Love isnt like a joke >hanaruppi, T Chapter 22 Aku Telah - TopicsExpress



          

Love isnt like a joke >hanaruppi, T Chapter 22 Aku Telah Melakukan Kesalahan -------------------------------------------------------------------------------- After the Rain Drop kualitas sutradara berpengalaman. Jelaslah karya itu bukan kelas Haruno si pemula. Kesuksesan After the Rain Drop, pertanyaan besar untuk Haruno Sakura. Benarkah film itu mutlak hasil karyanya bersama Uchiha Sasuke? Atau hanya Uchiha Sasuke? Haruno Sakura, siapa dia? Sebuah majalah pinggiran menyebutnya sebagai pemenang Festival Film Pendek. Filmnya bahkan karya gagal yang ditolak oleh dosennya! Haruno mendompleng nama besar Uchiha. . . . Tayuya melipat kembali harian kota yang barusan dibacanya. Tanpa minat dia mencampakkan koran itu ke tempat sampah di dekat pohon besar di tepi danau kampusnya. Haruno begini, Haruno begitu... Apa telingamu tidak panas, Sakura? pertanyaan sinisnya dilemparkan pada gadis yang sedang serius sendiri dengan pensil dan catatan di atas pangkuannya. Kata-kata yang mereka tulis mulai kurang ajar. Apa begitu seharusnya media menulis berita? Tayuya melanjutkan komentar. Biarkan saja. Aku tidak akan mati sekalipun mereka menghinaku di korannya, jawab Sakura tak acuh. Kau seperti tidak pernah membaca gosip saja, Tayu. Sakura memang sudah mulai terbiasa dengan pemberitaan itu. Semakin jelek dirinya ditulis di koran atau majalah, atau diberitakan di televisi maupun radio; semakin tak peduli dia. Sakura banyak belajar dari selebritis atau publik figur yang terbiasa mengabaikan pemberitaan media. Toh karir mereka tidak terlalu banyak berpengaruh karenanya. Sakura hanya memikirkan prestasi. Hanya itu yang bisa menjawab semua gosip miring tentang dirinya. Pembuktian dengan karya, bukan bicara. Memang sih, Tayuya nampaknya belum selesai beragumen. Dulu karena aku tidak pernah peduli bagaimana pun mereka menulis berita tentang siapa saja. Tapi sekarang lain ceritanya―kau yang jadi bahan berita; teman kami! Bagaimana kalau untuk scene ini di Hanamori Park saja, kata Sakura―mengabaikan Tayuya―sambil menunjukkan catatannya pada Ren, pemuda satu angkatan mereka yang bergabung dengan tim Sakura menjadi produser untuk karya tugas akhir. Aku mengurangi sedikit adegan di kafe. Jika diganti setting-nya dengan di taman kurasa lebih baik, dengan mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan. Kau setuju, Hina? Hinata yang menulis skenario itu mengangguk. Setting lokasi yang kubuat sifatnya universal. Kupikir, kita akan menemui kendala-kendala yang kemungkinan berpengaruh pada lokasi, seperti yang kita alami sekarang, katanya. Ren setuju. Dia yang juga bertanggung jawab soal dana yang perlu dikeluarkan tidak perlu mengambil kesimpulan lebih lama lagi jika sutradara dan penulis naskah telah sepakat. Dari segi cerita, Hinata memberikan naskah yang baik. Kemudian soal komposisi cerita dan bagaimana film itu akan dibangun telah dirancang sempurna oleh Sakura. Ren sebagai produser hanya perlu mengambil keputusan tepat dari masukan rekan-rekannya demi kelancaran produksi. Lagi pula, kau pernah pakai taman itu untuk pameran foto kan, Sakura? kata Ren sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya. Kau seperti bisa baca pikiranku saja! Sakura tertawa. Sebetulnya bukan aku, tapi itu acara Naruto. Kupikir dia bisa bantu kita bicara dengan pengurus Hanamori. Jika kita syuting di sana, kita bisa menyimpan sekian dana yang seharusnya dikeluarkan untuk penyewaan tempat, untuk keperluan lain. Hanamori kan taman umum, kita cuma perlu izin keamanan dan ketertiban dari petugas setempat. Itu ide bagus. Tapi jeleknya tempat umum, agak sulit untuk meminimalisir keramaian. Kita tidak mungkin mengusir pengunjung taman begitu saja, kata Shikamaru. Sakura tersenyum penuh arti pada kekasih Ino itu. Tenang saja. Aku sudah pikirkan soal itu kok. Jadi kau juga sudah pikirkan bagaimana mengamankan para wartawan itu? Tayuya menyambar pertanyaan. Matanya menatap tajam Sakura. Tayu, bisakah untuk saat ini kita berhenti bicara soal wartawan? Alih-alih, Tayuya tertawa keras dan mulai lagi berkomentar pedas soal pemberitaan di media itu. Sakura paham mengapa dia menjadi begitu sensitif terhadap wartawan. Selama hampir satu bulan ini mereka bekerja untuk persiapan produksi, selalu ada saja wartawan datang, mengganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama yang ditujukan pada Sakura. Mereka memang mengincar Sakura, tentu saja. Namun jika ke mana pun Sakura dan timnya pergi selalu dibuntuti, siapa yang tidak jengah? Wartawan-wartawan dan paparazzi itu benar-benar mengganggu. Terakhir kali yang masih segar dalam ingatan, saat Sakura dan tim sedang melakukan survey lokasi syuting ke sebuah kedai di tepi Sungai Ketsuekigawa, segerombol wartawan menyerbu dan memberondong pertanyaan. Blitz-blitz kamera mereka menjepret berkali-kali. Waktu itu Tayuya menghadang dan mencoba mengusir mereka―Ren dan Katsuya, pemuda yang lain dalam tim Sakura, ikut membantu. Tapi mereka justru disingkirkan, hanya Sakura yang para wartawan inginkan. Sakura menolak untuk bicara. Sulit baginya untuk menghindar, namun akhirnya Sakura berhasil, meski harus meninggalkan kawan-kawannya di sana. Sakura pikir, mungkin karena kepergiannya itu yang membuat Tayuya jengkel. Tapi dia sudah minta maaf. Yang lainnya memang memaafkan dan memaklumi kondisi Sakura saat itu, tapi sepertinya Tayuya tidak demikian. Kau harus lakukan sesuatu, kata Tayuya lantang. Kau tidak bisa diam saja seperti itu, Sakura. Mereka tidak akan bosan mengejarmu. Kalau begini terus, bagaimana kita bisa menyelesaikan film kita? Ujian sidang dilaksanakan pada awal musim