Konspirasi 5 Sinar matahari menerobos masuk melalui kaca ke - TopicsExpress



          

Konspirasi 5 Sinar matahari menerobos masuk melalui kaca ke dalam sebuah ruangan segi empat yang cukup besar. Ruangan itu disusun dengan sangat minimalis, namun terlihat begitu artistik dengan lukisan-lukisan yang tertata rapi di tembok bercat biru langit. Lukisan yang dibuat dengan cat minyak terlihat lebih banyak dibanding lukisan yang dibuat dengan cat air. Dan lukisan dengan tema abstraklah yang merajai ruangan tersebut. Sebuah meja kayu besar berbentuk elips kokoh berdiri di tengah ruangan itu. Meja itu terbilang unik mengingat meja itu berada di sebuah ruang pertemuan, mengapa? Karena meja itu bukan seperti meja yang biasa dilihat di ruang pertemuan lainnya, tapi meja dengan penuh ukiran di tiap sisinya itu sebenarnya jauh lebih cocok ditempatkan di sebuah ruang keluarga. Di sekeliling meja itu terdapat pula kursi dengan kesan kuno namun artistik. Para penghuni kursi-kursi tersebut juga punya kesan yang sama, wajah-wajah lama, terlihat serius, dan tampak tidak menyenangkan. Mungkin tidak semua, karena satu orang terlihat berbeda. Ia mempunyai umur paling muda di antara semua yang ada di ruangan itu dan pastinya mencerminkan suatu semangat yang sangat berapi-api. Pemuda itu duduk di tengah dan jelas sekali memimpin pertemuan tersebut. Dengan tatapan menyelidik, mata pemuda yang saat ini memakai stelan jas yang rapi hitam, menghampiri tiap orang secara silih berganti searah dengan jarum jam. Ada seorang wanita dengan rambut panjang berwarna hitam, bermata besar dan berkebangsaan Rusia terlihat asyik memutar-mutar pulpen di tangannya. Di sampingnya ada pria tua berperawakan sedang, berkaca mata dan mempunyai tampang oriental sekali, sedang terlihat sibuk dengan catatan-catatan kecil di bukunya. Lalu seorang pria bertubuh gembul dengan kumis tebal seperti barisan semut merapatkan tubuhnya ke kursinya, matanya berputar-putar menjelajahi tempat yang terlihat belum pernah dia datangi sebelumnya. Dan tepat di sebelah kanannya, seorang wanita berstelan serba ungu dengan pandangan tajam memperhatikan pemimpin pertemuan ini. “Mungkin kalian terkejut. Atau mungkin kalian merasa bingung melihat aku ada di hadapan kalian saat ini?” kata pemuda yang sedang memimpin pertemuan ini, “bahkan aku berani menjamin bahwa di dalam benak kalian, kalian akan bertanya, mengenai siapakah aku?” Pemuda itu berhenti untuk melihat respon yang akan didapatkan dari perkataannya itu. Tapi seperti yang ia juga duga, semua orang yang ada di ruangan itu tidak membawa respon yang menarik. “Namaku Refi, Refi Culsieh. Aku hadir di sini untuk mengumumkan bahwa aku akan menggantikan peran kakekku yang telah meninggalkan kita semua. Dan seperti yang mungkin kalian kira saat ini, aku akan menggantikannya sebagai pemimpin organisasi ini.” Refi tahu kalimat terakhir yang ia ucapkan akan membawa perubahan pada mimik wajah tiap orang di ruangan itu. Dan dugaannya itu hampir tepat, karena semua orang di ruangan itu cukup kaget dengan pernyataan itu, kecuali satu orang. Perempuan berstelan ungu. “Kuharap kalian tidak usah terlalu terkejut! Aku tahu kalian mungkin merasa heran dengan keberanianku duduk di sini. Dan aku juga secara blak-blakan langsung mengumumkan diriku sebagai ketua di hadapan kalian. Tapi.... Tolong jangan pernah salah sangka! Kakekku yang sangat kucintai itu sangat menaruh kepercayaan besar kepadaku, dan kalian harus tahu bahwa dia percaya padaku. Dia juga yakin walau dalam usiaku yang tergolong muda, mungkin jauh lebih muda dari kalian semua. Aku dapat menggantikannya. Dan aku juga tidak akan melakukan ini kalau saja tanpa persetujuan kakek. Baiklah, aku