MEMBANTU PERSALINAN GENDERUWO Oleh: Aniesa M Fauzi - TopicsExpress



          

MEMBANTU PERSALINAN GENDERUWO Oleh: Aniesa M Fauzi Poetri Kondisi Desa Clapar Kabupaten Purworejo Jawa Tengah awal tahun 1980 sangat berbeda dengan saat ini. Pada waktu itu belum ada listrik sehingga jalan-jalan masih sangat minim lampu penerangan jalan dan jarang ada bidan serta jauh dari rumah sakit. Tidak heran jika mayoritas ibu-ibu hamil yang hendak melahirkan lebih memilih untuk menggunakan jasa dukun beranak. Salah satu dukun beranak yang tersohor pada saat itu adalah Mbah Kecis. Namanya dikenal hingga jauh ke luar desa. Mbah Kecis tidak pernah menolak panggilan untuk membantu persalinan warga desa, tanpa mengenal waktu. Jam berapapun dipanggil, dengan sigap Mbah Kecis akan datang. “Menolong orang itu tidak boleh pilih-pilih. Semua harus kita tolong kapanpun mereka membutuhkannya,” ujar Mbah Kecis kepada orang-orang yang mengagumi komitmennya. Mbah Kecil tinggal sendirian di rumah sederhana yang berada di pinggiran desa. Tidak ada yang tahu persis berapa usianya. Meski tubuhnya sudah keriput, namun beliau masih lincah dan sigap ketika membantu persalinan. Seperti malam itu. Meski hujan lebat, namun Mbah Kecis tetap menyanggupi untuk pergi ketika Yanto- begitu tadi dia menyebut namanya ketika memperkenalkan diri, menjemputnya karena istrinya mau melahirkan. Sikapnya terlihat gugup. Saat itu sekitar pukul 01.00 dinihari. “Mbah, mau minta tolong, istri saya mau melahirkan,” ujar laki-laki parobaya yang mengaku tinggal di Desa Ganggeng. Jarak Desa Ganggeng ke Clapar lumayan jauh, sekitar 8 kilometer. Yanto datang ke rumah Mbah Kecis naik sepeda ontel. “Tunggu sebentar, saya mau menyiapkan peralatannya dulu,” ujar Mbah Kecis setelah mempersilahkan tamunya masuk. Namun tamunya tidak mau masuk. Sikapnya masih tampak gugup. Mbah Kecis sudah maklum dengan sikap tamunya yang selalu begitu. Maklum, namanya istri mau melahirkan, pasti bawaannya gugup dan cemas. Terlebih jika anak pertama. Laki-laki lebih gugup dibanding perempuan. Padahal yang mau bertaruh nyawa untuk melahirkan anak itu istrimu, bukan kamu. Mengapa kamu yang gugup? canda Mbah Kecis setiap kali tamunya terlihat tidak sabaran. Begitu hujan reda dan Mbah Kecis selesai menyiapkan peralatannya, mereka bergegas meninggalkan rumah sederhana itu. Mbah Kecil naik di boncengan sepeda. Sesekali dia merapatkan pakaian tebalnya karena udara terasa sangat dingin. Sisa air hujan sesekali masih menetes dari dedaunan yang banyak tumbuh di kanan-kiri jalan. Mendung pekat juga masih menggelayut di langit. Praktis jalanan yang mereka lalui sangat gelap. Beruntung sesekali cahaya kilat menyambar, membantu Yanto mengawasi jalanan yang dilaluinya. Setelah beberapa meter dari rumah, Mbah Kecis merasa ada sesuatu yang tidak beres. Laju sepeda ontel yang dinaikinya terasa begitu cepat dan mulus. Padahal ia tahu persis kondisi jalan di desanya sangat buruk; banyak batu kerikil dan lubang di sana-sini. Tetapi anehnya Mbah Kecis sama sekali tidak merasakan ada guncangan sedikitpun. Mungkin Pak Yanto sudah terbiasa melewati jalan ini sehingga bisa memilih jalan yang bagus dan tidak terperosok ke lubang jalan, pikir Mbah Kecis. Namun beberapa saat kemudian Mbah Kecis merasa ada kejanggalan lain yang lebih aneh. Awalnya ia mencium bau kurang sedang dari tubuh Yanto. Baunya begitu menyengat seperti sudah beberapa minggu tidak mandi, batin Mbah Kecis. Ia agak kesal karena mulai tersiksa dengan bau itu. Namun mengingat ada seorang wanita yang tengah membutuhkan bantuannya, Mbah Kecis menepis rasa kesalnya. Tidak lama kemudian bau busuk yang menyengat itu berganti dengan bau amis darah. Anehnya ketika Mbah Kecis mau menegur, bau amis itu juga hilang, berganti bau harum minyak japaron- minyak khusus untuk orang mati sebelum dikubur. Meski Mbah Kecis tidak pernah merasa takut, namun saat itu bulu kuduknya merinding juga. terlebih ketika ia ingat jika saat itu malam Jumat Kliwon. Ketika Mbah Kecis mau bertanya, tiba-tiba sepeda yang dinaikinya berhenti. “Kita sudah sampai di rumah saya, Mbah,” ujar Yanto sambil membantu Mbah Kecis turun dari sepeda. Rasa penasaran Mbah Kecis pun makin menjadi. Sebab ia merasa terlalu cepat sampai di rumah Yanto. Desa Ganggeng cukup jauh sehingga tidak mungkin bisa ditempuh secepat itu, apalagi dengan sepeda onthel. Masa hanya sekitar 10 menit sudah sampai, tanya Mbah Kecis dalam hati. Rasanya ia baru saja menaikinya dan tiba-tiba sudah sampai. “Mari masuk, Mbah,” ajak Yanto. Masih dengan balutan rasa heran, Mbah Kecis masuk ke dalam rumah. Sekali ini ia tidak mampu lagi menutupi