dingin. Sebentar lagi musim panas berakhir. Kita cuma punya waktu tiga bulan! Suasana menjadi hening. Kedelapan anak muda itu diam. Dalam hati masing-masing membenarkan ucapan Tayuya, setuju bahwa mereka memang tidak punya banyak waktu untuk merampungkan karya tugas akhir itu. Sakura menatap wajah kawan-kawannya. Yang dilihatnya hanya kegundahan. Shikamaru satu-satunya orang yang nampak tidak larut dalam keheningan itu. Matanya yang sipit namun tajam itu juga sedang memandang satu per satu wajah kawannya. Dia seperti sedang berusaha membaca apa yang sedang mereka pikirkan. Ketika kemudian matanya bertemu dengan mata Sakura yang sejak tadi memperhatikannya, Shikamaru seolah berkata dengan ekspresi wajahnya, Sekarang terserah padamu. Sakura menghela napas. Kau tahu aku benci wartawan―aku benci bicara pada wartawan, katanya pada Tayuya. Gadis berambut merah muda pucat itu menggeleng tanpa daya. Baiklah. Ini sudah cukup. Dia bangkit berdiri dan menatap semua anggota tim. Aku tidak bisa begini terus. Maaf. Sebaiknya kalian cari editor baru, katanya sebelum pergi. Hinata dan Meguri, seorang gadis lain dalam tim mereka, mencoba menahannya. Namun Tayuya tetap kukuh pada keputusannya untuk pergi. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kedua gadis itu untuk mempertahankan Tayuya. Mereka akhirnya kembali pada perkumpulan dengan wajah sedih yang tak bisa disembunyikan. Namun kesedihan itu harus bertambah, karena rupanya Ren dan Katsuya sedang bertengkar hebat―masih soal kepergian Tayuya dan waktu mereka yang tidak lagi banyak. Katsuya menyayangkan Sakura yang tidak bisa mengambil tindakan tegas akan masalahnya dengan media. Pemuda itu sependapat dengan Tayuya. Sementara Ren membela Sakura dengan alasan Sakura punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan wartawan. Dan dia menuduh Tayuya egois, yang membuat Katsuya bertambah marah. Sakura mencoba menenangkan keduanya, tapi usahanya itu sia-sia saja. Katsuya justru menyemprotnya dengan segala kekecewaan yang sedang dirasakannya. Shikamaru hanya diam memperhatikan. Pikirnya, ikut dalam pertengkaran itu hanya akan menambah besar masalah. Aku mengundurkan diri, kata Katsuya setelah wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. Dia sampai pada kesimpulan yang sama dengan Tayuya; tidak bisa bekerja jika situasinya begini terus. Katsuya pergi, dengan membawa paksa Meguri bersamanya. Tayuya, Katsuya, dan Meguri adalah sahabat karib seperti halnya Sakura dengan kawan-kawannya. Tayuya dan Katsuya selalu sependapat, Meguri mungkin punya pendapat sendiri, namun dia tidak cukup nyali untuk mengikuti keinginannya sendiri. Kini hanya Sakura, Shikamaru, Hinata, dan Ren yang tersisa di bawah pohon terbesar di tepi danau itu. Sakura menatap ketiganya bergantian. Dadanya masih sesak. Kehilangan anggota tim adalah kerugian yang besar. Itu masalah yang cukup kompleks bagi dia yang berpaham kerja tim adalah segalanya. Dia sadar kali ini dirinya begitu egois, memaksa kawan-kawannya mengerti pada dirinya yang tidak mau diganggu soal masalah di media. Sakura hanya ingin menunjukkan pada mereka bahwa masalah apapun yang sedang terjadi di luar kegiatan produksi tidak perlu diributkan. Masalah apapun itu tidak boleh mempengaruhi kerja tim. Nyatanya tidak semua anggota tim berpikir demikian. Ada saja yang mudah terganggu dengan hal-hal kecil, seperti Tayuya. Sakura pun tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusannya untuk pergi. Itu adalah haknya. Begitu juga dengan Katsuya dan Meguri. Setiap orang berhak untuk menentukan pilihannya sendiri. Jika di antara kalian masih ada yang ingin pergi, aku tidak akan menahan, kata Sakura pada ketiga kawannya yang tersisa. Yang pertama menjawabnya adalah Hinata. Gadis berambut indigo panjang itu memeluknya, kemudian berkata, Kau akan tetap jadi sutradara untuk naskahku, Sakura. Sakura mengucapkan terima kasihnya dengan seulas senyum. Kemudian Ren menepuk-nepuk pelan bahu Sakura. Aku masih ingin bekerja sama denganmu, Haruno, katanya. Sudah kubilang berhenti memanggilku begitu. Seperti orang tua saja! sahut Sakura menirukan ucapan langganan Ino. Meski begitu, dia sangat berterima kasih pada Ren yang masih menaruh kepercayaan padanya. Perhatiannya kemudian beralih pada Shikamaru. Seperti biasa, pemuda itu tidak pernah kelihatan kesungguhannya pada apa saja. Tampangnya selalu tidak peduli, ditambah sikapnya yang sedikit-sedikit menguap. Tapi jika sudah bekerja, Shikamaru akan benar-benar serius menyelesaikannya tanpa banyak bicara dan keluhan. Itu yang Sakura kagumi darinya. Namun soal keputusan Shikamaru masih mau bergabung dengannya atau tidak, Sakura tidak bisa berharap banyak. Shikamaru menatap langit dari celah-celah dedaunan rimbun setelah menguap lebar. Wajahnya sungguh-sungguh bosan dan tanpa minat. Yah, di manapun aku bergabung tidak akan ada bedanya, dia mulai bicara. Setiap individu memiliki karakter masing-masing―bagus ataupun jelek; suka ataupun tidak suka, ikatan bernama tim memaksa kita menerimanya. Dan setiap rencana pasti akan menemui kendala, itu yang akan membuat kita belajar menjadi sebuah tim yang sebenarnya. Bicaramu panjang sekali. Jadi intinya, kau masih mau bergabung atau tidak, eh? Ren menyahut. Shikamaru menatapnya bosan, kemudian menguap lebar. Ren tidak tahan untuk melemparnya dengan remasan kertas bekas coretan Sakura yang belum sempat dibuang ke tempat sampah. Hinata ikut tertawa bersama Ren. Sakura hanya ingin meninju pelan lengannya. Dalam hati Sakura bersyukur. Sekali lagi dia mendapatkan kawan-kawan yang begitu hebat dalam sebuah tim. Bagaimanapun, dia harus bisa menyelesaikan karya film dan mendapatkan nilai sempurna di ujian