Limited Love __________________________ Kring…kring… - TopicsExpress



          

Limited Love __________________________ Kring…kring… “Assalamualaikum, abang” “Bunda, meninggal dunia Jee,” Suara itu terdengar sendu. “Abang, bunda, bunda meninggal dunia,” kata-kata itu terucap terbata-bata. Airmata mulai menetes. Alasan apapun itu yang jelas kesedihan tidak dapat disembunyikannya. “Jee, cepat kemari, pulang kami menunggumu. Kita sama-sama mengebumikan bunda hari ini.” “Segerakan pemakaman bunda abang, aku merasa sangat puas, merawat bunda, itu sangat cukup, laksanakan pemakamannya abang, jangan di tunda lagi,” pintanya dengan suara tegas. “Iya, abang mengerti, kamu yang sabar ya Jee, kita sama-sama menjalani sisa hidup ini, kamu jangan takut, jangan pernah merasa sendirian, kita selalu sama-sama, cepatlah selesaikan kuliahmu, kami sangat menanti kedatanganmu disini, ya Jee. Oh iya, bunda berpesan, kamu harus jadi sarjana lulusan ekonomi yang berprestasi, abang mau kamu lakukan itu untuk bunda, jangan kecewakan beliau,” beriringan dengan airmata dan suara yang tersendu-sendu terucaplah nasehat tersebut kepada Jee. “Mulai sekarang, aku akan belajar untuk mencintai bunda dengan cara yang berbeda. Bunda punya tempat sendiri dihatiku, ada atau tidak, terlihat ataupun samar, tetap bunda tak akan hilang, dan tak akan pernah menghilang. Bunda tetaplah bunda sekalipun dia sembunyi. Abang, jangan khawatirkan tentang hidupku, aku akan lanjutkan hidupku meski aku masih ragu tentang kekuatanku tanpa bunda. Berjanjilah bang untuk tidak mengkhawatirkanku. Oh iya, abang juga jangan takut tentang keinginan bunda, aku akan melakukannya, abang, Jee akan berusaha berubah menjadi seperti abang, bunda selalu membanggakan abang, jadi, Jee ingin seperti abang, Jee janji akan berubah seperti abang.” “Terimakasih, Jee, pesan abang untukmu “jadilah pemenang meski tanpa predikat juara, dan jadilah bintang meski tidak bersinar,” tutur lembut abang Jery menyudahi percakapan via telpon genggam tersebut. “Ya Allah, ini sangat berat, tapi jalanmu selalu indah, dan bagi hamba ini hanya bagian kecil dari keindahanMu. Izinkan hamba menjadi kuat meski tak berstatus hebat, juga izinkan hamba menjadi sabar meskipun akan menuai kesakitan, jangan biarkan kehilangan ini menghentikan langkah hamba meraih jalan yang Kau inginkan ya Allah, jangan buat hamba takut akan kesendirian, lindungi hamba ya Allah, jaga bunda untuk hamba ya Allah, Aamiin.” Airmata dan senyuman beriringan dengan bait do’a yang dipanjatkan Jery. — Wajah ceria Jery kini mulai memudar, hanya puing kenangan-kenangan bahagia yang menari dibenaknya. Tak seperti dulu lagi yang penuh celoteh bebas tanpa ada pembatas, bicara semaunya, bertingkah kekanak-kanakan. Sekarang sosok itu menghilang. Kini Jery bersikap dingin dengan siapa saja yang berada dilingkungannya. Akibat perubahan drastis itu muncul lah berbagai macam pertanyaan dari orang-orang yang mengenal Jery. Apa yang selanjutnya terjadi pada Jery? Suatu ketika bertemulah Jery dengan seorang pria dengan perawakan kurus tinggi, komposisi pria tersebut, dia baik, ramah, sopan, dan juga santun. Sesekali pria itu mencoba mengajak Jery berkomunikasi. Sepertinya, Suasana terasa kaku. Tidak ada Tanya jawab yang layak antara mereka, dengan gaya dan kata yang sama Jery menjawab semua pertanyaan yang diajukan pria tinggi itu. Membosankan, iya, kata