membawa surat terakhir dari kakek.” Refi melirik ke arah wanita berbaju ungu. “Tolong tunjukkan pada mereka, Jane!” Jane adalah perempuan berbaju ungu. Ia membuka map di hadapannya lalu menemukan setumpuk kertas lalu membagi tiap orang di depannya selembar kertas masing-masing. Semua orang yang sudah menerima kertas itu membaca surat itu dengan perlahan-lahan. “Itu adalah surat wasiat dari kakek. Dan Jane, sebagai orang kepercayaan kakek telah menyimpan surat itu selama beberapa bulan setelah kakek meninggal. Lalu sesuai dengan janjinya, Jane akan menyerahkan surat itu tepat tiga bulan setelah kematian kakek. Lalu hari ini pun tiba...” Pria gembul berkumis tebal melempar kertas itu ke udara dengan muka geram. “Kau pikir kau siapa anak muda?” bentaknya. Dia menunjuk dengan pandangan dingin. “Kau pikir kami akan menurut pada anak ingusan sepertimu?” Refi tersenyum. “Paman, aku tahu bagaimana peran pentingmu dalam organisasi selama ini. Aku pun tahu cara kerja paman selalu rapi dan memuaskan. Tapi, tolong paman pertimbangkan sikap paman ini! Aku tidak menyukainya.” “Kurang ajar!” Pria gembul itu berdiri sambil menendang kursi ke belakang hingga kursi itu jatuh. Hentakkan kerasnya pada meja itu pun terasa saat isi dalam gelas-gelas yang ada di atas meja tumpah. Mata pria itu melotot dan mukanya memerah karena marah. Tiba-tiba Jane dengan cara yang memukau mengeluarkan sebuah pistol dan menodongkan pistol tersebut tepat di pelipis kiri pria gembul itu. Pria gembul itu langsung saja membeku. “Apa maksudmu ini, Jane?” tanyanya. “Aku hanya mencoba untuk melindungi tuanku dari ancaman.” jawab Jane, tegas. “Jane, kau pikir aku sebuah ancaman?” “Ya.” “Kau sudah gila, Jane.” “Jangan pernah bertindak bodoh!” Pria gembul itu menghujat kesal dalam hatinya sambil melihat Jane dan Refi secara bergantian. “Paman,” Refi tersenyum dengan unik dan berkata dengan sangat lembut, “tolonglah, bekerja sama lah denganku.” “Oke. Kau menang anak muda.” Pria gembul itu kalah. Ia langsung duduk dengan mencibir kesal. Jane pun duduk kembali dan meletakkan pistolnya kembali ke tampat asalnya. “Oke,” Refi memulai lagi, “aku rasa semuanya sudah menerimaku dengan sangat baik. Dan pastinya sekarang semua mau bekerja sama denganku. Atau ada yang tidak setuju? Melihat kalian, sepertinya semua setuju bukan?” Refi tiba-tiba berdiri dan bertepuk tangan. Semua orang di hadapannya melihat Refi dengan pandangan miring. “Aku memberi apresiasi terbesarku kepada kerja keras kalian selama ini. Aku bangga sekarang aku bisa menjadi bagian dari organisasi ini. Selama dua puluh tiga generasi, organisasi ini telah meluas sampai ke seluruh dunia. Dan dalam hitungan waktu yang tidak lama mungkin kita akan segera menghancurkan dunia.” Refi duduk. “Dan aku dengan sangat menyesal akan merubah cara kita selama ini! Metode kita selama ini terlalu kaku dan perlu diubah. Bukan berarti metode selama ini jelek, tetapi belum sempurna saja. Dan aku Refi, akan menyempurnakannya.” tambahnya. Jane tersenyum kecil sambil menatap Refi, dan dalam hati kecilnya ia berkata “Dia benar-benar seperti iblis.” *** Jane mengikuti Refi masuk ke sebuah kamar. Pertemuan sudah selesai, sekarang waktunya bagi dia untuk menyenangkan tuannya itu. Setelah menutup pintu, Refi dengan tak sabar segera mengelus-elus bokong mulus Jane saat wanita cantik itu sudah melepas rok span-nya. Jane sampai tergelak merasakan tangan nakal sang tuan yang memencet-mencet bukit kemaluannya. Tak mau kalah, Jane pun membalas dengan ganti meremas kontol Refi yang sudah ngaceng berat di balik celana. Kedua insan manusia yang tengah dimabuk birahi itu beriringan naik ke atas ranjang. Jane terus meremas kontol Refi yang