LAPANGKAN HATI KITA DENGAN TAUBAT Satu cara untuk mengetahui - TopicsExpress



          

LAPANGKAN HATI KITA DENGAN TAUBAT Satu cara untuk mengetahui sejauh mana kita benar-benar beriman ialah dengan mengukur sejauh mana kesan dosa terhadap hati kita? Apakah hati kita akan terasa kesal dan menyesal dengan dosa? Atau kita merasa biasa-biasa saja apabila berdosa? Jika terasa menyesal, itu petanda iman masih ada di dalam dada. Sebaliknya, jika dosa tidak memberi kesan apa-apa, malah kita tetap gembira… itu satu petanda buruk. Iman kita amat lemah, Hati kita sedang sakit. Boleh jadi sudah menanti masa saja untuk melayang. Apa tanda menyesal? Menyesal bukan menyesal jika kita hanya berasa sedih tanpa berbuat apa-apa. Tetapi menyesal yang sebenarnya apabila kita mulai bertindak selaras dengan apa yang kita kesalkan. Kita menyesal dengan dosa? Langkahnya, terus kita tempuhi jalan-jalan taubat dengan memberhentikannya, niat tidak akan mengulanginya lagi dan berbuat baik sebagai upaya cerdas dan keras utk tidak akan pernah mengulangi kejahatan yang kita lakukan itu. Mari kita bertanya pada hati masing-masing? Bagaimana kita dengan dosa? Bagaimana kita dengan taubat? Amat malang di Ramadan 1434H yang tinggal beberapa hari lagi ini jika kita terlepas lagi peluang untuk diampunkan dosa seperti di Ramadan 1433H yang lalu. Sedangkan bulan Ramadan 1434H yang sebentar lagi akan kita jalani sesungguhnya melimpah ruah dengan keberkatan, keampunan dan janji terlepas daripada api neraka. Bagi orang yang beriman, peluang sebesar ini sangat dinanti. Sejak bulan Rejab lagi, mereka telah bersedia untuk menyambutnya dengan menyemarakkan ibadah. Untk benar benar dihayati bahwa Pangkat di dunia tidak akan berguna selepas mati, sedangkan pangkat taqwa di sisi Allah bukan saja berguna di dunia – dengan jaminan pembelaan, kecukupan rezeki, diberi jalan keluar daripada berbagai masalah dan lain-lain, malah lebih berguna di akhirat nanti – kehidupan yang hakiki dan abadi. Rasulullah SAW bersabda : “Malaikat Jibril datang kepadaku dan berkata : “Rugilah (kecewa) orang yang bila namamu disebut dia tidak mengucapkan shalawat atasmu”. Aku mengucap : “Amin”. “Rugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orangtuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk ke surga”. Aku berkata : “Amin”. Jibril berkata lagi : “Rugi orang yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan, tetapi tidak sampai terampuni dosa-dosanya”. Lalu aku mengucapkan : “Amin”. (HR. Ahmad) Hati siapa yang tidak tersentuh apabila mendengar hadis di atas? Betapa ruginya nanti kita di akhirat sana. Dosa tidak diampunkan, masuk ke neraka dan jauh daripada rahmat dan pengampunan Allah. Menyesallah dahulu, karena menyesal kemudian tidak berguna. Jika kita hendak menangis, maka menangislah pada hari ini… karena menangis di akhirat sudah terlambat dan tidak berguna. Takuitilah akibat dosa yang kita lakukan. Jangan ambil mudah dengan kemurkaan Allah. Jika ada yang marah (istri, suami, boss, kawan-kawan dllnya) boleh jadi sudah menyebabkan hidup kita resah dan susah, apalagi murka Allah, Tuhan yang mencipta kita. Ya, kita sering terlupa bencana akibat dosa boleh datang tiba-tiba. Lupakah kita dengan kaum Aad yang ditimpa bencana tepat ketika mana mereka berarak ria menuju ‘syurga’ ciptaan raja mereka? Apakah kita lupa bagaimana sikap Rasulullah SAW ketika baginda dan para sahabat melalui lokasi tempat kaum Aad dan Tsamud menerima bala? Baginda terlalu terganggu oleh ‘nostalgia dosa’ sehingga Rasulullah SAW menyuruh para sahabat menundukkan muka dan jangan memandang ke langit (tanda merendahkan diri) ketika melalui tempat tersebut. Rasulullah SAW pernah berdoa memohon agar Allah tidak menurunkan bala bencana ketika gerhana berlaku. Baginda akan sembahyang dengan penuh tawaduk dan baginda berdoa: “Tuhanku! Tidakkah Engkau telah berjanji untuk tidak mengazab mereka (umat Islam), dan aku berada bersama mereka. Tidakkah Engkau telah berjanji untuk tidak mengazab mereka (umat Islam), sedangkan mereka adalah orang yang bertaubat. (Sulaiman bin al-Ash’ath, Sunan Abi Daud). Itulah sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, seorang insan yang maksum daripada dosa dan dijamin masuk syurga. Padahal baginda insan yang mulia, para penduduk kota Madinah ialah para sahabat Rasulullah yang terkenal sebagai generasi al-Quran dan kota Madinah itu sendiri adalah kota suci yang penuh rahmat dan keberkatan. Dengan segala kelebihan itupun baginda masih tidak terasa ada jaminan keselamatan daripada bala bencana. Sinisnya, bagaimana nasib kita yang setiap masa bergelimang dengan kemungkaran