MENATA STRUKTUR - TopicsExpress



          

MENATA STRUKTUR BIROKRASI ahmadheryawan/opini-media/sosial-politik/7622-menata-struktur-birokrasi.html Oleh: Tatang Muttaqin Seiring dengan semakin dekatnya pelantikan SBY dan Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014 pada 20 Oktober 2009, perbincangan mengenai kabinet semakin menghangat. Meskipun sejak awal Presiden SBY melalui Hatta Rajasa menyampaikan bahwa struktur kabinet 2009-2014 tak akan berubah, namun banyak pihak tetap menginginkan adanya perampingan kabinet. Usulan dan harapan masyarakat untuk perampingan struktur dan jumlah kabinet merupakan hal yang wajar di alam demokrasi dan memiliki alasan yang cukup kuat serta patut dipertimbangkan. Namun, mengacu pada sistem presidensial yang kita miliki, penentuan struktur dan jumlah kabinet merupakan hak prerogatif presiden sehingga semua pihak bisa lapang dada dengan pilihan presiden. Menengok sejarah, pada awal Orde Baru jumlah kabinet masih ramping, terdiri atas 23 anggota kabinet yang meliputi 5 menteri negara dan 18 menteri yang memimpin departemen. Dari sisi kemampuan dan keterampilan teknis serta teknokratik, anggota kabinet saat itu umumnya sangat andal di bidangnya sehingga dapat dikatakan sebagai kabinet kerja (zaken cabinet). Namun sejalan dengan semakin besarnya kapasitas ekonomi nasional, sejak Pelita IV struktur kabinet mulai melar antara 36 sampai 41 anggota kabinet. Struktur kabinet sekarang, Kabinet Indonesia Bersatu jilid II cukup besar, yaitu 34 menteri dan 2 pejabat setingkat menteri. Dengan demikian, struktur kabinet Indonesia tergolong gemuk, padahal rata-rata di Asia adalah 24 anggota kabinet, bahkan di negara yang sudah mapan seperti negara maju rata-ratanya sekitar 15 anggota kabinet. Barangkali sebagian dapat dimaklumi, karena luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk, serta kompleksnya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Namun, alasan tersebut tidak cukup valid jika ditilik adanya desentralisasi sehingga peran dan fungsi pemerintah pusat semakin menurun. Alasan kompleksitas, luas wilayah, dan besarnya jumlah penduduk juga tidak cukup kuat ketika dibandingkan dengan negara besar dan berpenduduk lebih banyak, seperti Amerika Serikat yang memiliki 17 anggota kabinet atau Jepang yang cukup dengan 14 anggota kabinet. Dari segi efektivitas, struktur kabinet yang besar sering membuat mesin pemerintahan cenderung lambat mengambil keputusan. Idealnya, presiden bisa mempertimbangkan struktur kabinet yang ramping. Namun, hal itu akan berhadapan dengan politik balas jasa yang mengharuskan pembagian kekuasaan di antara mitra koalisi. Alasan politis untuk mengakomodasi mitra koalisi yang dilengkapi dengan hadirnya UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara akan menjadi pertimbangan Presiden SBY untuk memilih struktur kabinet dengan format status quo. Untuk itu, diperlukan upaya lain untuk memastikan bahwa kabinet yang gemuk dapat bekerja lebih efektif dan efisien, yaitu dengan melakukan penataan kembali struktur birokrasi (restrukturisasi). Restrukturisasi yang dilakukan pada tingkat pelaksana (birokrasi) kepemerintahan juga tidak kalah strategisnya, bahkan dalam batas tertentu sangat menentukan. Mekarnya jumlah lembaga pemerintahan yang mencapai 76 institusi, ditambah dengan jumlah provinsi yang mencapai 33 dan kabupaten/kota yang sudah melampaui 450 berdampak pada bertambahnya struktur birokrasi dan eselonisasinya. Setidaknya ada 539 jabatan eselon I (dirjen, sekjen, deputi per Juli 2003) dan 11.237 eselon II (direktur, sekretaris ditjen, asisten deputi per Juli 2009). Alih-alih bersinergi, aktivitas unit kerja di bawah eselon I dan II kadang bertempur memperebutkan lahan yang sama sehingga memperlambat pekerjaan dan pelayanan birokrasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pilihan pemerintahan baru adalah merampingkan struktur birokrasi. Perampingan struktur birokrasi akan sangat membantu efisiensi belanja pemerintah dan sekaligus mempermudah koordinasi antarlembaga yang ada. Berkurangnya struktur birokrasi akan berdampak pada menurunnya biaya ekonomi sebagaimana hipotesis perspektif modern tentang keterkaitan ukuran pemerintahan dan korupsi. Di samping penyederhanaan struktur birokrasi, presiden dituntut terus menerapkan pendekatan carrot and stick yang dilengkapi dengan standar pengukuran kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan melalui implementasi performance measurement. Implementasi performance measurement akan melahirkan potret pejabat sehingga terpetakan antara pejabat yang produktif dan yang tidak produktif. Peta tersebut dapat dijadikan landasan untuk diseleksi secara bertahap dan alamiah, yang produktif diberikan imbalan yang memadai dan yang tidak produktif diberikan pilihan untuk pensiun dini. Pendekatan preventif juga perlu dioptimalkan dengan cara melakukan standar operasi dan prosedur (SOP) yang jelas dan tegas. Adanya SOP memaksa pejabat melakukan layanannya secara prima dan menghindari berbagai perilaku yang dapat mengakibatkan biaya tinggi. Sejalan dengan itu, presiden terpilih perlu mempercepat lahirnya Undang-Undang Pelayanan Publik sehingga mampu mengontrol kinerja pejabat publik. Penulis: peneliti senior di Center for Bureaucracy Studies (CBS) Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Rabu 14 Oktober
Posted on: Sat, 26 Oct 2013 20:51:37 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015