Kisah Sepasang Rajawali Bab 22 Ceng Ceng yang sedang berduka dan - TopicsExpress



          

Kisah Sepasang Rajawali Bab 22 Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja makin meledak kebenciannya terhadap pria. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu, tangan kirinya sudah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, sambil tertawa mereka menyambut dan mengurung. "Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha!" Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara. Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam! Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Adapun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka. Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya dan dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan.... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan. Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apalagi karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir buntung! Orang terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya! Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan pedang itu "meminum darah" agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!"Keparat! Bocah setan, kau lagi! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!" Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di sekitar tempat itu. Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam! Akan tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu, sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya. Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya. Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sehuah jala tipis yang lebar dan ke mana pun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu! Dia melihat kakek raksasa itu memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter, sambil tertawa. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat, biarpun berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Dia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, namun sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka. Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara orang mengejek, "Aih, Lee-ko, orang-orang di sini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!" Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di mana Ceng Ceng tertawan, dia membentak, "Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah kalian?" Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda! Dua orang pemuda yang tampan dan seorang di antaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang ke dua pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang. Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apalagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia! Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata, "Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!" Mendengar ini, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apalagi hanya dua orang pemuda remaja ini. "Kalian siapa, bocah lancang?" bentaknya. "Kami adalah orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!" Mendengar julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mendongkol. Tentu bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam). "Keparat, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya. Belasan orang itu maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu tahu bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu! Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini dia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu. Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar. Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala, dia menarik tali yang mengikat jala dan perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sin-kang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya. "Dukkk!" Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur dan mukanya menjadi pucat. Dia mengenal ilmu sin-kang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat dengan kirinya terasa dingin sekali. "Pulau Es....!" Serunya dan kini matanya terbelalak lebar. Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali putih. "Kiranya kalian...." Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya. Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan. "Syukur kau telah selamat, Nona," kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita daripada kakaknya. "Dan selamat berjumpa untuk yang ke dua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Bolehkah kami mengetahui namamu?" Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri. "Crekkk!" dan roboh kembalilah anggauta Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk. Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus! Melihat ini, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dan kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda? Dahulu, dara itu berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Akan tetapi sekarang, biarpun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan. Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian! Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria! Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andaikata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar daripada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggauta Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamatkannya tadi! "Heiii....! Eh, Nona....!" Kian Bu berteriak, akan tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya telah dipusatkan ke depan untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya! "Heiiii....!" Kian Bu berteriak lagi. "Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa memaksa?" Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata, "Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia...." "Ehhh....? Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan kita selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?" "Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut dikasihani...." Kian Bu menghela napas. "Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti.... seperti...." "Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita," Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan matanya, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya. Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan di dalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka, Puteri Milana. Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara. Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya daripada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada kepada Kaisar. Dia lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan menggunakan kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar dari para pengungsi akan malapetaka yang menimpa dusun mereka. Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, biarpun mereka bukan ahli-ahli menggunakan racun, namun dengan dasar sin-kang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda ini tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng. Setelah mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apalagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak mempedulikan mereka. Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka lalu meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya. Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa. Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi pucat dan layu. Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, kini kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar kalau tangis melanda hatinya. Air matanya sudah mengering, sumbernya sudah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan malapetaka yang menimpanya di dalam guha itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk bernapas. Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda laknat yang amat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya dan sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yalah mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu! Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai, karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya. Matahari telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu! "Nona, perlahan dulu...." Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi. Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara seorang laki-laki! Dan menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang. "Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu...." Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba. "Mampuslah kau, keparat!" Ceng Ceng menjerit dan pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar ke arah leher kakek itu. "Hemmmm, sabarlah, Nona!" kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya. Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu kakek ini, dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas. "Tenanglah, Nona. Aku tidak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kaukeluarkan dari kerangkeng itu." "Aihhh....!" Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. "Kau mau bilang apa? Cepat katakan!" bentaknya. Kakek itu menarik napas panjang. "Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguhpun sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apalagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk di bawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kaubebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?" Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu kalau tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan nyaman. "Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu." "Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan di mana aku dapat mencarinya!" Kakek itu mengangguk-angguk. "Baiklah, engkau akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar." Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita. Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu tidak ada seorang pun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti. Penghuni Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di dunia ramai, istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang telah "dipensiun" karena dituduh berjina dengan seorang pelayan pria. Dibangun di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air! Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya demikianlah! Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang berdatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib, kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar, seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal. Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatiah beratnya. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas dan di situ dia melatih sin-kang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya. "Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek," Lauw Ki Sun menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng. "Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka dari majikanku. Tentu saja aku melawannya. Akan tetapi celaka, kiranya orang itu yang memiliki kepandaian tinggi diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil membawa sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu." Kakek itu menarik napas panjang. Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali. "Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?" bentaknya. "Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah...." "Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu...." "Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Sampai hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka...." "Pemuda laknat itu...." Ceng Ceng memotong. "Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena aku merasa bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun membayanginya untuk membantu. Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh lagi. Kok Cu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biarpun dia telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi.... dia seperti mabok, dia tidak sadar.... dan ketika terjadi peristiwa di guha itu, dia.... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona." "Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!" Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam. Kakek itu pun meloncat dan cepat mengangkat tangannya, "Sabarlah, Nona. Ketika aku tiba di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya. Melihat ini, aku muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam guha telah terjadi hal yang amat hebat itu....! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam guha itu seperti orang gila saking menyesalnya...." "Tak peduli! Di mana dia sekarang! Aku akan membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!" "Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke selatan....!" "Aku akan mengejarnya!" Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan. Louw Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah perlahan-lahan kembali ke utara untuk melaporkan kepada majikannya karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak mampu. *** Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu, betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah. "Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?" "Bu-te, harap jangan bergurau." Kian Lee menegur adiknya. Kian Bu menghela napas, akan tetapi pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah. "Lee-ko, sekali ini aku tidak bersendau-gurau. Sudah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan tetapi aku tidak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah kekeruhan pikiranmu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu. Alismu selalu berkecut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Dan semua ini terjadi semenjak kita berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu." "Bu-te....!" "Sekali lagi aku tidak bergurau sekali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu." Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih, "Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepadanya." "Hemm, kita tidak kenal dia, Lee-ko. Pula, melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam...." "Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu.... ah, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!" Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya di atas meja. "Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!" Kian Lee merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak. "Jangan main gila kau!" bentaknya lirih. Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum. "Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kaupikir saja sendiri. Engkau kenal pun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apalagi namanya ini kalau bukan jatuh cinta?" "Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini." Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak di luar pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan. Ketika pelayan warung datang menghidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya, "Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?" "Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, keluar dari rumah semua untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!" Dua orang kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi cinta? "Apakah panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?" Kian Lee bertanya karena dia pun merasa heran sekali. "Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana." "Mengangumkan sekali!" Kian Lee berseru. "Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga biarpun pasukannya agak memgurangi makan, namun rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya. Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu." "Jenderal Kao....?" Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu. "Jadi diakah yang akan disambut oleh rakyat ini?" "Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat di sini." Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari ke luar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun! "Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!" Kian Bu berkata kepada kakaknya. "Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana," kata Kian Lee tenang. Keduanya lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan. Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar dan berdiri di tepi jalan bersama para penduduk dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangah, ada yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan itu yang bernama Jenderai Kao Liang. Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiringnya yang terdiri dari anak buahnya sendiri. Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda yang besar-besar. Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam orang pengawal perwira, kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala, bangga bukan main hati mereka menyaksikan penyambutan itu. Mereka merasa diri mereka amat "penting" dan menjadi pusat perhatian dan penyambutan rakyat. "Lee-ko, lihat, dia begitu muram...." bisik Kian Bu. Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas kudanya. Untuk sekedar menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri. Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka. Hatinya sedang risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan terhadap pengaruh pemberontak di dalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu. Dia harus yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup. Dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah. Akan tetapi tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu untuk menjadi komandan sementara. Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu. Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguhpun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapapun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia tahu secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong. Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung. Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok dan memandang. Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat mereka pun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh. Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang ini pun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu! "Eh, Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke dalam!" Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya. "Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao," jawab Kian Lee yang biarpun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu. Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir keluar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat banyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang. "Awas, Bu-te....!" Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya. Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu. Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu pun sudah berhasil menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli. "Jahanam kau, manusia sombong!" Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang. "Sssttt.... jangan layani dia, Bu-te....!" Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu. "Tugas kita lebih penting daripada urusan remeh itu." Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu. "Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao...." Kian Lee berbisik. "Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau jangan menimbulkan gara-gara, Bu-te." Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, hari pun mulai gelap. Dua orang kakak beradik menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung. "Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te." "Bagaimana kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?" "Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana." Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu. Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan, duduk mengelilingi sebuah meja. Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang! Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong! Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu seringkali mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya. Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan enam orang itu sebagai penculik dan pembunuh! "Akan tetapi, Ang-taihiap!" seorang di antara mereka membantah kepada pemuda tampan itu. "Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya...." "Apakah engkau takut?" Tiba-tiba pemuda itu membentak dan Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, akan tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itu pun gemetar ketakutan. "Tidak.... tidak, Taihiap.... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal...." "Hemm, kaukira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku." "Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu kita serbu...." "Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan menghadapinya. Mengerti?" Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi. Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes, "Lee-ko! Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi sekarang saja?" "Ssstt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka." Kian Bu mengangguk-angguk. "Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dulu, di Pulau Es, aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!" "Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi." Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas. "Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!" Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan. Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek. Seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya! Tadinya dia mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun sama sekali tidak tahu di mana adanya Syanti Dewi. Apalagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya. Maka, ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya, dan dia pun lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu! Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu di mana adan Syanti Dewi. Hanya dia memperoleh terangan tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya. Pangeran ini malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar! Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda laln, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai! *** Jenderal Kao Liang sudah merasa tidak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apabila dia terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu, diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya. Pagi-pagi rombongan itu meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak melupakan "kewajiban" mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu! Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya. Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini. Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para penglkutnya betapa di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara, mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Dan masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang! Hari itu panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasakan mengganggu. Pembesar itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan pasukan pengawal. Hanya Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah perajurit-perajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biarpun muka dan leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar saja. "Setan keparat, panasnya!" Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan saputangan sutera yang sudah basah kuyup. "Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!" Dia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh. Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan berseru, "Awas....!" Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah. "Hei, kalian mau apa....?" Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang di antara mereka! Tentu saja kejadian ini membuat semua orang terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao. Pembesar itu berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dadanya dan berkata dengan lantang, "Heii, kalian orang-orang gagah, dengarlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena hal itu berarti pemberontakan!" Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal, dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar. "Memberontak? Heh-heh, memberontak!" katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya. "Pemberontak! Tangkap mereka!" Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir remuk! "Manusia jahat!" Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang. "Singg.... tarr.... cringgg....!" Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main. "Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!" teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas. Sementara itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di antara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat lihai. Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal. Sementara itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi ke arah Jenderal Kao sambil membentak, "Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!" Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri ke arah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan kedua tangan telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang pengawal terkejut sekali, akan tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat. Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Dua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini. "Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?" Jenderal Kao bertanya. to be continue. . .
Posted on: Sun, 25 Aug 2013 17:16:53 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015