MERINTIS SEBUAH JALAN UNTUK KEMBALI KEPADA INTI AGAMA Oleh : - TopicsExpress



          

MERINTIS SEBUAH JALAN UNTUK KEMBALI KEPADA INTI AGAMA Oleh : Biiznillah Mahasiswa program magister jurusan filsafat islam Islamic Collage for Advanced Studi (ICAS) Jakarta Cintaku, izinkan aku menjadi budak damaiMU Dimanapun ada kebencian izinkan aku membawa lilin perdamaian Dan memercikan air cinta kasih - Santo Agustinus- ------------------------------------------ Merold Wespalt, seorang kritikus agama mengetengahkan sebuah pandangan yang berbading terbalik mengenai klaim-klaim agama yang sejak lama mengendalikan streotipe bagi beberapa kata seperti kebajikan, cinta kasih, kedamaian dan keselamatan. Ia mengetengahkan tinjauan sejarah mengenai fakta bagaimana agama telah diterapkan melalui tindakan-tindakan desktruktif terhadap peradaban manusia. Ciri khas dari pola keagamaan ini adalah kecendrungan menafsirkan teks-teks suci dengan pola penafsiran yang tertutup bagi relasi kontekstualnya. Bagi beberapa kalangan pola keagamaan ini disebut juga puritanisme atau fundamentalisme agama dalam bentuknya yang lebih kaku. Baginya puritanisme agama yang berbasis pada tradisi literal telah terlanjur memposisikan orang-orang yang tidak sejalan dengannya sebagai ancaman bagi stabilitas dogma-dogma agama yang diyakini oleh para penafsir teks ini. Realitas ini memunculkan kecurigaan bahwa para pemegang otoritas dalam tradisi literal telah menggunakan fungsi otoritatif sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan-tindakan ilegal dalam pandangan moral. Contohnya, mengambil keuntungan dalam aspek politis maupun ekonomis dengan bersandar pada teks-teks agama atau bahkan melegalkan tindakan-tindakan anti kemanusiaan dengan justifikasi teks-teks agama. Tujuan utama dari narasinya adalah untuk membiarkan para pemeluk agama untuk melihat dirinya sendiri dalam sebuah prisma pikiran-pikiran ini dan dengan jujur mengakui bahwa agama yang menelantarkan akal sehat tidak akan pernah sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir tidak ditemukan disetiap kronologi hitam sejarah dunia yang dapat melepaskan pengaruh agama dalam konteks kejadiannya. Mulai dari konflik bersejarah perang salib (Crushade) yang berbilang-bilang jumlahnya, entnis cleansing serbia dan bosnia, serangan teroris al qaeda 11 september, perang sipil antara para biksu budha dan muslim rohingya, konflik Sunni-Syiah di Irak, pemberontakan kalangan islam garis keras yang didukung asing di suriah, serta konflik-konflik sektarian di indonesia. Sangat sulit untuk menarik relasi-relasi agama untuk menjauh dari bencana-bencana kemanusiaan sejak berabad-abad lalu hingga saat ini. Di sisi lain, tak jarang agama menjadi picu ledak utama bagi kebangkitan masyarakat. Sebagaimana diketahui, mayoritas para filosof timur maupun barat adalah orang-orang dengan kesadaran agama yang begitu kuat. Rene Descartes yang terkenal dengan kecendurnganya terhadap agama adalah salah satu filosof yang meletuskan sebuah gagasan yang menjadi landasan utama epistemologi barat dikemudian hari. Dari pemberontakan rasionalitas Co Gito Er Gosum ala Descartes ini lahirlah berbagai macam aliran epistemologi yang menjadi bahan dasar dari bangunan peradaban barat. Albert Enstein seorang scientis agung, perintis Fisika teoritis dalam bidang subatomik adalah seorang ilmuwan dengan kesadaran agama yang kuat, bahkan Richard Dawkins yang ateis merasa perlu memberi pengecualian bagi Enstein dalam bab awal bukunya Delusion of God untuk menyisihkan sebuah pola kesadaran spiritual yang perlu di hormati bahkan oleh orang-orang ateis sekalipun. Belum lagi sumbangsih para Filosof timur yang terkenal dengan kecendrungan-kecendrungan keagamaan terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Rasanya kita menemukan dua buah cermin yang memantulkan wajah yang berbeda bagi agama. Intinya adalah, kita menemukan sebuah dunia yang benar-benar tidak kondusif bagi latar sejarah dan agama. Dunia faktual yang kini benar-benar menceritakan kepada kita secara utuh bagaiamana agama telah berkontribusi secara masif terhadap kebangkitan atau bahkan kehancuran sebuah masyarakat. Agama yang menjadi titik tolak kebangkitan sebuah masyarakat tak jarang menjadi penyebab utama dari bencana-bencana kemanusiaan, teror dan pemberangusan. Mungkin kita tidak bisa menepis fakta kepentingan-kepentingan lain yang bermain dalam tindakan-tindakan