Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (1) Posted - TopicsExpress



          

Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (1) Posted on Januari 21, 2012 by MUSLIM Oleh, Muhammad Isa Anshary (Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam) Kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan sangat erat. Di negara-negara Muslim, keduanya sering dibantu oleh orientalisme sehingga menjadi gerakan bersama Barat untuk menghadapi Islam. Fakta sejarah pun menunjukkan bahwa gerakan kolonialisme selalui disertai oleh kegiatan misionaris Kristen dan orientalis[1]. Banyak sarjana, baik dari kalangan Muslim maupun Barat, mengakui hal itu. Dari kalangan Muslim misalnya Muhammad Al-Ghazali [2], Musthafa Khalidi, Umar Farukh[3], Abdurrahman Habanakah Al-Maidani[4], Anwar Al-Jundi[5], Muhammad Natsir[6], dan H.M. Rasyidi[7]. Adapun dari kalangan sarjana Barat antara lain Robert Delavignette[8] , Stephen Neill [9], Katie Geneva Cannon [10], Livingstone M. Huff [11], Horst Gründer [12], dan Edward W. Said [13]. Seperti negara Muslim lain yang pernah dijajah oleh bangsa Barat, Indonesia mempunyai pengalaman sejarah mengenai hubungan erat antara kolonialisme dan misi Kristen. Sejarah menunjukkan bahwa Kristenisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekspansi kolonialisme. Agama Kristen datang dan menyebar seiring dengan datang dan menyebarnya kolonialisme Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan membawa misi Kristen. Di dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië disebutkan, “Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini (Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan menjumpai pribumi Kristen, keadaan mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun belum ada pribumi Kristen, dia berusaha menyebarkan Kristen di tengah-tengah mereka.” [14] Namun demikian, sebagian sarjana Kristen mengingkari adanya hubungan saling menguntungkan antara kolonialisme dan misi Kristen. W.B. Sidjabat, misalnya, berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurutnya, kaum misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum kolonialis. Penyebaran agama Kristen lebih disebabkan oleh kuasa Al-Kitab dan bukan terutama disebabkan oleh upaya orang-orang Kristen. [15] Sarjana Kristen lain yang menolak asumsi di atas adalah Chris Hartono dan Adolf Heuken SJ. Menurut Chris Hartono, pernyataan bahwa meluasnya penjajahan dan kemajuan karya zending sama-sama merupakan wadah ekspansi Barat adalah tidak benar, sekurang-kurangnya tidak tepat, karena di antara keduanya terdapat perbedaan yang hakiki. [16] Sementara itu, Adolf Heuken SJ menyatakan bahwa tidak selamanya pemerintah kolonial memberikan bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen. Menurutnya, pemerintah kolonial juga sering menghambat upaya penyebaran Kristen sampai 1942. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Tuduhan bahwa misi dimanja oleh pemerintah kolonial merupakan fitnah yang tak pernah disertai data (yang memang tidak ada).” [17] Kedatangan Bangsa Barat dan Penyebaran Agama Kristen Beberapa sarjana Kristen berpendapat bahwa pengkabaran Injil ke beberapa tempat di Indonesia ini sudah dimulai pada zaman Patristik, pada masa sebelum kedatangan Islam. Diduga bahwa orang-orang Kristen Nestorian dari Mesir dan Persia sempat singgah di beberapa tempat di Indonesia dalam perjalanan mereka ke Tiongkok pada abad V. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang timbulnya Kerajaan Sriwijaya. [18] Namun demikian, nasib agama Kristen untuk jangka waktu yang lama tidak begitu jelas setelah periode ini dan tidak meninggalkan bekas. Tidak ada data sejarah yang dapat menjelaskan perkembangan Kristen Nestorian itu. Baru pada awal abad XVI agama Kristen mulai berkembang dan menyebar dengan kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis memelopori bangsa Eropa dalam ekspedisi pelayaran keliling dunia. Orang-orang Spanyol melakukan pelayaran ke arah barat, sedangkan orang-orang Portugis melakukan pelayaran ke arah timur hingga tiba di Indonesia. Ekspansi Portugis dan Spanyol mendapatkan restu dari Paus Alexander VI. Pada 4 Mei 1493, dia membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol. Salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka itu. [19] Paus Alexander VI mengajarkan bahwa bangsa2 di luar Negara Gereja Vatikan yang tidak beragama Katolik, dinilai sebagai bangsa biadab. Negara atau wilayahnya dinilai sebagai terra nullius (wilayah kosong tanpa pemilik). [20] Semangat Perang Salib sangat kuat mendorong ekspansi Portugis. Mereka memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. [21] Oleh karena itulah ketika Alfonso d’Albuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, dia berpidato, “Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor dari negara ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini… Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka (orang-orang Moor), Kairo dan Mekah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis.” [22] Portugis datang