupun musuh-musuhnya melihat, mereka tidak akan berani memasuki lorong. Pangeran Matahari yang tidak memikirkan lagi keadaan dirinya, tidak berusaha mencari pakaian untuk menutupi aurat, yang perlu segera didapatkannya saat itu adalah bendera keramat yang ada di Ruang Bendera Darah. Setelah berhasil mendapatkan Bendera Darah, Pangeran Matahari duduk bersila di dalam lorong, mengatur jalan darah untuk mengurangi rasa sakit di sekujur badan. Sekaligus berusaha menguras habis hawa beracun yang ada dalam tubuhnya dengan cara meniupkan nafas panjang panjang berulang kali. “Aksara Batu Bernyawa…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Manusia paling jahat dalam rimba persilatan ini khawatir berat. Ketika Bunga dan tiga tokoh silat lainnya menyerbu, dia tidak sempat mengambil batu mustika yang saat itu masih berada dalam salah satu saku jubah putih nya. “Aku harus mendapatkan batu itu kembali. Harus! Jahanam betul!” Aksara Batu Bernyawa memang merupakan sebuah batu sakti luar biasa. Dengan batu itulah Puti Andini yang telah menemui kematian, rohnya dapat dihadirkan kembali, masuk ke dalam tubuh dan membuat gadis yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh itu mampu dihidupkan kembali. Seandainya Puti Andini tidak menemui kematian kedua dan sang Pangeran berhasil menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiliki gadis itu, rimba persilatan akan jatuh ke dalam cengkereman Partai Bendera Darah sebagaimana yang telah direncanakan ber dirinya oleh Pangeran Matahari. Cukup lama Pangeran Matahari berada di dalam 113 Lorong Kematian sebelum akhirnya bangkit berdiri lalu sambil membekal Bendera Darah berlari cepat ke arah goa di bagian belakang lorong. Di mulut goa yang porak poranda dia hentikan langkah. Sepasang mata menatap ke arah pedataran berbatu-batu. Sunyi dan gelap. Telinga dipasang tajam-tajam. Mulut menyeringai. Dia menangkap suara banyak orang bicara di ujung pedataran batu. “Belum pergi. Mereka masih di ujung pedataran sana. Apa yang dilakukan manusia-manusia keparat itu?” pikir Pangeran Matahari. Dia gulung Bendera Darah seputar gagang besi lalu berkelebat ke pedataran berbatu-batu. Bersembunyi di balik sebuah batu besar, Pangeran Matahari memperhatikan Wiro dan kawan-kawan berdiri mengelilingi satu gundukan tanah merah. “Hemmm… mereka telah menguburkan gadis itu.” Sepasang mata sang Pangeran memancarkan sinar berkilat. Dendamnya terhadap Wiro setinggi langit sedalam lautan. “Kali ini aku gagal. Tapi sebelum rimba persilatan kiamat, aku bersumpah akan menghancurkanmu!” Rahang Pangeran Matahari menggembung. Selagi semua orang di depan sana masih mengelilingi makam Puti Andini dalam suasana penuh kesedihan, Pangeran Matahari pergunakan kesempatan untuk menyelinap, berkelebat ke arah lorong rahasia di bagian selatan yaitu jalan masuk melewati jurang yang ditempuh Wiro, Bunga dan kawan-kawan waktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Dari bagian atas tangga batu yang melingkar di dinding jurang, Pangeran Matahari memandang ke bawah. Gelap. Dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa walau ada seberkas cahaya suram masuk ke dasar jurang melalui sebuah lobang di dinding batu. Meski tubuhnya hangus serta masih ada hawa beracun yang menyekat di jalan pernafasannya namun Pangeran Matahari tidak kehilangan ilmu kesaktian asli yang dimilikinya. Dengan gerakan cepat dan enteng dia berkelebat menuruni tangga di dinding jurang. Begitu sampai di dasar jurang di mana terdapat sebuah telaga, Pangeran Matahari siap menerobos lobang di dinding batu yang akan menghubunginya dengan satu kawasan persawahan. Mendadak sontak sang Pangeran hentikan gerakan. Dua bola matanya membesar, memandang lekat-lekat ke arah tepi telaga di seberang kanan. Di tepi telaga sana, terbujur tak ber gerak satu sosok tubuh berwarna kuning. “Setahuku bangsat aneh satu ini adalah sahabat Pendekar 212. Mengapa berada di tempat ini? Sudah mampus?” Tidak tunggu lebih lama lagi Pangeran Matahari dengan tiga kali lompatan saja sudah berada di samping sosok yang terbujur di tepi telaga. Mata melotot tak berkesip, dada turun naik, suara nafas menyengal. Orang ini bukan lain adalah Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam negeri 1200 tahun silam. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya, ketika ikut menyerbu ke dalam 113 Lorong Kematian, Jatilandak telah keracunan hawa mengandung belerang yang merupakan pantangan besar bagi dirinya. Dalam keadaan sekarat Pendekar 212 Wiro Sableng memindahkan Jatilandak ke tempat yang lebih aman yakni di dasar jurang di tepi telaga. Sebelum meninggalkan pemuda malang itu Wiro berjanji bila semua urusan di 113 Lorong Kematian selesai dia dan kawan-kawan akan kembali menjemput Jatilandak. Pangeran Matahari pandangi wajah dan sosok Jatilandak. Mulutnya menyeringai. “Mahluk buruk! Kau korban pertama dendam kesumatku terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng!” Sepasang mata Jatilandak tetap mendelik tak berkesip. Namun bibirnya tampak bergerak. Mungkin hendak mengucapkan sesuatu namun tidak ada suara yang mampu keluar. Pangeran Matahari angkat tinggi-tinggi Bendera Darah yang dipegang di tangan kanan. Ujung lancip bendera yang terbuat dari besi diarahkan ke dada kiri, tepat di jurus jantung Jatilandak. Didahului tawa bergelak Pangeran Matahari lalu hunjamkan gagang Bendera Darah! Hanya satu jengkal lagi ujung lancip besi gagang bendera akan menembus dada kiri Jati landak, tiba-tiba ada cahaya gemerlap melesat melewati lobang di dinding kiri telaga. Lalu selarik sinar biru menyusul berkiblat ke arah ujung lancip gagang bendera. Bunga api memercik ketika terjadi benturan antara sinar biru dengan ujung lancip gagang bendera. Ada satu kekuatan dahsyat siap membuat mental bendera. Pangeran Matahari kerah kan tenaga dalam untuk bertahan. Dua kakinya goyah, tubuh bergetar keras. Dia pergunakan tangan kiri membantu pegangan tangan kanan agar Bendera Darah tidak terlepas mental. Tapi! Desss! Asap mengepul. Pangeran Matahari berteriak marah ketika melihat sebagian ujung atas Bendera Darah mengepul hangus. Belum sirna gaung teriakannya, satu kekuatan dahsyat yang bersumber pada sinar biru melanda keras, membuat tubuh nya terpental, jungkir balik di udara dan jatuh tercebur ke dalam telaga. Dinginnya air telaga terasa sebagai sengatan menyakitkan di wajah dan sekujur tubuh Pange ran Matahari yang hangus akibat luka bakar. Sewaktu memunculkan kepala di permukaan air telaga, Pangeran Matahari jadi tersentak kaget ketika melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya. Sosok Jatilandak yang tadi hendak dihabisinya kini berada dalam gendongan mahluk aneh berbentuk bayang-bayang dan memancarkan cahaya bergemerlap.Walau berupa bayangan dan cahaya, namun jelas dapat dilihat sosok aneh itu berbentuk seorang perempuan muda berwajah cantik, rambut panjang terurai. Mahluk bayangan itu memandang ke arah Pangeran Matahari sesaat lalu balikkan tubuh siap bergerak ke arah lobang besar di dinding batu sebelah kiri. “Hantu perempuan!” Bentak Pangeran Matahari. “Mau kau bawa ke mana pemuda itu?” “Mau aku bawa ke mana apa urusanmu?” Mahluk yang ditanya menjawab. Suaranya perlahan saja dan sikapnya tenang. Lalu dengan sikap tidak perdulikan orang dia melangkah ke tepi telaga menuju lobang di depan sana. “Bangsat perempuan! Lagakmu congkak sekali! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa!” “Siapa dirimu apa untungnya aku mengetahui! Yang kulihat kau adalah sosok gosong tak lebih berharga dari sepotong kayu hangus!” Dihina begitu rupa marahlah Pangeran Matahari. Serta merta dia berkelebat menghadang si cantik mahluk bayangan. “Mahluk jahanam! Hantu atau apapun kau adanya akan kukembalikan kau ke alam asalmu!” Pangeran Matahari menerjang ke depan sambil tusukkan ujung besi runcing gagang Bendera Darah ke arah leher perempuan bayangan. Saat itu juga sosok yang diserang pancarkan cahaya bergemerlap berwarna kebiruan disertai munculnya kekuatan memiliki daya dorong kuat. Pangeran Matahari terhuyung-huyung begitu kekuatan aneh itu menerpa ke arahnya. Dia cepat imbangi diri dan kembali menyerang. Kali ini serangannya dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya sehingga ujung runcing gagang Bendera Darah bergetar hebat dan pancarkan sinar kehitaman. Wuttt! Ujung runcing gagang besi menusuk ke arah kepala perempuan bayangan. Namun setengah jalan tak terduga mendadak sontak berubah menyambar ke arah kepala Jatilandak. Mahluk yang menggendong Jatilandak menyeringai. “Serangan bagus! Tapi licik!” serunya. Bahu kiri kanan digoyang. Cahaya biru bergemerlap, memancar terang benderang seperti percikan ratusan bunga api, menyambar ganas ke arah Pangeran Matahari. Tersentak kaget, Pangeran Matahari berseru keras, terpaksa tarik pulang serangannya dan melompat mundur sambil putar tangan kanan yang memegang Bendera Darah. Bettt! Bettt! Bettt! Bendera Darah yang sejak tadi tergulung pada gagang mengembang lebar, membentuk tameng, melindungi diri Sang Pangeran dari serangan ratusan bunga api. Percikan air campur darah bermuncratan. Bau busuk menebar. Bersamaan dengan itu Pangeran Matahari hantamkan tangan kiri melepas pukulan sakti Telapak Matahari. Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sambaran angin luar biasa dahsyat datang melabrak hingga tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh tergelimpang. Masih untung tidak kecebur ke dalam telaga untuk kedua kalinya. Ketika Pangeran Matahari bangkit berdiri sosok perempuan bayangan dan Jatilandak tidak ada lagi di tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara panjang tawa perempuan seolah mengejek sang Pangeran! “Jahanam!” rutuk Pangeran Matahari sambil perhatikan Bendera Darah. Tampang gosong manusia congkak itu langsung berubah. Mata mendelik. Bendera Darah kini penuh dengan puluhan lobang sebesar ujung jari kelingking! “Keparat setan alas!” kembali Pangeran Mata hari memaki. Tangan kiri mengepal, rahang menggembung dan mata seperti dikobari api. Saking marahnya dia tendangkan kaki kanan. Braakk! Sebuah gundukan batu di tepi telaga hancur berantakan. “Siapa adanya mahluk perempuan itu! Jelas dia bukan gadis dari alam roh bernama Bunga, gendak Pendekar 212!” DI TIKUNGAN sungai yang gelap, di bawah naungan batang-batang bambu, mahluk perempuan berbentuk bayangan turunkan tubuh Jatilandak lalu dibaringkan di atas sebuah batu besar. Tiupan angin membuat daun-daun bambu bergemerisik. Air sungai yang mengalir melewati sela-sela gundukan batu mengeluarkan suara deru panjang tak berkeputusan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar kepakan sayap burung disusul suara kicau nyaring panjang. Perempuan bayangan berpaling. Di atas cabang rendah pohon waru di tepi sungai hinggap seekor burung gagak hitam. Setelah me natap burung itu sesaat, perempuan cantik berupa bayangan membuka mulut. Suaranya begitu halus ketika berkata. “Sahabat, terima kasih untuk bantuanmu hari ini. Sekarang pulanglah. Jika aku memerlukanmu lagi, aku akan memberi tanda…” Seolah mengerti akan ucapan perempuan bayangan, gagak hitam di cabang pohon waru angguk-anggukan kepala, menguik dua kali, rentangkan sayap lalu melesat ke udara dan lenyap dalam kegelapan. Perempuan di atas batu besar duduk bersimpuh. Menatap Jatilandak yang terbaring tak bergerak. Tangan kiri diulurkan meraba kening lalu dipindah dan diletakkan di atas urat besar di pangkal leher sebelah kiri. