KaRen#35 Pak Iro ingin menikmati paradoks. Otaknya berfikir keras - TopicsExpress



          

KaRen#35 Pak Iro ingin menikmati paradoks. Otaknya berfikir keras menemukan makna pada peristiwa yang sedang dilihatnya. Seperti karakter berfikirnya, Pak Iro ingin menjauhi pemaknaan secara hitam putih. Pada awalnya memang terbersit pertanyaan bernada menggugat. “Mengapa harus melakukan hal senekat begini?”, tanya Pak Iro pada dirinya. Teman yang duduk di sebelah Pak Iro membisikkan kalimat yang kurang lebih sama. Pak Iro hanya terdiam. Teman Pak Iro dan beberapa undangan dalam jumlah yang sangat terbatas juga memilih sikap yang sama. Tidak muncul suara-suara ramai lazimnya perhelatan yang seharusnya mengundang senyum dan tawa. Kalau ada keharuan dan air mata terjatuh biasanya sebagai perwujudan bahagia. Antara undangan yang satu dengan lainnya hanya berbisik-bisik. “Ini betul-betul tidak lazim,” Pak Iro kembali berkata pada dirinya. Memori Pak Iro tiba-tiba bergerak kembali ke masa silam pada saat dirinya melafadzkan kalimat ijab-kabul dalam bahasa Arab yang fasih. Tidak sampai setahun selepas dari kuliah dan setelah mendapatkan pekerjaan tetap, Pak Iro menikah yang mendapat restu secara penuh dari kedua orang tua, baik dari pihak dirinya maupun dari pihak perempuan yang tetap mendampingi Pak Iro hingga saat ini. Suasana pernikahan Pak Iro pada saat itu dirasakan begitu sakral dan sekaligus ramai karena didatangi oleh banyak kerabat. Para kerabat yang datang tampak bergembira dan ikut berbahagia atas pernikahan Pak Iro. Paradoks kini ada di depan mata Pak Iro. Pak Iro coba memberikan makna secara manusiawi pada peristiwa yang tidak lazim ini. Pak Iro ingin menghindar dari penilaian yang cenderung menyalahkan KaRen. Sebelum pada akhirnya memutuskan ritual pernikahan dengan Daniel yang tidak direstui dan juga tidak dihadiri oleh Pak Murni dan Bu Munir, kedua orang tua KaRen, Pak Iro mendengar kasuk-kasuk yang cenderung menyalahkan KaRen. Bahkan ada temannya yang sangat menyayangkan pilihan KaRen yang mengabaikan Herlambang, tapi justru memilih Daniel. “Kalau saya dalam posisi seperti KaRen, saya akan memilih Herlambang. Di samping direstui kedua orang tua, Herlambang lebih mapan,” kata seorang teman kerja KaRen. “ Mengapa sih KaRen kok memilih Daniel?” kata yang lain. Pak Iro ingin memahami kekuatan cinta terutama yang tertanam pada KaRen. Kekuatan cinta KaRen terhadap Daniel sungguh luar biasa. Jika tidak ada kekuatan cinta pada diri KaRen, KaRen tidak akan berani menerabas keadaban budaya Timur yang meniscayakan restu orang tua terhadap anaknya yang akan melangsungkan pernikahan. Pada hari yang sakral, kedua orang tua KaRen tidak hadir. KaRen beruntung, salah seorang saudara lelaki dari pihak ayah KaRen memberanikan diri, bukan hanya hadir, tapi memberanikan diri menjadi wali KaRen yang sebentar lagi akan dipersanding Daniel sebagai isteri yang sah. Pak Iro hanya bisa geleng-geleng kepala saat KaRen berbagai cerita suksesnya pada saat memohon restu dari pamannya itu. Tapi Pak Iro tak bisa mengelak dari gejolak hatinya sendiri. Pak Iro lalu berimajinasi secara liar bagaimana jika kelak anaknya sendiri nikah tanpa restu dari dirinya dan juga isterinya. Sebagai manusia, Pak Iro berhak kecewa bahkan marah. “Naudzubillah, ah, jangan sampai terjadi seperti ini,” kata suara hati Pak Iro. Pak Iro lalu membayangkan wajah Pak Munir dan terutama Bu Munir. Dalam bayangan Pak Iro, wajah Bu Munir bergerak dengan begitu cepat dalam berbagai ekspresi yang bisa mengundang simpati terhadap rasa kecewa, marah, dan air mata yang dirasakan oleh Bu Murni. Pak Iro melihat wajah kecewa dan marah pada Bu Munir. Lalu dalam sekejap, terjadi perubahan ekspresi pada wah Bu Murni. Kali ini Bu Murni tidak lagi bisa menahan tangis. Nyaris saja Bu Murni berteriak histeris kalau Pak Munir gagal menahannya. Pak Iro melepas bayangan terutama wajah Bu Murni yang larut dalam marah dan sedih. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Pak Iro coba melihat sekilas wajah KaRen yang sebentar lagi akan diresmikan sebagai isteri Daniel. ‘Perempuan ini memang memiliki karakter”, Pak Iro berbicara dengan dirinya. Terlihat guratan kecewa dan sedih pada wajah KaRen. Tapi KaRen coba memperlihatkan sosok yang tegar. KaRen telah menyadari pilihannya yang mengandung risiko karena telah menerabas keadaban Timur. Namun yang diapresiasi Pak Iro, kendati KaRen berani menarabas batas-batas budaya tersebut, KaRen tetap tidak ingin melepas ikatan agama. KaRen tetap ingin melengkapi ketercukupan persyaratan fiqih secara minimal pada pernikahan yang akan dilakukan dengan Daniel. Bagi KaRen, kehadiran wali nikah mutlak diperlukan. Kendati gagal mendapatkan restu dari ayahnya, pada akhirnya salah seorang paman KaRen bersedia menjadi wali pada ritual pernikahannya yang sangat bersahaja dan tidak lazim. *Bersambung* Pojok PUSAM, Kampus Satu UMM, 29 Agustus 2013
Posted on: Thu, 29 Aug 2013 10:22:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015