itu layak dihadiahkan untuk percakapan mereka. Pahlevi, nama pria kurus tinggi itu. Sapa saja dia dengan panggilan Levi. Minggu pagi, langit dengan berhiaskan awan hitam pekat, berlari dengan riangnya perempuan yang menutup diri dengan hijab, memukau, menarik perhatian Jery yang saat itu berdiri tepat di depan pintu kos tempat dia tinggal. Merasa kagum dengan apa yang dilihatnya, Jery mengambil payung bersegera dia berlari sembunyi-sembunyi mengejar perempuan tadi. Awan hitam pekat di langit sana pecah, gelegar petir diiringi hujan menyapa sejuknya pagi minggu kali ini, perempuan berhijab tadi mampir berteduh dipertigaan jalan disekitaran kos Jery tinggal, takut ketahuan Jery menghindar bersembunyi di samping pohon besar. Tak lama, petir menyapanya dengan lancang, sontak dengan suara yang nyaring Jery teriak “aaaaa, ampun ya Allah, ampun, ampun,” teriaknya melompat-lompat ketakutan. Kaget, perempuan itu mencari-cari suara teriakan tersebut. Dilihatnya Jery yang terlihat seperti mandi hujan. Perempuan itu tersenyum melihat tingkah Jery yang aneh melompat-lompat sesekali menutupi telinganya dengan kedua ibu jari. Berharap tidak ada yang melihat, Jery buru-buru mengambil payungnya kemudian berlari, ekspresi wajahnya saat itu, senyum-senyum tanpa suatu kejelasan. Masih belum puas dengan kehadiran perempuan yang dilihatnya hanya persekian detik tadi, Jery dengan sabarnya menunggui di depan rumah berharap perempuan berhijab tadi lewat lagi di depan rumahnya. Minggu kali ini adalah moment dimana wajah Jery tampak sedikit lebih merona dibanding hari-harinya yang lalu. Setelah kehilangan, dan mengalami keterpurukan. Akankah Jery membuka hatinya? Kedatangan perempuan yang ditemuinya beberapa saat lalu itu menjadi fenomena langka dalam hidup Jery, setelah hari itu berlalu, tak ada sekali pun Jery menemui perempuan itu lagi. Penantian itu sepertinya menjadi kewajiban untuk Jery, setelah pulang kuliah, Jery meluangkan sedikit waktunya untuk menyoroti sekitaran jalan kosnya berharap perempuan itu lewat lagi. Dari kejauhan Levi melambaikan tangannya pada Jery, dengan wajah yang cemberut Jerry mengangkat tangan kirinya, isyarat kecewa karena yang datang bukan yang diharapkan. Levi dengan sepeda bututnya, terlihat terburu-buru melaju menuju Jery. “Jee, tunggu Jee, jangan masuk dulu, Jee…” teriaknya mencegah Jery masuk ke dalam rumah. “Jee, aku bawa…” “Iya makasih,” teriaknya memotong pembicaraan Levi sembari melangkah menuju ke dalam rumah. “Jee, aku bawa Husna,” sambung Levi menuntaskan omongannya tadi dengan nada pelan. Husna hanya menatap kakaknya heran, mata bulat, berhiaskan bulu mata lentik, menyorot tajam ke arah kakaknya, Levi. “Itu Jery, Husna suka sama Jery,” tanya Levi lembut. Husna hanya diam tanpa berkomentar. “Perempuan itu, bukan hanya mengganggu tapi juga merepotkan, hah… setiap hari menunggu, menunggu, terus menunggu, merepotkan,” gumam Jery, “Tapi, dia lucu juga sih,” lanjutnya tersenyum. Kesempatan seperti itu terus terulang tapi sangat disayangkan karena ketidaksukaan Jery pada Levi, kesempatan-kesempatan itu terlewatkan dengan mudah. Iya, Husna, adik Levi itu lah yang dicari Jery selama ini. Lain cerita seandainya Levi diberi kesempatan berkunjung ke rumah Jery, mungkin saja mereka, Husna dan Jery bisa bertemu, tapi begitu lah cara Tuhan mengatur segala sesuatu dengan maksud dan tujuan yang terbaik untuk