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam, tubuhnya pancarkan cahaya bergemerlapan, dan dari dua lobang hidungnya keluar kepulan tipis asap kuning. “Racun belerang…” ucap perempuan bayangan. “Dia terkena racun belerang. Apakah aku masih bisa menyelamatkannya?” Mahluk cantik berambut panjang dekatkan mulutnya ke telinga kiri Jatilandak. “Jatilandak, apakah kau bisa mende ngar suaraku?” Orang yang diajak bicara terbujur tak bergerak. Dua mata terpentang lebar menatap ke langit hitam. Mulut terbuka sedikit. Bibir bergetar. “Aku melihat setitik harapan. Mudah-mudahan kekuatan putih dan baik di atas langit mau menolong.” Habis berkata begitu perempuan bayangan turun ke dalam sungai. Sosoknya mengapung di belakang batu besar tepat di ujung dua kaki Jatilandak. Dua telapak tangan dirapatkan satu sama lain lalu diletakkan di atas kepala. Sesaat kemudian terjadi satu keanehan. Aliran sungai yang melewati tubuh perempuan bayangan bersibak ke samping dan mengeluarkan suara seperti mendidih disertai mengepulnya asap putih. Pada saat suara mendidih terdengar bertambah keras dan kepulan asap putih semakin banyak, perempuan bayangan turunkan dua tangan. Ibu jari kiri. kanan ditempelkan ke telapak kaki kanan kiri Jatilandak. “Pergi, bersih kembali!” Perempuan bayangan berucap halus. Dua ibu jari ditekan kuat-kuat. Dess! Dess! Asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tubuh Jatilandak terangkat setengah tombak ke atas lalu melesat di udara. Dalam kegelapan malam, di atas sungai tubuh itu berputar-putar beberapa kali. Setiap berputar, dari lobang hidung, mulut, serta liang telinga menyembur asap kuning menebar bau busuk belerang. Setelah dua belas kali berputar, semburan asap kuning mulai berkurang. Pada saat asap kuning itu lenyap sama sekali, sosok Jatilandak perlahan-lahan melayang turun dan terbaring kembali di atas batu besar. Di dalam sungai, aliran air di sekitar tubuh perempuan bayangan kelihatan berubah kekuningkuningan. Perempuan bayangan melesat keluar dari dalam sungai. Tidak ada setetespun air menempel di tubuhnya yang aneh itu. Dia kembali duduk di samping Jatilandak. Setelah memandang pemuda itu beberapa saat. perempuan bayangan berkata. “Jatilandak, kau selamat dari kematian akibat racun belerang. Kau mampu bergerak. Bangkitlah dan duduk menghadap ke arahku.” Sepasang mata Jatilandak yang sejak tadi membeliak tak berkedip kini mampu bergerak. Perlahan-lahan dia bangkit duduk di atas batu lalu berputar menghadap ke arah orang yang barusan bicara. Jatilandak lalu terkesiap. Dia tidak menyangka kalau orang di hadapannya memiliki tubuh seperti bayang-bayang. Dalam ketidak-percayaannya Jatilandak ulurkan tangan kanan ke arah bahu kiri mahluk yang duduk bersimpuh di depannya. Astaga! Walau sosok itu seperti bayang-bayang, namun Jatilandak merasa tidak beda seperti menyentuh dan memegang tubuh manusia biasa! Perlahan-lahan Jatilandak tarik tangannya. Mata menatap tak berkesip, mulut lalu berucap. “Walau tadi mata tak dapat melihat namun perasaan memberi tahu bahwa kau telah menyela matkan diriku. Aku sangat berterima kasih padamu. Kalau aku boleh mengetahui, siapakah engkau adanya? Mengapa ujud keadaanmu seperti ini?” Perempuan cantik di hadapan Jatilandak usap usapkan rambutnya yang tergerai panjang. Untuk beberapa lamanya dia pandangi pemuda berkulit kuning itu. Jatilandak melihat ada sekelumit senyum di wajah jelita itu, namun samar-samar ada bayangan kesedihan atau semacam ganjalan. “Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Jatilandak “Aku tidak tahu harus memanggilmu apa. Namun karena kau telah menyelamatkan jiwaku, apa yang harus aku lakukan untuk