Konflik Suriah Dan Skenario Imperialis Barat Telah lebih dari dua - TopicsExpress



          

Konflik Suriah Dan Skenario Imperialis Barat Telah lebih dari dua tahun Suriah diguncang oleh pergolakan politik. Pergolakan yang kini bahkan menjurus pada perang saudara, ketika Pemerintahan Suriah pimpinan Bashar al-Assad bertempur melawan pasukan oposisi. Bagi sebagian kalangan, pergolakan ini adalah sebuah ‘revolusi rakyat’ yang berupaya mengggulingkan ‘rezim tiran’ Bashar Assad, sama seperti gelombang revolusi ‘Arab Spring’ lainnya yang berhasil menumbangkan kediktatoran di Tunisia, Mesir dan Libya. Untuk menelaah lebih jauh apa yang tersirat di balik konflik Suriah, kita perlu menganalisis berbagai hal secara lebih komprehensif. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan secara seksama, yakni latar belakang historis dan ‘nilai strategis’ Suriah secara geo-politik dan geo-ekonomi. Resistensi Rezim Baath Sejak kudeta yang dilakukan oleh sekelompok perwira militer pimpinan Abdul Karim Nahlawy di tahun 1961, pemerintahan Suriah berada dibawah kendali Partai Baath ((Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) hingga kini. Partai Baath sendiri merupakan partai yang mengusung ideologi Baath’isme, yang berintikan nilai-nilai Nasionalisme dan Sosialisme Arab, atau bisa dikatakan pula ideologi sosialisme ‘khas’ Arab. Ideologi ini diintrodusir oleh seorang intelektual Suriah beragama Kristen, Michel Aflaq, pada saat kolonialisme Eropa masih mencengkram Timur Tengah pasca keruntuhan Daulah Turki Ustmani tahun 1924. Selain Suriah, rezim-rezim di dunia Arab yang pernah menggunakan ideologi ini sebagai dasar negara adalah pemerintahan Gamal Abdul Nasser di Mesir (1952-1970), rezim Muamar Khadafi di Libya (1969-2011) serta rezim Saddam Husein yang berkuasa di Irak hingga tahun 2003. Berkuasanya Partai Baath di Suriah ini juga menuai dukungan dari kalangan komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Suriah. Namun, pada tahun 1972, sebagian kecil kader dari partai tersebut yang dipimpin Riyad Turk melancarkan kampanye untuk menentang aliansi partai komunis dengan rezim Baath. Meski begitu, mainstream Partai Komunis Suriah tetap mendukung pemerintahan Partai Baath sampai sekarang. Setelah rezim Baath berkuasa di Suriah, konflik politik di internal pemerintahan tidak berhenti. Konflik itu berujung pada terjadinya kembali kudeta militer pada 1970, ketika Menteri Pertahanan Suriah saat itu , Hafez al-Assad, naik ke tampuk kekuasaan sebagai Perdana Menteri. Di tahun berikutnya, perwira Angkatan Udara Suriah ini diangkat menjadi Presiden Suriah. Dibawah kepemimpinan Hafez al-Assad, Suriah menunjukkan resistensi yang kuat terhadap hegemoni imperialisme Barat dan ‘mitranya’ di Timur Tengah, Israel. Sepeninggal Gamal Abdul Nasser di tahun 1970, dunia Arab memang kehilangan sosok tangguh yang berani melawan Barat dan Israel. Namun, berkuasanya Hafez Assad dan Muamar Khadafi di Libya pada saat yang hampir bersamaan seakan menghidupkan kembali ‘roh’ Nasser di Timur Tengah. Hafez Assad memang secara tegas mendukung penuh perjuangan bangsa Palestina dalam melawan penjajahan Zionis Israel. Bentuk dukungan itu ditunjukkannya melalui partisipasi Suriah dalam Perang Yom Kippur melawan Israel di tahun 1973. Sebenarnya, sebelum Assad berkuasa pun, rezim Baath Suriah telah menunjukkan resistensinya terhadap Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967, yang membuat Suriah harus kehilangan sebagian wilayahnya di Dataran Tinggi Golan lantaran diduduki Israel hingga sekarang. Perlawanan Assad terhadap Israel juga diperlihatkan tatkala perang saudara bernuansa sektarian meletus di Lebanon pada tahun 1975-1989. Saat itu, awalnya Suriah mengirim pasukan militer ke Lebanon guna melindungi kelompok Druze dan Syiah. Namun setelah masuknya tentara Israel ke Lebanon di tahun 1982 dengan alasan melindungi kelompok Kristen (meski alasan sebenarnya adalah memburu kelompok perlawanan Palestina di Lebanon), pasukan Suriah pun turut melawan kehadiran militer Israel di Lebanon. Keberpihakan Suriah terhadap gerakan perlawanan