“MALAM JUMAT DI SAAT PURNAMA” “Kawan, tengah malam nanti - TopicsExpress



          

“MALAM JUMAT DI SAAT PURNAMA” “Kawan, tengah malam nanti kita ngintip orang, yuk?” ajak Berto temanku sewaktu kita berdua duduk di depan kosku. Kebetulan suasana kos sedang sepi. “Kamu ni parno, kawan!” ucapku. “Eiiitt, jangan terlalu cepat menilai orang parno, Friend! Kamu belum terlalu lama tingal di sini sih, makanya nggak tahu.” Kata Berto membela diri. “Maksudnya nggak tahu apa, Bro?” tanyaku. “Janji! nggak akan ngomong ke orang lain kalau aku yang cerita, ok?” Berto mewanti-wantiku dengan suara setengah berbisik. Aku mengangguk. “Kamu tahu kan bu Sukma yang punya toko besar di unjung gang ini?” Berto menunjuk ke arah jalan raya. “Ia sepertinya punya persugihan, kawan! Lanjutnya lagi. ”Persugihan apa, Bro?” potongku cepat. “Kamu dengerin dulu ceritaku. Jangan nanya melulu,” protes Berto sambil melotot. Aku mengangguk lagi. “Tu lihat di atas sana, malam ini bulan purnama yang bertepatan dengan malam jumat. Biasanya bu Sukma akan melakukan ritualnya. Ia suka menari telanjang di belakang rumahnya. Sebenarnya sudah banyak yang tahu akan hal ini. Hanya saja mereka takut untuk melaporkannya. Pernah suatu waktu ada bebera orang mengintip bu Sukma yang melakukan ritualnya, tapi anehnya ia bisa tahu keberadaan mereka. Minggus anak pak RT salah seorang yang pernah dikejar bu Sukma. Kata Minggus, saat itu mata bu Sukma berubah seperti bola api yang bersinar. Seringainya menakutkan seperti hantu di film-film horor. Iiihh..!” Berto menggerak-gerakan badannya seperti orang menggigil. “Sampai sekarang saja kalau berpapasan sama bu Sukma, Minggus nggak berani menatap wajahnya. Apa lagi kalau disuruh beli sesuatu ke tokonya, boro-boro dia mau. Malah semenjak kejadian itu, Minggus sering menghindar kalau melihat bu Sukma dari kejauhan. Katanya ia sering didatangi bu Sukma dalam mimpinya.” Berto menelan ludahnya. Ia merogoh sakunya mengambil sesuatu. “Terus gimana, Bro?” aku menyenggol lengan Berto. “Teras.. terus! Tunggu aku ngerokok dulu, Bro. Mulutku dah pahit ni. Berto mengeluarkan rokoknya. “Kamu mau?” Berto menyodorkannya padaku. Aku mengambil sebatang lalu menyalakannya. “Kamu berani nggak Bro, kalau temanin aku ngintip bu sukma tengah malam nanti? Kita buktikan apa betul cerita orang-orang itu.” Berto mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya perlahan. “Sebenarnya sudah lama aku ingin membuktikannya sendiri. Hanya saja aku nggak punya nyali, kawan. Gimana, kamu mau temani aku kan?” Berto menatapku penuh harap. “Ok! Apa kamu tahu jam berapa biasanya bu Sukma menjalankan ritualnya?” “Kata orang sih, sekitar jam dua belasan gitu deh.” Rasa penasaran di hatiku seketika timbul mendengar cerita Berto. Semenjak kecil hingga dewasa aku belum pernah melihat hal-hal aneh yang berbau mistis. Paling juga aku menontonya di film. Kalau hanya cerita saja, aku sudah sering mendengarnya. Masa sih iya, di era moderen seperti ini masih ada orang yang demikian? Mau-maunya ia bersekutu dengan setan hanya karena sebuah alasan pribadi! Ah, biar saja orang itu yang akan menanggung akibatnya. “Jam berapa sekarang, To?” tanyaku kemudian. “Lihat saja di HP’mu, Bro. Punyaku sama Jam tangan kelupaan di kos.” Aku mengambil BB’ku dari dalam saku. “Baru jam delapan! Emm.. Kita makan saja dulu, Kawan? Soalnya tadi aku belum makan,” usulku. “Ok! Aku juga kebetulan belum. Kamu makan di mana?” tanya Berto. “Aku di kos aja. Kebetulan tadi siang aku masak. Mau ikut makan denganku?” “Makasih, Kawan. Tadi aku