hanya memakai celana panjang tanpa celana dalam, terasa sekali kontol pemuda itu yang besar dan panjang berada dalam genggamannya. Didorongnya Refi rebah ke tempat tidur. Sambil menyunggingkan senyumnya yang menggoda, perlahan-lahan Jane membuka setelan ungunya dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Dia memamerkan tubuh sintalnya yang telanjang pada si pemuda. Memeknya yang tembem terlihat memerah karena terangsang, jembut hitam tumbuh rapi di sekelilingnya. Buah dadanya yang bulat dan besar terlihat benar-benar kenyal dan keras, dengan puting yang mungil kecoklatan mencuat dan mengeras tajam mengacung ke depan. “Sudah tidak tahan ya?” goda Refi sambil mengelus-elus kontolnya yang menegak ke atas sepeti tugu Monas. “Iya, gara-gara sibuk dengan tugas ini, aku jadi jarang ketemu kamu.” Jane mengangkangi pinggang Refi yang tiduran dengan berganjal bantal, mengepaskan kontol pemuda itu pada lubang memeknya. “Kamu diam saja, biar aku yang ngentotin kamu.“ tambahnya dengan tersenyum nakal. “Sialan kau, Jane. Kau kira aku ayam ya, begitu siap langsung dikangkangi...“ keluh Refi sambil mengelus-elus paha mulus Jane yang benar-benar licin. “Bukan ayam, tapi kucing jantan, hahaha...” Jane tertawa dan menekan pinggulnya ke bawah, gesekan kelamin mereka sedikit membuat Refi meringis. “Aaahhh... Jane, memekmu... oughhhh...“ lenguh pemuda itu menahan sempitnya memek Jane yang terasa sangat menggigit. “Uugghhhhh... kontolmu menggesek dinding memekku, Reeef... ehmmmmm... ahhhhh... enak sekali.” lenguh Jane yang mulai kedodoran merasakan sesaknya kontol Refi. Matanya jelalatan menatap si pemuda, tapi dia terus memaksa kontol itu untuk terus masuk lebih dalam, sampai mentok ke dalam mulut rahimnya. ”Aauhhhh... aahhhhhh... kontolku...” geram Refi tidak tahan dengan kenakalan Jane yang sekarang merapatkan kakinya, menjepit kontolnya semakin kuat. “Hihihi... rasakan kau!“ ledek Jane dengan gemas sambil menghujamkan selangkangannya agar kontol sang pemuda semakin mentok ke dalam memeknya yang basah. “Aarrgghhhh...“ erang Refi, badannya mulai meliuk-liuk, tidak tahan menghadapi himpitan memek Jane yang sempit. “Enak kan?“ goda Jane sambil mengelus-elus bagian atas memeknya yang menggelembung akibat dimasuki kontol besar sang pemuda. “Sialan kau, Jane... ini terakhir kali aku main denganmu.” ancam Refi yang membuat Jane menjadi tergelak. “Mana bisa kamu ninggalin aku ? Pasti pengen... kalo suamiku pergi, kamu pasti ke rumah, nyodok-nyodok memekku sampai aku ketagihaan... hihihi, nakal sekali kau, anak muda. Sekarang siap ya... kamu diam saja, biar aku yang bangkitin gairahmu.“ ujar Jane sambil mencoba menarik selangkangannya yang sangat seret itu. Dengan mata terpejam, dia menggerakkan badannya naik-turun dengan pelan. Lenguhan mulai terdengar dari bibirnya yang mungil dan tipis. “Uugghhh... kontolmu kok enak banget sih, Ref... duh, memekku jadi tambah gatel nih... hmmhhh... “ lenguh Jane dengan wajah penuh keringat, tubuh montoknya mulai gemetar merasakan gesekan di lubang memeknya yang sempit. “Rasakan... itu akibatnya kalau menggodaku,” desis Refi sambil meremas buah dada Jane yang sekal dan montok dengan gemas. “Aahhhh... Ref, aduuuh... memekku bisa gosong nih kena kontolmu... sshhhh... aagghhh... “ Jane menggerakkan badannya naik turun semakin cepat. Dia memandang ke bawah, melihat bagaimana kontol besar Refi keluar masuk di dalam memeknya dengan lancar. Gesekan yang terjadi membuat dia menjadi semakin tidak tahan. Jane kemudian berhenti pada tarikan ke atas, dia meludah pada tangannya dan diusapkannya air liur itu pada batang coklat si pemuda. “Biar makin enak…” gumamnya sambil menekan pinggulnya ke bawah secara