sidang nanti. Untuk tim! ~LilJo~ Sakura baru saja dipanggil ke ruangan dekan; ruangan Orochimaru. Pria tua yang paling dibenci seisi Fakultas Film itu dua minggu yang lalu naik jabatan menjadi kepala fakultas―ironis. Serempak para mahasiswa film berpikir bahwa Danzo benar-benar mengerti bagaimana menyiksa anak-anak didiknya, termasuk Sakura. Orochimaru memberi kecaman keras pada gadis itu. Masalahnya sederhana, Orochimaru tidak suka segerombol wartawan mengerubung di depan gerbang kampus; membuat keributan kecil dengan petugas keamanan agar diizinkan masuk sebentar atau paling tidak meminta Sakura keluar menemui mereka. Belum lagi paparazzi-paparazzi keras kepala yang setia mengintai dari luar kampus. Orochimaru bilang mereka sangat menganggu; mengganggu ketenangan kegiatan perkuliahan―dengan kata lain menganggu ketenangannya sendiri, pikir Sakura. Gadis itu ingat, Orochimaru pernah menjadi korban serbuan wartawan. Dia baru tiba di depan gerbang dan langsung disambar dengan macam-macam pertanyaan, kilatan cahaya kamera, sodoran mic dan alat perekam; mungkin membuatnya mual saat itu juga. Sesampainya di kelas, Orochimaru ribut sendiri di depan para mahasiswanya, berkomentar macam-macam tentang awak media, juga menyebut-nyebut nama Sakura yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan tersebut. Sakura memang tidak mendengar dan menyaksikannya secara langsung. Tentu saja dia tahu itu semua dari juniornya di Klub Fotografi yang seolah semua peristiwa di kampus tidak luput satu pun darinya. Ito Si Telinga Panjang, Sakura menyebutnya―usil juga dia. Kesimpulannya, kecaman Orochimaru pagi ini adalah dendam pribadi. Ini himbauan; peringatan kecil, Haruno Sakura. Aku tidak ingin mendengar keributan atau bahkan melihat kekacauan di kampus ini. Cukup dengan gosip-gosipmu di media yang menyeret nama KAI. Jika aku masih melihat teman-temanmu berkeliaran di sini, aku tidak akan segan mengeluarkanmu, Haruno. Mata Sakura membulat, tak bisa menyembunyikan keterkejutan juga keberatannya. Aku tidak melakukan pelanggaran apapun untuk dikeluarkan dari kampus ini, Sensei―Lagi pula mereka bukan temanku. Pundak Orochimaru berguncang pelan, lama-lama semakin kencang, kemudian suara tawanya memenuhi seisi ruangan. Wajahnya kemudian berubah seperti semula―dingin dan jahat. Sepasang mata kejam itu menatap gadis di hadapannya dengan bosan sekaligus meremehkan. Kau perlu membaca lagi katalog kampus yang dulu dibagikan saat pendaftaran, katanya. Mengganggu ketertiban dan ketenangan kampus adalah pelanggaran. Dan pelakunya bisa dijatuhi hukuman ringan atau juga berat, tergantung dari intensitas pelanggarannya. Jangan dianggap remeh. Pelanggaran serius akan membawamu ke mahkamah institusi yang hanya akan berakhir pada satu keputusan... Orochimaru menggantung kalimatnya, matanya menatap tajam Sakura, berusaha meruntuhkan pertahanannya, ...drop out. Sakura sudah duga Orochimaru akan mengatakan itu. Dia tidak lagi terkejut. Entah mengapa rasanya dosen veteran itu tidak menyukainya. Setiap berhadapan dengannya ada saja masalah yang berujung pada keadaan dirinya terancam dengan kehilangan nilai―kali ini bahkan dengan kelangsungan perkuliahannya di KAI. Entah hanya perasaannya saja, atau memang Orochimaru memiliki maksud tersembunyi untuk menjatuhkannya. Tapi jauh dari pemikiran itu, Sakura terus terang saja khawatir. Dia tidak ingin keributan kecil di depan kampus yang menurut Orochimaru adalah masalah pelanggaran ketertiban perkuliahan itu membuatnya diberhentikan dari statusnya sebagai mahasiswi Konoha no Arts Institute. Itu tidak boleh. Baiklah. Seperti keinginan Anda, aku akan berusaha agar keributan itu tidak terjadi lagi, kata Sakura akhirnya. Keinginan institut, Orochimaru mengoreksi. Dia membetulkan posisi duduknya―agaknya terlihat seperti sedang menikmati kemenangannya atas Sakura. Aku pegang kata-katamu, Haruno. Aku tahu kau cukup bisa diandalkan dalam memegang janji. Ucapan barusan bagi Sakura lebih terdengar seperti sebuah sindiran. Sakura tidak berminat membalas. Dia segera pamit keluar ruangan karena hari itu dia sudah ada janji dengan tim produksinya untuk survey lokasi syuting. Tak ada waktu untuk bersantai atau meladeni orang tua kolot seperti dekan baru itu. Sore harinya sepulang dari survey, Sakura memisahkan diri dari kelompoknya yang berencana menghabiskan sore di kafe tepi danau kampus mereka sambil membicarakan jadwal produksi. Sakura menyayangkan diri tidak bisa ikut bergabung kali ini, karena dia harus melakukan sesuatu yang penting lebih dulu. Masih tentang awak media dan pemberitaan mereka yang macam-macam. Sakura tak bisa memalingkan pikiran dari masalah itu. Ancaman akan dikeluarkan dari kampus menghantui batinnya. Sakura harus melakukan sesuatu. Ya, harus. Sebuah keputusan yang mengorbankan satu keadaan telah diambilnya. Itu sudah dipikirkannya matang-matang. Sakura baru akan mengetuk pintu ruangan Uchiha Itachi saat pintu itu berayun membuka. Tampak Itachi dengan wajah agak terkejut bercampur senang melihat Sakura berdiri di depan pintunya. Hai, Sakura! Kebetulan sekali kau sudah di sini. Padahal aku baru mau meneleponmu untuk datang. Nah, kau duduk dulu ya. Aku mau bicara dengan Obito dulu. Itachi meninggalkan ruangan sebelum Sakura sempat mengatakan maksud kedatangannya. Sakura pikir dia datang pada saat yang kurang tepat, Itachi kelihatannya sedang sibuk sekali. Di atas meja kerjanya yang besar berserakan kertas-kertas dan tumpukan map. Kemudian mata Sakura menemukan dua cangkir yang sudah kosong di atas meja kaca berkaki rendah yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Sepertinya ada seseorang yang barusan bertemu dengannya. Sakura duduk