Ketaatan Kepada Allah Sebagai Wujud Rasa Syukur Oleh : Muh. - TopicsExpress



          

Ketaatan Kepada Allah Sebagai Wujud Rasa Syukur Oleh : Muh. Azhar Syafrudin, S.ThI* Sejatinya, Allah Subhanahu Wata’ala sudah mencurahkan kasih sayang-Nya dengan berlimpah kepada kita. Kasih sayang yang berwujud berbagai nikmat tersebut terhampar luas dari setiap apa yang ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita, mulai dari yang sifatnya fisik (jism/ jawarih) sampai yang sifatnya non fisik (ruhani). Kemampuan fisik seperti beraktifitas, menghirup udara dan kesehatan diri merupakan contoh nikmat-Nya dari sisi fisik kita. Sedangkan dari sisi spiritual diantaranya adalah kemampuan memikirkan sesuatu atau berkontemplasi serta, terutama, nikmat beriman kepada-Nya sebagai nikmat yang paling sempurna. Hanya saja, sebagai manusia kita sering lupa terhadap beragam nikmat dan karunia Allah Ta’ala tersebut, sehingga kita senantiasa mengeluh dengan problematika kehidupan kita. Keadaan ini sering menghinggapi kita baik secara sadar ataupun tidak sadar. Allah Subhanahu Wata’ala sendiri juga mengemukakan hal ini, yakni sifat mengeluh merupakan tabiat seorang manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’arij (70) ayat 19-20, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah.” Padahal jika kita melihat ketentuannya-Nya juga, setiap manusia pasti akan merasakan ujian ataupun cobaan dalam mengarungi kehidupannya di dunia yang fana ini. Tetapi, ujian tersebut jika dibandingkan dengan berbagai nikmat-Nya hanyalah sedikit saja. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah/ 2 ayat 155). Oleh karenanya, marilah kita menjadi seorang muslim yang senantiasa menyadari bahwa nikmat dari Allah Ta’ala hakekatnya sangat banyak. Sehingga, begitu banyaknya nikmat-Nya tersebut seorang manusia tidak akan mungkin sanggup untuk menghitungnya. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat ke-18, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha pengampun, Maha Penyayang.” Jika kita memikirkan ayat yang telah disebutkan, seharusnya kita juga semakin sadar bahwa, segala kelebihan dan kemudahan yang kita rasakan sekarang tak lain hanya dikarenakan kasih sayang-Nya yang begitu melimpah. Tanpa santunan dari Allah Ta’ala, manusia tidak mungkin mampu untuk bertahan hidup. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman mengenai hal ini dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl/ 16 ayat ke-53 yang maknanya, “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” Demikian, penegasan Allah Subhanahu Wata’ala tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa segala yang menjadi milik kita, beserta segala kemudahan yang sedang kita rasakan hanyalah dari Allah Ta’ala. Selanjutnya, apabila kita merasakan kesulitan dalam mengarungi kehidupan, kita juga memohon kepada-Nya untuk diberikan kemudahan dan keluar dari kesulitan itu. Makna Syukur Syukur secara kebahasaan dapat berarti terima kasih (syukrun). Dalam konteks ini dapat bermakna rasa terima kasihnya seorang hamba pada Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh karena itu, rasa terima kasih seorang hamba kepada Rabb-nya haruslah berwujud totalitas dari segala potensi yang ada pada dirinya. Maka, perwujudan rasa syukur atas berbagai nikmat-Nya tersebut tidak hanya dimaknai dengan ucapan saja, yakni kalimat Al-Hamdu (Lillah), yang lebih bermakna pujian. Syukurnya seorang hamba haruslah terwujud dalam tiga hal. Pertama, rasa syukur hamba harus terdapat dalam pengakuan batinnya atas nikmat yang telah diberikan-Nya. Sikap tasdiq bil qalbi seperti ini merupakan amalan hati yang lebih menunjukkan kadar ma’rifah dan mahabbah setiap hamba-Nya. Kedua, syukurnya seorang hamba harus diucapkan dengan lisannya (iqrarun bil lisan), yaitu untuk memuji dan menyebut nama dan keagungan Allah Ta’ala. Al-Hamdu, adalah sebuah perwujudan paling jelas untuk menyebut satu bentuk pengakuan rasa syukur dalam amalan lisan seorang hamba. Ketiga, rasa syukur seorang hamba harus diamalkan dalam bentuk amal shalih (a’malun bil arkan awil jawarih) dalam kehidupan nyata. Wujudnya adalah penggunaan anggota badan dan segala karunia yang meliputinya sebagai sarana untuk mewujudkan perilaku hidup taqwa, yakni menjaga diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada dosa, sekaligus memanfaatkan segala nikmat itu di jalan yang diridlai oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam posisi yang demikianlah, makna taat kepada Allah Ta’ala dalam ibadah (secara khusus) sebagai wujud syukur yang paling nyata, menemukan relevansinya. Ya! Sebab, dengan rasa terima kasihnya yang sejati, tinggi dan tidak hanya parsial (baca: lisan) menjadi dorongan dan semangatnya dalam ketaatan kepada-Nya. Selanjutnya, jika amalan dalam tiga dimensi tersebut telah menjadi bukti rasa syukurnya seorang muslim, niscaya manfaatnya justru akan kembali kepada dirinya. Sebab, sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Terpuji dan Maha Kaya. Sehingga, bersyukur atau tidaknya seorang hamba tidak akan mempengaruhi keadaan-Nya tersebut. Al-Qur’an menegaskan hal ini yang artinya, “…Bersyukurlah kepada Allah, dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri…” (Luqman/ 31 ayat ke-12). Bahkan, manusia yang selalu bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala, segala nikmat yang telah diperolehnya akan terus bertambah semakin banyak. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya yang artinya, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (Ibrahim/ 14 ayat ke-7). Pada sisi yang berbeda, terkait dengan wujud rasa syukur dalam aspek pengamalannya, mengandung dimensi yang lebih luas. Termasuk terkait hubungannya dengan sesama manusia. Kebaikan seseorang dalam wujud rasa terima kasihnya kepada sesama ternyata juga menjadi ukuran tingkat syukurnya seorang hamba. Rasulullah Muhammad shallu’alaih menegaskan hal ini dalam sabdanya yang artinya, “ Yang paling pandai bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling pandai bersyukur kepada manusia” (HR. Ath-Thabrani). Tentu yang dimaksud terima kasih disini bukan hanya ucapan terima kasih secara lisan saja. Tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk amalan-amalan yang nyata. Ada banyak contoh, misalnya, yang merupakan perwujudan rasa terima kasih ini. Misalkan, menepati janji dengan orang lain, kemudian menutupi segala aib sahabat-sahabatnya yang telah bersamanya selama ini. Termasuk juga menolong dengan sepenuh kemampuannya terhadap rekan-rekannya yang sedang dalam kesulitan. Dan seterusnya aspek-aspek syukur yang terkait dengan pergaulan antar sesama masih sangat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, marilah kita terus berusaha dengan kesungguhan hati menjadi hamba Allah Ta’ala yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Jangan malah sebaliknya, menjadi manusia-manusia yang ingkar kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam surat Al-Baqarah (2) ayat ke-152 yang artinya, “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-KU.” Wallahu a’lam bish shawab. *Muh. Azhar Syafrudin, S. ThI adalah Koordinator Lembaga Studi dan Pengamalan Islam dan Staff Humas di STIE Muhammadiyah Cilacap stiemuhcilacap/2013/11/ketaatan-kepada-allah-sebagai-wujud-rasa-syukur/
Posted on: Sun, 17 Nov 2013 02:56:21 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015