tiba tiba, membuat Refi spontan mendelik dan memekik pelan. ”Jane! Aagghhhhh...” belum sempat delikan itu berhenti, Jane sudah kembali naik dan menggoyangkan pinggulnya yang bulat keras-keras. ”Ughhhh... enak banget, Jane. Terus...” Refi meremas buah dada Jane yang membusung sebagai pelampiasan rasa nikmatnya. Jane terus bergerak, erangan demi erangan terdengar dari mulutnya seiring genjotan tubuhnya yang semakin liar. Dia menghujamkan memeknya kuat-kuat, menelan kontol besar Refi sampai mentok di bagian terdalam memeknya yang basah dan meremasnya dengan kedutan-kedutan pelan dinding rahimnya yang terus berkontraksi di sepanjang permainan. ”Ref, ahhhhh... aku nggak kuat!” Jane memekik tak tahan, genjotan demi genjotan membuat memeknya membanjir dengan cepat. Erangannya semakin tak karuan, matanya merem melek keenakan, sementara dadanya yang membusung bergoyang-goyang indah naik turun, dengan tangan Refi terus berada di permukaannya dan meremas-remasnya pelan. “Oouugghhhh... Ref, aku sampai... mmhhh... aarrggghhhhh...” jerit Jane. Di hujamannya yang kelima, dia mencapai klimaks. Tubuh montoknya bergetar hebat saat dari dalam liang memeknya mengalir deras cairan cinta yang mengisi relung vaginanya. ”Aku... aagghhhh...” Jane berkelojotan sejenak sebelum akhirnya lemas terkapar memeluk Refi. Dia diam di pundak pemuda itu dengan mata terpejam dan nafas masih ngos-ngosan. “Tenang, Jane… nikmati orgasmemu…” bisik Refi sambil memegangi tubuh montok Jane dengan tangan kanan meremas buah dada wanita cantik itu, sementara tangan kirinya meremas pantat Jane yang bulat padat. Jane tidak menjawab dan hanya diam. Refi membiarkan wanita itu menikmati sisa-sisa orgasme, bisa dia rasakan cairan orgasme Jane meleleh keluar dari sela-sela kontolnya yang masih terbenam di selangkangan wanita cantik itu. Tak lama kemudian Jane menarik kepalanya, kemudian tersenyum dan memagut Refi yang telah memuaskannya dengan sukses di ranjang besar itu. “Jane, ganti gaya ya?” ajak Refi saat dilihatnya Jane sudah siap untuk ronde yang kedua. “Oke, aku balik ya?” Jane memutar badannya, Refi bisa merasakan gesekan memek wanita itu pada batang penisnya saat Jane beralih posisi. “Uugghhhhh... kontol edan!“ maki Jane merasakan kontol Refi yang tergesek- gesek di dinding memeknya. Dia meringis keenakan, matanya terpejam dan bibirnya tergigit sedikit kuat. Refi segera memeluk tubuhnya dan kemudian merebahkannya sehingga Jane kini berada di bawah. Refi kembali memegangi kedua bukit kembar milik wanita cantik itu secara berlawanan, tangan kiri di buah dada sebelah kanan dan sebaliknya. “Auw... aku nggak tahan kalau kamu remes susuku seperti itu... nakal ah!“ keluh Jane suka, apalagi sekarang Refi juga sudah kembali menggerakkan batang penisnya keluar masuk di lubang memeknya, dia jadi makin menggelinjang tak karuan. “Shit! Aahhhhh... uugghhhh... memekku panas, Ref...” keluh Jane tidak kuat melawan gerakan Refi yang kini pegang kendali menyetubuhinya. ”Rasakan, salah sendiri tadi ngerayu-ngerayu.“ ledek Refi sambil terus menggerakkan kontolnya keluar masuk di memek Jane yang semakin basah. “Memang ini yang aku cari, Ref... Ayo terus, genjot tubuhmu lebih cepat. Tusuk aku lebih keras!