di sofa panjang. Benaknya terpikirkan ucapan Itachi saat tadi dia datang. Kebetulan sekali kau sudah di sini. Apakah memang Itachi sedang bermaksud bertemu dengannya juga? Hal apa yang kira-kira akan disampaikan Itachi? Sakura jadi penasaran sendiri. Tidak lama kemudian, Itachi kembali sambil bicara dengan seseorang di seberang telepon. Begitu tiba di ambang pintu, ponselnya dimatikan. Perhatiannya tertuju pada gadis yang duduk di sofa. Sakura, ayo. Kita langsung berangkat ke Channel 21. Kau tahu program talkshow Ask to the Expert? Malam ini kita diundang menjadi bintang tamu. Sakura tentu saja terkejut, dan bingung. Dia datang ke studio Uchiha Pictures bukan untuk dibawa ke stasiun TV dan menjadi bintang tamu di program talkshow. Dia bingung bagaimana harus menjelaskan, karena Itachi sepertinya sedang sulit untuk mendengarkannya. Pria itu nampak terburu-buru sekali. Kita pergi naik mobilku. Sasuke dan yang lain sudah berangkat lebih dulu, kata Itachi sambil menarik lengan Sakura. Tapi gadis itu menahan diri. Itachi-san, aku ingin bicara. Nanti saja setelah acara selesai. Tidak bisa. Ini soal After the Rain Drop dan posisiku sebagai salah satu sutradaranya. Untuk pertama kalinya sejak tiga puluh menit yang lalu, Itachi menaruh perhatian serius pada Sakura. Dia melepaskan tangan gadis itu, dan menunggu apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Sakura mengumpulkan kekuatannya untuk bicara. Dia sudah memikirkan ini sejak keluar dari ruangan Orochimaru―tidak, bahkan dia memikirkannya sejak pemberitaan mengenai dirinya ramai di media. Sakura sudah memutuskannya. Mungkin Itachi akan sulit menerima pada awalnya, namun ini adalah keputusannya pribadi. Aku... mengundurkan diri. Mata Itachi belum berkedip. Selama beberapa saat dia hanya diam seperti patung, kecuali matanya yang bekerja, menatap Sakura dengan pandangan sedikit bingung. Sesaat berikutnya dia tertawa singkat. Apa maksudmu, Sakura? Mengundurkan diri? Filmnya bahkan sudah selesai. Maksudku, Itachi-san bisa mencoret namaku dari credit tittle, tidak lagi menyebutku sebagai salah satu sutradara dari film itu. Itachi menghela napas. Dia mulai menangkap maksud Sakura. Kita bicara sambil duduk. Itachi menggiring Sakura ke sofa dan mereka duduk berhadapan. Lagi-lagi Itachi menatapnya dalam kebisuan. Tapi pasti benaknya sedang bekerja. Matanya itu tampak berpikir. Sepertinya dia sudah melupakan talkshow itu, dan sibuk dengan berbagai pertanyaan akan keputusan Sakura. Gadis itu mengerti kebingungannya. Reaksi Itachi yang begini sudah diperkirakannya. Dan dia siap menjelaskan sejelas-jelasnya sampai Itachi mengerti. Kenapa tiba-tiba kau bicara seperti itu, Sakura? Apakah ini karena pemberitaan itu? Gosip di media? Sakura tersenyum getir. Banyak hal yang aku pertimbangkan. Bukan hanya soal media. Semua yang mereka tulis, terus terang saja memang menyakitkan. Tapi aku tahu tidak ada gunanya terpengaruh karena itu― Kita bisa menyelesaikannya sama-sama, Itachi menyambar. Aku―kami; seluruh tim produksi kita, mengerti apa yang kau rasakan setelah gosip-gosip itu ramai di media. Aku sudah menyusun jadwal untuk konferensi pers. Kita bisa jernihkan semuanya. Kau hanya perlu mengatakan pada mereka bahwa kau tidak seperti apa yang mereka beritakan. Aku juga sudah menghubungi pengacaraku untuk menuntut media-media itu. Aku ingin mereka berhenti memberitakanmu, jika tidak masalah ini akan dibawa ke pengadilan. Ini adalah pembunuhan karakter, Sakura. Sakura menggeleng. Sudah kubilang ini bukan tentangku. Aku tidak mau peduli apa yang mereka beritakan. Aku memutuskan untuk mundur, karena aku tidak ingin After the Rain Drop terkena imbasnya. Ini sudah hampir sebulan media menggosipkanku. Dan seminggu terakhir ini, kuperhatikan animo masyarakat untuk menonton film itu menurun. Situs-situs di media online tidak lagi hanya menjelekkan aku, mereka mulai meragukan After the Rain Drop. Aku tidak ingin film itu akhirnya ditarik dari peredaran. Itachi tertawa pelan, Sakura tahu tawa itu bukan ejekan. Kau berpikir sampai sejauh itu? Dasar Sakura... Kau terlalu berlebihan. Itachi bersandar pada punggung sofa. Pandangannya ke langit-langit. Sejak awal, aku membuat film ini bukan untuk mendapatkan keuntungan. Aku membuatnya untuk mereka yang ingin menikmatinya, untuk mereka yang mencintai film, Itachi seolah bicara pada langit-langit, bukan pada Sakura. Bisnis film memang menggiurkan. Kesuksesan sebuah film akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar yang banyak diincar pada produser. Tapi aku tidak mengejar itu. Bukan uang yang kuinginkan. Kau tahu, sukses itu tidak semata-mata dinilai dari berapa banyak uang yang kau dapatkan. Sukses adalah definisi dari sebuah keadaan dimana individu tersebut merasakan kepuasan batin, keadaan bahagia, dapat tersenyum bersama orang-orang yang dia harapkan. Untukku sederhana saja; sukses adalah melihat penonton tersenyum puas saat film mencapai adegan penutup, kemudian mereka ber-standing applause dengan keras hingga menggema ke seisi ruang teater. Itu tidak akan pernah bisa dibeli dengan uang. Pandangan Itachi beralih pada Sakura. Kau mengerti kan? Gadis itu mengangguk. Itu artinya kau tidak lagi punya alasan untuk mengundurkan diri, katanya lagi. Aku mengerti, tapi aku tidak akan mengubah keputusanku, Sakura baru saja menghancurkan optimisme Itachi. Sejak bertemu dengan Itachi-san, aku paham Itachi-san bukan produser sembarangan. Itachi-san punya pemikiran berbeda yang aku kagumi. Aku sangat menghargai Itachi-san, makanya kuputuskan untuk mundur. Menurutmu, setelah kau mundur media akan berhenti membicarakan After the Rain Drop? Sakura mengangguk yakin. Ya―paling tidak mereka