dan adikku juga masak mie instan. Jadi aku makan di kos saja. Biasa lagi kere ni!” Berto tersenyum ke arahku. “Jangan lupa jam sebelas lewat kita ketemu di belakang rumahnya bu Sukma, ok?” kata Berto lagi, lalu beranjak dari duduknya. “Mantap, Bro!” aku mengangkat dua jempolku. Jam dua belas kurang lima menit aku dan Berto sudah berada diantara pepohonan pisang yang tumbuh subur di belakang rumah bu Sukma. Kami tidak peduli lagi kalau tempat ini penuh dengan sampah yang berserakan. Kami hanya menunggu dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi nanti. Sementara itu nyamuk mulai berpesta pora mengisap daraku. Kebetulan aku hanya memakai celana pendek dan kaos. Aku berusaha menghalau mereka dengan beberapa tepukan di bagian tubuhku. Tiba-tiba.. “Jangan berisik. Nanti di dengar orang,” tegur Berto berbisik. “Sorry! Tapi ini nyamuk mengganggu sekali, kawan.” Lima menit berlalu belum ada tanda-tanda bu sukma akan keluar. “Bener nggak sih cerita orang-orang itu, To?” aku mulai tidak sabaran. “Udah nyantai aja. Aku juga baru kali ini mau melihatnya. Dan lagi ini kan baru jam dua belas.” Berto mengarahkan tangannya yang mengenakan jam ke arahku. Beberapa menit berlalu kami mendengar suara pintu belakang rumah bu Sukma berderit. Tidak berselang lama sesosok bayangan bergerak keluar dari dalam dapur. “Ini pasti bu Sukma,” bisik hatiku. Kami menunggu dengan tegang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan benar saja, ketika sosok itu telah berada di luar, aku baru dapat melihat dengan jelas wujudnya. Bu Sukma hanya mengenakan secarik kain hitam yang membungkus tubuhnya hingga sebatas dada. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Dari terangnya cahaya bulan, karena di belakang dapur bu sukma tidak ada lampu penerangan, aku dapat melihat jelas gerak-geriknya. Perlahan ia melangkah menuju sebuah batu hitam berbentuk pipih sebesar ukuran lingkaran tangan orang dewasa. Di tengah tanaman pangkas yang membentuk pagar yang mengelilingi batu itu, bu Sukma naik ke atasnya. Ia menoleh sebentar ke sekeliling halaman belakang, seakan ingin memastikan keadaannya. Setelah merasa aman, bu Sukma lalu melepaskan kain pembungkus tubuhnya. Seketika jantungku berpacu cepat. Ia meletakan kain itu di atas tanaman pangkas di sisi kirinya. Bu Sukma kini telanjang bulat. “Waoo! Mulus banget tubuhnya!” Jeritku dalam hati. Aku terkesima melihat buah dadanya. Montok seperti pepaya bangkok yang ranum. Kebetulan posisi berdiri bu Sukma menyamping dari tempat persembunyian kami. Ia menghadap ke arah bulan yang bersinar penuh. Andaikan saja posisi kami berhadapan, sudah pasti aku dapat melihat setiap lekukan tubuh wanita cantik yang telah ditinggal mati suaminya itu. Bu Sukma menyatukan kedua tangannya di depan dada seperti orang semedi. Dengan kepala sedikit tertunduk, ia memberi hormat ke arah bulan. Perlahan-lahan tangannya di rentangkan kedepan. Kepalanya kini terangkat menatap bulan. Jari telunjuk dan ibu jarinya saling bertemu layaknya orang yang akan menyentil. Lalu ia menggerak-gelakan kedua tanyanya naik turun dengan gemulai. Kakinya sedikit terbuka dan agak ditekuk ke depan hingga pinggulnya terdorong ke belakang. Badannya kini meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Mirip ular cobra yg menari mengikuti irama seruling sang pawang. ‘emm.. posisi yang sempurna,’ gergelora batinku tak menentu. Aku melirik ke arah Berto. Ia terlihat seperti patung yang bernyawa. Matanya tak berkedip melihat apa yang terpampang di depan sana. Berkali kali ia menelan