Komunikasi ala Punakawan dan Abu Nawas Nama Prof. Dr. H. Sam - TopicsExpress



          

Komunikasi ala Punakawan dan Abu Nawas Nama Prof. Dr. H. Sam Abede Pareno, MM,MH, ini merupakan nama yang tidak asing lagi di telinga pembaca. Keberadaannya sebagai akademisi, budayawan dan praktisi komunikasi membuat penulis dan mantan jurnalis senior ini mudah dikenal oleh berbagai kalangan. Mahasiswa dan mantan mahasiswa yang diajarnya, budayawan, praktisi komunikasi dan media serta praktisi pemerintahan menjadi kelompok sebagian dari kalangan yang mengenal sosok penuh konsistensi di bidang komunikasi dan penulisan ini. Kepiawaian Prof. Sam dalam menulis buku menjadi hal yang tak bisa diragukan oleh siapapun. Tekadnya untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dan memadukannya secara integratif menjadi asuransi bagi lahirnya pemikiran dan karya yang bukan hanya teoritis namun lebih bersifat praksis, dimana kajian teori mampu dipadukan dengan kondisi lapangan sehingga memunculkan teori baru yang lebih aplikatif.Sebagai akibatnya, tak pelak lagi, karya-karya yang dirilis oleh pria kelahiran Maluku, 2 Agustus 1948 ini menjadi karya yang abadi dan selalu relevan di sepanjang tahun. Sebenarnya, jika dibandingkan dengan karya yang tertoreh di hati para koleganya seperti mahasiswa, mantan mahasiswa, penulis dan pelaku budaya, apa yang tertulis dan diterbitkan tidak ada bandingnya. Apa yang terdapat dalam goresan tinta dan terjilid tidak sampai sepuluh persen dari karya pencerahan yang diberikannya kepada generasi sebayanya hingga generasi saat ini. Mengamalkan Teori Komunikasi ”Mengamalkan teori komunikasi yang terkolaborasi dengan filsafat, budaya dan berbagai disiplin ilmu lain menjadi hal yang bersifat aplikatif dan menjadi berkat (barokah) bagi banyak orang” merupakan dasar dari setiap karya yang beliau rilis. Urgensi komunikasi dalam kehidupan manusia, itulah tema besar yang diangkat oleh penulis dalam buku ini. Dengan menilik fenomena komunikasi dan interaksi yang muncul akhir-akhir ini, penulis menjadikan kegagalan komunikasi menjadi latar belakang dari penulisan buku populis namun sarat dengan untaian teori dan kedalaman filsafat komunikasi ini. Secara spesifik, penulis ingin menyampaikan bahwa pola komunikasi yang salah ketika menyampaikan pesan, khususnya kritik dan masukan dapat membuat pesan tidak dapat tersampaikan secara efektif dan memunculkan persepsi salah. Hal ini, pada titik tertentu dapat memunculkan kekacauan yang dapat terjadi dalam interaksi antar manusia, termasuk diantaranya kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengutip Stewart Tubs dan Silvia Moss dan Ricard Johannesen mengenai komunikasi efektif dan sintesis standar etika komunikasi, penulis mencoba memberikan alternatif solusi bagi permasalahan komunikasi yang seringkali muncul. Namun berbeda dengan beragam teori komunikasi yang senantiasa muncul, dalam upayanya penulis berusaha menyajikan strategi komunikasi yang efektif dalam menjalin relasi terutama berkaitan dengan kritik dan masukan bagi pribadi yang status sosialnya lebih tinggi dari kita. Berkaca dari hal di atas, dalam rumusan teori yang bersifat filosofis, teoritis dan praktis, penulis memilih tokoh Punakawan dan Abunawas sebagai pokok bahasan dari penulis. Kedua tokoh yang mewakili pewayangan Jawa dan kehidupan sosiologis di Baghdad, Irak antara tahun 786 hingga 809 M diambil oleh penulis sebagai patron komunikasi karena keduanya dipandang berpijak pada ”filsafat komunikasi” yang mendasari penerapan komunikasi