keheranannya. Meski rumahnya tergolong bagus dan terang, namun ia tidak melihat satupun tetangga atau kerabat yang menjenguk dan menunggui istri Yanto. Padahal berdasarkan pengalamannya selama 15 tahun menjadi dukun beranak, setiap ada yang hendak melahirkan pasti sudah ada sanak saudara danu juga tetangganya yang berkumpul untuk membantu atau hanya sekedar menjenguk. “Tidak ada yang menunggui?” tanya Mbah Kecis. “Rumah di sini letaknya berjauhan, Mbah,” sahut Yanto. “Lagipula tadi kerasanya sudah malam. Jadi belum ada tetangga yang tahu. Ngga enak rasanya untuk membangunkan tetangga.” Mbah Kecil manggut-manggut meski hatinya tetap penasaran. Ia lalu masuk ke kamar di mana istri Yanto sudah berbaring dengan posisi siap untuk melahirkan. Buru-buru Mbah Kecis mengeluarkan peralatan dan segera membantu persalinan istri perempuan muda itu. Sepanjang proses persalinan, istri Yanto sama sekali tidak berbicara. Hanya sesekali saja mengeluarkan erangan kecil. Raut mukanya juga sama sekali tidak mengekspresikan kesakitan ataupun ekspresi-ekspresi sewajarnya orang yang akan melahirkan. Datar saja. Ini manusia atau bukan, batin Mbah Kecis bertanya-tanya. “Bagaimana rasanya? Mules-mulesnya sejak kapan?” tanya Mbah Kecis. Pertanyaan seperti itu jarang ia lontarkan karena biasanya si pasien yang sudah bercerita duluan. “Ehm…” Hanya itu yang terlontar dari bibir istri Yanto. Mbah Kecis pun enggan bertanya lebih jauh. Dia kini sibuk membantu mengeluarkan bayi itu dari rahimnya. Tidak berapa lama lahirlah bayi berkelamin laki-laki. Tidak ada darah maupun air ketuban yang keluar dari gua garba istri Yanto. Semuanya bersih. Karena sudah terlalu banyak kejanggalan yang ditemuinya, Mbah Kecis sudah tidak peduli lagi dengan keanehan itu. Ia segera bersiap untuk memandikan bayi yang ukurannya lebih besar dari bayi normal pada umumnya. Rambutnya sangat lebat dan panjang, kuku-kukunya juga panjang-panjang. Ketika sedang dimandikan, tiba-tiba bayi itu tersenyum lebar pada Mbah Kecis seraya memperlihatkan gigi-giginya yang besar-besar sebesar kotak korek api. Sepertinya bayi itu bisa mengenali orang di sekitarnya. Saking kagetnya, Mbah Kecis nyaris melempar bayi itu. Namun nalurinya melarang. Mbah Kecis kini sadar dengan apa yang dihadapinya. Ia berusaha untuk tetap tenang dan melanjutkan mengurus bayi itu hingga tuntas walaupun dengan ketakutan yang luar biasa. Sepanjang aktfitasnya, badan dan tangan Mbah Kecis gemetaran dengan hebat saking takutnya. Setelah semuanya selesai Mbh Kecis segera berpamitan pada Yanto dan istrinya. Yanto beberapa kali mengucapkan terima kasih pada Mbah Kecis dan memberinya amplop sebagai imbalan atas jasanya. Dia juga menawarkan diri untuk mengantar Mbah Kecis pulang, namun ditolaknya dengan halus. ”Sudahlah, biar aku pulang sendiri. Temani saja istrimu. Kasihan dia tidak ada yang menemani,” kata Mbah Kecis memberikan alasan. “Kalau itu maunya Mbah, saya juga tidak bisa memaksa. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih,” kata Yanto, datar. Ketika Mbah Kecis baru saja melangkah keluar rumah dan mengucapkan salam, tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap. Terdengar ucapan terima kasih yang menggelegar seperti petir. Sesaat kemudian semuanya menjadi benar-benar gelap. Tidak ada lampu petromak, tidak ada rumah, dan juga tidak ada Yanto maupun istri dan bayinya. Kini yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan suara burung hantu. Semua yang tadi dilihatnya menghilang begitu saja. Dingin malam menembus baju kebaya yang dikenakan Mbah Kecis. Dengan tubuh gemetar, Mbah Kecis setengah berlari meninggalkan tempat itu. namun baru beberapa langkah, ia terjatuh terjerembab. Kakinya tersandung sesuatu. Setelah ia raba-raba ternyata itu adalah batu nisan. Mbah Kecis mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan bantuan cahaya bulan yang timbul tenggelam. Akhirnya ia mengetahui kalau dirinya kini berada di tengah-tengah kuburan desa. Sambil merapal doa dan mantra yang diketahuinya, Mbah Kecis kembali berdiri dan secepatnya meninggalkan kuburan tua itu. beberapa kali kakinya terantuk batu nisan. Namun ia sudah tidak menghiraukannya lagi. Ia juga tidak peduli ketika amplop yang tadi dipegangnya tercecer entah dimana. Membantu persalinan genderuwo bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Saat ini Mbah Kecis hanya ingin segera sampai di rumah dan melupakan semuanya.*** TEMAN TEMAN TOLONG BANTU KLIK LINK INI YA ► goo.gl/Xswomh TOLONG DI BANTU LIKES & SHARE JUGA LINK FP ► Naga Emas
Posted on: Mon, 04 Nov 2013 16:00:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015