Komersialisasi Dakwah ala Ustaz Seleb vs Dakwah Bisnis ala Ustaz - TopicsExpress



          

Komersialisasi Dakwah ala Ustaz Seleb vs Dakwah Bisnis ala Ustaz Yusuf Mansur Oleh: Annisa F Rangkuti SELALU ada yang membuat risih kala “tak sengaja” menonton acara infotainment yang menampilkan para Ustaz yang sumringah dengan gaya bak selebriti. “Ini artis apa Ustaz, sih?” Pertanyaan yang bikin gemes. Saya yakin tak sendirian berpikiran seperti itu, karena ada beberapa omelan di jejaring sosial yang juga menampilkan keresahannya dengan tayangan para Ustaz seleb. Begitu tahu efeknya akan seperti itu, saya jadi malas menonton TV, khususnya infotainment di bulan Ramadhan ini. Ada-ada saja beritanya. Nambah-nambahin dosa saja, pikir saya. Fenomena Ustaz yang nyambi jadi seleb, memang sudah cukup lama ada. Apalagi sejak semakin berkibarnya tayangan infotainment yang hadir setiap hari. Tampak seperti kehabisan bahan berita sebenarnya, jadi para tokoh yang sebenarnya bukan dari dunia keartisan pun ikut jadi bahan obrolan. Okelah kalau tokoh dari dunia selain yang menyangkut agama. Tapi kalau sudah nyenggol para Ustaz? Dan para Ustaz itu pun mau diekspos? Masalahnya, acara-acara hiburan seperti itu rentan dengan gossip/ghibah, yang sebenarnya dilarang agama. Lalu gimana ceritanya para Ustaz yang sejatinya penyiar kebaikan ini malah ikut-ikutan masuk ke lubang yang sama? Mending kalau beritanya positif, menampilkan pribadi sang Ustaz yang mulia, bijaksana, sederhana sembari bicara tentang motivasi-motivasinya untuk umat. Lha seringnya malah sebaliknya. Menampilkan kekayaan dan tentang betapa…betapa…betapa… *Ah, sudahlah. Saya sedang berpuasa. Kalau ada Ustaz yang berniat baik, dan selama ini dikenal karena tausiyah-tausiyahnya yang memotivasi dan menyejukkan hati umat, malah banyak digosipkan miring habis-habisan. Heran saya. Tapi begitulah manusia. Mungkin karena sudah banyak dipengaruhi kehidupan yang hanya berat sebelah ke hal yang bersifat duniawi, jadi tak bisa lagi melihat sesuatu secara berimbang, tanpa penghakiman. Tentunya kita sudah tahu Ustaz mana yang saya maksud. Sebelum masalah Ustaz ini ramai diperbincangkan sejagat Indonesia, saya sudah simpatik dengan tausiyah dan kehidupan Ustaz yang satu ini. Saya baca buku “Wisata Hati”nya, yang mengisahkan jalan hidupnya yang penuh liku dan cobaan sebelum benar-benar bertaubat dan mendalami agama Islam hingga menjadi sosok yang kita kenal sekarang. Kala sempat, saya tonton acara rutinnya di televisi, yang menampilkan sosok-sosok inspiratif dan pemikiran-pemikiran visionernya yang memacu semangat hidup umat. Ustaz Yusuf Mansur, sang Ustaz sedekah. Sebuah personal branding dan konsep dakwah yang jitu, menurut saya. Sangat dibutuhkan dalam kondisi masyarakat yang cenderung individualis dan materialistis seperti sekarang ini. Bagi yang tak memahami konsep sedekah ini dalam iman, pastilah sudah bersikap defensif. Sedekah memang tak pernah bisa dilogikakan dengan rumus matematika serumit dan secanggih apapun. Itulah investasi yang sebenarnya, yang memberi “keuntungan” sejati bagi manusia di dunia dan akhirat -bagi yang mengimani adanya akhirat. Keuntungan yang tak hanya berupa materi yang seringkali dibalas Allah secara langsung dalam jumlah yang tak disangka-sangka, tapi yang lebih hakiki daripada itu; ketenangan, kelapangan hati, rasa syukur dan cinta dalam ikatan persaudaraan/ukhuwah islamiyah. Subhanallah. Konsep yang hanya mampu dinalar oleh logika manusia yang mengimani dan mencintai Tuhan dengan ajaran cinta kasihNya. Konsep yang menjadi awal gerakan usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi umat. Saya yakin, sang Ustaz mulanya hanya berangkat dari pemikiran sederhana itu; memberi, sedekah. Lalu dengan analogi yang sederhana pula ia tergerak untuk menyatukan umat dalam bingkai indah rahmatan lil ‘alamiin, rahmat bagi semesta alam. Jika sekian juta orang memberikan sebagian kecil saja hartanya untuk dikumpulkan lalu dengan uang yang terkumpul itu dibangunlah aset-aset yang umpan baliknya mampu menyejahterakan sang pemberi sekaligus umat, mengapa tidak? Dari umat untuk umat. Bukan tak mungkin umat yang berjumlah banyak namun seringkali terpecah belah ini akan sanggup memiliki aset bersama yang saling menguntungkan. Sehingga pada akhirnya meminorkan usaha para pelaku bisnis kapitalis dan liberal yang selama ini tanpa kita sadari bersenang-senang di atas kebodohan kita sendiri. Umat bersatu membangun perekenomiannya dan jika terus bersatu padu, maka bukan tidak mungkin kita bisa membeli lagi Indonesia yang investasinya sudah banyak dimiliki asing. Sebuah terobosan cara berpikir yang terkesan