Kepada teman-teman barangkali ada waktu untuk membaca, artikel - TopicsExpress



          

Kepada teman-teman barangkali ada waktu untuk membaca, artikel KOLOM saya di majalah Gatra minggu ini, no.34, hal 60-61, berjudul: Ekonomi Pasar, Negara, Asia dan Indonesia ...sebagai catatan terhadap diangkatnya Chatib Basri sbg Menteri Keuangan RI dan juga catatan atas tulisan Fachry Ali dlm Gatra, 5 juni 2013, hal.21 berjudul: Catatan Ekonomi Politik untuk Chatib Basri....dibawah ini Tulisan saya tersebut : EKONOMI PASAR, NEGARA, ASIA DAN INDONESIA Oleh: Didin S Damanhuri (Guru Besar Ekonomi-Politik FEM IPB) Tulisan ini sebagai catatan terhadap tulisan Fachry Ali dalam Gatra 5 Juni 2013, hal 21 yang berjudul: Catatan Ekonomi-Politik untuk Chatib Basri. Dalam tulisan tersebut terkesan seolah Ekonomi Pasar bersifat homogen, padahal menurut penulis kenyataannya sangat heterogen. Dalam banyak kesempatan memberikan kuliah atau sebagai Nara Sumber seminar, sering penulis sampaikan, bahwa selain Negara-Negara Komunis (Ex negara-negara Uni Soviet, Ex Eropa Timur atau Korea Utara dan Kuba sekarang), kalau bicara ekonomi pasti berbasiskan Ekonomi Pasar. Cuma Ekonomi Pasar di Eropa berdampingan dengan peran Negara yang menjamin sistem jaminan sosial untuk seluruh penduduk, mediator Buruh dan Majikan, pendorong Gerakan Koperasi yang sangat efisien dan perform. Ekonomi Eropa umumnya lebih merata dan relatif kecil kemiskinannya, meski sekarang lagi terserang krisis fiskal dan sosial sekaligus yang belum juga berakhir hingga sekarang. Kemudian kita mengenal Ekonomi Pasarnya Jepang yang dalam waktu relatif singkat (1970-1990an) kinerja cabang-cabang industrinya (Elektronik, Telekomunikasi, otomotif) mampu men-trespasse cabang industri AS dan Eropa, berkat peran Negara dengan apa yang disebut Japan Incorporated. Yakni, peran perencanaan jangka panjang dan sinerginya dengan pelaku lain (swasta, parlemen, dunia riset, para perwakilan di luar negeri), sementara dalam praxisnya, menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta untuk merealisasikan aksi koporasinya dalam mekanisme pasar (nasional maupun global). Dan menurut hasil studi, kesejahteraan buruhnya juga --bersama Swedia-- yang paling tinggi di dunia, dimana serikat buruh di Jepang tidak terlalu kuat seperti di Eropa. Sementara Ekonomi Pasar Amerika Serikat dengan peran Negara yang relatif minimum, yang menghasilkan kinerja sebagai Adidaya Ekonomi, Politik dan militer di dunia berkat kemajuan Iptek yang fantastis, namun kinerja sosialnya rapuh. Dewasa ini ada sekitar 2 juta gelandangan (karena krisis 2008), penduduk tanpa rumah sekitar 12%, kemiskinan (dengan poverty line menurut ukuran mereka sendiri yg jauh lebih tinggi dari Negara-negara berkemang) sekitar 18%. Dan problem kemiskinannya lebih menjadi urusan Yayasan-yayasan sosial seperti yayasan Keluarga Kenedy, Rockepeller, Ford, dll. Sejak Administrasi Obama dari Partai Demokrat, memang sekarang untuk urusan Kesehatan, terdapat Undang-Undang yang menjamin penduduk miskin akses kepada pelayanan kesehatan yang gratis. Yang sangat menarik adalah pandangan Prof.Kishore Mahbubani –Intelektual dari Lee-Kuan Yew School of Public Policy Singapur-- yang sangat disegani oleh kalangan intelektual AS maupun Eropa karena pandangannya tetang Ekonomi Pasar di Asia. Menurut Mahbubani, negara-negara di Asia menempatkan Ekonomi Pasar sangat pragmatis dalam apa yang ia sebut March to Modernity dan meramalkan karena keadaan sekarang dan trendnya ke depan. Menurutnya Asia akan menjadi “Pusat Peradaban dan Pdembangunan” yang sekarang masih berpusat di Negara-negara Barat. Namun Sukses banyak Negara-negara Asia (Jepang, China, Korea-selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapur), mekanisme pasarnya tanpa harus meningalkan nilai-nilai Agama, nilai tradiosnal dan dengan peran Negara dan demokrasi politik yang unik dan bervariasi. Ia mencontohkan di China, bagaimana rakyatnya sekarang bukan hanya menikmati kemakmuran yang jauh lebih tinggi, tapi juga kebebasan atau demokratisasi secara riil berkat kemjuan ekonomi. Dengan demikian, menurut penulis, Ekonomi pasar di Asia menyempal dari arus tengahnya Ekonomi Pasar AS dan Eropa atau saya menyebutnya sebagai Ekonomi Heterodox (lihat buku penulis: Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan solusi bagi Indonesia dan Negara-negara sedang berkembang, 2010, IPB Press). Di Indonesia, Ekonomi Pasar zaman Soeharto (1970-98), meski politiknya Otoriter, tapi rakyatnya mengalami pemberdayaan oleh peran Negara lewat program-program ekonomi dan sosial. Yakni program 8 jalur pemerataan, program kebijakan afirmatif pribumi, Posyandu, swasembada pangan, dll sehingga kemiskinan turun dari 56% tahun 1970 menjadi 13% tahun 1998. Hal itu dimungkinkan karena stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% dan kinerja industri manufaktur yang tumbuh rata-rata 18%. Memang Korupsinya tinggi, yakni rata-rata sekitar 30% dan birokrasinya yang menciptakan state failure. Kemudian Ekonomi pasar sejak 1998, lebih liberat yang awalnya karena tekanan dari IMF yang memberikan pinjaman 45 milyar USD untuk mengatasi krisis moneter yang dahsyat bukan hanya menimpa Indonesia, tapi juga negara-negara Asia Tenggara (Korea Selatan, Thailand, Singapura, Malaysia). Mungkin karena di Indonesia terjadi big-bang demokrasi politik dan kebebasan pers serta Otonomi daerah yang drastis, maka mendorong ekonomi pasarpun malahan terkesan liar. Misalnya privatisasi BUMN-BUMN yang justru bluechip terjadi, Telkom, Indosat, BCA, dan banyak yang lain. Hal itu pada glirannya mendorong penguasaan Ekonomi oleh asing makin tajam, misalnya bidang pangan, perbankan, pertambangan, pasar modal, dan seterusnya serta maraknya impor barang dan jasa. Hal itu seperti sebuah paradox, di satu pihak kinerja pertumbuhan ekonomi yang tinggi --meski dunia dilanda krisis AS 2008 dan Eropa sejak 2010-- dengan rata sekitar pertumbuhan 6% sejak pemerintahan SBY sehingga menjadikan Indonesia bergabung dalam G-20 dengan tinggkat Kekayanaan Nasional (GDP) terbesar ke 16 di dunia. Namun dilain pihak kemiskinan –meski kemiskinan extreem sudah turun menjadi sekitar 12%-- tapi yang hampir miskin (dengan pengeluaran 2 dollar/hari) masih sekitar 49%. Yang paling memprihatinkan, adalah kesenjangan sosial. Rasio Gini pengeluaran menurut BPS yg sbelumnya sekitar 0,32 (2004), tahun 2012 sudah menjadi 0,43. Apalagi kalau memakai data pendapatan, menurut perkiraan penulis, rasio Gininya sekitar 0,53, artinya kesenjangan yang sangat buruk. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih banyak dinikmati oleh 20% penduduk terkaya. Dan memang, pertumbuhan orang kaya di Indonesia adalah salah satu tertinggi di Dunia. Dengan kondisi geografis sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia, keragaman etnis, suku bangsa, agama dan lapisan sosial juga yang paling heterogen di dunia, maka ekonomi pasar tanpa peran Aktif, bersih, efisien dan cerdas dari Negara, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan Politik. Modal Konstitusi-UUD 45 bagi Indonesia amat memadai untuk mendorong Ekonomi pasar dan peran Negara yang optimal, menyusul kinerja bangsa-bangsa di Asia yang diramalkan akan menjadi Pusat Peradaban dan Pembangunan di Dunia, semoga...@
Posted on: Wed, 03 Jul 2013 09:52:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015