Lelah Menatap Sabang *Oleh Sahari Ganie SABANG bagi Aceh - TopicsExpress



          

Lelah Menatap Sabang *Oleh Sahari Ganie SABANG bagi Aceh lebih dari sekadar sebuah teritori geografis belaka, tapi juga suatu ikon kebanggaan ekonomi historis. Di masa lalu sebagai satu-satunya kawasan pelabuhan bebas dan perdagangan bebas di Indonesia. Namun belum sempat menyejahterakan ekonomi Aceh secara maksimal, kecuali para Inang- inang ‘janggo ekonomi’ (jengek) asal Sumatera Utara. Di era tahun 1970-an Sabang hanya memberi secuil berkah cilet-cilet berupa produk impor konsumtif, seperti celana Lee sandle King, roti kaleng `Merry Legal’, dan rokok ‘555’ (rukok lhee goe limong), sebatas itu saja. Meski di Jakarta ketika itu barang tersebut konsumsi kelas menengah atas. Setelah itu gemerlap ekonomi dan perdagangan Sabang mendadak dipadamkan pemerintah pusat melalui UU No.10 Tahun 1985 tentang Pencabutan Status Daerah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang. Blunder politik pemerintah pusat tersebut mengubur harapan dan mencabik-cabik martabat keacehan. Tidak berlebihan asumsi bahwa sumbu mesiu konflik Aceh selama tiga dekade kemudian berawal dan bermula dari kebijakan pandir pusat tersebut. Padahal, dari perspektif prospek ekonomi dan konteks relasi politik lokal-nasional cukup strategis. Ketidakpastian Sabang merupakan pintu gerbang kedaulatan politik NKRI di belahan barat yang bersinggungan langsung dengan Selat Malaka kawasan ekonomi paling bertumbuh di dunia. Percepatan pembangunan Sabang tentu semakin memperkokoh postur perdagangan internasional Indonesia, lebih khusus lagi semakin merekatkan Aceh dalam bingkai NKRI. Dan sebaliknya, ketidakpastian masa depan Sabang akan berimbas negatif terhadap relasi Aceh-pusat dalam jangka panjang. Artinya, Aceh yang sejahtera pastinya akan semakin steril dari munculnya potensi konflik vertikal seperti diwaktu lalu. Namun celakanya dinamika positif ini implisit dibaca secara terbalik oleh elit nasional paranoid. Kemajuan Sabang ditafsirkan simetris dengan aspirasi separatisme. Respons Jakarta selama ini atas aspirasi Aceh tentang Sabang berwarna abu-abu. Pada aras wacana publik Jakarta terkesan mendukung percepatan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Namun pada tataran regulasi masih jauh panggang dari api, “badan dilepas kaki diikat”. Lihat saja nasib beberapa PP turunan UU No.37 Tahun 2000, hingga usia ke 13 BPKS ini, sebagian masih terus digantung pemerintah pusat dengan berbagai alasan yang bias. Kasus hujan interupsi di forum sarasehan BPKS oleh para pelaku usaha lokal atas penjelasan pejabat pusat yang tidak solutif adalah manifestasi fenomena di atas. Absurditas pusat atas Sabang tampak terang benderang jika kita membuka kembali arsip UU No.10 Tahun 1985 tentang Pencabutan status Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Dalam penjelasannya antara lain berbunyi: “...tujuan dimaksud yaitu untuk memberi pengaruh besar dalam memajukan kegiatan ekonomi dalam negeri, tidak dapat terwujud di Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang, baik ditinjau secara regional maupun nasional. Di samping itu adanya Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang, telah menimbulkan beberapa dampak yang tidak menguntungkan. Selain itu, adanya kenyataan bahwa wilayah di sekitar sabang khususnya Aceh Utara telah berkembang pesat sebagai satu pusat pertumbuhan ekonomi, telah menjadikan peranan Sabang tidak lagi menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, dan keamanan.” Ini jelas merupakan cerminan sikap prejudis pusat kepada Aceh yang berlebihan dan distorsif. Jalur high politic Dikembalikannya status Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui UU No.37 Tahun 2000 sejatinya adalah hasil dari proses adu argumentasi politik intens. Memperjuangkan