KaRen # 33 Wiro beberapa kali mengunjungi perpustakaan. Kendati - TopicsExpress



          

KaRen # 33 Wiro beberapa kali mengunjungi perpustakaan. Kendati koleksi buku pribadinya memadai, Pak Iro, begitu pria dengan postur sekitar 180 cm ini disapa, tetap membaca koleksi baru terutama buku-buku asing yang terdapat di salah satu pojok (corner) yang difasilitasi oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat. Selain membaca koleksi terbaru, Pak Iro juga mencari informasi bea siswa yang disediakan oleh pemerintah Amerika Serikat. Setidaknya dalam sebulan sekali Pak Iro mengunjungi corner itu. “Oh Anda dulu di perpustakaan ya Mbak,” timpal Pak Iro ketika KaRen memperkanalkan diri. Setelah cukup lama di perpustakaan, KaRen dirotasi ke unit kerja lain yang mempertemukan dirinya dengan Pak Iro. “Ya Pak, saya cukup lama di perpustakaan,” jawab KaRen. “Mbak KaRen di bagian apa ya? Saya kok nggak pernah ketemu dengan Mbak KaRen ?”, tanya Pak Iro. “Ruang kerja saya masih ke dalam pak. Sementara corner yang sering Pak Iro kunjungi itu ada di bagian luar,” jelas KaRen. Pak Iro tidak tahu bahwa sejak KaRen memperkenalkan dirinya sebagai staf baru sebenarnya membawa permasalahan pribadi yang sangat pelik. Pak Iro justru terkesan dengan cara komunikasi verbal KaRen yang dalam penilaiannya dapat mengakrabkan dengan siapa pun. Penilaian Pak Iro tidak salah. Setelah beberapa minggu dirotasi, KaRen tidak hanya cepat akrab dengan staf lainnya, tapi juga cekatan dan ramah dalam melayani mahasiswa. Pak Iro juga terkesan dengan cara kerja KaRen dalam membantu pekerjaan beberapa pimpinan dari sisi administratif dan teknis. KaRen juga sering membantu menyelesaikan pekerjaan Pak Iro. Karena sering membantu Pak Iro, KaRen lalu mengetahui karakter dan kebiasaan Pak Iro jika di kampus. Sebaliknya, Pak Iro juga mulai memahami sisi personal kehidupan KaRen, termasuk persoalan pelik yang dialami KaRen. “Mbak, apakah sudah dipikirkan semua risiko dari keputusan yang akan diambil?”, Pak Iro nyaris tidak memercayai keputusan yang akan ditempuh oleh KaRen. Bagi Pak Iro, pernikahan seharusnya melibatkan banyak pihak terutama dari orang tua. Restu orang tua itu penting, mbak. “Mbak, pernikahan itu seperti kita sedang melakukan riset. Sejak membuat proposal, kita perlu melibatkan pihak lain. Tidak mungkin kita riset dilakukan secara individual. Pernikahan juga seperti itu,” lanjut Pak Iro. KaRen hanya terdiam. Pak Iro melihat mata yang mulai membasah di balik kaca mata minus KaRen. “Mbak, saya tidak bisa membayangkan sebuah ritual pernikahan tanpa kehadiran orang tua sebagai pertanda mereka memberi restu,” Pak Iro tetap meneruskan pembicaraannya kendati KaRen tetap terdiam. Memori Pak Iro dengan cepat bergerak ke masa lalu. Perdebatan dengan seorang paman diingatnya. Ketika itu, Pak Iro mendebat pamannya agar tidak meneruskan hubungan dengan teman wanitanya yang berbeda agama. Keberatan Pak Iro bukan karena alasan perbedaan agama, tapi karena tidak ada restu dari orang tua terutama dari pihak ibu. Paman Pak Iro bergeming dengan sikapnya sampai kemudian prosesi pernikahan tetap dilaksanakan kendati tanpa restu dan tidak dihadiri oleh kedua orang tua paman Pak Iro. Setelah berjalan beberapa tahun, pernikahan paman Pak Iro berakhir dengan perceraian. Pengalaman masa lalu Pak Iro itu coba diceritakan kembali kepada KaRen. “Pak Iro, maaf, apakah dengan bercerita seperti itu, kegagalan pernikahan paman Pak Iro itu akan menimpa saya,” KaRen pada