ke Malaka, kemudian ke Nusantara, dengan membawa para misionaris. Penyebaran agama Kristen Katolik menjadi tujuan utama mereka, bukan pekerjaan sambil lalu saja. Di setiap wilayah yang ditaklukkan Portugis, misi Katolik segera masuk dan mengkonversi penduduk dengan cara paksa dan tidak mengenal toleransi beragama. Para misionaris Portugis tidak menghiraukan agama Islam yang telah dianut oleh penduduk di Maluku. Portugis mengadu domba penduduk yang telah berhasil dikristenkan untuk bermusuhan dengan orang-orang Islam. Malah mereka dipakai sebagai senjata untuk memerangi orang-orang Islam, seperti yang pernah terjadi dengan orang-orang Hatiwe yang digunakan tenaganya untuk memerangi Hitu. Agresi-agresi Portugis dengan Kristenisasinya telah memaksa mereka yang tidak rela meninggalkan agama Islam untuk lari meluputkan diri meninggalkan kampung halamannya, mencari tempat yang aman dari incaran Portugis. Penyebaran Kristen Katolik oleh para misionaris Portugis di wilayah-wilayah Islam terkadang dilaksanakan pada hari Jum’at tepat waktu shalat. Pada waktu itu semua orang laki-laki berada di masjid, sedangkan wanita dan anak-anak berada di rumah. Mereka yang dapat meloloskan diri dari kepungan Portugis terpaksa lari meninggalkan keluarganya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi di wilayah-wilayah Islam di pulau Ambon, seperti Negeri Lama (Pasolama), Suli, Wai dan lain-lain. [23] Misionaris Portugis paling sukses dalam menyebarkan Kristen Katolik di Maluku adalah Franciscus Xaverius. Dia tiba di Ambon pada Februari 1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana, dia mengunjungi Ternate, Halmahera dan Morotai, lalu pulang lagi beberapa waktu ke Ternate dan Ambon, kemudian kembali ke Malaka. Selama 15 bulan bekerja di Maluku, Xaverius berhasil membaptis ribuan orang. [24] Xaverius pernah menulis, ”Jika setiap tahunnya selusin saja pendeta datang ke sini dari Eropa, maka gerakan Islam tidak akan dapat bertahan lama dan semua penduduk kepulauan ini akan menjadi pengikut agama Kristen.” [25]. (Bersambung) Catatan Kaki 1. Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Institut Studi Islam Darussalam, 2008), hlm. 44–45. 2. Lihat Muhammad Al-Ghazali, Al-Isti‘mâr; Ahqâd wa Athmâ‘, (Iskandariah: Syirkah Nahdhah, 2005). Menurut Al-Ghazali, kolonialisme mempunyai dendam agama dan ambisi duniawi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam negeri-negeri Muslim yang menjadi daerah koloni mereka, namun juga menyebarkan agama Kristen untuk menghadapi dan merusak Islam. 3. Lihat Mushtafa Khalidi dan Umar Farukh, At-Tabsyîr wa Al-Isti‘mâr fi Al-Bilâd Al-‘Arabiyah, (Beirut: Mansyurat Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, 1986). Menurut kedua penulis ini, misi Kristen menjadi faktor penting dalam menghancurkan persatuan Islam. Sebab, misi Kristen berusaha menggambarkan orang-orang Eropa sebagai pembawa pencerahan baru dan bukan dalam bentuk sebagai penjajah. Apabila mereka berhasil melakukannya, maka hal ini akan mengendurkan dan memecah belah perlawanan umat Islam. (hlm. 37) 4. Lihat Abdurrahman Habanakah Al-Maidani, Ajnihah Al-Makr Ats-Tsalâtsah, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2000). Dalam buku ini, penulisnya memaparkan bahwa misi Kristen, orientalisme, dan kolonialisme adalah gerakan bersama untuk menghancurkan Islam. Ketiganya bertemu dalam tujuan dan proyek bersama. Titik pertemuan itu antara lain adalah dalam kebencian dan dendam terhadap kaum Muslim, eksploitasi ekonomi, memerangi Islam dan upaya penerapannya, serta upaya memisahkan antara Islam dan pemeluknya. (hlm. 187–206) 5. Lihat Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî wa Al-Isti‘mâr As-Siyâsî wa Al-Ijtima‘î wa Ats-Tsaqafî, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Lubnânî, 1983). Menurutnya, pemerintah kolonial yang mencengkeram negeri-negeri Islam menekankan pada dua aktivitas mendasar. Pertama, berusaha untuk membangun opini publik bahwa apa yang dilakukan kolonial merupakan aktivitas yang berkaitan dengan misi pengadaban dan kemanusiaan yang bertujuan untuk memajukan umat manusia. Mereka berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna. Kedua, mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. Hal itu dilakukan sebagai permulaan untuk mengasosiasikannya ke dalam pemikiran Barat yang diasumsikan sebagai pemikiran universal yang dominan. Dengan cara ini, umat Islam akan kehilangan nilai-nilai prinsipilnya, kemudian menerima nilai-nilai peradaban Barat dan takluk seperti kuda jinak di tangan mereka. Untuk melaksanakan kedua hal di atas, pemerintah kolonial mengirimkan misionaris yang memiliki peran besar dalam menciptakan orang-orang yang menerima dan membela pemikiran Barat. Mereka tidak memusuhi kolonialisme, tetapi malah mendukung dan menghormatinya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial membantu sekolah-sekolah, rumah sakit, dan organisasi-organisasi yang didirikan oleh misionaris. (hlm. 415–416) 6. Lihat Muhammad Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Diponegoro, 1969). Buku ini berisi