masa depan Sabang pun mesti juga melalui ranah politik. Namun jangan lagi dilakukan dalam aras konvensional (low politic) dalam skala nasional. Saatnya kini mengubah paradigma dan strategi pendekatan multitrack diplomacy (high politic) melibatkan multi- stakeholder, aktor dan broker internasional perdamaian Aceh misalnya, Uni Eropa yang mensponsori lembaga CMI (Crisis Management Initiatives), yang menghasilkan MoU Helsinki 2005. Ini adalah modal dan instrumen high politic Aceh, simpul outreach Aceh dengan dunia internasional. Masalah Sabang pun sebenarnya bisa diselesaikan melalui proses dan mekanisme serupa. Problema Sabang mesti diposisikan sebagai faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan damai Aceh (sustainable peace). Arthisaari pun mesti disadarkan bahwa CMI masih memiliki tanggung jawab moral atas nasib perdamaian Aceh hari ini. Sikap pasif CMI dalam sengkarut politik Aceh-Jakarta bisa melahirkan persepsi negatif terhadap CMI baik pada level lokal maupun internasional. Citra CMI akan dipandang sebagai regu pemadam kebakaran yang masih menyisakan bara api yang sewaktu waktu bisa mengobarkan api yang lebih dahsyat lagi. Mengkaitkan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang dalam kerangka pembangunan Aceh sangat relevan dan signifikan. Terutama sebagai sumber devisa alternatif Aceh pasca mengeringnya ladang petro dollar LNG Arun. Realitas ini mesti dijadikan bargaining chip (alat tawar negosiasi) oleh pihak eksekutif maupun legislatif Aceh di meja perundingan dengan Jakarta. Jangan hanya terpaku sebatas isu bendera dan wali naggroe. Memperjuangkan Sabang justeru lebih urgen dan fundamental berimbas langsung seluruh rakyat Aceh, bukan hanya terbatas pada kelompok ataupun golongan tertentu saja. Pemerintah Aceh dalam bernegosiasi dengan pusat, harus selalu menyertakan isu Sabang dalam daftar agenda prioritas pembicaraan. Aliansi strategis Dewan Pengawas Sabang (DKS) perlu mempertimbangkan kelaikan membentuk semacam unit khusus semacam ‘desk Sabang’. Unit ini berfungsi mendukung optimalisas kinerja DKS. Struktur DKS yang terdiri dari gubernur dan bupati serta walikota yang notabene adalah kepala daerah, tidak mungkin bisa memonitor dan mengarahkan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) secara efektif dan intensif. Unit khusus ini hanya berisi 5-8 profesional berkualifikasi prima dan memiliki pengalaman di FTZ handal dibidang ekspor-impor, bea cukai, international trading dan manajemen pelabuhan. Begitu pula BPKS perlu melahirkan ‘Kaukus Sabang,’ sebagai forum aliansi strategis dengan pelaku usaha lokal seperti Kadin, dan asosiasi-asosiasi bisnis terkait serta perguruan tinggi. Menuju penyatuan persepsi, visi dalam percepatan pembangunan Sabang. Ini menjadi kekuatan-kekuatan ekstra menambah bobot posisi lobbi Aceh vis a vis Jakarta. Menyedihkan ketika seorang rekan di BPKS menginformasikan penulis, bahwa hingga usia ke 13 BPKS, konon belum pernah sekalipun presiden RI ataupun menteri portofolio terkait yang berkunjung ke Sabang. Pejabat paling tinggi hanya level deputi menteri dan dirjen. Bandingkan dengan kawasan FTZ Batam yang otoritasnya sangat progresif berhasil mengajak SBY dan sejumlah Menteri berkunjung ke sana. Selama kunjungan itu SBY menerima pengaduan pemerintah daerah, otoritas Batam dan masyarakat (Batam Pos, 14/10/12). Kunjungan pejabat tinggi ke daerah sangat prinsipil, indikator adanya perhatian pemerintah pusat, juga suatu pencitraan positif (branding) dan menjadi magnet penarik investor berinvestasi di daerah tersebut. Lalu, kapan DKS dan BPKS mengikuti jejak FTZ Batam? * Sahari Ganie, Pengajar tidak tetap Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: ayieghany@yahoo
Posted on: Thu, 21 Nov 2013 02:21:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015