dan kemaksiatan, kadang-kadang hidup di tengah kota yang di kelilingi aroma dosa ! Walau bagaimanapun, bencana alam, penyakit-penyakit kronik, gejala sosial dan lain-lain masalah sebenarnya boleh membawa rahmat jika kita dapat mencungkil ibrahnya yang tersirat. la boleh diumpamakan sebagai racun kepada hati yang derhaka kepada Allah, tetapi penawar kepada hati yang tunduk dan patuh kepada Allah. Kata orang, “What happens ‘in’ you is more important than what happens ‘to’ you.” – apa yang berlaku ‘di dalam’ diri kita jauh lebih penting daripada apa yang berlaku kepada (‘di luar’) diri kita. Untuk memahami yang tersirat dan mencungkil hakikat daripada sesuatu peristiwa, kita perlu menyingkap lembaran sejarah. Bencana alam yang telah menimpa umat nabi-nabi terdahulu karena kedurhakaan dan kedegilan mereka walaupun telah diberi peringatan berkali-kali perlu diamat-amati. Renungilah hakikat ini: Umat Nabi Nuh a.s yang tunduk kepada hasutan syaitan, yang mana syaitan itu diciptakan daripada api – Allah musnahkan mereka dengan mendatangkan banjir besar. Kaum Saba’ yang juga menyembah api, Allah musnahkan dengan banjir. Pepatah "Apabila api diagung-agungkan pastinya Allah datangkan air sebagai pemusnah." Hukum ini terus berjalan sepanjang zaman. Apabila berlaku kemungkaran yang merajalela di tengah umat manusia, Allah akan datangkan bala bencana sebagai azab yang memusnahkan mereka. Inilah yang telah berlaku kepada umat Nabi Lut, yang ditelan bumi kerana mengamalkan homoseksual dan lesbian. Kaum Nabi Salleh kerana curang dalam perniagaan. Kaum Aad dan Tsamud yang ditimpa hujan batu karena kedurhakaannya. Untungnya, umat Nabi Muhammad mempunyai banyak kelebihan berkat kasih sayang Allah kepada Nabi-Nya – Muhammad SAW. Bencana tidak berlaku serta-merta kepada umat Nabi Muhammad seperti mana yang menimpa umat nabi-nabi terdahulu. Masih ada penangguhan dan diberi tempo masa untuk memperbaiki diri. Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, tanah runtuh, banjir, kemarau dan lain-lain (walaupun sudah hebat dan dahsyat) tetapi ini berkali-kali ganda lebih ringan berbanding bencana yang menimpa umat-umat terdahulu. Apapun, mestinya tetap sama sebagai peringatan. Dengarkanlah ‘bisikan’ Allah ini. Jangan sampai kita terpaksa mendengar ‘jeritan-Nya!’ (bencana yang lebih dahsyat). Lihat saja bencana nuklear di Fusyima Jepang yang dilumpuhkan hanya dengan kuasa air. Bukankah ini satu simbol kemajuan teknologi yang dibanggakan oleh manusia tetapi akhirnya tunduk kepada kuasa ‘konvensional’ yakni air? Walau bagaimanapun, ada bencana yang lebih seni dan maknawi sifatnya. Tidak ketara oleh mata, tetapi sangat derita pada hati. Di dunia, dosa dapat membuat hati keras dan buta dari kebenaran. Ia akan menutup pintu hati dari melihat kebenaran dan membuatnya terbalik dalam membuat penilaian. Allah berfirman: “Kemudian apabila mereka melupakan apa yang telah diperingatkan dengannya, Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu segala kemewahan, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan, Kami siksa mereka secara tiba2, maka ketika itu mereka berputus asa. (Surah al-An’am 6: 44) Manakala secara peribadi dosa akan menyebabkan hidup kita menjadi sempit, perasaan menjadi tidak keruan dan fikiran selalu kacau. Ada saja yang tidak kena walaupun kita sudah memiliki kekayaan, kesehatan, kesempatan dll. Firman Allah: “Dan barang siapa yang berpaling daripada peringatan Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” Thaha: 24 Ibnu Khatir menjelaskan keadaan orang yang melakukan dosa dengan katanya: “Di dunia dia tidak akan mendapat ketenteraman dan ketenangan. Hatinya gelisah akibat kesesatannya. Meski pun lahiriahnya nampak begitu senang, mampu memakan apa saja makanan yang diingini, mampu tinggal di mana saja yang dia kehendaki, namun selama dia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk maka hatinya akan sentiasa gelisah, bingung, ragu dan masih terus ragu. Ini ialah kehidupan yang sempit.” Hati orang soleh begitu lembut, sensitif, mudah menerima cahaya hidayah dan taufik. Sebaliknya, hati seorang pendosa menjadi gelap, tertutup, berkarat, keras, dan karenanya tidak dapat ditembusi cahaya kebenaran. Kita sering diingatkan bahwa apabila bencana menimpa jangan salahkan siapa2, tetapi salahkanlah diri sendiri. Perhatikanlah hari-hari di Ramadan yang akan kita jalani, apakah penuh pahala atau sebaliknya. Bagaimana kita di sini (di dunia), begitulah kita di sana (akhirat) nanti. Siapa yang menyemai angin, pasti terpaksa menuai badai!
Posted on: Sun, 07 Jul 2013 00:01:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015