gampang, mimpi, dan absurd. Tapi bukan berarti tanpa harapan. Apa yang mustahil bila ada kemauan dan izin dari Tuhan? Tapi belum lagi niatan itu terealisasi secara penuh, ide sang Ustaz keburu dijegal masalah birokrasi perizinan usaha. Belum lagi tuduhan penipuan yang secara serampangan dan tanpa bukti dilempar oleh orang-orang yang sebenarnya khawatir bila gagasan ini terus bergulir. Yang mendukung, tentu tidak asal dukung. Pastilah ditelusuri dulu maksud dan tujuan gagasannya secara jelas. Lalu lihat pula sosok dibalik gagasan besar tersebut. Lebih jauh lagi, berpikirlah dalam iman. Bukan berarti impulsif dan buta karena kadung menilai sosok sang Ustaz yang selama perannya sebagai pendakwah jauh dari rekam jejak yang tidak-tidak, tapi begitulah. Kepercayaan pada sosoknya langsung tumbuh karena selama ini ia dikenal tak hanya asal bicara soal sedekah dan agama secara umum. Orang-orang yang mengimani salah satu konsep dalam Islam ini, pastilah sudah merasakan manfaat luar biasa dari yang namanya sedekah, terlepas dari siapa yang memotivasinya. Saya setuju jika usaha itu harus dilegalkan lebih dahulu sesuai aturan hukum yang berlaku. Dimana-mana, bila akan mendirikan usaha atau yayasan, pastilah harus memproses izin berdirinya agar lebih mudah dalam pelaksanaaan, dan untuk menghindari kecurigaan dan fitnah karena mengatasnamakan rekening usaha bersama dengan nama pribadi, meskipun masyarakat yang sudah ikut berinvestasi mempercayakan sepenuhnya pada sosok sang Ustaz. Tinggal lagi, semoga tidak ada pihak yang merumit-rumitkan dan mencoba mencari keuntungan dari proses pengurusan izin itu. Yah, hanya antisipasi saja. Kita sama-sama tahulah dunia birokrasi kita secara umum seperti apa. Tentang profesi dan kapabilitasnya di bidang investasi yang masih minim dan cenderung nekat, banyak pihak yang coba mengembuskan keragu-raguan. Maka untuk mengimbangkannya, saya punya argumen sendiri. Setahu saya, Rasulullah Muhammad SAW, Sang Pendakwah Islam itu juga seorang pedagang/pebisnis, politisi, dan pemimpin di segala lini. Beliau adalah panutan. Jadi, tak ada yang salah jika di samping perannya sebagai pendakwah, seorang ulama juga memegang peranan di bidang lain. Apalagi dengan niat meningkatkan kesejahteraan umat dan tidak untuk memperkaya dirinya sendiri. Justru perannya di bidang lain selain dakwah bil qauli (ceramah), adalah kesempatannya untuk membuktikan keselarasan ucapan dan perbuatannya (dakwah bil haal). Ini juga untuk membungkam sinisme orang-orang yang suka mengatakan, “Berdakwah ya berdakwah aja. Nggak usah ngurusin yang lain.” Bukankah seorang pemimpin, pebisnis sukses itu adalah orang yang mampu mendelegasikan tugas-tugas yang tidak dipahaminya kepada orang-orang yang lebih paham? Jadi seorang pemimpin tak perlu tahu segala hal, tapi cukup paham logika dasarnya. Bila merasa kurang ahli di satu bidang, tinggal mencari, berdiskusi dan mempekerjakan orang yang ahli di bidang itu saja, bukan? Sesungguhnya kehidupan manusia -yang mengaku beragama- itu tak bisa lepas dari yang namanya agama. Dalam Islam, ada bidang ekonomi syariah, hukum Islam, dan segala rangkaian nilai2 Islam yang merasuk ke setiap sendi kehidupan. Agak absurd rasanya kalau kita memisahkan agama dengan kehidupan dunia. Karena agama bukan hanya tentang akhirat, tapi justru sebagai penuntun hidup kita di dunia untuk menuju alam akhirat. Sudah saatnya para Ustaz tak lagi menyandarkan mata pencahariannya semata-mata pada dakwah yang dilakoninya. Agak miris sebenarnya jika mendengar beberapa Ustaz (seleb) yang mematok harga jasa relatif tinggi bila diundang ceramah ke daerah-daerah. Sungguh tidak layak, saya rasa, ketika dakwah agama masih disandingkan dengan hal yang bersifat materi. Ketika kekayaannya diperoleh dari jalan “menjual” ayat-ayat suci. Jikapun meminta harga, ya cukuplah sewajarnya, sebatas kemampuan si pengundang. Akan lebih elok kelihatannya jika sang pendakwah memiliki usaha lain yang mampu memfasilitasi kebutuhannya ketika berdakwah, karena sejatinya dakwah adalah panggilan hati, bukan materi. Banyak kisah tentang para pengusaha, kaum intelektual dan tokoh masyarakat yang juga berdakwah tanpa diberi imbal jasa materi, semata-mata memenuhi panggilan nurani dan mengharap ridho Ilahi. Dakwah adalah milik semua umat Islam, bukan hanya orang-orang yang bergelar Ustaz/Ustazah. Berdakwah melalui ucapan dan perbuatan sehari-hari. Merujuk segala ucapan dan perbuatan pada Al Quran dan Hadist. Jika ini dilakukan setiap umat, maka tercapailah Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Insya Allah…
Posted on: Wed, 24 Jul 2013 16:03:10 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015