Kongres Internasional yang Gagal Membentuk Khilafah Kongres ini - TopicsExpress



          

Kongres Internasional yang Gagal Membentuk Khilafah Kongres ini gagal membentuk khilafah, tapi setelah pertemuan di Mesir ada satu kesimpulan tersendiri, dimana program awal adalah memerdekakan setiap teritorial negri muslim dari penjajahan kafir (membentuk Darul Islam) baru kemudian menggabungkannya menjadi Khilafah kemudian, hal yang hanya direspon oleh Kongres Cisayong di Indonesia... Kongres internasional ini penuh dengan infiltrasi politik Inggris, hal yang menjadi faktor kegagalan utama dari terbentuknya kembali Khilafah di masa itu... Kemelut di Hejaz (Hijaz) Sementara itu di Jazirah Arabia, khususnya di Tanah Hijaz, dimana terletak Tanah Suci Makkah, telah ter-jadi perubahan. Ibnu Saud (Abdul Aziz ibn Saud/lk.1880-1953) merebut Hijaz, termasuk Jeddah dan Madinah dari tangan Raja Hijaz Syarif Husein dalam pertempuran berdarah tahun 1924-1925. Sebelumnya Raja Nejed Ibnu Saud dan Raja Hijaz Syarif Husein atas bujukan Inggris melalui Kolonel Thomas Edward (TE) Laurence, memberontak terhadap Khilafat Mulkan Utsmani Turki. Kerajaan Inggris Raya yang menganut Kristen Anglican waktu itu terlibat dalam Perang Dunia I (1914-1918) melawan Utsmaniyah (Turki), tetapi tidak mudah mengalahkannya. Untuk itu Inggris membujuk ke dua raja Arab itu. Ke dua raja yang Islam itu mau menerima bujukan Inggris yang Kristen. Inggris sangat gembira dapat menarik dua raja Arab yang Islam dan memberikan dukungan senjata. Dua raja yang Islam itu juga mau diperbudak Inggris yang Kristen yang memusuhi Islam dan memerangi Muslimin dalam Perang Salib (1096-1291). Inggris memberi tugas kepada Ibnu Saud memerangi Ibnu Rasyid di Arab Tengah, karena Ibnu Rasyid membantu Utsmaniyah. Syarif Husein diberi tugas memerangi Utsmaniyah di Hijaz. Sementara kaum Wahabi (pengikut Muhammad Abdul Wahab yang mendukung Ibnu Saud karena ingin menghancurkan hurafat dan bid’ah di Makkah) kurang suka di bawah kekuasaan Emir (Syarif) Husein yang ingin merajai seluruh Arab. Akibatnya kedua sekutu Inggris itu sering bentrok senjata pula. (MM.29). Kolonel Laurence (dan anak buahnya) bersama pasukan Arab (Syarif Husein) membongkar rel kereta api yang Istambul-Hijaz, dan menewaskan banyak tentara Utsmani. Inggris mengalahkan Utsmaniyah di Hijaz atas bantuan Raja Ibnu Saud dan Syarif Husein. Inggris bergerak cepat dengan dukungan batalyon Yahudi Amerika dipimpin David Ben Gurion dan Eropa serta dukungan Arab, mengalahkan Utsmaniyah dan menduduki Baghdad dan Yerusalem (1917) di bawah koman-do Jenderal Allenby (Soebagjo IN, K.H. Mas Mansur (MM), Pembaharu Islam di Indonesia: 29-30; Hamka, Ayahku (A): 151; EU.832; EP.62). Setelah pasukan Utsmani kalah di Hijaz, dan Syarif Husein berkuasa penuh menjadi raja Hijaz, maka Ibnu Saud dengan bantuan kaum Wahabi memerangi Syarif Husein dan merebut Hijaz (1925). Raja Nejed Ibnu Saud pun menobatkan diri menjadi Raja Hijaz. Ketika Hijaz jatuh ke tangannya, Ibnu Saud mengundang para pemuka Muslim untuk menghadiri Kongres Islam Sedunia itu. Undangan dikirim sebelum Ibnu Saud merebut Jeddah dari tangan Raja Ali, putra dan pengganti Syarif Husein. Kongres Dunia Islam di Makkah Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur mengikuti Kongres Islam Sedunia di Hijaz itu dan memberikan laporannya kepada kongres bersama di Surabya (September 1926). Hamka dalam bukunya “Ayahku”, riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama di Sumatera, halaman 153, menjelaskan Kongres di Makkah itu, tulisnya: “Kongres di Mekkah itu tidak membicara-kan Khilafah. Semula Ibnu Saud hendak meminta keputusan dari Dunia Islam bagaimana hendak diperbuat dengan tanah Hejaz, tetapi setelah Jeddah jatuh ke tangannya dan ia menjadi Raja Hejaz, agendanya telah ditukar, yaitu bagaimana membereskan pemerintahan, memakmurkan Hejaz, mengembalikan keamanan, menolong Ibnu Saud membereskan tanah itu. Muhammad Ali dan Syaukat Ali dari India, bukan main mendongkolnya karena agendanya telah berubah. Kedua penganjur Islam India itu menyangka bahwa yang main di belakang layar Ibnu Saud ialah Inggris. Kalau bukan Inggris yang bermain, bagaimana akan semudah itu dia menjatuh-kan Syarif Husein. Ibnu Saud pun menuduh bahwa kedatangan kedua pemimpin itu adalah karena “jarum” Inggris. Bukankah kebesaran dan kenaikan Ibnu Saud di Jazirah yang penting itu membahayakan bagi kedudukan Inggris?” (Hamka, Ayahku: 154-155). Inggris yang menganggap Ibnu Saud telah berjasa turut mengambil bagian mendukungnya mengalahkan pasukan Utsmaniyah, merestui dan mengakui Pemerintahan Abdul Aziz ibnu Saud di Hijaz (1927) dan dia mengganti nama Hijaz dengan nama keluarganya “Saud” menjadi Mamlakah Arabiyah As Sa’udiyah atau “Saudi Arabia” (diterima 1932). Sejak saat itu berdirilah kerajaan Saudi Arabia dengan rajanya Abdul Aziz ibn Saud. Sedang penguasa Hijaz sebelumnya, Syarif Husein, hidup di pengasingan di Siprus, dan anaknya Raja Ali melindungkan diri ke Irak yang diperintah adiknya, Raja Faisal.