Palestina juga ditunjukkan dengan dibukanya kantor perwakilan Hamas dan PLO di Damaskus. Suriah juga mendukung gerilyawan Hizbullah di Lebanon secara finansial maupun politik. Disamping itu, faksi perlawanan Palestina FPLP pimpinan George Habash juga didukung penuh oleh Suriah. Sementara itu, perlawanan Assad terhadap Barat ia tunjukkan dengan mendukung Revolusi Islam di Iran tahun 1979. Revolusi yang berujung pada berkuasanya kaum Mullah Syiah pimpinan Ayatullah Rohullah Khomeini itu memang merubah secara drastis haluan politik luar negeri Iran yang tadinya bersahabat erat dengan Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang sangat anti AS dan Israel. Suriah juga berpihak kepada Iran dalam Perang Iran-Irak tahun 1980-1988, ketika AS menunjukkan dukungannya pada Irak demi menhambat revolusi Islam Iran. Hal ini menjadikan Suriah dan Iran sebagai sekutu dekat hingga kini, apalagi ditambah dengan fakta bahwa mayoritas anggota Partai Baath Suriah berasal dari kalangan Alawit, suatu aliran dalam ajaran Syiah. Inilah pula yang menjadi penyebab ketidakharmonisan pemerintahan Assad dengan rezim Saddam Husein di Irak. Kebijakan represif Saddam terhadap kaum Syiah Irak membuat tidak senang pemerintah Suriah, meskipun keduanya berbasiskan ideologi yang sama, Baath’isme. Politik perlawanannya terhadap AS dan Israel pun membuat rezim Assad tidak disukai pihak Barat. Namun, rezim Assad justru memiliki hubungan ‘mesra’ dengan Uni Sovyet, apalagi dalam politik domestiknya kaum komunis Suriah juga mendukung rezim Assad. Dalam sejarahnya pun, Uni Sovyet memang berpihak pada Negara-negara Arab ketika mereka berperang melawan Israel, seperti pada Perang Enam Hari dan Krisis Terusan Suez tahun 1956. Dukungan Uni Sovyet terhadap Suriah ditunjukkan melalui suplai persenjataan bagi militer Suriah serta bantuan finansial berupa hutang luar negeri. ‘Kemesraan’ ini berlanjut pasca runtuhnya Uni Sovyet, dimana Rusia yang menjadi ‘pewaris’ kejayaan Sovyet tetap menjadi sekutu Suriah hingga kini. Hal itu tampak ketika di tahun 2005 Rusia menghapus 75 persen dari total utang Suriah sebesar 13 miliar dollar AS. Meskipun mengambil sikap resisten terhadap Israel dan Barat, dalam ranah politik domestik, rezim Assad justru ditentang oleh kelompok-kelompok Islam Fundamentalis seperti Ikhwanul Muslimin (IM) yang juga mengklaim diri anti Israel dan anti Barat. Hal ini dikarenakan perbedaan ideologis yang mendasar antara rezim Baath yang berhaluan sosialis dengan kelompok-kelompok Islamis. Selain itu, alasan ekonomi dan politik yang ‘dibumbui’ sentimen sektarian juga turut ‘mengipasi’ konflik ini, ketika kelompok Islam oposisi seperti IM menganggap pemerintahan Baath yang didominasi Syiah Alawit terlalu dominan terhadap sektor pereknomian negeri itu. Tercatat beberapa persitiwa yang merefleksikan konflik ini, seperti peristiwa Hama tahun 1982. Wafatnya Hafez al-Assad pada tahun 2000 diikuti dengan naiknya Bashar al-Assad, yang tak lain merupakan putra Hafez Assad, ke tampuk kekuasaan eksekutif di Suriah. Di bawah Bashar, perekonomian Suriah mengalami sedikit perubahan dengan mengadopsi sebagian sistem ekonomi pasar. Sementara pada masa pemerintahan Hafez Assad, Suriah menganut perekonomian etatis-sentralistis. Meski begitu rezim Assad junior tetap tidak menyerahkan sepenuhnya kendali ekonomi Suriah kepada mekanisme pasar. Bisa dikatakan, perekonomian Suriah pada masa Assad serupa dengan sistem ekonomi yang diterapkan di China pasca modernisasi ala Deng Xiao Ping. Hal ini juga dibarengi dengan meningkatnya hubungan Suriah dengan China, ketika Suriah bersama dengan Iran dan Sudan berperan sebagai salah satu pemasok minyak mentah utama bagi China dari Timur Tengah. Suriah juga menjadi salah satu pasar utama produk China di Timur Tengah. Menariknya, dalam sistem ekonomi Suriah yang terbuka pada masa kini, pemerintahan Bashar Assad tetap memberikan prioritas kepada investor swasta domestik dibandingkan dengan modal asing. Pada tahun 2005, nilai investasi di Suriah mencapai 7 miliar dollar AS. Dari total nilai investasi tersebut, 70 persennya berasal dari