setiap hambaNya. Bulan sya’ban telah lewat dengan sangat cepat tibalah kedatangan bulan yang ditunggu-tunggu setiap muslim di dunia, bulan suci ramadhan. Pada bulan yang suci ini para pejuang-pejuang Allah begitu semangatnya menyampaikan kebajikan, di tempat-tempat suci umat muslim suara-suara menyeru kepada kebaikan itu makin nyaring terdengar. Di jalan-jalan, di tempat lainnya, semua orang saling ramah tamah. Nafas syiar dakwah, akhirnya tercium juga oleh Jery, mulai lah Jery membuka mata hatinya untuk total dalam merubah dirinya, setiap ada pengajian, hadir, setiap ada kegiatan yang sifatnya mengarah pada keislaman Jery sangat antusias mengikuti. “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Illah (Tuhan) yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah rosul-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan dan pergi haji jika engkau mampu (melakukan perjalanan).” (HR. Muslim No. 8, Abu Dawud No. 4695, Tirmidzi No. 2610, Ibnu Majah No. 63 dan Nasa’i No. 5005. Allah berfirman dalam Al-Quran : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang di tentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya di turunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang di berikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku (Allah) dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a, apabila ia memohon do’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 183-187). Begitulah pesan dakwah yang disampaikan oleh ustadz-ustadz pada bulan suci ramadhan. Dengan sabar Jery terus belajar tentang islam lebih dalam, Jery berusaha memantaskan diri, berharap Allah memberinya jalan untuk memapankan keilmuannya, juga berharap Allah meringankan jalannya untuk menemukan perempuan yang mampu mengganggu hatinya. Kurang lebih dua atau tiga bulan lamanya, perempuan itu mampir di hati Jery. Akhirnya, ada beberapa moment yang menjanjikan untuk mempertemukan mereka. Akankah mereka bertemu, bagaimanakah awal pertemuan mereka, seperti apakah pertemuan pertama mereka? Pertengahan bulan suci ramadhan, menjelang sepuluh hari sebelum berakhirnya bulan suci ini. Jalanan selalu dipadati oleh ratusan bahkan hampir ribuan masyarakat, antusias masyarakat di sekitar tempat tinggal Jery untuk melaksanakan shalat tarawaih sangat tinggi. Berkali-kali masjid dalam kondisi penuh, dengan kondisi seperti itu, Jery semakin termotivasi untuk beribadah. Lama tidak muncul, Levi kembali menampakkan diri, pertemuan mereka, Levi dan Jery, kali ini, sedikit berbeda, setiap Levi mengajukan pertanyaan, Jery menjawab selayaknya percakapan yang dilakukan orang-orang kebanyakan. Sepertinya, percakapan mereka tidak membosankan lagi. Tiba-tiba, di tengah serunya percakapan, adik Levi berdiri memegang sepeda butut berkarat, mempelototi kakaknya yang asik ngobrol. “Husna mau pulang sekarang, oh iya, ini Jery, teman kakak,” Sembari tangan kanannya menunjuk ke arah Jery. Perempuan itu hanya memberi isyarat kepada kakaknya dengan menengadahkan kepala dan menundukannya seolah berkata iya. Pandangan pertama, pesona Husna, mampir lagi dihayalan Jery, matanya, tidak berhenti mencari sisi ketidak sempurnaan Husna, tidak ingin melewatkan kesempatan yang dinantinya hampir dua atau tiga bulan lamanya itu, Jery langsung menyodorkan nama dan tangannya. “Jery, panggil aku Jee,” tuturnya melempar senyum pada Husna sambil menyodorkan tangan