“ Jane menjawab dengan mata merem melek keenakan, kepalanya merapat di kepala Refi saat pemuda itu mencium pipinya dan menggenjot cepat seiring spermanya yang memancar keluar mengisi liang kewanitaannya. Terengah-engah mereka berpelukan dan mengakhiri permainan itu dengan satu pagutan bibir yang dalam dan mesra. *** Ruben adalah seorang pemuda yang sangat menarik. Setidaknya dengan wajahnya itu, banyak gadis akan terpikat hatinya. Hidung yang tajam bagai pisau, mata biru sedalam lautan dan body proporsional bagai seorang atlit menambah kesempurnaan pemuda keturunan timur tengah ini. Tiga pasang mata memperhatikannya dengan sedikit ragu. Wajah polos bagai peri di hadapan mereka adalah seorang pemuda yang mampu menguasai berbagai jenis bahasa dunia. Katakan saja bahasa Arab, Ibrani, Jepang, China, India dan beberapa bahasa Eropa yang sangat sulit untuk dipelajari sekaligus dapat dikuasai Ruben. Tapi Ruben lebih suka dengan bahasa yang mempunyai tulisan unik dan tidak memakai alfabet biasa. Seperti janjinya, Ruben datang tepat waktu hari ini. Tidak terlambat maupun tidak terlalu cepat. Ruben sangat tepat waktu. “Jadi kalian mau ke mana saja?” tanya pemuda itu tanpa basa-basi. Nami menggeleng-gelengkan kepala. Juna hanya tersenyum tipis. Sementara Mika menggaruk-garuk kepalanya sambil ikut tersenyum. “Sebenarnya kami belum tahu pasti ke mana kami akan pergi.” seru Mika, “kami ingin ke danau Galilea dan sekitarnya.” “Kebetulan sekali,” Ruben menaikkan alisnya, “seperti yang aku inginkan sebenarnya. Di dekat danau itulah kakekku tinggal.” Mika mengerutkan dahinya. Ia tertarik dengan pernyataan itu. “Kakekmu?” “Iya. Aku memang masih punya keturunan Israel.” “Oh ya?” Ruben mengangguk. “Kebetulan sekali kalau begitu.” “Ya.” Ruben memperhatikan ruangan di mana ia berada. Ruangan besar namun terlihat kosong dan membosankan. Banyak bagian-bagian pada ruangan itu yang perlu tata ulang atau dibumbui dengan hiasan-hiasan yang pas buat sebuah ruang tamu. “Oh ya,” kata Ruben, “kalau aku boleh tahu, keperluan apa yang menyebabkan kalian ingin ke sana?” “Sebuah observasi untuk skripsiku.” sahut Mika. “Menarik sekali, observasi langsung ke negara asal.” “Ya begitulah,” jawab Mika ramah, “aku berharap kita bisa ke daerah-daerah yang mengandung sejarah tinggi.” Ruben mengangkat jarinya. “Kalau soal itu, tidak perlu diragukan lagi. Saat kalian menginjak daerah itu, kalian sudah masuk ke sebuah tanah yang bersejarah sekali. Aku akan mengajak kalian untuk mengelilingi daerah tersebut, kebetulan sekali aku cukup mengenal daerah itu.” “Briliant!” “So?” tanya Ruben, “langsung saja menuju pertanyaan utamaku, kapan kita berangkat?” “Mungkin,” sambung Nami, “seminggu lagi. Aku akan mengurus semuanya dulu. Tiket pesawat, visa sampai hotel yang nanti kita akan pakai. Aku akan mengurus semuanya itu dulu.” “Bagus kalau begitu.” Ruben mengangguk. *** Burung-burung besi terlihat dengan gagah perlahan berjalan meninggalkan tempatnya dan dalam hitungan detik raganya menoleh ke atas lalu melesat dengan cepat dan dengan penuh kepastian menembus angkasa. Kejadian yang sama terus menerus menarik perhatian Mika yang duduk dengan kaki bersila sambil memandang keluar ruangan melalui kaca besar yang memang ada di ruangan tersebut. Mika kembali teringat ucapan yang dulu pernah Nami ucapkan soal keberangkatan mereka ke Israel nantinya. Ia setuju bahwa Nami benar-benar bisa dipegang ucapannya. Nami mengurus semuanya dengan sempurna, tiket mereka, visa mereka sampai hotel yang nanti akan mereka tempati juga sudah dipersiapkan dengan baik. Dan koneksi terhadap orang-orang pemerintahan ternyata benar benar ampuh untuk mempermudah dan mempercepatkan segala urusan yang diperlukan mereka. Ia kemudian membelokkan pikirannya ke fantasi-fantasi yang baru-baru didapatnya tentang penemuan rahasia terbesar yang tidak akan pernah dunia duga. Dan ia membayangkan bagaimana ia bersama Juna dan Nami berjalan di sebuah karpet merah dengan ribuan sorotan kamera mengarah ke mereka. Tiba-tiba Mika menggelengkan kepala tidak setuju. Ia tidak puas dengan pemikiran terakhirnya. “Jadi, ini benar-benar pengalaman pertamamu naik pesawat, Mik?” Pertanyaan Nami langsung