Kamis, 24 Mei 2012 Negara Absen Dalam Menjaga Toleransi di - TopicsExpress



          

Kamis, 24 Mei 2012 Negara Absen Dalam Menjaga Toleransi di Indonesia Dunia Menyoroti Amburadulnya Praktek Intoleransi Di Indonesia Oleh : Supriadi PurbaIndonesia didesak peserta sidang Dewan HAM PBB melalui mekanisme UPR (Universal Periodic Review) di Jenewa, Swiss, untuk memperhatikan dengan serius isu intoleransi beragama. Dalam sidang tersebut, Indonesia dievaluasi 74 negara di dunia melalui Proses Universal Periodic Review, Dewan HAM PBB, dalam sesi ke-13 di Jenewa (Media Indonesia, Kamis, 24 Mei 2012) Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan pemberitaan yang berkaitan dengan intoleransi di beberapa daerah di Tanah Air. Penutupan Gereja di Aceh Singkil, Gereja di Riau, GKI Yasmin serta HKBP Filadelfia merupakan bentuk carut marut Negara terhadap perlindungan warga negaranya yang memiliki hak yang sama di hadapan hukum serta Undang-Undang. Apalagi Pancasila dengan Sila pertama telah menegaskan soal toleransi dan telah diakui keberadaannya pada Deklarasi Hak Asasi Manusia (Duham). Namun pada prakteknya ternyata masih ada penyimpangan, masih ada daerah yang sengaja membuat sebuah praktek yang salah kaitan dengan pengakuan hak warga Negara yang dibatasi dengan cara yang beragam. Ada yang mempersoalkan masalah ijin, seperti kasus GKI Yasmin misalnya, padahal keputusan Mahkamah Agung diperkuat dengan Keputusan Komisi Ombudsman membenarkan pihak Gereja. Hanya karena sang Walikota yang bersikeras, sehingga hukum terabaikan dan pemerintah pusat sepertinya terbawa arus ketidakjelasan dan melakukan pembiaran. Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Repoblik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki keberanian dalam memberikan perlindungan dan jaminan, tidak salah kalau kemudian kesimpulannya Negara absen dalam memberikan rasa aman bagi warga negaranya yang ingin beribadah sesuai dengan keyakinannya. Kasus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia adalah kasus terbaru, dimana masyarakat sekitar mempersoalkan keberadaan Gereja, dimana masyarakat menjalankan ibadahnya. Sangat ironi memang, ternyata bangsa ini masih harus berhadapan dengan isu yang sedikitpun tidak membangun masyarakat. Isu yang memang sengaja di buat oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, mereka-mereka inilah yang harus disadarkan oleh Negara. Dalam kaitannya dengan intoleransi yang bermunculan, sepertinya Negara tidak mewaspadai jikalau apa yang terjadi di Jawa dan daerah lain misalnya bisa diikuti oleh daerah yang lain. Misalnya di Papua, masyarakat Kristen disana kemudian mempersoalkan keberadaan rumah ibadah tertentu, apakah ini dipikirkan atau malah sebaliknya o;eh pelaku dan negara?. Kekondusifan bangsa ini tentunya harus dijaga, bahwa tidak ada mayoritas di atas minoritas atau sebaliknya minoritas diatas mayoritas itu adalah benar. Semua sama, tidak ada produk undang-undang yang menjamin dan memberikan ruang pada diskriminasi, jikalau misalnya produk itu ada, itu harus dicabut karena menyebabkan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karenanya, harus ditegaskan kembali bagaimana penerapan UUD 1945 serta Pancasila yang merupakan harkat dan martabat bangsa. Ruang kecil yang selama ini diberikan menganga, harus segera ditutup, karena sejujurnya seluruh warga Negara menginginkan kedamaian dan hidup berdampingan dengan menerapkan prinsip menghormati, menghargai dan mengayomi. Melihat konteks kekinian yang terjadi maka Negara yang harus mengambil sikap dalam kasus intoleransi yang terjadi. Apalagi beberapa hari