kanannya. Husna mendorong laju sepeda bututnya, sepertinya Husna tidak ingin berteman dengan Jery. “Hei, tunggu, kamu… kamu siapa, Husna, iya kamu Husna kan,” lagi-lagi Husna membuat Jery tersenyum, “Hei…” lanjutnya teriak. “Dia, panggil saja Husna, memang seperti itu orangnya, menutup diri dengan siapa saja. Oh iya, jika bukan mahram, Husna tidak mau tersentuh oleh lawan jenis,” tandas Levi. “Subhanallah.” “Aku minta maaf ya, Husna memang begitu, aku pulang duluan, Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, hati-hati kak,” tutupnya. “Apa? Barusan kamu panggil aku kak,” tanya Levi heran. “Engga, ngga… Cuma salah dengar, buruan susul Husna dia perempuan takut kenapa-kenapa di jalan,” jawab Jery malu. Tinggal menghitung hari maka berakhirlah bulan suci ramadhan, hari raya idul fitri makin mendekat. Tak terasa, seiring berjalannya waktu, Jery mulai membuka kembali hatinya yang kaku tenggelam dalam kesakitan yang berbalut kesepian. Misteri perempuan berhijab itu belum terungkap sepenuhnya, siapa dia, mengapa seperti itu, banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Jery. Meskipun Husna tertutup seperti itu, bagi Jery, bidadari tetaplah bidadari sekalipun dia tersembunyi, meskipun hijab tersebut melindungi seluruh tubuhnya, sedikit pun tidak mengurangi kesempurnaan fisik Husna. Tetap, mata Jery memandang indah bidadarinya, Husna. Keesokan harinya, dipertigaan jalan di dekat tempat tinggal Jery. Pagi-pagi sekali Husna jalan kaki berangkat kuliah dengan membawa binder tanpa tas. Kagum melihat antusias Husna yang rela jalan kaki demi menuntut ilmu dalam kondisi puasa, maka Jery berinisiatif melakukan hal yang sama. Kendaraan yang ditungganginya ditinggalkan, berlari menuju Husna dengan cepat, berpura-pura seolah setiap hari Jery berangkat kuliah hanya jalan kaki saja. “Eh, Husna,” sapanya seakan pertemuan ini tidak sengaja. “Hei, kamu kok kayanya biasa aja ketemu aku, gak pengen nyapa ya?” Husna hanya diam, dengan pandangan yang hanya menatap ke arah depan. Langkah-langkah kecilnya kini semakin cepat, menghindar dari Jery yang berusaha ingin dekat dengannya. “Hus, tunggu… jalannya pelan bisa kan, ga usah buru-buru. iya… iya aku ga ngapa-ngapain kamu kok, tenang aja, malah aku niatnya mau jagain kamu, biar ga ada yang ganggu, sumpah Hus, percaya deh,” Pinta Jery. Husna hanya tersenyum sesekali mencuri pandang ke Jery. Sepertinya Husna mulai mempertimbangkan tawaran Jery, untuk menjaganya. Apa yang akan terjadi pada hubungan mereka selanjutnya? Allahu akbar… Allahu akbar, gema takbir meledak-ledak di udara, dengan begitu luar biasa, tua, muda, anak-anak, semua bercampur jadi satu, semua berpadu dalam lautan cinta karena Illahi. Tak peduli strata seperti apa, berasal dari golongan apa, yang jelas idul fitri, membuat indah suasana kota, jabat-menjabat tangan, saling bermaaf-maafan, ada yang menangis, ada yang tertawa bahagia, semua berpadu jadi satu. Di tengah ramai suasana itu kembali Jery yang dibuat menangis oleh keadaan, bunda yang selalu menyambut kedatangannya selepas shalat idul fitri kini tiada lagi menungguinya di depan pintu rumah seperti biasanya, tiada lagi bagi Jery kecupan hangat dari seorang bunda yang menjadi kewajiban yang harus dia dapatkan, di tambah lagi kali ini Jery tidak merayakan idul fitri di kampung halamannya, bersama keluarga yang dia sayangi, semua hilang, semua tak sama, seperti