" Ketika Batistuta adalah saya di kehidupan lain " Saya adalah - TopicsExpress



          

" Ketika Batistuta adalah saya di kehidupan lain " Saya adalah salah satu dari mungkin ribuan, atau mungkin jutaan anak di dunia yang tumbuh bersama Gabriel Omar Batistuta ketika baru mengenal sepak bola tahun 90an. Saya memiliki banyak pemain idola, dan memang senantiasa berganti. Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi, Christian Vieri, Zinedine Zidane, Paolo Maldini, Pavel Nedved, Manuel Rui Costa, Andry Shevchenko dan Ronaldo Luis Nazario Lima adalah pemain-pemain yang saya nikmati permainannya. Saya juga mengidolai beberapa pemain lagi ketika beranjak semakin dewasa. Andrea Pirlo, Ricardo Kaka, Ronaldinho, dan Lionel Messi. Namun diantara semuanya, saya bisa bilang kalau Gabriel “ Batigol “ Batistuta adalah yang paling berkesan. Batigol hadir di kehidupan saya pada usia remaja dimana apapun yang saya sukai saat itu terlihat serba indah dan overrated. Hanya melihat dia bermain bola saja sudah senang rasanya. Dan perasaan menggebu-gebu itu turut saya bawa ketika duduk anteng didepan layar kaca hanya untuk menyaksikan Batigol bermain. Saat Batigol mencetak hattrick ke gawang Udinese pada pekan pertama Serie A 97-98, saya dengan bangga meledek teman saya keesokan harinya. Begitupula bahagianya saya ketika Bati berhasil mengecoh Gigi Buffon untuk membawa AS Roma meraih Scudetto tahun 2000. Ya, saya ikut bahagia atas apa yang Bati lakukan, seolah saya yang ikut berkontribusi didalamnya. Begitulah mungkin cara gampang seorang anak kecil menikmati sepak bola. Setiap Bati mencetak gol, saya tidak sabar untuk pergi ke sekolah keesokan harinya. Saya tidak sabar untuk bermain di lapangan sekolah dan mempersonifikasi permainan Batigol di lapangan upacara yang disulap menjadi lapangan sepak bola mini. JIka saya bias mencetak gol, pasti saya akan memperagakan “gaya senapan” yang merupakan gaya selebrasi batigol. Saya tidak akan lupa pada teriakan teman yang meneriaki saya “Ayo Batigol!” dalam pertandingan classmeeting. Saya sampai merasa bahwa Batigol adalah saya dalam kehidupan yang lain. Saya tidak pernah melihat kecintaan seorang pemain kepada mantan klubnya melebihi diri Gabriel Omar Batistuta. Lama dia bermain untuk Fiorentina di Serie A dari tahun 1991 hingga 2000. Selama itu pula banyak gol yang ia sumbangkan untuk La Viola termasuk gelar Coppa Italia. Tapi ada satu yang tidak diraihnya bersama Fiorentina: scudetto. Ini adalah obsesi tiap pemain termasuk Batigol tentu saja. Tapi untuk meraih gelar akan sangat sulit jika terus bersama tim asal Kota Firenze itu. Batistuta pun memilih hengkang pada tahun 2000. Ia pergi ke AS Roma, klub yang sebetulnya juga tidak punya tradisi juara. Tapi di klub itu ada pelatih mentereng, Fabio Cappelo, yang pernah membawa AC Milan juara Liga Champion 1994. Pemain-pemainnya juga tak kalah bagus dengan Juventus, Lazio, dan Inter Milan. Satu hal yang dinanti apabila ikon klub pindah ke klub baru adalah ketika kedua tim bertemu. Inilah yang juga terjadi pada musim 2000/2001. Tapi batin Batistuta tidak sanggup untuk menghadapi bekas klubnya itu. Saya masih ingat kabar yang beredar sebelum pertadingan bahwa Batistuta sempat meminta agar tidak dimainkan. Namun sepak bola adalah profesionalisme. Tidak dikenal rasa sayang apalagi sampai tidak bermain. Fabio Cappelo pun tetap memasangnya. Terjadilah kemudian peristiwa “memilukan” itu. Pertandingan sedang berlangsung ketika bola menghampiri kaki Batistuta yang sedang berlari di depan kotak penalti. Sempat memantul ke tanah sebentar, tak sampai hitungan detik bola itu langsung disambarnya. GOL.., Ini membuat teriakan Romanisti yang berada di stadion membahana. Sebuah gol indah lahir. Semua pemain Roma mengerubunginya, tetapi Batistuta hanya diam saja. Rupanya, ia menangis.. ya, dia