tulisan-tulisan Natsir yang mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung memberi bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen. 8. Lihat Robert Delavignette, Christianity and Colonialism. Menurutnya, ada beberapa posisi agama Kristen dalam kolonisasi. Antara lain melakukan evangelisasi atau Kristenisasi dan pengajaran gereja 9. Lihat Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions, (London: Lutterworth Press, 1966). Neill menyatakan bahwa kolonialisme cenderung ditafsirkan dalam istilah serangan. Serangan itu meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, pemikiran, dan bentuk serangan yang paling berbahaya adalah serangan misi Kristen. (hlm. 12) 10. Lihat Katie Geneva Cannon, “Christian Imperialism and The Transatlantic Slave Trade”, dalam Journal of Feminist Studies in Religion, Volume 24, Number 1 (2008), hlm. 127–134. 11. Lihat Livingstone M. Huff, “The Crusader and Colonial Imperialism: Some Historical Considerations Concerning Christian-Muslim Interaction and Dialogue”, dalam Missiology; An International Review, Volume 32, Number 2 (April 2004), hlm. 141–148. Dalam artikel ini, Huff menyatakan bahwa imperialisme kolonial yang dilakukan oleh negara-negara Barat adalah salah satu aspek sejarah yang mempengaruhi dan membentuk kesalahpahaman antara orang Muslim dan orang Kristen. 12. Lihat Horst Gründer, “Christian Mission and Colonial Expansion-Historical and Structural Connections”, dalam Mission Studies, Volume 12, Number 1 (1995), hlm. 18–20. 13. Lihat Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001), hlm. 131–132. Menurut Said, mengkolonisasi pada mulanya berarti identifikasi –bahkan penciptaan— kepentingan-kepentingan, yang bisa bersifat komersial, komunikasi, agama, militer ataupun budaya. Umpamanya, berkenaan dengan Islam dan kawasan-kawasan Islam, Inggris sebagai kekuatan Kristen merasa memiliki kepentingan-kepentingan legitimatis yang harus dilindungi. Beberapa organisasi misi berkembang untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Misalnya: Baptist Missionary Society (1792), Church Missionary Society (1799), British and Foreign Bible Society (1804), dan London Society for Promoting Christianity Among the Jews (1808). Misi-misi ini terang-terangan ikut serta dalam ekspansi Eropa. 14. Joh. F. Snelleman, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, Jilid IV (Leiden: Martinus Nijhoff, 1905), hlm. 829. 15. W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), hlm. 24. 16. Chris Hartono, “Kehadiran Zending di Zaman Kolonial Belanda; Suatu Tinjauan Historis-Teologis”, dalam F.W. Raintung (ed), Tahun Rahmat dan Kemerdekaan; Perenungan Perjalanan Lima Puluh Tahun Republik Indonesia, (Surakarta: Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial, 1995), hlm. 21. 17. Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja, Jilid 5, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 10. 18. W.B. Sidjabat, Panggilan Kita, hlm. 16-17. Lihat juga Th. van den End, Ragi Carita 1; Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 19–20. 19. H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952), hlm. 86. Lihat juga Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 20–21. 20. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 158. 21. Bernard H. M. Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 97. 22. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 372. 23. Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hlm. 40–42. 24.H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, hlm. 86. 25. Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 31. sumber :eramuslim Kolonialisme Dan Misi Kristen Dalam Sejarah Indonesia (2) Posted on Januari 26, 2012 by MUSLIM Oleh, Muhammad Isa Anshory (Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam) Selain di Maluku, Kristen Katolik juga menyebar di Nusa Tenggara Timur mulai tahun 1556 serta di Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir-Talaud mulai tahun 1560-an. Akan tetapi, mereka gagal menyebarkan Kristen Katolik di wilayah barat Indonesia. Portugis sempat melakukan Kristenisasi di ujung timur pulau Jawa, tepatnya di Blambangan dan Panarukan pada 1585-1598. Mereka membaptis sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga raja Blambangan. Pada akhir abad XVI, penyebaran Kristen Katolik berakhir ketika Blambangan diserang dan diislamkan dari jurusan Pasuruan dan Surabaya. [26] Semenjak itu, tidak ada komunitas Kristen di pulau Jawa hingga datang orang-orang Belanda dalam beberapa gelombang memasuki abad XVII. Pada 1595 orang-orang Belanda mulai datang ke Indonesia. Angkatan pertama ini segera disusul oleh beberapa angkatan berikutnya sehingga jumlah mereka semakin banyak. Tujuan kedatangan mereka itu adalah ikut serta berdagang. Untuk menyatukan orang-orang Belanda yang mengadakan pelayaran dan perdagangan di negeri seberang, pada 1602 dibentuklah organisasi dagang swasta yang bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mempunyai tugas untuk menyebarkan agama Kristen. VOC mengatur dan menetapkan