ludah. “Serius amat, To?” bisikku sambil mencolek pinggangnya. Maksudku untuk menghilangkan ketegangan. Namun yang terjadi diluar dugaanku. “Apaan sih? Kagetin orang aja!” Berto reflek menyikutku. Karena posisiku berjongkok dan pijakanku yang tidak sempurna, aku terdorong ke samping lalu jatuh menimpa kaleng bekas yang ada di situ. “Klotaaakk!” Seketika bu Sukma menoleh ke arah kami. Matanya telah berubah merah semerah darah. Menakutkan sekali! Jiwaku seperti mau lepas ketika memandangnya. Tiba-tiba ia mendesis seperti ular. Bu Sukma menyeringai marah lalu kedua tanganya membentuk cakar dan ia melangkah ke arah persembunyian kami. Tanpa menunggu lebih lama aku dan Berto bangkit lalu berebut mengambil langkah seribu. Padahal sekilas tadi aku sempat melihat pemandangan yang indah sewaktu bu Sukma membalikan badannya ke arah kami. Tetapi karena rasa takut yang begitu besar aku tidak sempat lagi menikmatinya. Tiba di kamar kos aku tak mampu memejamkan mata. Bayangan bu Sukma dengan seringai yang menakutkan mengganggu pikiranku. Aku melirik jam di BB’ku, sudah jam setengah dua. ‘Kalau tiba-tiba bu Sukma datang ke mari gimana ya?’ suasana hatiku tak menentu. Mana lagi malam ini begitu sepi dari biasanya. Anak-anak kos yang lain pasti sudah terbuai dengan mimpi masing-masing. Aneh? Biasanya suara serangga malam pada berisik. Kenapa malam ini mereka sepertinya enggan? Aku berusaha menenangkan diri dengan menyebut nama Tuhan dalam sebait doa. ‘Tuhan, tolong jauhkan hal-hal yang tidak aku ingini. Amin!’ Aku tidak berani memadamkan lampu kamarku. Padahal malam-malam sebelumnya tidak demikian. Betul-betul kejadian yang mengerikan yang baru pertama kali aku alami dan membuatku shok. Tiba-tiba aku teringat Berto. Tadi karena begitu cepatnya kami berlari aku tidak memperhatikan lagi ke arah mana Berto menghilang. “Coba aku sms dia,” gumamku pelan. Beberapa jam kemudian karena capek berlari atau kelamaan menungu sms balasan dari Berto, akhirnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Paginya aku terlambat bangun. Untung saja ada yang mengetuk pintu kamar kosku hingga aku terjaga. ‘Siapa sih? Ganggu orang tidur aja!’ gerutuku lalu bergegas ke arah pintu. “Kak..! Berto, Kak..!” kata Ronald adiknya Berto ketika pintu kubuka. Aku tersentak. “Ada apa sih kamu? Buat orang kaget saja?” tanyaku sedikit kesal. “Beertoo, Kak..! Beertoo..!” suara Ronald bergetar. “Iya! Berto kenapa?” kejarku. “Berto kesurupan, Kak! Matanya terbalik putih dan ada buih yang keluar dari mulutnya. Dia terus menyebut-nyebut nama, bu Sukma.” “Apa? Menyebut nama bu Sukma bagaimana, maksudmu?” kejarku. “Kak Berto menyebut, ampuuunn, bu Sukma.. ampuuunn! Begitu berulang-ulang kali, Kak,” suara Ronald memburu. Teg! Jantungku seakan berhenti berdetak. “Dari kapan dia begitu, Ron?” “Baru saja, Kak! Makanya aku langsung kemari memanggil Kakak!” “Haaa? Ayo kita ke sana!” aku dan Ronald bergegas menuju ke kos mereka. Sangking paniknya aku lupa kalau aku baru bangun tidur dan belum mandi ataupun cuci muka, apa lagi gosok gigi. Iiihh.. sereeemm..!!! “Sampai di sini dulu ya, Pembaca. Karena disaat aku menulis cerita ini ada sesuatu yang menggaruk-garuk dinding kamarku. Dan ketika aku mengintip ke luar melalui jendela kamar yang kubuka, ternyata seekor kucing hitam yang berlari menghilang di kegelapan. Makanya aku tidak berani lagi melanjutkan ceritanya. Kira-kira ini pertanda apa ya, Pembaca?” hiihiiihiiiihiiiii..!!! Penulis: adu
Posted on: Sun, 25 Aug 2013 02:12:18 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015