menangis setelah mencetak gol tersebut, dan enggan merayakannya. Tapi lebih dari itu, gol tersebut menjadi satu-satunya gol di pertandingan. Roma menang 1-0. Tidak ada perayaan sama sekali. Batistuta sedih karena harus mencetak gol ke gawang tim yang telah membuatkan patung dirinya di depan Artemio Franchi itu. Di akhir laga, pemain Argentina ini terlihat lunglai dan menghampiri suporter Fiorentina untuk meminta maaf. Sebuah makna luar biasa dalam sepak bola. Akhir cerita kemudian berbuah manis juga untuk Batigol. Di akhir musim Serigala Roma menempati posisi teratas klasemen. Mimpi Batistuta pun menjadi kenyataan. Inilah salah satu momen paling spesial yang pernah saya temui dalam sepak bola terutama di Serie A. Mungkin banyak pemain lain yang juga mencintai klub asalnya dan mengatakan tidak melakukan selebrasi jika mencetak gol. Tapi kebanyakan mereka gagal mencetak gol sehingga tidak ditemui momen sedramatis Batistuta. Entah ada berapa poster Batigol yang terpajang di tembok kamar. Dari poster yang saya dapat dari tabloid olahraga hingga yang saya beli dari abang-abang yang berjualan di terminal. Saya lapisi dengan papan dan lakban seadanya agar poster itu tidak lecek, saya tutupi dengan plastik agar poster itu tidak berdebu. Bahkan, saya sampai menaruh foto batigol di dompet saya. Dompet dan foto itu setia menemani saya sampai beberapa ahun lalu sebelum dompet itu hilang dicuri orang… Disaat teman-teman saya lebih memilih membelanjakan uang jajan terbatasnya untuk mentraktir pacarnya makan di restoran junk food dan menonton bioskop berulang kali, saya malah lebih memilih untuk melengkapi koleksi Fiorentina, AS Roma, dan Batigol saya. Anda bisa bayangkan betapa hancurnya hati saya ketika masa masa terakhir dia di AS Roma, terlebih ketika ia terus mengalami dekadensi permainan disana. Saat SMK, saya harus menerima kenyataan bahwa faktor usialah yang membuat Batistuta harus meninggalkan liga Italia menuju ke Al Arabi Qatar (sebelumnya Bati juga sempat singgah di Inter Milan dengan status pemain pinjaman). Faktor usia juga yang membuat kelincahannya sedikit berkurang, ditambah lagi dengan cedera kaki yang dialami selama pertandingan yang membuat saya semakin terpuruk sebagai seorang fans-nya,hihihih.. Tapi itu tidak mengubah status saya untuk hengkang sebagai seorang penggemar. Saya masih terus mencari berita tentangnya, dan masih terlelap dengan gambar dan poster posternya. Sampai akhirnya, saya benar benar kehilangan jejaknya. Kini, ia memang sudah pensiun, dan aksi-aksinya sudah tidak dapat saya nikmati sepuas saat ia masih berjaya, tapi dia tetap Batigol yang sama. Ia akan meminum air yang sama dengan yang saya minum. Tapi entah kenapa, saya tidak lagi memiliki rasa yang sama seperti belasan tahun lalu itu. Segala buku dan bacaan yang saya lahap serta teman-teman baru yang juga memberi pandangan baru menjadikan saya lebih rasional. Saya sudah membebaskan diri dari kungkungan roman picisan berbungkus fanatisme semacam itu. Cara saya menikmati sepak bola sudah tidak seperti itu lagi. Tidak lagi menggembor-gemborkan diri sebagai suporter setia sebuah klub seperti satu dekade lalu. Tidak juga tertarik untuk banter dengan suporter lain. Tapi bukan berarti saya akan menghapus Batigol begitu saja dari ingatan. Meski dengan tingkat berbeda, namun saya tidak akan lupa bahwa pemain ini adalah salah satu alasan saya mencintai sepak bola. Ia tetaplah panutan akan sosok seorang pemenang dan legenda di mata saya. Hanya saja, kini cara pandang saya yang berbeda. Tetapi yang pasti, setelah Batistuta memutuskan untuk pensiun, saya jadi malas untuk menonton bola lagi… ^^
Posted on: Wed, 19 Jun 2013 09:23:14 +0000

Trending Topics



text" style="margin-left:0px; min-height:30px;"> June 15 - 20 ~ Dog Dog : A very loyal and sweet person. Your

Recently Viewed Topics




© 2015