bahwa di kapal-kapal dan wilayah-wilayah yang mereka kuasai harus diselenggarakan pemeliharaan ruhani meskipun sangat sederhana. VOC juga harus memelihara orang-orang Kristen yang merupakan warisan Portugis di daerah-daerah yang baru saja ditaklukkannya. Selain itu, sebagai pemerintah Kristen, VOC mempunyai tugas untuk menyebarkan Kristen kepada penduduk-penduduk kafir dan Islam. [27] Sebagaimana Portugis yang mendapatkan mandat dari Paus Alexander VI untuk menyebarkan Kristen di daerah yang ditaklukkan, VOC juga mendapatkan mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk), yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi, “Juga jabatan itu (maksudnya tugas pemerintah) meliputi: mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang.” [28] Akan tetapi, selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di Indonesia, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk berpindah ke Protestan aliran Calvinisme. [29] VOC lebih memedulikan keamanan keuntungan komersial yang diraih daripada mengonversikan orang-orang Indonesia. Upaya-upaya konversi terhadap pribumi, terutama di Jawa, dihindari karena mereka takut akan pengaruh negatifnya terhadap perolehan keuntungan ekonomi. [30] Setelah VOC runtuh pada 1799, Indonesia tidak lagi milik suatu badan perdagangan, tetapi menjadi wilayah jajahan negara Belanda. Sejak 1795, Belanda diduduki oleh tentara Perancis. Hal ini mendorong pemerintah Inggris menginvasi Jawa dan mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintah Belanda. Masa peralihan sementara ini berlangsung dari 1811 hingga 1816. Di bawah Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris yang ditunjuk untuk memerintah di Indonesia, agama Kristen –khususnya Kristen Protestan– mulai bisa menghirup udara segar. Orang-orang Kristen Inggris memainkan peran menonjol dalam kerja-kerja misionaris, dan Masyarakat Misionaris London (London Missionary Society) kemudian mendirikan Gereja Baptis Inggris pertama di Batavia (kini Jakarta). [31] Dengan berakhirnya pelbagai perang yang disulut Napoleon, Indonesia kembali jatuh ke tangan pemerintah Belanda. Sejak saat itu dan selanjutnya, agama Kristen mulai mengakar di Indonesia. Memang pada abad XIX, misi Kristen Protestan kepada kaum Muslim mulai digalakkan secara serius dengan bangkitnya gerakan evangelis. [32] Sekembalinya pemerintah Belanda ke Indonesia pada 1816, Raja William I dari Belanda mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris akan diutus ke Indonesia oleh pemerintah. Pada 1835 dan 1840, dekrit lain dikeluarkan yang menyatakan bahwa administrasi gereja di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial di Indonesia. Pada 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan, yang mencerminkan bahwa kedua badan di atas saling berkaitan. Dekrit itu menyebutkan bahwa administrasi gereja antara lain berfungsi mempertahankan doktrin agama Kristen. Oleh karena itu, sejumlah fasilitas diberikan kepada para misionaris, termasuk subsidi dan sumbangan finansial serta keringanan pajak. [33] Berbagai lembaga misionaris juga dibentuk dan berlomba-lomba mengembangkan agama Kristen di kalangan pribumi. Lembaga misionaris itu tidak hanya berasal dari negara Belanda, namun juga dari negara-negara Eropa lainnya. Menurut Stephen Neill, lembaga misionaris dari negara Eropa lain memang sengaja datang untuk membantu lembaga-lembaga misionaris Belanda. Pertimbangannya adalah karena Belanda negeri kecil, sedangkan Indonesia negeri yang sangat besar. Apabila Indonesia ingin dikristenkan, maka usaha ini tidak akan dapat dicapai oleh Belanda saja. [34] Di antara lembaga misionaris tersebut, misalnya, adalah sebagai berikut: - Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG). Dibentuk pada 1797 di Belanda. Organisasi ini menyebarkan Kristen di Tanah Karo (Sumatra Utara), Jawa Timur, Poso (Sulawesi Tengah), dan Bolaang Mongondow. - Nederlandsche Bijbelgenootschap. Dibentuk pada 1814. Organisasi ini menyebarkan dan menerjemahkan Bibel ke dalam berbagai macam bahasa di Indonesia. - Nederlandsche Zendings Vereeniging. Dibentuk pada 1858. Organisasi ini menyebarkan Kristen di kalangan kaum Muslim dan penganut agama suku di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. - Het Rijnsche Zendingsgenootschap te Barmen. Dibentuk pada 1829. Organisasi ini menyebarkan Kristen di Tapanuli (Tanah Batak dan Nias), pulau Enggano, kepulauan Mentawai, Simalungun, dan Tanah Karo. - De Utrechtsche Zendingsvereeniging. Berdiri pada 1859 dan menyebarkan Kristen di Maluku. - De Indische Advent Gemeente menyebarkan Kristen kepada keturunan Cina di Jawa, Tapanuli, dan Ambon. - The Missionary Society of the Metodhist Episcopal Church menyebarkan Kristen di Palembang dan Sumatra Selatan. Penduduk pribumi yang masuk Kristen mendapatkan hak-hak istimewa dari pemerintah Hindia Belanda. Menurut Ketetapan Umum Perundang-undangan Hindia Belada tahun 1849, golongan Kristen termasuk kategori Eropa, sehingga penduduk pribumi yang beragama Kristen menikmati hak hukum yang sama dengan saudara-saudara mereka seagama