MERENUNGI NEGERIKU DARI SEBUAH KOTA MUNGIL Sudah sepekan aku - TopicsExpress



          

MERENUNGI NEGERIKU DARI SEBUAH KOTA MUNGIL Sudah sepekan aku jejakkan kaki di sebuah kota mungil nan indah di kelilingi perbukitan bak’ mangkuk raksasa menyimpan sejarah peradaban yang cukup tua. Tanah bertemunya berbagai adab para raja di timur nusantara. Sesekali kulirik bangunan-bangunan tua, baik yang berupa kantor maupun rumah-rumah peninggalan kesultanan serta jejak kolonial Belanda dan portugis . Suatu sore yang hampir tua, senja memoles langit keemasan ketika mentari hendak beranjak menemui malam. Aku berjalan santai di jajaran trotoar yang mulai sepi. Angin berhembus pelan membelai kulitku meninggalkan gerah yang baru saja menjauh. Berderet pepohonan trembessi raksasa meneduhi langkahku sepanjang jalan menuju sebuah café yang mulai kuminati. Sejenak aku berhenti, bersandar di batang pohon raksasa itu. Anganku melanglang keruang dan waktu yang jauh kemasa kanakku di kotaku tercinta, Makassar. Disekitar lapangan karebosi jalan-jalannya di penuhi pohon asam dan beringin yang meraksasa pula. Cabang dan ranting menjulang mengangkasa bersama rerimbun daun hijau menyejukkan mata dan hati penduduknya termasuk aku yang lahir, tumbuh dan berkembang di situ. Tapi kini tak ada lagi, pun sekedar sejumput sisa, semuanya raib. Di kota mungil nan indah ini setidaknya di sekitar café “Doble Dipp” yang hendak kutuju masih dipenuhi pohon terembessi raksasa menjulang tinggi dengan rentang batang sekitar empat atau lima rangkulan orang dewasa serta rerimbun daun yang sangat lebat. Anganku kembali meneduhi jiwaku menyaksi dan merasai sejuk dari hembusan angin sepoi dari sela-sela ranting rerimbun daun. Sejenak kubasuh batinku dengan doa semoga pohon-pohon raksasa ini tak diusik oleh siapapun hingga ia sendiri mengalah oleh laju alam yang setia menemaninya. Setelah sejenak aku bersandar di batangnya yang kekar aku lanjutkan langkahku menuju café doble dipp yang menungguku sedari tadi. Kupesan kopi expresso jenis mandailing yang lumayan pahit. Orang di kampungku dahulu kala biasa menyebutnya kopi to’. Kopi yang tak di aduk dan di campur oleh apapun termasuk gula. Kopi to’ bersama ubi dan pisang goreng hangat menemani soreku di hari sabtu setelah beberapa hari suntuk mengerjakan pekerjaan kantor yang kukebut sebab di buru deadline harus selesai paling lambat senin pagi. Santai kunikmati hidangan tradisional ini yang telah merambah hingga ketempat-tempat kuliner berbagai level. Suasana café yang adem di temani “Always Be My Baby”nya, David Cook, penat dan lelahku sedikit gerus menjauhi tubuhku. Jelang magrib kawan sejawat datang menjemputku untuk kembali kepenginapan beristirahat. Beberapa jenak sebelum kepenginapan aku mengelilingi ibu kota propinsi Gorontalo ini yang tak terlalu luas cenderung mungil. Aku suka dan senang masih menemui bangunan-bangunan tua berarsitektur indah dan klasik di tengah-tengah geliat pembangunan yang riuh sebagai propinsi dan kota pemekaran dari Sulawesi utara yang sementara berbenah. Dalam tidurku aku bermimpi bersua mantan walikota Makassar, Haji Muhammad Daeng Patompo, beliau tersenyum sembari berucap dengan nada lembut. Nak..sampaikan kepada calon walikota, kotamu tercinta, Makassar. jangan terlalu banyak mengumbar janji yang mengesani dirinya bodoh. Sebab kerja-kerja membangun kota “serumit” Makassar, letakkan saja visi dan misi yang jelas dan tidak mengambang serta tidak sekedar meniru-niru yang jamak saat ini. sebab yang riuh dari janji-janji yang memenuhi baliho di seantero jalan protocol hanyalah serpihan-serpihan dari substansi pembangunan manusia. Seperti kata Amartya Sen seorang ekonom penerima Nobel dari India “Jadikan manusia sebagai arah tujuan dari pembangunan sehingga pembangunan mesti dilihat sebagai proses pembebasan manusia”. Dan yang penting sekiranya terpilih nanti bekerjalah dengan sungguh-sungguh bukan seolah-olah sungguh. Belum usai mimpiku yang indah itu aku terbangun sebelum subuh memanggilku. Kubuka jendela dari lantai enam tempatku menginap. Kusibak sedikit kain gorden menikmati nuansa malam yang larut kota Gorontalo. Dari ketinggian kuserap indahnya barisan perbukitan yang samar dari gemerlap lampu-lampu kota menyertainya. Menanti subuh yang tak lama lagi datang kusempatkan kembali mengeja buku “Indonesia jungkir balik” dari beberapa penulis yang masih tersisa. Ah…asyik juga menertawai diri sendiri dari fenomena geliat negeriku yang mengendap-endap entah hendak kemana. (jejak-jejak di rantau 24) Pohuwato, 2 juli 2013
Posted on: Fri, 05 Jul 2013 13:11:33 +0000

Trending Topics



w to turn regular foods into fat loss
Another original recipe: Eggplant Italiano by bdukeman 1
CROWDER AUCTIONS Saturday December 20th 6pm Crowder Auctions,
Riding around town looking at all the run down properties is
A select group of Miss Qs Advanced Leaguies today participated in

Recently Viewed Topics




© 2015