saja membuyarkan lamunannya. Mika menatap Nami yang duduk di sebelah kanannya. Hari ini Nami terlihat menawan sekali menurutnya, pakaian berwarna cerah membungkus sempurna badan Nami yang memang sudah sangat bagus. “Sebenarnya bukan pertama kali naik pesawat,” kata Mika perlahan, “hanya, baru kali ini saja aku pergi naik pesawat ke luar negeri. Lagipula aku sebenarnya benci naik pesawat.” “Oh ya?” “Kamu seperti baru mengenalku saja? Aku kan takut ketinggian.” Wajah Nami tiba-tiba memerah. Nami merasa bersalah sekali karena tidak mengetahui hal itu. Bagi Nami itu adalah suatu hal kecil yang seharusnya ia tahu. “Aku lupa.” “Ah...” Mika menjawab dengan cuek, “sudahlah!” Matanya mulai menyelidik, ia berusaha mencari seseorang dalam ruangan yang cukup padat ini. “Mana Ruben?” tanyanya. Sekali lagi ia mencoba mencari sosok Ruben itu. Ruangan di mana mereka berada adalah sebuah ruang tunggu ternyaman yang pernah Mika tempati. Walau terlihat penuh dengan orang, namun masih banyak bangku-bangku kosong yang di tempatkan di empat sisi ruangan itu. Mungkin ruangan yang terasa sejuk dengan AC sentralnya itu menawarkan banyak hiburan untuk menghabiskan waktu dalam menunggu. Rombongan Mika duduk di deretan bangku depan yang dekat sekali dengan toilet. Sembilan puluh lima derajat ke atas dari tempat duduknya, ada sebuah televisi berukuran besar yang sedang menayangkan berita luar negeri. Sebelah kirinya terbentang stand makanan dan minuman kecil yang dapat dibeli di sana, dan tepat di samping stand makanan itu ada dua buah PC yang tersambung dengan koneksi internet. Akhirnya mata Mika berhenti ketika Nami menunjuk seorang pemuda yang sedang mengobrol dan duduk bersama rombongan lain yang mereka tahu sebagai peziarah-peziarah tanah suci. Ruben sedang asyik berbicara dengan salah satu gadis yang ikut dalam rombongan tersebut. Gadis itu berkacamata, namun tidak menimbulkan kesan membosankan, bahkan terlihat sebagai seorang gadis yang asyik. Entah bagaimana caranya, Ruben bisa langsung akrab dengan gadis itu. Mungkin karena cara Ruben berbicara atau karena wawasan luasnya. Ruben yang merasa ditunjuk oleh Nami berdiri, lalu mengajak gadis yang baru dikenalnya itu menghampiri Mika dan Nami. Gadis itu tersenyum dengan ramah sekali. “Kak, kenalkan temanku.” Mika mengulurkan tangan dan menyalami gadis itu. “Mika.” “Leni.” Lalu Nami pun melakukan hal yang serupa. “Kebetulan sekali bukan? Aku bisa tiba-tiba bertemu teman lamaku.” kata Ruben bersemangat, “Leni ini teman SD ku.” “Begitu ya?” “Ya. Dan dia bersama ke dua orang tuanya,” Ruben menunjuk ke arah rombongan di mana Ruben tadi duduk, “mengikuti rombongan untuk keliling Israel.” “Bagus dong.” Mika memperhatikan rombongan yang ditunjuk Ruben tadi. Sekitar lima belas orang dalam rombongan tersebut. Jelas sekali, dua orang yang sedang memimpin pembicaraan itu adalah panitia dari tur tersebut. Dalam rombongan itu ada sepasang suami istri yang dikatakan Ruben sebagai orang tua Leni, di samping mereka ada tiga orang wanita yang mempunyai usia lebih dari setengah abad, di belakang tiga perempuan tua itu ada dua pasang suami istri lain yang sedang asyik dengan obrolan mereka sendiri, dan ada dua orang pria juga duduk agak menjauh dari rombongan tersebut. Namun yang paling menarik perhatian Mika adalah seorang pemuda dengan usia yang kurang lebih sama dengannya. Pemuda itu duduk paling belakang dan terlihat sedang memainkan benda kotak yang juga Mika sukai, yaitu Rubiks. Nami berdiri ketika sebuah suara mengema dan memberitahukan bahwa mereka harus segera naik ke pesawat mereka. “Ayo kita berangkat!”
Posted on: Tue, 22 Oct 2013 09:19:46 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015