pada logika, etika dan estetika. Masuk akal, santun dan indah itulah hal mendasar yang menjadi ciri kedua tokoh yang diidentikan dengan kejenakaan dan perhambaan tersebut. Kedua tokoh hamba yang muncul dalam dua tradisi yang berbeda (Punakawan dalam tradisi Jawa) dan Abunawas dalam tradisi Timur Tengah) dipandang berhasil oleh penulis dalam menegur dan meluruskan para pemimpin mereka (Pandawa dalam tradisi wayang Jawa dan Raja Harun Al Rasyid dalam tradisi Timur Tengah). Titik keberhasilan tersebut menurut penulis tak lepas dari pola komunikasi jenaka yang mereka gunakan (Guyon Parikena/jenaka namun mengena dalam tradisi Punakawan). Pola ini menurut penulis merupakan pola yang tepat bagi kondisi dunia, khususnya Indonesia saat ini. Hal ini sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pola komunikasi ini telah merujuk pada sintesis standar etika komunikasi. Dengan adanya hal ini diharapkan mampu mengendurkan otot dan mempererat ikatan persaudaraan. Di samping itu, pola ini dapat menukik pada hakikat komunikasi yang merupakan inti dari epistemologi komunikasi dan dapat menembus batas ideologi dan budaya karena disampaikan dalam format yang dapat diterima oleh semua. Kekuatan dari kedua komunikator tersebut (Punakawan dan Abunawas) menurut penulis terletak pada keberadaan mereka sebagai komunikator. Kemasan kritik dalam bingkai kejenakaan namun penuh makna membuat pendengar dapat menikmati dan memahami secara benar kritik yang disampaikan. Hal ini tentu dapat mementahkan ”kecenderungan jaman” yang lebih mengorientasikan pada alat/instrumen sebagai faktor yang paling penting dalam efektivitas komunikasi dibanding komunikator, sebagaimana dikritisi oleh Wolton dan Habermas. Dalam rangka memberikan pemahaman yang kompeherensif kepada pembacanya, penulis dengan sabar mengulas secara singkat, jelas dan padat keberadaan Punakawan dan Abunawas pada bab kedua dan ketiga. Melalui paparan singkat mengenai identitas dan pola komunikasi kedua tokoh tersebut, secara implisit penulis ingin menuntun pembaca untuk mampu memaknai usulan pola komunikasi yang disajikannya dalam konteks saat itu maupun kekinian. Nilai-nilai universal komunikasi efektif dan konteks saat itu secara perlahan namun pasti akan membawa pembaca pada upaya untuk menarik relevansi dengan kehidupan saat ini. Kesamaan dan perbedaan antara Punakawan dan Abunawas, menjadi bahasan penulis dalam rangka menuntun pemahaman pembaca, sebagaimana dimaksud. Secara ringkas dalam bagian kedua dan ketiga penulis melihat persamaan pola diantara keduanya adalah : totalitas sebagai komunikator jenaka yang rela diremehkan, kuatnya pola komunikasi verbal dan non verbal yang dimiliki, kuatnya komunikasi Ketuhanan maupun perjuangan untuk mengajak kepada kebaikan (amr’ ma’ruf). Selain persamaan, dalam paparannya penulis juga menunjukkan perbedaan diantara keduanya. Jika Punakawan menggunakan pola Guyon Parikena, Abu Nawas banyak menggunakan pola ”mbendol mburi”. Secara lugas, dalam rangka mengkerucutkan pemahaman pembaca untuk dapat menjadikan karya ini sebagai panduan dalam berkomunikasi, sebelum ajakan untuk menggunakan pola Punakawan dan Abunawas dalam berkomunikas, pada bab keempat penulis mengulas ”perjalanan komunikasi efektif” keduanya dari sisi teori komunikasi jenaka. Melalui uraian yang disertai contoh ini, penulis sedang menggambarkan bagaimana jika ”sari komunikasi” Punakawan dan Abu Nawas diterapkan dalam kondisi kekinian.
Posted on: Thu, 18 Jul 2013 18:12:33 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015