lalu menteri luar negeri Marty Natalegawa dihujani pertanyaan bertubi-tubi terkait isu kekebasan umat beragama di Tanah Air dalam sesi ke-13 sidang kelompok kerja Universal Periodic Review Dewan Hak Sasai Manusia PBB di Jenewa. Sejumlah Negara maju mempertanyakan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing terutama bagi pemeluk mayoritas di Indonesia. Senada dengan itu Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menjelaskan sorotan dalam siding UPR Dewan HAM PBB itu menunjukkan menunjukkan bahwa komunitas Internasional melihat stagnasi dalam proses penegakan HAM di Indonesia. Terkait komitmen pemerintah RI dalam melindungi kebebasan beragama, faktanya praktek intoleransi semakin merajalela. Kondisi ini menunjukkan klaim pemerintah bahwa Indonesia Negara yang plural dan plural sudah tidak bisa lagi menjadi citra yang bisa diandalkan untuk disampaikan ke dunia (Kompas, Kamis 24 Mei 2012). Negara Kalah Kita mungkin tidak lupa kaitan dengan kasus Ahmadiyah, kasus pembakaran Gereja, kasus Syah serta praktek intoleransi lainnya. Apakah semua kasus yang disebutkan diatas ada kejelasan dan penyelesaiannya?, cukup disayangkan Negara tidak berani dalam mengungkap dan menindak para pelaku, Negara cenderung membiarkan dan sepertinya tertekan dengan sekelompok masyarakat. Artinya dalam kasus Intoleransi Negara kalah dan tidak mampu memberikan perlindungan bagi warga negaranya, apalagi di tambah desakan luar negeri dalam sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, menunjukkan betapa lemahnya Negara. Jikalau Negara kalah dan tidak berani menindak para pelaku dibalik semua kasus tercedarinya kebebasan beragama dan berkeyakinan, kepada siapa lagi masyarakat mengadu?. Siapa yang ditakuti oleh Negara sebenarnya, bukankah Negara memiliki kewenangan yang kapanpun bisa dilakukan jikalau ada kasus pencederaan terhadap nilai-nilai toleransi, tetapi kenapa Negara diam dan membiarkan? Sudah saatnya Negara bertindak benar, memberikan jawaban masyarakat yang belum terjawab hingga hari ini. Kepastian hukum yang tidak ada menunjukkan betapa lemahnya Negara, Negara kalah dengan sekelompok orang yang merupakan segelintir dari jumlah masyarakat. Presiden dan jajaranya juga asyik dengan bahasa-bahasa lumrah dan sepertinya biasa melihat keadaan yang terjadi sementara ada warga negaranya hingga hari ini tidak mendapat jaminan menjalankan ibadah dan kepercayaannya. Tokoh agama seperti Romo Benny Susetyo melihat Negara sebenarnya sudah membuka ruang terjadinya konflik. Pemerintah lembek terhadap ormas-ormas tertentu, dalam kasus Gereja di Aceh, Riau, Bekasi Negara lebih mendengarkan suara ormas-ormas dibanding melihat kebenaran yang ada. Negara tidak mampu menjadi wasit, tidak memiliki keberanian menegakkan hukum bagi warga negaranya. Dengan dihujani cercaan dan pertanyaann dari Negara-negera sahabat di Sidang Dewan HAM PBB, mudah-mudahan pemerintah Indonesia berubah dan tidak lagi terkesan membiarkan. Memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya adalah tanggung jawab Negara, jangan kemudian akibat pembiaran yang dilakukan Negara, terjadi konflik yang berujung pada jatuhnya nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia, Biarlah hal itu hanya terjadi pada masa lalu, hari ini seharusnya kita sudah memasuki dunia baru tanpa diskriminasi, tanpa intoleransi serta hidup damai dan tenteram antar sesama. Penulis adalah Koordinator Solidarity For Human Rights (SA-HAM), Sedang Bekerja Di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara
Posted on: Tue, 27 Aug 2013 00:37:32 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015