berhenti menyangkut-pautkan aku dengan film itu. Itachi melipat tangan. Pandangan matanya menatap serius Sakura sambil bertanya, Lalu apa yang mau kau lakukan setelah ini? Mengundurkan diri sebagai sutradara di After the Rain Drop bukan berarti mengundurkan diri dari keinginanmu untuk menjadi seorang sutradara kan, Sakura? Sakura tersenyum singkat. Sepertinya begitu. Aku ingin fokus menyelesaikan kuliah. Setelah aku lulus, mungkin aku akan mulai dari nol lagi. Itachi-san tahu sendiri, kini hampir semua orang menganggapku mendapatkan posisi sutradara ini karena kalian. Aku akan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri―aku bisa mendapatkan karir besarku karena kerja kerasku, bukan karena mendompleng nama besar orang lain. Aku akan mulai dari nol. Itachi paham sekali. Pasti menyakitkan jika sebuah hasil karya pribadi, yang telah susah payah dibuat dengan pemikiran dan kerja keras, dituding sebagai hasil mendompleng nama orang lain. Mereka yang bicara bukan mereka yang merasakan kerja kerasnya. Mereka tidak paham betapa panjang dan keras perjalanan seseorang untuk berada pada posisi puncak. Mereka hanya bisa bicara. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya direndahkan. Karena mereka hanya bisa bicara. Apa aku sudah bilang? Aku bangga pada semangat pantang menyerahmu, Sakura, kata Itachi sungguh-sungguh. Gadis itu tersenyum sambil mengucap terima kasih. Dia lega Itachi akhirnya mengerti. Sebelum kau pergi, aku ingin menceritakannya dulu padamu, Sakura, kata Itachi tiba-tiba. Sakura yang sudah bangkit berdiri terpaksa duduk lagi, dan menatap Itachi penasaran. Lelaki sulung Uchiha itu kelihatan serius sekali. Menceritakan apa? Sesuatu yang seharusnya kau ketahui sejak empat tahun yang lalu. Sebetulnya Sakura masih belum paham ke mana arah pembicaraan Itachi. Apa yang sebetulnya harus dia ketahui sejak empat tahun yang lalu? Empat tahun yang lalu, artinya Sakura masih SMU. Apa hubungannya dengan Itachi...? Punggung Sakura tiba-tiba menegak. Kalau saja yang dimaksud Itachi bukan soal dirinya, tapi Sasuke... Tapi apa yang ingin Itachi katakan soal Sasuke empat tahun yang lalu? Itachi menatap lurus wajah Sakura. Ini tentang beasiswa ke London. Bagai disambar petir di siang bolong, napas Sakura tertahan. Matanya membulat. Dia yakin Itachi bisa melihat perubahan di raut wajahnya. Sejak saat itu Sakura yakin Itachi sudah tahu bahwa dia dan Sasuke pernah bersekolah di SMU yang sama. Entah bagaimana Itachi tahu―tapi itu tidak perlu dipertanyakan mengingat Itachi adalah kakak kandung Sasuke. Bagaimanapun Itachi pasti tahu. Sakura jadi ingat waktu dia bohong pada Itachi setelah syuting di Venice selesai, mengingkari bahwa dirinya adalah gadis berambut merah muda yang selalu membuat Sasuke uring-uringan setiap pulang sekolah―Sakura merasa Itachi tahu dia berbohong. Kemudian tentang beasiswa itu... Sakura merasakan lagi pedihnya luka pengkhianatan. Apa yang Itachi-san ingin bicarakan soal itu? Apa kau benci Sasuke? Eh?Sebuah pertanyaan yang tidak pernah Sakura duga sebelumnya. Sakura, apa kau benci Sasuke? Itachi bertanya lagi. Sepasang mata emerald Sakura beralih dari wajah Itachi. Sakura tidak ingin menatap kakak Sasuke itu. Aku mengerti kalau kau tidak mau menjawab― Ya, aku benci. Aku membenci Sasuke. Tanpa sadar tangan Sakura mengepal erat menahan geram di dadanya. Boleh kutahu kenapa kau membencinya? Bukankah Itachi-san sudah tahu? Sasuke mengkhianatiku. Sasuke bilang tidak akan mengikuti ujian itu. Tapi dia membuktikan kebohongannya dengan namanya yang tertulis besar di papan pengumuman. Uchiha Sasuke, pemenang ujian beasiswa London Arts School. Tangan Sakura mengepal lagi, kali ini lebih kuat. Giginya bermeretak menahan geram yang bertambah-tambah. Sakura berusaha keras agar tidak meledak saat itu. Dia bilang dia punya jalannya sendiri. Dia bilang tidak akan menghalagiku... Dia bilang aku sungguh bodoh karena berniat menyerah pada keberhasilan yang belum pernah kuraih. Ya, aku memang bodoh. Aku bodoh karena percaya pada kata-katanya! Dia pengkhianat! Bersusah payah Sakura menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak ingin terlihat lemah. Walaupun air mata itu sebenarnya bukan air mata kelemahan. Itu hanya air mata kekecewaan dan rasa sakit hati yang tak pernah bisa sembuh. Tenggorokannya sakit menahan sesak yang tak berujung setiap kali mengingat masa-masa pilu itu. Sementara itu, Itachi masih membisu. Mendengar kata-kata Sakura tadi, batinnya ikut tersiksa. Dia mengerti perasaan Sakura. Sekali lagi dia berpikir apakah tepat bila dia menceritakan soal empat tahun yang lalu itu yang tertahan di ujung lidah begitu mendengar pengakuan Sakura. Namun bagaimanapun Sakura harus tahu―Sakura bahkan harusnya tahu sejak empat tahun yang lalu. Meski nantinya akan terdengar menyakitkan dan sulit diterima, setidaknya hal itu tidak boleh lagi ditutup rapat-rapat. Sakura harus tahu. Itachi berdiri. Duduknya pindah persis di sebelah Sakura. Dia hanya ingin Sakura menyimaknya tanpa salah paham. Telapak tangannya menyentuh lembut pundak Sakura. Dia berucap lambat-lambat, juga jelas. Sakura, kau salah soal beasiswa itu. Gadis berambut merah muda itu melempar pandangan padanya. Sepasang matanya yang merah menyembunyikan air mata menatap bingung. Sasuke tidak pernah mengikuti ujian beasiswa. Nama yang tercantum di papan pengumuman itu seharusnya bukan namanya. Sakura masih menatapnya tak mengerti. Itachi mulai bercerita. Empat tahun yang lalu saat keluarga mereka tengah mempersiapkan kepindahan Sasuke ke London, pihak sekolah menelepon dan meminta Sasuke dengan walinya datang ke sekolah. Saat itu ayah Sasuke sedang mengurus keperluan film di luar