dari kalangan bangsa Eropa. Walaupun posisi anak mas ini segera ditarik kembali dan peraturan pemerintah (Regeeringsreglement) tahun 1854 menempatkan posisi hukum mereka dalam kategori yang sama dengan penduduk pribumi lain pada umumnya, namun hal ini belum menghilangkan kenyataan bahwa penganut Kristen pada umumnya menikmati berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda, umpamanya dalam mencari lapangan kerja serta dalam memperoleh kenaikan pangkat dalam pekerjaan mereka. Anak-anak mereka pun, dibandingkan dengan anak-anak orang Islam, mudah mendapat tempat di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. [35] Apabila para zendeling dan misionaris cukup berhasil mengkristenkan penduduk di daerah-daerah luar Jawa yang masih menganut agama primitif, namun tidak demikian halnya di Jawa. Meski mereka telah mengerahkan tenaga dan dana yang besar, namun hanya sedikit penduduk Jawa yang masuk Kristen. Perkembangan komunitas Kristen di Jawa sangat lambat. Pengaruh Islam sangat kuat di kalangan pribumi Jawa sehingga menjadi penghalang kokoh bagi upaya Kristenisasi. Dalam suratnya kepada Pengurus Pusat Nederlandsche Zendings Vereeniging pada 8 Mei 1863, D.J. van der Linden mengatakan, “Agama Islam di Pulau Jawa ini bukan seperti pohon yang tidak berbunga lagi. Bahkan sebaliknya, tahun demi tahun buahnya bertambah banyak. Orang Jawa masih merasa yakin bahwa agama Islam memenuhi kebutuhannya. Dia belum siap. Itulah sebab utama kurang berhasilnya perkabaran Injil di Pulau Jawa selama ini.” [36] Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Th. van den End, “Akhirnya, di daerah-daerah di luar Jawa pun waktu panen yang berlimpah tiba; kalau di Jawa Barat masa panen itu tidak kunjung datang. Yang demikian itu karena di sana beton adat, yang membuat masyarakat begitu tertutup, masih diperkuat lagi oleh besinya Islam.” [37] Pertarungan Identitas. Agama Kristen bagi pribumi Muslim dipandang sebagai agama penjajah Belanda karena agama ini dianut, disebarkan ke kalangan pribumi, dan didukung oleh orang-orang Belanda. Maka dari itu, pribumi yang masuk agama Kristen bukan hanya dikucilkan dari lingkungannya, tetapi juga dianggap telah menjadi “Belanda” atau antek Belanda. Dengan demikian, rasa bangga berdasarkan kebangsaan akan terusik. [38] Pada masa itu Islam adalah identik dengan kebangsaan. [39] Pandangan ini muncul akibat kuatnya pengaruh Islam dalam diri penduduk pribumi. Bagi mereka, Islam berfungsi sebagai titik pusat identitas untuk melambangkan keterpisahan dari dan perlawanannya terhadap penguasa-penguasa Kristen dan asing. [40] Politik kolonial Belanda sesudah 1850 memang tidak hanya bermotif ekonomi, namun juga perluasan militer, pegawai, politik dan agama. [41] Dalam hal ini, kegiatan zending dan misi turut memperkokoh kekuasaan politik kolonial Belanda. Desa-desa Muslim menjadi benteng pertahanan yang kokoh untuk menjaga indentitas keislaman warganya dan melawan penyebaran agama Kristen. Dalam suratnya kepada Pengurus Pusat Nederlandsche Zendings Vereeniging pada 15 Desember 1884, J. Verhoeven menulis, Dengan memperhatikan pengalaman banyak teman, dan karena banyak bergaul di desa-desa kaum Muslimin di daerah pedalaman, saya menjadi yakin bahwa untuk sementara waktu tidak mungkin mengharapkan kaum penganut Kristus dapat tinggal sedesa bersama kaum penganut Muhammad. Belum lama berselang telah dikemukakan suatu contoh yang membuktikan bahwa susunan pemerintah desa serta keseluruhan tatanan hidup perekonomian dalam suatu desa Muslim merupakan suatu benteng pertahanan yang kokoh, yang untuk sementara waktu tak tertaklukkan, melawan penyebaran agama Kristen. Olehnya juga ditimbulkan keadaan yang menyebabkan setiap individu yang telah masuk Kristen hampir tidak mungkin tetap setia dan mencapai pertumbuhan rohani yang membuat kita dapat menyaksikan kehidupan jemaat yang sehat dan kuat. [42] Untuk menyelamatkan jemaat Kristen dari pengaruh Islam, sekaligus sebagai basis gerakan Kristenisasi, maka didirikanlah desa-desa Kristen. Beberapa desa Kristen di Jawa antara lain adalah Mojowarno di Jombang, Pangharepan di Sukabumi, Cideres di Majalengka, dan Palalongan di dataran Cihea di Priangan. Sebagaimana desa kaum Muslim yang berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap identitas keislaman warganya, desa Kristen juga diharapkan bisa berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap identitas kekristenan warganya. Mengenai harapannya di Mojowarno, A. Kruyt mengatakan, Maka kami berikhtiar untuk di Mojowarno membentuk jemaat inti yang sungguh sehat. Melalui inti ini, kami berupaya untuk mempengaruhi masyarakat Islam di sekitar kita, seperti halnya ragi meragi tepung terigu tiga sukat. Apabila waktu yang ditetapkan Allah sudah tiba, maka orang banyak, bahkan para pembesar pun, akan datang kepada Tuhan, lalu pulau Jawa ini akan memasuki masa yang serba indah dan serba gemilang. [43] Sementara itu, J. Verhoeven menjelaskan alasan keinginannya mendirikan desa Kristen sebagai berikut: 1. Agar orang-orang yang sudah dibawa masuk ke dalam jemaat dapat tetap menjadi anggota, dengan melepaskan mereka dari ikatan yang menghimpit mereka jika terpaksa tetap menjadi warga desa Muslim, dan memindahkan mereka ke dalam lingkungan dimana Roh Kudus dapat berkuasa untuk menyegarkan hati sanubari, keluarga, serta lingkungan mereka. 