agama berupa kebangkitan maupun kehancuran masyarakat, tapi secara jujur, kita tidak bisa menepis fakta bahwa agama memiliki indepedensi terhadap eksistensinya sehingga tidak bisa dengan serta merta melepas tanggung jawab terhadap pengaruhnya dalam perubahan-perubahan yang terjadi. Agama tetap harus menjadi seorang pesakitan yang menemui takdirnya di pengadilan analisis dan rasionalitas. Belum lama ini Karen Armstrong, seorang penulis yang memiliki atensi terhadap sejarah agama-agama di dunia menawarkan sebuah solusi untuk merespon realitas yang terjadi didalam agama berupa prilaku-prilaku destruktif terhadap kemanusiaan. Armstrong menandaskan bahwa masa depan agama adalah bergantung pada keberanian agama-agama tersebut untuk kembali kepada inti dari keberagamaan yang menjadi karakter utama bagi semua agama yaitu cinta kasih, perdamaian dan keselamatan. Inti dari keberagamaan ini telah lama membias dan tertutup oleh kecendrungan-kecendrungan pragmatis sebagian manusia yang menjadikan agama sebagai instrument utama untuk mencapai tujuan dengan melibatkannya dalam tindakan-tindakan destruktif terhadap kemanusiaan. Armstrong bahkan memberikan pedoman bagi tindakan-tindakan praktis untuk mengaplikasikan bentuk-bentuk tindakan yang mengarah kepada inti agama ini. Namun sekali lagi, tawaran ini tentu tidak begitu saja hadir tanpa mengasumsikan respon terhadapnya. Respon negatif ini tentu akan berasal dari puritanisme yang telah terlalu lama muncul sebagai manifestasi dari keterjebakan agama dalam kepentingan-kepentingan pragmatis anti kemanusiaan yang menggurita. Puritanisme agama bukan lagi menjadi pandangan yang terdiaspora dan hanya menjadi ciri bagi masyarkat tertentu disebuah daerah yang terpencil kemudian menyeruak keluar. Puritanisme agama kini telah menjadi sebuah sistem yang canggih dan terstruktur melalui instrument-instrument modal dan basis-basis politik. Citra menyeramkan dari puritanisme agama kini begitu mudah dibiaskan melalui instrument-instrument informasi yang memutar balikan fakta baik itu karena kepentingan politis maupun ideologis yang dikemudian hari keluar dari persembunyiannya dan menjadi mimpi buruk bagi peradaban manusia. Kita tidak tahu, apakah Armstrong yang datang begitu lambat atau Westpalt yang tiba terlalu cepat untuk meninjau kembali atau bahkan mengentaskan bencana kemanusiaan yang terjadi dengan keterlibatan agama didalamnya. Setidaknya, kita menemukan sebuah titik tolak dari permasalahan ini. Bahwa realitas destruktif ini setidaknya disebabkan oleh tercerabutnya kesadaran kaum beragama terhadap inti dari keberagamaan yakni cinta kasih, perdamaian dan keselamatan. Kesadaran terhadap inti agama ini menjadi basis utama bagi tindakan-tindakan keagamaan yang merespon realitas faktual dengan instrument yang telah menjadi bagian inheren dalam diri manusia yakni rasionalitas atau akal sehat yang berfungsi sebagai penakar makna-makna teks suci. Sekali lagi, kita menemukan bahwa ketercerabutan ini disebabkan oleh kecendrungan irasional dalam bentuk-bentuk keberagamaan yang berujung pada kelalaian kaum beragama untuk merekonstruksi ulang pola-pola penafsiran terhadap teks yang memungkinkan baginya untuk berdialog dengan konteks. Akhirnya, penulis menekankan dalam akhir artikel ini bahwa semangat untuk kembali kepada inti agama seharusnya didasarkan kepada esensi dari kemanusiaan itu sendiri yang membedakan dirinya dari tindakan-tindakan hewani yakni rasionalitas. Sehingga semangat ini bisa terhindar dari bentuk-bentuk romantisme yang tak beralasan yang hanya menyandarkan dirinya pada aspek-aspek parsial dari bentuk-bentuk romantik dari keberagamaan hanya karena menghindari dampak-dampak destruktif dari keunikan setiap agama yang saling beroposisi. Rasionalitas memberikan kearifan kepada setiap pemeluk agama untuk hidup dengan kesadaran agamanya yang unik tanpa perlu mereduksi pokok-pokok keberagamaannya yang tentu saja saling berbeda satu sama lain. Serta dalam waktu yang sama menyadari bahwa dalam noktah fikiran-fikiran dan putusan rasional bermuara pada kebenaran yang identik dengan kebaikan, cinta kasih dan kesalamatan yang menjadi tujuan setiap agama, di dunia. Mahruf Wahono, Ryal Syahrial, Amir Al Hafidz, Fauzi Fauzinov Hasan Shadr, Taufiq Haddad, Mohamed Hatem Haidar Dzulfiqar Dida Sobat Parid Ridwanuddin,
Posted on: Sun, 25 Aug 2013 10:20:37 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015