(Ayahku: 153; EU.984; Kh.Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung: 570 ). Kongres Khilafah di Mesir Setelah runtuhnya Utsmaniyah Turki yang sering disebut Khilafat Utsmaniyah (dalam bentuk Mulkan/kerajaan) dan diusirnya Khalifah Wahiduddin bergelar Muhammad VI dari Istambul (1922) dan digantikan Khalifah Abdul Majid, tetapi kemudian diusir pula dari Turki oleh Mustafa Kemal Pasya (1924), para ulama Al-Azhar di Kairo, Mesir, berusaha menegakkan kembali Khilafah itu. Sementara itu Abdullah, putra Syarif Husein telah memproklamirkan ayahnya itu menjadi Khalifah ketika Husein berziarah ke Syarqil Ardan, tempat memerintahnya Abdullah. (A.151). Raja Nejed Abdul Aziz ibnu Saud memerangi Raja Hijaz Huesin karena menggunakan gelar Khalifah setelah Sultan Turki berhasil digulingkan, sedangkan per-soalan khilafat waktu itu sudah mulai ditolak oleh dunia Islam. (MM.30). Ketua kongres Ulama-ulama Al- Azhar di bawah pimpinan Syekh Husain Wali, mengundang Dunia Islam menghadapi kongres khalifah di Kairo itu yang dijadwalkan semula Maret 1924 atau akhir dari runtuhnya Khilafat Mulkan Utsmaniyah. Kongres khilafah itu berlangsung selama sepekan dari 1-7 Dzulqa’dah 1344 H (13-19 Mei 1926 M). Pemerintah Mesir tidak campur tangan dalam kongres ini. Utusan-utusan yang hadir antara lain utusan dari Ibnu Saud sebagai peninjau, utusan dari Transyal (Afrika Selatan), dari Polandia dan ketua-ketua Qadi di Quds dan Palestina Syekh Abdul Khalidi, Direktur Urusan Wakaf Irak dan bekas Muftinya Syekh Athailah Al Khathib, India juga mengirimkan utusan, Inayatullah Khan, seorang pegawai tinggi Inggris. Dari Indonesia, hadir dari Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI), yaitu Syekh Abdullah Ahmad (Padang) dn Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dari Padang Panjang. Seperti juga Kongres di Hijaz, hasil yang dapat dipegang dari Kongres khilafah di Mesir boleh dikatakan tidak ada. Setelah soal Khilafat diselidiki dengan seksama, rupanya belumlah masanya buat membangunnya kembali. Demikian tulis Hamka dalam bukunya “Ayahku”, riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama di Sumatera, halaman 156. The Shorter Encyclopaedia of Islam, halaman 239 menyebutkan: “The resolutions of this first Caliphate Congress were in the main negative. Although it was recogniezed that the Islamic Caliphate is capable of realization, nothing more was decided than an appeal to all the Muslims of the world to work together for the establishment of the Caliphate. As such a cooperation came never to be realized, the matter has remained unsolved since then, for which on the whole the nationalistic tendencies in the Islamic countries may be held responsible. Even such a powerful ruler as Ibn Sa’ud has never shown aspiration to assume the highest dignity in Islam and an occasional attempt to proclaim the King of Egypt as Caliph met with no response.” (H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, The Shorter Encyclopaedia of Islam, E. J. Brill 1953: 239). Kongres Khilafah pertama ini tidak membuahkan hasil. Walaupun Ke-khilafahan Islam itu dapat diwujudkan, tidak ada keputusan yang diambil dalam kongres selain seruan kepada kaum Muslmin untuk bekerjasama menegak-kan Khilafah. Tetapi kerja sama seperti itu tidak pernah dilakukan. Semenjak itu masalah khilafah itu tidak terpecahkan (terbengkalai). Kecenderungan pada kenasionalan dalam negeri-negeri Islam itu mungkin menjadi penyebabnya. Bahkan Ibnu Saud yang memiliki pemerintahan yang kuat, tidak pernah memperlihatkan keinginan untuk menegakkan kekhilafahan yang sangat vital di dalam Islam, dan usaha untuk menjadikan raja Mesir sebagai khalifah pun tidak mendapat tanggapan.
Posted on: Thu, 22 Aug 2013 02:08:44 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015