negeri; begitu juga dengan sang ibu yang sibuk mengurus klub teaternya yang baru dibentuk di New York, sehingga Itachi yang menjadi walinya. Begitu sampai di sekolah, Uchiha bersaudara melihat nama Sasuke di papan pengumuman. Keduanya kemudian meminta klarifikasi dari pihak sekolah mengenai penulisan nama itu. Mereka pikir pihak sekolah keliru, karena Sasuke tidak mengikuti ujian beasiswa―mendaftar pun tidak. Sebaliknya, kepala sekolah menjelaskan bahwa maksud dari undangan mereka pada keluarga Uchiha adalah untuk itu; menyampaikan kabar bahwa Uchiha Sasuke yang terpilih menjadi penerima beasiswa London Arts School. Itachi terang-terangan menolak. Bukannya bermaksud sombong, dia mengatakan pada kepala sekolah bahwa Sasuke bisa bersekolah di sana dengan dana pribadi. Beasiswa lebih diperuntukkan bagi siswa lain yang mengikuti ujian seleksi, sementara Sasuke bukan salah satu dari mereka. Itachi mempertanyakan hasil seleksi tersebut. Menurutnya tidak mungkin tidak ada yang lolos. Pihak sekolah bilang, memang ada satu nama yang hasil ujiannya paling baik dari seluruh peserta seleksi. Namun nilainya tidak mencapai standar nilai internasional yang ditetapkan oleh pihak London Arts School. Nama peserta itu adalah Haruno Sakura. Mempertimbangkan standar nilai tersebut, pihak sekolah akhirnya memutuskan Sasuke yang berhak menerima beasiswa. Setelah diselidiki ternyata keputusan mengganti nama Haruno Sakura dengan Uchiha Sasuke hanya akal-akalan kepala sekolah. Seorang sumber dari pihak sekolah mengaku (setelah dipaksa Itachi) bahwa kepala sekolah menyimpan dendam pribadi pada Sakura. Di tahun pertama, putri satu-satunya melakukan percobaan bunuh diri karena nilainya yang selalu paling unggul di sekolah berhasil dikalahkan oleh Sakura. Kepala sekolah tak terima dan menekan putrinya agar berhasil mendapatkan prestasinya kembali. Namun sepertinya anak itu sudah terlanjur putus asa. Beruntung kepala sekolah menemukan putrinya di kamarnya sebelum kehabisan darah setelah menyobek pergelangan tangannya dengan silet. Waktu Itachi menanyakan itu langsung pada kepala sekolah, pria tua itu mengaku. Esok harinya dia mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa malu akan tindakannya menyabotase nilai seleksi beasiswa selevel London Arts School. Aku dan Sasuke bermaksud menyampaikan kekeliruan itu padamu, Sakura. Tapi kami tidak berhasil menemukanmu. Rumahmu kosong. Tetanggamu bilang, keluargamu sudah pindah sejak seminggu sebelumnya. Waktu itu Sakura memang sudah tidak lagi tinggal di rumah mungilnya di sudut kota Konoha. Setelah pengumuman itu, Sakura nampak sangat terpukul. Sang ayah tidak ingin membiarkan Sakura berlarut-larut dalam kekecewaannya. Karena saat itu pun ibu Sakura mulai sakit-sakitan. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di pulau yang jauh di selatan Jepang. Sakura, lihat aku. Itachi menggenggam lembut pundah Sakura. Sejak dia bercerita, gadis itu belum berkomentar apa-apa. Itachi mengerti, pasti tidak mudah bagi Sakura menerima kenyataan yang sudah lama tersimpan itu. Itachi ingin membuatnya tenang. Jika hatinya tenang, maka dia bisa berpikir lebih jernih. Sakura, sekali lagi Itachi meminta Sakura untuk menatapnya. Sasuke tidak pernah mengkhianatimu. Sakura mengalihkan lagi matanya dari Itachi. Dia merasa sangat bersalah. Karena bagaimanapun kau pasti sedih melihat bukan namamu yang ada di papan itu, melainkan namanya. Sasuke tahu sekali kau membencinya. Aku ingat bagaimana kesalnya dia setiap pulang sekolah. Setiap kutanya, jawabnya selalu gara-gara Si Rambut Merah Muda. Dia sering menyebutmu dengan nama-nama yang lucu, seperti Si Rambut Gulali Yang Sok Tahu, Si Pink Cerewet... pokoknya banyak hal-hal lucu yang―mungkin secara tidak sadar―dia ceritakan tentangmu waktu makan malam. Tapi setelah masalah beasiswa itu, dia tidak pernah lagi menyebut-nyebut soal dirimu. Waktu aku berkunjung ke asramanya di London, aku melihat Sasuke sedang membuat sebuah sketsa. Saat dia meninggalkan kamar, diam-diam kuintip buku sketsanya. Kau tahu, isinya gambar seorang gadis di setiap halaman. Aku tahu itu gadis yang sering dibicarakannya dulu saat makan malam. Meskipun kau menghilang, Sasuke tidak pernah berhenti mencarimu. Dia yakin kau bukan tipe orang yang mudah menyerah dan melepaskan mimpimu begitu saja. Dan ternyata keyakinannya itu benar. Sasuke mendapati namamu masuk ke dalam daftar peserta Festival Film Pendek. Secara tidak langsung dia yang mengenalkanku pada film-mu Oshiro... Tiba-tiba Itachi mematung. Dia baru menyadari sesuatu tentang adiknya itu. Sambil menatap langit-langit, dia mengingat-ingat hal yang pernah membuatnya marah luar biasa pada sang adik. Mabuknya Sasuke saat di ruang meeting tim produksi, ucapan hinaannya pada seluruh crew yang berujung pada pengunduran dirinya, Itachi pikir mungkin itu cuma akal-akalan Sasuke. Jadi begitu film After the Rain Drop yang masih setengah peroduksi ditinggalkan sutradaranya, Itachi pasti akan mencari sutradara baru sebagai pengganti. Apalagi waktu itu dia memang sedang tertarik dengan film pendek Sakura. Semuanya berhubungan. Itachi akhirnya sampai pada kesimpulan, Sasuke diam-diam memuluskan jalan Sakura ke dalam dunia profesional. Pasti itu sebagai bayaran rasa bersalahnya dulu. Sasuke sungguh-sungguh cinta pada gadis itu, pikir Itachi. Aku menyesal, Sakura menggumam, membuyarkan lamunan Itachi. Seandainya aku tidak mengikuti ujian seleksi itu, ini semua tidak akan terjadi. Hei, kenapa bicaramu begitu? Sakura menatap Itachi dengan raut wajah yang sulit ditebak. Terima kasih, Itachi-san. Terima kasih untuk kesempatan besar berkarya di rumah produksi ini. Terima kasih telah menjadi produser yang sangat