2. Agar kaum Kristen bumiputra tidak lagi harus tunduk kepada pemerintahan desa yang antara lain beranggotakan tokoh-tokoh yang harus kita pandang sebagai musuh wajar orang-orang Kristen, dan juga agar mereka akan dapat menjauhi oknum-oknum yang keberadaannya merusak bagi kaum muda dan kaum tua pula. 3. Agar mereka dapat sungguh-sungguh tumbuh sebagai jemaat; agar dapat diadakan pengaruh yang baik terhadap pendidikan anak-anak warga jemaat, dan agar dengan demikian kaum muda dan kaum dewasa dapat bertumbuh dalam takwa terhadap Tuhan. 4. Agar dalam melakukan usaha pertanian dan usaha pencarian halal lainnya, dapat diusahakan kerja sama dan jiwa gotong royong yang diperlukan, agar tangan-tangan yang rajin dapat menghasilkan lebih daripada hanya kebutuhan yang paling pokok saja, serta juga agar lama-lama jemaat ini dapat berswadaya dalam memenuhi segala kebutuhannya, termasuk alat-alat dan barang keperluan sekolah, yang kini masih menjadi tanggungan utusan Injil atau perhimpunan yang mengutusnya, ataupun sama sekali tidak dapat diperolehnya. 5. Agar kami (para zendeling) dapat menunjukkan dengan lebih tegas kepada kaum Muslim di sekitar kami –kami sungguh-sungguh ingin hidup dalam kedamaian dan kerukunan dengan mereka—bahwa kaum Kristen merupakan sahabat-sahabat mereka, dan bahwa agama Kristen menginginkan kesejahteraan sejati untuk semua bangsa 6. Agar Zending Injili paling sedikit mengupayakan, agar dalam lingkungan desa-desa Kristen disediakan lapangan, dimana pihak pemerintah dengan berangsur-angsur akan dapat melaksanakan “pembaruan-pembaruan” yang dibutuhkan oleh kaum bumiputra Kristen kami, yang dikehendaki pemerintah, namun dianggap “belum sampai masanya”. [44] Masalah identitas merupakan masalah penting. Identitas menjadi faktor pemersatu. Selama Islam masih menjadi identitas penduduk pribumi, sulit untuk mengharapkan mereka masuk Kristen. Agaknya hal ini disadari oleh sebagian misionaris maupun zendeling. Oleh karena itu, mereka tidak hanya mendirikan desa-desa Kristen, namun juga berusaha memisahkan identitas keislaman dari penduduk pribumi. Strategi ini terutama dilakukan di Jawa pada abad XX, seperti yang akan dibicarakan nanti. (Bersambung). Politik Etis dan Politik Kristenisasi Politik etis merupakan reaksi terhadap politik liberal (1870-1900). Masa politik liberal merupakan masa eksploitasi Indonesia oleh perusahaan-perusahaan swasta setelah dihentikannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) secara bertahap. Pengejaran untung oleh para pengusaha swasta Eropa menyebabkan perekonomian pribumi porak poranda. Maka dari itu, muncullah kritikan dan kecaman terhadap penerapan politik liberal di kalangan orang Belanda. Pada 1888, P. Brooshooft, redaksi surat kabar di Semarang, De Locomotief, menuntut pemerintah Belanda agar memperbaiki keadaan pribumi di Hindia Timur dan memberi otonomi lokal yang lebih besar. [46] Sebuah kritikan datang dari Mr. Conrad Th. van Deventer pada 1899 melalui artikelnya "Een eereschuld" (Utang Budi) di majalah ternama "De Gids". Senada dengan P. Brooshooft, van Deventer menuntut pemerintah membayar budi atas dana berjuta-juta dari keuntungan sistem tanam paksa. Jumlah yang harus dikembalikan sekitar 187 juta gulden. Uang ini dipergunakan untuk memperbaiki sistem pendidikan dan kepentingan publik lainnya. [47] Sementara itu di Negeri Belanda sendiri, tuntutan untuk meninggalkan politik eksploitasi semakin kuat. Semua partai memberi tekanan pada politik kolonial yang didasarkan pada suatu kewajiban moril dan diarahkan pada perbaikan nasib penduduk pribumi. Partai Liberal yang menguasai politik selama lima puluh tahun terakhir telah keluar dari kekuatan politik. Koalisi partai agama (Partai Roma Katolik, Partai Anti-Revolusioner, dan Partai Kristen Historis) dan kelompok kanan berhasil memenangkan pertarungan politik dan menetapkan untuk kembali pada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. [48] Tiga partai agama tersebut memiliki program yang banyak menitikberatkan pada agama, kerja bebas, dan kewajiban moral dari negeri induk. Mereka menuntut supaya Hindia Belanda dibuka untuk kegiatan misi, juga menuntut dukungan pemerintah kolonial terhadap kegiatan-kegiatan itu. Kedudukan legal agama dan orang-orang Kristen harus diatur dengan undang-undang. [49] Partai Anti-Revolusioner, di antaranya, menyebutkan programnya: Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda), yang jika ditinjau dari segi kenegaraan maupun ke masyarakatan adalah juga sangat penting. Maka dari itu, pemerin tah kolonial harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dan tunjangan keuangan dalam melakukan pendidikan dan perawatan (misi). Partai agama juga menentang eksploitasi ekonomi dan finansial, terutama penggunaan uang-uang Hindia untuk kepentingan negeri