akhirnya merespons Pak Iro kendati dengan nada suara yang berat. “Pak Iro beberapa kali mengatakan kepada saya agar jangan gampang melakukan judging secara hitam putih. Saya juga masih ingat, Pak Iro juga sering mengatakan tentang over generalization yang tidak disukai oleh Pak Iro.” “Ya, saya tahu itu. Tapi, Mbak. Saya tidak bisa membayangkan pernikahan Mbak KaRen itu tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Ini soal tata krama, Mbak. Lagi pula, sebelum nikah kan ada lamaran. Ini kan diabaikan semua. Bagaimana Anda bisa mengambil keputusan yang terbilang berani? Bahkan saya sendiri tidak berani melakukannya. Apa tidak bisa dibicarakan lagi secara baik-baik?” “Saya sudah memikirkan segala risiko. Bukankah Pak Iro juga sering mengatakan hidup ini pilihan, dan setiap pilihan mengakibatkan risiko. Lalu Pak Iro melanjutkan lagi, karena kita sudah memillih, kita tidak boleh menyesali pilihan itu.” “Jadi Mbak KaRen sudah final dengan pilihan yang berisiko itu?” “Ya pak“ "Kendati tidak dihadiri oleh kedua orang tua pada saat peristiwa yang sakral itu?” KaRen kembali terdiam. Pak Iro kembali melihat air mata jatuh di balik kaca mata minus yang dikenakan oleh KaRen. Untuk sementara dialog antara Pak Iro dan KaRen di ruang kerja Pak Iro yang sederhana berhenti. Keduanya terdiam. Dalam keadaan terdiam, memori Pak Iro kembali menjelajah ke masa lalu mengenang prosesi lamaran dan pernikahan dirinya yang ramai yang dihadiri oleh kerabat dan tetangga. Pak Iro juga mengenang keterharuan ayahnya saat pernikahan yang dilaksanakan selepas Pak Iro selesai dari kuliah strata satu. Semua kerabat memahami makna air mata yang jatuh dari mata ayah Wiro begitu kalimat ijab kabul dalam bahasa Arab selesai diucapkan oleh Wiro dengan amat fasih. Ibu Wiro yang wafat sejak Wiro masih usia kanak-kanak sangat menginginkan kelak Wiro berjodoh dengan puteri dari Pak Imran dan Bu Diyah yang masih ada pertalian keluarga. Ayah Wiro merasakan kebahagian yang mendalam karena pada akhirnya bisa menuntaskan keinginan almarhum isterinya, ibu kandung Wiro. Air mata Wiro juga meleleh pada saat itu. Pertautan jodoh dengan pilihan almarhum ibunya dimaknai oleh Wiro sebagai perwujudan balas welas asih. Mengingat masa silam itu, mata Pak Iro nyaris membasah. Tapi Pak Iro berhasil menahannya. Tidak ingin berlama-lama dengan dengan suasana yang ecstatic (menguras emosi) karena mengingat masa lalunya, Pak Iro segera beranjak ke dispenser yang tidak jauh dari ruang kerjanya untuk membuat segelas cappuciono minuman favoritnya. “Mbak, sebaiknya dipikirkan kembali keputusan itu. Terlalu berisiko Mbak.” KaRen hanya menggeleng pelan terhadap saran Pak Iro. “Jadi…,” belum sampai pada kata akhir, KaRen memotong Pak Iro. “Jadi saya tetap dengan keputusan saya meskipun mendatangkan risiko. Ini soal rasa Pak Iro.” *Bersambung* Hotel Ibis, Surabaya, 23 Agustus 2013-Aquarius Boutique Hotel, Palangkaraya, 24 Agustus 2013
Posted on: Sat, 24 Aug 2013 11:49:10 +0000

Trending Topics



didnt get our copies of
"Elisa Carrió denuncia a Diego Bossio y otros funcionarios por
selling! (swap) A house of night novel P1200 set marked- V.G
They will rebuild the ancient ruins, repairing cities destroyed
on.rt/mn6hjy My comments are two-fold: 1. How a Professional
The Lagos State Government must have felt it was doing something
Happy Christmas Eve! I hope that you all enjoy this day, whether
LATALL 2015 coming soon! The Top University Project Office of

Recently Viewed Topics




© 2015