yang dia rasakan dulu. Melangkah, meninggalkan tempat shalat idul fitri, Jery sedang dalam perjalanan pulang, hanya berjalan kaki. Kringgg…kringgg, Sepeda butut Husna mengagetkannya, sambil melambaikan tangan, Husna tersenyum menoleh ke arah Jery seolah mengisyaratkan agar Jery mengejarnya. “Woi… tunggu…woi…,” teriaknya sambil berlari mengejar. Nampak jelas, rona bahagia terukir lagi di wajah Jery setelah sempat mengalami masa sedih yang melemahkannya. Tiba-tiba hujan turun menyelimuti kota, yang tadinya jalanan penuh dengan lautan manusia, sekarang menjadi sepi. Mereka, Husna dan Jery mampir dipertigaan, berteduh, di warung makan tepatnya, melihat gerak-gerik Husna yang saat itu seperti tergiur melihat beragam menu makanan, Jery merasa iba, sebentar, Jery mencari-cari sisa uang disakunya, kiri, kanan, di belakang, semua kantong saku dicarinya, akhirnya RP.50.000,- nyangkut ditangannya. “Alhamdulillah, tanggal tua kayak gini, nemu uang di saku, rasanya kayak habis menang kuis, apa gitu…,” ucapnya sambil menempelkan uang tadi di dahi. Husna tertawa ringan mendengar celoteh Jery. “Kali ini, aku pastikan kamu akan bicara padaku, ha ha ha. Ayo katakan kamu mau makan apa? Ayo, katakan, bicara, aku sudah tidak sabar mendengar suaramu, Husna.” Husna mengambil pulpen dan buku ditasnya, dituliskannya makanan pilihannya di buku tersebut. ‘Aku mau makan ayam goreng, kalo boleh pake jus apel juga ya :P ,’ tutup Husna pada tulisan itu. “kenapa kamu ga mau ngomong?” “Kalo aku bilang sesuatu, kamu mau gak janji,” tulisnya lagi. “Janji apa?” “Kalo kamu ku kasih tau kamu harus janji kita tetap temenan ya?” lanjutnya lagi pada tulisan sebelumnya. “Katakan?” “Sejak lahir, mmm… Aku terlahir dalam keadaan tidak bisa bicara,” tulisnya dengan wajah sedih. “oh jadi itu, Husna, dengar aku, Tuhan maha adil, kamu diciptakan dalam rupa fisik yang indah, andai Tuhan izinkan kamu bisa bicara, kasian yang lain, nanti mereka iri sama kamu, kamu bersyukur aja ya,” guraunya menasehati Husna. Husna hanya senyum menatapnya. Waktu berjalan begitu cepatnya, pertemanan antara Husna dan Jery terjalin satu tahun lamanya, banyak hal yang mereka lewati bersama, banyak tawa menghiasi hari-hari mereka, terkadang airmata juga mampir dipertemanan sederhana mereka. Kekaguman mereka kini berubah menjadi kecintaan, saling terbuka dalam cerita, saling mengerti terjalin antara hubungan pertemanan mereka. Masa perkuliahan telah berakhir mereka berdua dianugerahi gelar sarjana, masing-masing mereka menyandang gelar mahasiswa berprestasi pada jurusannya. Keinginan bunda telah dipenuhi Jery dengan sempurna. Kebahagiaan bertubi-tubi menghampiri Jee, panggilan untuk Jerry. Dari masalah prestasi, cita-cita, sampai wanita Jery hampir meraih yang namanya sempurna. — Hujan turun sangat lebat, mengganggu penglihatan para pengguna jalan, kebetulan Jery dan Husna berada di satu jalan yang sama tetapi dengan tujuan yang berbeda. “Husna,” teriak Jery memanggil. Berulang kali Jery memanggil, karena derasnya hujan Husna tidak mendengar. Di lempar Jery kerikil kecil di loteng tempat Husna berteduh, Husna tetap tidak mendengar, sebenarnya jarak antara mereka tidak terlalu jauh, mungkin karena suara hujan yang deras jadi panggilan Jery tidak terdengar. Lagi, Jery lempar kerikil ke atas loteng. Lagi-lagi Husna tidak mendengar, akhirnya Jery melempar kerikil ke arah Husna, tepat, dari