Belanda. Politik eksploitasi perlu diganti dengan politik kewajiban etis, atau poltik sosial. Selain itu, mereka menuntut agar diberikan perhatian lebih banyak kepada kepentingan penduduk. [51] Politik ekspansi yang dijalankan secara keras juga ditentang oleh kaum agama. Mereka menegaskan bahwa kaum Nasrani tidak diperbolehkan memiliki daerah jajahan, kewajibannya ialah mendatangkan peradaban dan agama Kristen. Dalam prakteknya perubahan politik kolonial hanya merupakan eksploitasi untuk perbendaharaan Belanda menjadi eksploitasi untuk kepentingan sosial, baik Belanda maupun asing. [52] Oleh karena latar belakang tadi, akhirnya pada September 1901 Ratu Wihelmina menyampaikan pidato tahunan kerajaan, Sebagai bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan orang-orang Kristen pribumi di daerah kepulauan Hindia (Indonesia), memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan zending Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk wilayah itu. [53] Pidato Ratu Wihelmina ini dianggap sebagai pertanda dimulainya politik etis di Indonesia yang jelas sekali memperlihatkan semangat Kristen. Memang, sebagaimana dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo, politik kolonial Belanda pada abad XX tidak hanya terbentuk oleh kristianisme, tetapi juga liberalisme dan humaniterisme. [54] Namun demikian, "warna Kristen" tetap mendominasi dalam politik etis, terlebih dengan duduknya beberapa tokoh partai agama dalam pemerintahan di Hindia Belanda, yang dengan terus terang mendukung Kristenisasi. Atas nama "kewajiban moral bagi orang Belanda untuk mengangkat derajat penduduk pribumi", gerakan penyebaran agama Kristen mendapatkan dukungan pemerintah karena dianggap sejalan dengan misi pengadaban (civilizing mission). Istilah "politik etis" di kalangan sejarawan mempunyai sekian banyak batasan, penanggalan, dan tafsiran. Elsbeth Locher-Scholten menyimpulkan bahwa politik etis bisa diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan melebarkan kekuasaan nyata Belanda atas seluruh wilayah kepulauan Indonesia serta mengembangkan negeri dan bangsa wilayah ini menuju pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Belanda dan menurut model Barat. Berakhirnya politik etis dianggap terjadi pada 1910, 1912, 1920, 1927, 1930 ataupun 1942. Nama politik etis itu sendiri diberikan oleh para pelopor yang menginginkan kebijakan kolonial yang baru. Mereka berasal dari golongan partai-partai agama, sosialis, dan liberal progresif (vrijzinnig-democratish). [55] Pada 1900-an, kata "etis" merupakan kata yang sedang musim. Istilah "politik etis" merupakan bagian dari mentalitas tertentu yang mencolok di berbagai bidang dan mengungkapkan mentalitas itu. Kesadaran moral yang meningkat ini pada satu segi merupakan sebab meningkatnya Calvinisme sesudah tahun 1870, yang memang dari dulu sarat muatan moral. Dari segi lain, kesadaran ini berakar dalam kelompok yang pada waktu yang sama meninggalkan Calvinisme. Pada masa meningkatnya sekulerisasi, etika atau ilmu kesusilaan merupakan endapan kepercayaan lama yang sangat dihargai. Di dalam aliran baru yang banyak muncul, yang bervariasi dari sosialime sampai teosofi, etika ini bisa memberikan pegangan hidup yang baru. Perjuangan melawan kepincangan sosial pada akhir abad XIX menguatkan kesadaran akan moral ini. Di samping itu, pergeseran dari karya amal individual (gerakan kebangunan Protestan Réveil) kepada bentuk organisasi yang lebih besar ikut mendorong kepekaan kesadaran moral. Dapatlah dikatakan bahwa "keadaan kurang sejahtera" sebagai varian kolonial "permasalahan sosial" justru menggugat kesadaran etis ini. [56] Untuk meningkatkan kemakmuran pribumi, pemerintah Hindia Belanda menyebutkan tiga prinsip politik etis, yaitu: educatie, emigratie, irrigratie (pendidikan, perpindahan penduduk, pengairan). Namun dalam pelaksanaannya, ketiga prinsip ini tidak dapat dilepaskan dari upaya mempertahankan penjajahan. Mereka beranggapan bahwa apabila Indonesia merdeka, segalanya akan hilang. [57] Tujuan kaum penganjur politik etis bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan yang setaraf dalam rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung dengan negeri Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang berpikir lebih jauh, yaitu yang mencita-citakan suatu Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka. [58] Kerstening-politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Cita-cita dan tujuan yang termuat dalam politik etis berjalan sejajar dengan politik Kristen sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di negeri Belanda. [59] Mereka yang diangkat sebagai pelaksana politik etis setelah pidato kerajaan tahun 1901 adalah orang-orang yang dikenal loyal terhadap Kristenisasi, seperti Abraham Kuyper dan Alexander Willem Frederik Idenburg. Abraham Kuyper diangkat sebagai Perdana Menteri pada 1901. Alexander Willem Frederik Idenburg diangkat sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916). Abraham Kuyper sejak 1879 telah mengkritik kecenderungan kebijakan pemerintah Belanda