membalas budi besarmu itu? Aku bersedia berbuat apa saja untukmu.” Senyum di wajah cantik perempuan bayangan tampak lebih kentara. “Jatilandak…” “Hai, bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanya Jatilandak penuh heran. Mahluk bayangan hanya tersenyum. Tidak menjawab pertanyaan si pemuda. Jatilandak menarik nafas panjang. “Kau masih belum menerangkan siapa dirimu. Mengapa ujudmu seperti ini?” Si cantik di hadapan Jatilandak tersenyum. “Aku memang datang dari alam tidak nyata…” “Maksudmu kau sebangsa roh…” Perempuan cantik berujud bayangan palingkan wajahnya ketika Jatilandak menatap lekat-lekat ke arahnya. Lalu dia berucap halus. “Terserah kau mau menyebutku aku ini apa. Namun siapa diriku tidak penting. Ada hal lain yang lebih penting.” “Apa?” “Aku perlu keterangan.” “Keterangan? Keterangan apa?” “Tentang sebuah kitab. Dalam rimba persilatan tanah Jawa kitab itu dikenal dengan nama Kitab Seribu Pengobatan. Kau pernah mendengar? Mungkin juga tahu di mana beradanya? Aku ingin mendapatkan kitab itu. Paling tidak untuk membacanya lalu mengembalikan kepada siapapun yang jadi pemiliknya.” “Aku pernah mendengar sedikit tentang kitab itu. Kalau tidak salah kitab itu adalah kitab yang harus dicari Pendekar 212 Wiro Sableng. Konon kitab itu telah dicuri orang dari tempat kediaman gurunya di satu puncak gunung.” “Siapa itu Pendekar 212 Wiro Sableng?” tanya perempuan bayangan. “Seorang pendekar paling terkenal di tanah Jawa ini.” jawab Jatilandak. Tadinya dia ingin menambahkan bahwa antara dia dengan Wiro terjalin suatu persahabatan, namun belakangan ada ganjalan dan kesalahpahaman di antara mereka. Perempuan bayangan terdiam sesaat. Tampaknya seperti memikirkan sesuatu. “Apakah aku harus mencari pendekar itu?” ucapnya perlahan. “Jika mau silahkan saja. Namun kitab itu tidak berada di tangannya…” “Aku gembira mendapat penjelasan darimu. Berarti benar berita yang aku sirap. Kitab itu berada di tanah Jawa ini. Maukah kau menolong mencarikannya untukku?” kata perempuan bayangan. “Aku berhutang nyawa padamu. Apapun yang kau pinta akan aku lakukan. Namun kalau aku boleh bertanya, apa perlunya kitab itu bagimu?” “Bukan untukku, tapi bagi seorang lain,” jawab si cantik bayangan. “Kalau kelak kitab itu aku temukan, di mana aku harus mencarimu untuk menyerahkan?” Bertanya Jatilandak. “Kau tak perlu bersusah payah. Aku yang akan mendatangimu. Sekarang aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik…” Perempuan bayangan pegang lengan kanan Jatilandak. Pemuda ini merasa ada hawa sangat sejuk mengalir ke dalam tubuhnya. Sosok berupa bayangan di hadapannya tiba-tiba memancarkan cahaya biru bergemerlap. Lalu secepat kilat berkiblat, secepat itu pula tubuh itu melesat lenyap. Untuk beberapa saat lamanya Jatilandak duduk termangu di atas batu besar di tikungan sungai yang gelap itu. Kemudian terbayang kembali sosok serta wajah perempuan cantik aneh tadi. Pemuda ini geleng-geleng kepala. Dia berucap perlahan. “Banyak keanehan di Latanahsilam. Tapi tanah Jawa ini punya segudang keanehan.” *** Naga Kuning berjalan paling depan, menuruni tangga batu sambil membawa obor. Di belakang nya menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng, Gondo ruwo Patah Hati, lalu Anggini yang juga membawa obor, Dewa Tuak, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu, dan Bunga. Di belakang sekali sambil membawa obor, berjalan Luhkentut, nenek sakti dari Negeri Latanahsilam. Ratu Duyung dan Setan Ngompol tidak bersama rombongan karena kedua orang ini harus mengurusi delapan perempuan hamil yang sebelumnya disekap dalam 113 Lorong Kematian. Dengan pertolongan cermin sakti milik Ratu Duyung mereka berhasil keluar di pintu utara lorong batu. Sebelumnya kesaktian cermin itu tidak mampu mengatasi kehebatan