investor lokal. Sedangkan 24 persen berasal dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen yang berasal dari negara non-Arab seperti Rusia, China dan Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa Suriah dibawah kepemimpinan Bashar Assad tidaklah memiliki ketergantungan ekonomi pada asing, meskipun telah mengubah haluannya dari sentralistik menjadi perekonomian terbuka. Sistem ekonomi ‘campuran’ ini membawa Suriah pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara gradual. Selama tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Suriah mencapai 5 persen dan meningkat di tahun 2007 menjadi 5,2 persen dengan pendapatan per kapita 1.570 dollar AS (sekitar Rp 14,4 juta) pertahun. Inflasi di negara bekas koloni Inggris dan Perancis itu hanya 11 persen dengan angka pengangguran 9 persen. Sekali lagi, hal ini bisa dicapai oleh pemerintahan Bashar Assad tanpa bergantung pada modal asing. Tata kelola sumber daya alam utama Suriah, yakni minyak bumi, juga memberikan kontribusi positif bagi pereknomian Suriah. Peran sentral negara pada sektor hulu industri minyak bumi yang per harinya bisa memproduksi 400.000 barrel membuat dengki negara-negara lain yang belum memperoleh ‘kue’ dalam kuantitas signifikan dari pendapatan minyak Suriah. Negara-negara yang dengki itu tiada lain ialah AS beserta sekutu-sekutu Eropanya. Rezim Bashar Assad juga mencatat prestasi lainnya, yakni penghapusan dan pemotongan hutang luar negeri Suriah pada negara-negara Eropa Timur yang muncul sejak era awal berkuasanya partai Baath melalui program penjadwalan kembali pembayaran hutang Suriah yang dimulai pada tahun 2004. Dalam program itu, Polandia menyetujui pembayaran hutang Suriah sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Lalu, Rusia bahkan telah membebaskan 75 persen hutang Suriah yang total nilainya 13 miliar dollar AS. Sama dengan Rusia, Republik Ceko dan Slovakia juga berkenan memotong hutang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi 150 juta dollar AS. Pertumbuhan ekonomi Suriah tanpa menyertakan modal Barat, khususnya AS, dalam jumlah signifikan itu mengundang respon pihak Barat. Dengan ‘bungkus’ tuduhan AS atas keterlibatan Suriah dalam pembunuhan mantan PM Lebanon Hariri di awal 2005, sanksi embargo terhadap Suriah pun dijatuhkan AS melalui Syria Account-ability Act. Pemerintah Suriah pun merespon kebijakan AS itu dengan mengubah seluruh transaksi dalam dan luar negeri Suriah dari mata uang dollar AS menjadi Euro pada awal tahun 2006. Hal ini memicu kebencian yang lebih mendalam dari AS terhadap Suriah. Ditambah lagi dengan dukungan yang tiada henti dari Suriah kepada kelompok Hizbullah saat Israel mengagresi Lebanon guna menghancurkan gerilyawan Syiah tersebut pada pertengahan 2006. Skenario Imperialis Disisi lain, kondisi geografis Suriah yang strategis bagi Israel selaku kawan setia AS di Timur Tengah juga menjadi penyebab lainnya dari diincarnya Suriah oleh imperialis Israel dan Barat. Untuk diketahui, Israel adalah negara yang kekurangan suplai air. Israel pernah menghadapi musim kering dahsyat di tahun 1990-1991. Bencana kekeringan berulang kembali pada tahun 1998. Hal ini membuat Israel bekerjasama dengan Turki, negara Timur Tengah yang kaya air di tahun 2000. Melalui kerja sama itu, Israel mengimpor 50 milyar m3 air tawar dari Turki menggunakan kapal tanker. Hal itu tentu membutuhkan biaya distribusi yang mahal. Maka, dibutuhkan jalur darat atau pipanisasi untuk membuat pengangkutan air tersebut lebih efisien. Namun, jalur darat dari Turki ke Israel harus melalui beberapa negara, salah satunya adalah negara yang anti Israel, yakni Suriah. Maka, Israel harus mengerahkan segala upaya demi menjaga keamanan jalur distribusi air yang sangat dibutuhkannya. Disinyalir, gempuran Israel terhadap Lebanon dan Hizbullah di tahun 2006, juga merupakan bagian dari pengamanan jalur distribusi air itu yang juga akan melintasi teritori Lebanon. Meskipun upaya Israel menghabisi Hizbullah menemui kegagalan. Kini, giliran Suriah yang sedang dikacaukan oleh Israel dan sekutunya melalui de—stabilisasi berkedok “demokratisasi Arab Spring”. Lalu, apa bukti bahwa pergolakan “Revolusi Suriah” kini merupakan skenario imperialis Barat dan Israel untuk menguasai Suriah melalui penggulingan Bashar Assad? Fakta sejarah dan posisi geo-politik Suriah yang sudah diuraikan sebelumnya bisa menjawab sebagian pertanyaan itu. Bila belum memuaskan, ada baiknya bila kita menelaah fakta keterkaitan antara pihak Barat-Israel dengan kalangan oposisi Suriah. Di tahun 2006, jauh sebelum ‘virus’ Arab Spring menular ke Suriah, Time Magazine mengemukakan laporan mengenai keterlibatan AS dalam proses agitasi dan pendanaan guna mendukung kaum oposisi di Suriah. Menurut laporan itu, AS mendukung berbagai konsolidasi aktivis oposisi Suriah, baik di dalam negeri maupun di Eropa. Masih menurut laporan itu, bantuan AS terhadap oposisi itu dilakukan melalui instrumen yayasan yang dipimpin Amar Abdulhamid, seorang anggota organisasi oposisi Suriah, Front Keselamatan Nasional (NSF) yang berbasis di New York. Sokongan AS terhadap kelompok anti Assad juga tampak ketika di tahun 2009 TV Baradaa yang didanai AS dan berbasis di London mempublikasikan propaganda-propaganda anti Assad di Suriah. Pemimpin Redaksi stasiun TV itu, Malik al-Abdeh, adalah pendiri Gerakan Keadilan dan Pembangunan untuk warga Suriah yang merupakan organisasi oposisi Suriah di pengasingan. Sementara, pasca gejolak Suriah di 2011, AS telah mengucurkan dana ‘hibah kemanusiaan’ sebesar US$ 130 juta kepada kalangan sipil Suriah melalui Friends of Syria, yang merupakan organ konsolidasi oposisi Suriah dan pihak Barat. Namun, anehnya, ‘dana kemanusiaan’ itu hanya diberikan bagi pihak sipil oposisi yang menurut AS ‘ditindas’ oleh rezim Assad. Sementara AS tutup mata dengan adanya korban-korban kekejian pihak pemberontak Suriah. Kini kalangan Syiah dan Kristen sedang menjadi sasaran pembantaian oleh gerombolan Front Al-Nushra yang berafiliasi dengan teroris Al-Qaeda karena mereka dianggap pendukung rezim Bashar Assad. Pemerintahan Assad selama ini memnang dikenal mengayomi kaum minoritas agama di Suriah. Salah satu bukti kekejaman gerombolan teroris oposisi itu adalah pemenggalan kepala dua warga Kristen Suriah di kota Homs baru-baru ini. Luar biasanya lagi, aksi itu mereka filmkan dan kemudian diupload ke website berikut ini : media.farsnews/media/Uploaded/Files/Video/1392/04/05/13920405000610.flv Sementara itu, disamping Rusia, Iran dan China, negara-negara progresif di Amerika Latin seperti Venezuela, Kuba dan Bolivia sudah menegaskan dukungannya bagi pemerintahan Bashar Assad. Mendiang pemimpin Venezuela Hugo Chavez secara tegas menyatakan dukungan bagi Assad . “Bagaimana mungkin aku tidak mendukung Assad, sementara ia adalah Presiden Suriah yang sah?” ujar sang commandante. Begitupun Presiden Bolivia Evo Morales yang mengatakan AS telah membiayai para teroris untuk menjatuhkan pemerintahan Bashar Assad yang sah. Sedangkan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), justru secara eksplisit menghimbau Presiden Bashar Assad untuk mundur demi ‘tercapainya perdamaian dan demokrasi di Suriah’. Sebuah himbauan yang kembali menegaskan loyalitas SBY pada sang majikan, kaum imperialis Barat. Begitulah yang terjadi di Suriah kini. Sebuah skenario imperialis Barat yang juga mengandalkan para gerombolan teroris fanatik untuk menggulingkan pemerintahan Bashar Assad. Seperti halnya kampanye negatif pihak Barat terhadap pemerintahan-pemerintahan progresif yang independen lainnya, ‘serangan’ mereka terhadap Assad juga menggunakan metode kombinasi asimetris (gerakan massa) dengan pemberontakan bersenjata. Jadi, terlalu absurd bila kita terhanyut oleh informasi yang dikabarkan sebagian pihak dan media mainstream, bahwasanya konflik Suriah merupakan “perjuangan rakyat melawan kediktatoran”. Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumber Artikel: berdikarionline/dunia-bergerak/20130713/konflik-suriah-dan-intervensi-imperialis-barat.html#ixzz2ai9Mfemn Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Posted on: Thu, 01 Aug 2013 10:14:56 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015