yang mengeksploitasi Hindia (Indonesia) demi kas negara Belanda atau kas para pengusaha swasta Belanda. Dia mengusulkan agar kebijakan itu diganti dengan kebijakan yang berkesusilaan. Untuk itu, harus ada upaya menjalankan pemerintahan Hindia demi kepentingan Hindia. Menurut Kuyper, pemerintahan Hindia demi Hindia itu berarti: pemisahan urusan keuangan Hindia dari keuangan negeri Belanda, tidak ada westernisasi yang dipaksakan tetapi Kristenisasi dijalankan, pemerintahan yang adil, kerja bebas dan perluasan berangsur-angsur kedaulatan atas "tanah milik Kerajaan di luar Jawa". [60] Dalam gagasan "Hindia demi Hindia", Belanda tetap menjadi wali atas Hindia. Konsep perwalian Belanda atas Hindia ini, menurut Kuyper, adalah memberi pendidikan kesusilaan yang diartikan dengan mengkristenkan, mengelola milik pihak yang di bawah perwalian dengan seksama demi kepentingannya, dan memungkinkan bagi pihak tersebut posisi yang mandiri di masa depan, jika Tuhan menghendakinya. [61] Alexander Willem Frederik Idenburg juga dikenal konsisten melakukan kerstening-politiek. Ketika pada 1909 dia diangkat sebagai gubernur jenderal di Bogor, para pegawai pemerintahan kolonial heran karena Gubernur Jenderal ini adalah orang yang taat pergi ke gereja. Dia bahkan disebut sebagai "orang Kristen pertama di atas Tahta Buitenzorg (Bogor)". [62] Idenburg berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan. Meminjam kata Robert E. Speer, Idenburg menyatakan, Pilihan untuk Dunia Islam bukanlah Muhammad dan Kristus. Bukan pula Muhammad atau Kristus. Tetapi, hanya Kristus. Kristus atau hancur dan mati. Islam (penyerahan kepada Tuhan) yang sebenarnya adalah menyerah kepada Kristus. Barulah boleh hidup dan bebas. Idenburg kemudian membela secara panjang lebar keuntungan-keuntungan bagi pemerintah Belanda bila rakyat telah dikristenkan. Rakyat dengan demikian tidak akan mau dipisahkan lagi dengan pemerintah Belanda, seperti dikatakannya, Kebenaran cita Kristen dapat dibuktikan dalam praktek. Rakyat Hindia Belanda dimana agama Kristen telah berakar (Minahasa, Maluku, Batak) meskipun mengenal aspirasi nasional, tetapi mereka umumnya merasa ada ikatan kokoh dengan pemerintah Belanda dan tidak menghendaki pemecahan masalahnya di luar pemerintah Belanda. [63] Dengan demikian, "kewajiban moral untuk mengangkat derajat penduduk pribumi" dalam prakteknya adalah upaya untuk membaratkan (mensekulerkan) dan mengkristenkan penduduk pribumi. Memang Barat tidak selalu berarti Kristen, namun nilai-nilai dan semangat Kristen tidak bisa dilepaskan dari worldview Barat. Itulah makanya meski beberapa individu yang duduk dalam pemerintahan Hindia Belanda dianggap sebagai orang yang liberal dan moderat, namun kecenderungan untuk mendukung Kristen dan Kristenisasi dalam menghadapi Islam tidak bisa dihindarkan. [64] Kristen dipandang sebagai agama yang berperadaban tinggi, sedangkan Islam dipandang sebagai agama yang berperadaban rendah. Belanda menganggap bahwa perluasan kontrol politik atas suatu daerah akan mendatangkan keamanan dan ketertiban yang unggul mempunyai kewajiban untuk menyebarkan kekayaan peradabannya ke bangsa lain. Perkembangan dan tersebarnya kegiatan misi Kristen ada hubungan erat dengan doktrin peradaban itu. [65] (bersambung) Oleh, Muhammad Isa Anshory (Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam) Catatan Kaki 46. Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 20. 47. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, hlm. 732. 48. Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, hlm. 51. 49. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid II, hlm. 31. 50. O. Hashem, Menaklukkan Dunia Islam, (Surabaya: YAPI, 1968), hlm. 26. 51.Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 28. 52. Ibid, hlm. 31. 53. O. Hashem, Menaklukkan Dunia Islam, hlm. 25. 54. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid II, hlm. 5. 55. Elsbeth Locher-Scholten, Etika Yang Berkeping-Keping; Lima Telaah Kajian Aliran Etis Dalam Politik Kolonial 1877–1942, (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 239 dan 270. 56. Ibid, hlm. 242. 57. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, hlm. 302. 58. Th. van den End, Ragi Carita 2, hlm. 7. 59. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, hlm. 77. 60. Elsbeth Locher-Scholten, Etika Yang Berkeping-Keping, hlm. 246. 61. Ibid, hlm. 248. 62. Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat; Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 239. 63. O. Hashem, Menaklukkan Dunia Islam, hlm. 26—27. 64. Mr. J.P. Graaf van Limburg Stirum dikenal sebagai orang yang liberal. Dalam suatu diskusi Indisch Genootschap pada 31 Maret 1891, dia menyatakan, "Zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending." Ternyatakemudian dia diangkat sebagai Gubernur Jenderal sejak 1916 sampai dengan 1921. Lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 26. 65. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, hlm. 40.
Posted on: Sun, 25 Aug 2013 05:28:21 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015