kesaktian penguasa 113 Lorong Kematian. Namun begitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kematian kedua, Wakil Ketua menemui ajal, dan Yang Mulia Ketua babak belur melarikan diri, cermin sakti dengan mudah mampu memantau keadaan di sekitar lorong mana yang harus dilalui hingga akhirnya keluar di mulut lorong sebelah utara. Sekeluarnya dari 113 Lorong Kematian bukan merupakan hal mudah bagi Ratu Duyung dan Setan Ngompol mengadakan perjalanan membawa delapan perempuan yang sedang hamil, apa lagi malam hari begitu rupa. Jelas tidak mungkin mengantarkan perempuan-perempuan hamil itu satu persatu ke tempat kediaman masing-masing. Karenanya begitu sampai di sebuah desa kecil, Ratu Duyung menemui Kepala Desa untuk di mintai bantuannya mengurusi perempuan-perempuan malang itu. Setelah Ratu Duyung dan Setan Ngompol pergi, Kepala Desa itu masih terteguntegun. Tidak percaya malam buta begitu rupa dia bakal mendapat tugas menangani delapan perempuan hamil! Di jalan kecil yang menuju keluar desa, Ratu Duyung berkata. “Kakek sahabatku, sebentar lagi pagi akan datang. Aku rasa aku tidak perlu kembali ke lorong.” “Mengapa pikiranmu berubah?” tanya Setan Ngompol sambil mengusap-usap perut. Dia merasa tenang karena sejak tadi belum kucurkan air kencing. “Bukankah kita sudah berjanji dengan para sahabat akan bertemu di telaga?” “Semua urusan sudah selesai…” “Siapa bilang semua urusan sudah selesai?” tukas Setan Ngompol dengan mata didelikkan. “Pangeran Matahari kabur dan…” “Sudahlah, kau saja yang pergi menemui teman-teman.” “Ah, rasa-rasanya aku tahu mengapa kau tidak mau bergabung dengan para sahabat.” Berkata Setan Ngompol dan kali ini sambil senyum senyum. “Apa yang ada dalam benakmu, kakek bau pesing?” Setan Ngompol usap-usap daun telinganya yang lebar lalu masih sambil senyum-senyum dia berkata. “Menyangkut urusan jodoh. Kau punya banyak saingan berat di sana.” “Saingan berat? Maksudmu apa?” tanya Ratu Duyung. “Di sana ada Anggini yang konon adalah kekasih lama Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu ada Wulan Srindi yang mengaku-aku murid Dewa Tuak sekaligus berjodoh dengan Wiro. Kemudian masih ada Bunga, gadis dari alam roh yang semua orang tahu sangat mengasihi pemuda itu. Nah, nah, bukankah kau menghadapi saingan-saingan berat? Masih untung si pirang bernama Bidadari Angin Timur tidak ada di sana!” “Kakek konyol! Mulut usil tak karuan! Kau pergi saja sana! Aku tidak akan bergabung dengan mereka! Alasan yang kau katakan tadi tidak betul!” Setan Ngompol pegang lengan Ratu Duyung. “Sahabatku cantik bermata biru. Kita sudah berjanji untuk bergabung dengan teman-teman. Apa yang akan kukatakan pada mereka jika aku kembali tidak bersamamu?” “Katakan saja penguasa pantai laut selatan memerintahkan aku datang menghadap.” “Bisa saja aku ngomong begitu. Padahal mereka semua tahu. Bukankah kau sendiri yang jadi penguasa di pantai selatan?” “Jangan bicara melantur!” Setan Ngompol geleng-geleng kepala. “Aku tidak memaksa. Mungkin juga kau tidak suka jalan bersamaku. Kakek jelek, bau pesing…” “Lain kali kita berkumpul lagi dengan para sahabat. Lain kali kita jalan lagi sama-sama,” kata Ratu Duyung. Lalu, plaak! Setan Ngompol merasa kan satu tepukan di pantatnya. Dia tersentak kaget. Memandang ke depan Ratu Duyung tak ada lagi di tempat itu. Sambil usap-usap pantatnya Setan Ngompol berkata. “Pantatku ditepuk. Aku terkejut. Tapi aneh, mengapa kali ini aku tidak kucurkan air kencing? Ratu Duyung seharusnya kau menepuk pantatku sebelah depan, bukan sebelah belakang! Hik… hik… hik. Ah…” Mendadak serrr! Setan Ngompol kucurkan air kencing. “Oala! Muncrat juga kamu! Kukira sudah mampet! Ha… ha… ha!”
Posted on: Sun, 06 Oct 2013 20:37:22 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015