dinding memantul ke kepala Husna. Husna mencari-cari si pelempar kerikil itu sesekali sambil mengusap bekas lemparan tadi. “Husna… Heiii,” panggil Jery kembali. Tak lama mengetahui pelakunya, Husna langsung membalas, sandal pun berterbangan di udara. Plakkk, headshot, satu pasang sendal mampir bertahta di kepala Jery, Husna tidak bisa mengendalikan diri, tertawa lepas, merasa lucu dengan ekspresi Jery. “Awas… Husnaaa, jangan lari kamu, ku balas,” gerangnya gregetan. Pertumpahan air hujan terjadi di antara mereka, saling kejar, juga saling siram, semua mata tertuju pada kelakuan kekanak-kanakan kedua orang dewasa itu. Keesokan harinya, Husna pagi-pagi sekali menemui Jery, dengan membawa selembar kertas. Diajukannya kertas yang berisi tulisan penting itu pada Jery. “Jee, terimakasih untuk waktu yang kamu habiskan untukku, semoga kamu ikhlas menemaniku, kini kamu tidak usah repot-repot lagi menemaniku, karena Ferdy, akan menemani sisa hidupku. Andai aku bisa memilih, kamu adalah pilihan dari hatiku, tapi tidak untuk kedua orangtuaku, hidupku, sepenuhnya Ferdy yang membiayai, tak apa, mungkin bagimu kehilangan si bisu hal yang biasa. si bisu hanya bagian kecil dari keindahan Tuhan yang ada di bumi, mencari yang lebih baik dariku sangatlah mudah, yang sempurna, yang bisa membahagiakanmu dengan kata-kata mesra, si bisu ini tidak bisa apa-apa, hanya menyusahkanmu. Jee, ikhlaskan aku dinikahi Ferdy, terimakasih temanku, Jee. Untuk segalanya,” tulis Husna. “See my eyes, please, lihat aku, lihat, Husna, ini,” Jee menunjuk hatinya, “ini, telah menyimpan banyak harapan, banyak impian, banyak kebahagian, di dalam sini banyak fantasi yang kamu hadirkan. Kenapa denganmu, kenapa kamu lakukan ini. Kalau datang hanya sekedar lewat, kenapa kamu datang dalam hidupku, kenapa kamu beri aku alasan untuk bahagia, kenapa?” Husna mengambil pulpen dan selembar kertas, “Aku hanya seorang bisu yang merasa nyaman, merasa aman di samping seorang jagoan, jadi, adakah layak aku menghidarimu. Apa pentingnya si bisu ini, kamu bisa cari yang sempurna,” tulisnya. “Dengarkan aku, sebelum kita bertemu, aku, bukan hanya seorang bisu, tapi aku juga buta, aku juga tuli, aku jauh lebih buruk darimu. Setelah bunda meninggal aku telah menjadi bisu, menjadi buta, juga menjadi tuli. Aku tidak pernah bicara pada siapapun, aku tidak pernah melihat siapapun lagi yang simpati kepadaku, yang peduli denganku, aku merasa di dunia ini aku hanya sendiri, aku telah menjadi buta. Aku juga tidak pernah mendengar nasehat-nasehat siapapun, telingaku tertutup untuk menerima suara-suara yang ingin memasukinya. Hatiku lumpuh, dia terjatuh, banyak impian yang terkubur bersamanya. Kamu datang, dengan mudahnya dia kembali sempurna, dengan mudahnya bibir ini bicara lagi, dengan mudahnya mata ini melihat lagi, dengan mudahnya telinga ini mendengar lagi. Kamu datang, begitu mudahnya aku tertawa, tersenyum, menangis, begitu mudahnya bayangmu menari indah dipikiranku, dengan mudahnya kamu mempengaruhi emosiku. Betapa hancurnya mereka semua jika aku harus kehilangan untuk kedua kalinya,” tutur Jery dengan nada suara meninggi. “Maaf atas kebodohanku, aku melukaimu, kembali menancap duri yang akan berbekas lagi disana, dihatimu. Aku tak lebih dari apapun, hanya manusia biasa, sama seperti yang lain, yang selalu mematuhi perintah kedua orangtuanya, yang selalu ingin melakukan yang terbaik