baik padaku... Terima kasih untuk semuanya. Sakura bangkit berdiri diikuti Itachi, kemudian membungkuk sebagai tanda penghormatan yang dalam padanya. Gadis itu meninggalkan ruangan. Sementara Itachi belum habis memikirkan maksud dari ucapan terakhir Sakura. Tiba-tiba suara gaduh bantingan pintu membuyarkan lamunannya. Sasuke masuk dengan wajah super kesal. Jadi dari tadi kau cuma melamun di sini, huh? Kau yang dari kemarin berisik soal talkshow itu, malah kau sendiri yang tidak datang, Sasuke mengomel. Ah! Itu... Cih! Sasuke muak melihat tampang bodoh kakaknya. Tapi alih-alih memikirkan itu, Sasuke tidak bisa melupakan wajah Sakura saat tadi mereka berpapasan di koridor. Raut wajahnya lain. Sebetulnya yang paling tidak bisa dilupakannya adalah sikap Sakura waktu itu. Dia baru akan mengomeli Sakura soal absennya ke acara talkshow, tapi tiba-tiba gadis itu menggumamkan kata-kata aneh. Maafkan aku. Kemudian Sakura melanjutkan langkah tanpa peduli teriakannya untuk kembali. Padahal Sakura biasanya selalu menjawab sewot setiap kali Sasuke mengomel. Sikapnya sungguh aneh. Sasuke tak habis pikir. Sasuke menatap Itachi penuh curiga. Tadi Sakura ke sini? Ya. Karena itu aku tidak bisa ikut talkshow, jawab Itachi sekenanya. Dia kembali ke balik meja kerjanya dan mulai membereskan serakan kertas di sana. Apa yang kalian lakukan sampai-sampai tidak sempat pergi ke studio Channel 21? Sasuke bertanya lagi. Cuma ngobrol. Tenang saja, kau tidak usah cemburu! Itachi terkekeh pelan. Tapi nampaknya itu sama sekali tidak lucu bagi Sasuke. Dengan bosan dia menjatuhkan diri di sofa. Kali ini kau boleh tidak hadir. Untuk kesempatan kedua, Obito akan mengamuk kalau kau tidak hadir lagi. Besok siang kita dijadwalkan menghadiri talkshow di TV Mirai. Semua harus datang; kau, aku, Sakura― Sayang sekali, Sakura tidak bisa. Dia mengundurkan diri. APA? Itachi kemudian menceritakan alasan Sakura mengundurkan diri. Dia juga meminta maaf karena tidak bisa menahan Sakura. Keputusan Sakura adalah haknya secara pribadi. Siapapun tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal. Soal pengunduran diri itu, Sasuke sepertinya bisa menerima―meski tadi dia sempat menyalahkan Itachi yang tidak berusaha meyakinkan Sakura dulu sebelum melepasnya. Namun untuk hal kedua yang dikatakan Itachi―soal kekeliruan beasiswa London Arts School―Sasuke marah besar. Kenapa semua orang senang sekali mencampuri urusanku? suaranya lantang. Pertama Karin, kemudian kau! Apa kalian tidak punya urusan sendiri untuk dipikirkan? Aku menceritakan itu, karena kau pasti tidak akan pernah menceritakannya, Sasuke. Bukan urusanmu! Nanti juga aku cerita. Biarkan aku melakukannya dengan caraku sendiri. Kau tidak memberiku kesempatan untuk mengatakannya sendiri. Apa kau tidak cukup mengerti aku, eh, Itachi? Apa kau tidak memikirkan apa yang akan Sakura pikir jika cerita itu dia dengar dari mulutmu―orang lain―bukan aku? Itachi menghela napas panjang. Rasa penyesalan timbul di hatinya. Maafkan aku... Sasuke menggeram keras. Hampir-hampir dia melempar cangkir kosong di meja kaca sebagai pelampiasan kemarahannya. Dia benar-benar kecewa pada Itachi. Tanpa bicara lagi, Sasuke pergi meninggalkan pintu yang menutup kasar di belakangnya. Itachi hanya bisa menggumam menyesal sekali lagi. Sasuke, maafkan aku. ~LilJo~ Sakura! Sakura menoleh, menengok pemuda berambut merah yang tengah berjalan menghampirinya. Sakura melambaikan tangan. Bibirnya tersenyum, menghapus kegundahan di wajahnya. Sudah lama menunggu? Maaf ya aku terlambat, kata Gaara. Sakura menggeleng. Dia tersenyum lagi. Tidak kok. Aku yang datang terlalu cepat. Pandangan Sakura kemudian terlempar lagi pada hamparan air sungai di bawah pagar tempat dia berdiri. Lima belas menit yang lalu Sakura mengirim pesan pendek pada Gaara, memintanya untuk datang ke tepi sungai di dekat komplek rumahnya malam itu. Aneh, kau minta bertemu di sini. Anginnya mulai kencang, sebentar lagi musim gugur. Aku lebih suka di sini. Gaara mengerti. Sakura dari dulu memang melankolis. Dia menyukai hal-hal yang dramatik, meski sebenarnya cara berpikirnya realistis. Gaara menyodorkan bungkusan karton hangat pada Sakura. Makanlah. Masih hangat. Kau suka isi kacang merah, kan? Tak perlu mengintip ke dalam bungkusan itu pun Sakura sudah tahu dari aromanya bahwa makanan itu adalah bakpao. Dia memang suka sekali bakpao isi kacang merah, apalagi yang masih hangat. Gaara baik sekali membawakannya oleh-oleh. Perut Sakura memang kosong, belum diisi apapun sejak tadi siang. Namun perasaannya saat ini tidak mengizinkan perutnya untuk lapar. Melihat raut wajah Sakura, Gaara bisa menebak ada sesuatu yang sedang menganggu pikiran Sakura saat ini. Mungkin itu alasan Sakura memintanya datang ke sana. Ada apa, Sakura? Kau ingin cerita sesuatu? Wajah Sakura berpaling pada Gaara. Lama dia hanya diam menatap lelaki itu. Kata-kata yang ingin dikeluarkannya seakan tersangkut di ujung lidah. Ada apa? Apa ini soal berita-berita tentangmu di media? Sakura menggeleng lemah. Dia menghela napas panjang, mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan apa yang seharusnya sejak tadi dia katakan. Matanya menatap lurus mata Gaara. Pemuda itu bisa melihat kesedihan di sana. Gaara... aku tidak bisa lagi melanjutkannya... Maksudmu... Mata Sakura berpaling. Dia tak kuasa menatap lelaki yang dia tahu sangat menyayangi dirinya itu. Dadanya mulai terasa sesak, namun sekuat mungkin Sakura menahan air matanya. Kita sampai di sini saja, Sakura menelan ludah, tenggorokannya sakit menahan tangis. Gaara, maafkan aku. Aku tidak benar-benar cinta padamu. Aku... aku hanya mencari pelarian atas sakit hatiku pada masa lalu. Awalnya kupikir bisa membuka hati untukmu. Tapi... Pertahanan Sakura runtuh. Setetes air matanya meluncur, menyusul tetes demi tetes kemudian. Sakura tak kuat lagi menahan diri. Dia terisak. Pundaknya berguncang. Aku telah melakukan kesalahan, gumamnya dalam isakan, suaranya gemetar. Tiba-tiba Gaara meraihnya, mendekapnya dalam pelukan hangat. Dia tidak kuasa melihat gadis yang disayanginya berurai air mata. Sekalipun gadis itu baru saja mengatakan bahwa dia tidak mencintainya. Di dekapan Gaara, Sakura menumpahkan semua air matanya. Kepedihannya akan kenyataan bahwa dia telah membenci orang yang salah, penyesalannya memanfaatkan cinta pemuda yang kini memeluknya... semua itu membuatnya merasa menjadi gadis jahat. Aku tidak ingin lagi menyakitimu, Gaara, gumam Sakura. Kau tidak pernah menyakitiku, Sakura, Gaara membelai lembut kepala Sakura. Sejak pertama, aku tahu, cintamu bukan untukku. Tapi aku tidak pernah menyesal, Sakura. Aku bersyukur selalu bisa mendampingimu saat kau tertawa, Gaara melepas pelukannya dan menatap wajah merah Sakura, jari-jarinya menyeka lembut jejak-jejak air mata di pipinya. Aku bersyukur bisa memeluk dan menghapus air matamu di saat kau menangis. Mendengar itu, Sakura ingin menangis lagi. Tapi kali ini dia mulai dapat menguasai diri. Dia tidak boleh menangis lagi. Ini untuk Gaara. Kau sahabat terbaikku, kata Sakura. Gaara mengangkat jari kelingkingnya. Aku akan melepasmu, asal kau mau berjanji satu hal. Sakura mengangkat tinggi alisnya. Namun dia bersedia menautkan jari kelingkingnya pada jari Gaara. Apa itu? tanya Sakura. Kau tidak boleh cengeng lagi. Sakura mengerucutkan wajah. Aku kan memang tidak cengeng! protesnya. Benar ya? Awas kalau kulihat kau menangis sesegukan seperti tadi, Gaara pura-pura mengancam. Sakura menjulurkan lidah. Gaara membalas dengan mengacak-acak rambutnya. Mereka kini dapat kembali tertawa bersama-sama, seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Namun di hati kecil masing-masing tersimpan luka yang mungkin akan sulit disembuhkan. Kenapa bakpao itu tidak kau makan? Bukannya itu kesukaanmu? Gaara menunjuk bungkusan karton pemberiannya yang bahkan belum dibuka oleh Sakura. Untuk di rumah saja, kata Sakura nyengir. Gaara, boleh aku memelukmu sekali lagi? tanya Sakura tiba-tiba. Dia bahkan tidak perlu menunggu jawaban dari pemuda itu. Sakura mendekapnya erat, menyesap aroma tubuhnya yang begitu maskulin, menikmati kenyamanan dadanya yang bidang, yang tidak akan pernah dirasakannya lagi. Tanpa dia tahu, di seberang jalan, Sasuke sedang menatap mereka dari dalam mobilnya. Dia yang tadinya bermaksud mendatangi Sakura baik-baik untuk memberi penjelasan soal semua cerita Itachi, akhirnya memutuskan untuk kembali. Mungkin Sakura sama sekali tidak membutuhkan penjelasannya. Gaara melihat kepergian mobil Sasuke. Lelaki itu pasti salah paham, pikirnya. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Sakura yang melepaskan diri dari pelukannya membuatnya sadar kembali. Kau baik-baik saja? tanya Gaara begitu melihat mata Sakura berair lagi. Gadis itu mengangguk. Kau baik sekali, Gaara. Terima kasih untuk semuanya. Kau sahabat terbaikku. Sakura mengecup lembut pipinya, kecupan seorang sahabat, kecupan penuh rasa terima kasih. Selamat tinggal. Sakura memunggunginya, melangkah pergi. Satu langkah, dua langkah, sosoknya semakin jauh kemudian menghilang dalam gelapnya malam. Dada Gaara sesak. Namun dia senang, karena akhirnya Sakura tidak lagi bimbang dengan perasaannya. Itu yang lebih penting. ~LilJo~ Sasuke! Cepat bangun! Kenapa bermalas-malasan begini? Itachi mengguncang-guncang tubuh adiknya yang berbaring malas di sofa panjang di ruangan kerjanya. Semalam dia tidak pulang. Rupanya menginap di studio. Oi, Ototou! Itachi mulai jengkel. Kau sendiri yang bilang kan, ada jadwal talkshow siang ini di Mirai. Cepat bangun! Sasuke menarik selimutnya sampai menutupi kepala. Cerewet. Pergi saja sana sendiri. Aku masih ngantuk. Itachi menyerah. Percuma saja menyuruh Sasuke bangun jika dia memang tidak ingin bangun. Itachi tidak bisa menebak apa yang sebetulnya terjadi tadi malam. Dia yakin Sasuke pergi ke rumah Sakura. Tapi melihat Sasuke yang seperti ini, hasilnya pasti tidak baik. Suara ketukan di pintu mengejutkannya. Ya, sebentar. Itachi melangkah ke depan pintu kemudian menyambut si tamu. Sekretaris Obito yang cantik berdiri di depan pintu dan mengucapkan selamat pagi lebih dulu. Ada seorang pemuda yang ingin bertemu dengan Anda―maksud saya, Sasuke-san, katanya kemudian. Ternyata di sebelahnya sudah berdiri seorang pemuda berambut merah yang wajahnya tidak lagi asing bagi Itachi. Gaara, kan? Hallo! Apa kabar? Itachi menyalaminya dengan ramah kemudian membawanya ke dalam ruangan. Dia bermaksud mempersilakan Gaara duduk, namun di sofa sedang ada makhluk pemalas yang tidak juga mau menyingkir dari sana. Tapi kebetulan Gaara ingin menemui Sasuke, seperti yang dimaksud si sekretaris. Sasuke, kali ini aku memaksamu bangun! Ada tamu untukmu. Seolah tidak dengar, Sasuke masih berbaring tanpa bergerak sedikit pun. Itachi benar-benar jengkel dan bersiap menariknya. Tapi Gaara mencegah. Tidak apa. Maaf mengganggu pagi kalian, kata Gaara. Sebenarnya aku datang ke sini untuk menyampaikan sesuatu. Oh ya? Apa itu? Itachi bertanya penasaran. Dari balik selimutnya, Sasuke memasang telinga baik-baik. Sakura hilang. Tiba-tiba Sasuke jatuh dari sofa dengan bokong mendarat menyakitkan di lantai. Tapi rasa sakit itu terabaikan dengan keterkejutannya. Apa katamu barusan? matanya menatap tajam Gaara. Pemuda itu mengulangi. Sakura menghilang... To be continued...
Posted on: Tue, 03 Dec 2013 13:54:57 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015