untuk kedua orang tuanya. Kamu harus mengerti Jee, cinta itu punya Dia (Tuhan), pada siapapun Dia (Tuhan) menitipkan, kita tidak boleh protes. Tugas kita hanya memantaskan diri untuk dia yang dianugerahkan pada kita. Kita juga harus tau, apakah yang kita cinta itu adalah keinginan atau hanya kebutuhan. Sebenarnya bagiku kamu keinginan Jee tapi orang tuaku membutuhkan Ferdy, demi mereka (orang tua) kita berpisah dengan baik-baik ya, jangan ada terbesit dendam dipikiran kita. Maaf sekali lagi maaf,” tulisnya untuk Jery. Jery memejamkan matanya, berusaha menguasai emosinya yang menyala, penglihatannya liar, kiri, kanan, tatapannya tak menentu. “Baiklah, kita punya jalan masing-masing, darimana pun kita berpisah, setelah ini, semoga dipertengahan jalan kita bertemu lagi dengan nafas cinta yang baru, tanpa ada seorangpun yang mengganggu, temui Ferdy, menikahlah dengannya, jadilah istri yang di idam-idamkan para suami,” ucapnya menyudahi kekecewaan. “Tapi janji ya kamu harus ikhlas, harus memaafkan kesalahanku, harus melupakan kesakit hatianmu padaku. Jika tidak aku tidak akan tenang, itu hanya akan mengganggu perjalanan indahku nanti menuju surga,” pintanya pada tulisan di lembar kertas. “Kalau aku tidak melakukannya, kamu mau apa? Mau marah? Atau mau melempar sendalmu lagi? Atau ada aksi yang lebih tidak manusiawi lagi? Hah… Hah… Haaah…” gurau cetusnya. Husna hanya mengerutkan dahinya, wajah masam cemberut menahan jengkel, menambah beberapa persen dari kecantikannya. “iya… Iya kamu tetep bakalan masuk surga kok, walaupun kamu sangat mengecewakanku, tapi tetap, kamu masih jadi bagian penting dari setiap bait doaku,” ketusnya lagi dengan menaik turunkan kedua alisnya. “Yeee,” tulis Husna di tangan Jery. Sambil mencubit pipi kiri dan kanan Jery, Husna melompat-lompat keriangan. “Masya Allah… Hus, bukan mahram, Astagfirullah…,” tegur Jery dengan nada bercanda. Husna tersenyum malu-malu menutupi daerah wajahnya dengan kedua tangan sebelum akhirnnya, Husna berlari pulang dengan mimik malu-malu. “Husna… Husna… Kamu genit” Ucapnya pelan setelah Husna berlari pulang, sembari mengusap airmatanya. (Penutup) : Akhirnya Husna dan Ferdy menikah. Tahun kedua pernikahannya, bayi perempuan lahir menghiasi indahnya rumah tangga mereka. Jery kini punya jalan hidupnya sendiri, dengan orang-orang baru yang berkeliaran disekelilingnya, kini, dia telah menemukan Husnanya yang baru, dalam kemasan yang berbeda. Pesan Jery pada Ferdy : “Emas, berlian, intan, permata, mutiara dan perhiasaan-perhiasan indah lainnya tidak akan sempurna Kecantikannya tanpa perempuan yang mengenakannya. Perhiasan yang paling indah di antara terindah, hanyalah istri solehah, istri yang solehah, dan kamu mendapatkannya, lindungi dia dengan semua kekuatanmu.” Pelajaran penting dari cerita ini yang harus digaris bawahi adalah jika mencintai seseorang tak usahlah menyerahkan hati sepenuhnya, bisa jadi orang yang sangat kita cintai sekarang, menjadi orang yang teramat sangat kita benci nanti. Cinta manusia kepada manusia porsinya harus dibatasi, cinta yang terbatas (limited love) begitulah layaknya, tapi tidak untuk mencintai Tuhan, serahkan seluruhnya cintamu pada Tuhanmu, andai di dunia ini kita dapatkan cinta sejati, itu artinya bonus dari Tuhan karena kita begitu mencintaiNya.
Posted on: Wed, 17 Jul 2013 09:04:18 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015