Mamamo Karya : Sara Tee Bagian 3 Saya capek ngetik :3 SEKALI - TopicsExpress



          

Mamamo Karya : Sara Tee Bagian 3 Saya capek ngetik :3 SEKALI lagi Nerisa memastikan tak ada yang ketinggalan sebelum berangkat sekolah. Ini hari pertamanya di SMA Nusantara II. Dari pakaian, tas, sepatu dan jaket warna cokelat muda kesukaannya. Dengan mengendarai mobil Nerisa siap menuju sekolah. Untung saja jarak antara apartemen dan sekolahnya tidak jauh, jadi kemacetan Jakarta tak sampai membuatnya bete. Tapi tak masalah, toh Nerisa sampai di sekolah lebih awal, masih 20 menit sebelum bel berbunyi. Kehadiran Nerisa mengundang perhatian banyak siswa. Seakan melihat barang baru, cowok-cowok mulai menebar pesona dengan tingkah yang aneh-aneh. Adanya yang merapikan seragam, merapikan rambut yang dibuat menjulang ke atas kayak pohon cemara, ada yang sok jaim pura-pura baca buku tapi matanya melirik, dan sebagainya. Namun Nerisa santai saja dengan langkah yang ia buat sewajar mungkin untuk menutupi kakinya yang sedikit pincang, ia melangkah menuju kelasnya. Sejenak Nerisa bingung. Menurut petunjuk pak satpam tadi, kelas XI IPA 1 ada disebelah kiri ruang guru tapi ada dua ruangan disini. “Anak baru, ya?” Seorang cewek tinggi langsing menghampirinya. “Iya.” Nerisa sedikit malu. Mungkin cewek tinggi itu mengetahui kebingungannya lewat raut wajahnya. “Kelas XI IPA 1 di mana yah?” “Oh... Sini, ayo aku tunjukin.” “Thanks ya.” Nerisa mengikuti langkah cewek tinggi itu menuju kelas. Didalamnya ada beberapa siswa dan siswi yang sedang mengobrol. Ada juga yang duduk di meja. Maklum, pelajaran belum di mulai. Selain itu ada juga yang lagi ngerjain PR, mungkin semalam kelupaan atau sengaja nggak buat PR. Ternyata penyakit di sekolah favorit sama saja. Mungkin yang membedakan gengsinya. SPPnya lebih mahal, gurunya lebih perlente, dan murid-muridnya lebih banyak yang pintar dari pada yang bodoh. Kira-kira begitulah yang pasti dari segi bangunan, SMA Nusantara II memang keren, dan dari segi siswa kayaknya kebanyakan dari kalangan orang kaya. Soal prestasi, dengar-dengar mereka selalu mendapatkan peringat tiga besar dalam deretan sekolah swasta terfavorit di Jakarta. “Gue Rindu. Ketua kelas disini.” Cewek itu ternyata bernama Rindu. Wajahnya standar, maksudnya nggak cantik-cantik amat, tapi kayaknya anaknya asyik di ajak berteman. Ramah, mungkin karena itu dia terpilih jadi ketua kelas. “Gue Nerisa.” Nerisa menyambut tangan Rindu plus bonus senyuman. “Pindahan dari sekolah mana?” “Singapura.” “Wow, keren.” Rindu tersenyum. “Eh, sori, gue tinggal bentar, ya. Tadi gue di panggil kepsek. Kelupaan...” Rindu nyengir. “Oke, terima kasih ya.” “Iya, sama-sama. Santai saja, dan selamat datang di kelas kami.” Tanpa menunggu jawaban dari Nerisa, Rindu pergi. Tampaknya ia tergesa-gesa. Nerisa memandang sekeliling. Beberapa orang melihat kearahnya. Nerisa tersenyum sedikit canggung kepada mereka, lalu duduk di deretan kedua dari belakang. Belum sempat bokongnya menyentuh kursi, seseorang berteriak. “Jangan duduk di situ!” Dina menghampiri Nerisa. Nerisa kebingungan. Ia mengurungkan niatnya untuk duduk. “Maaf ya, kamu pasti anak baru. Saran gue, jangan duduk di situ. Itu tempat duduknya si monster” Dina menyocos begitu saja. Nerisa tampak bingung melihat beberapa teman lain mengangguk seperti membenarkan ucapan Dina. “Gue Dina.” Dina mengulurkan tangan. “Lo bebas duduk di kursi lain, tapi jangan di kursi itu.” “Sori, gue nggak ngerti.” “Kursi itu punya si monster. Gue cuma kasihan sama lo kalo sampai dapat masalah dengan pemilik kursi itu.” “Maaf, gue benar-benar bingung. Apa setiap kursi sudah ada yang punya. Maksud gue...” “Nggak, cuma kursi itu. Tanya aja sama yang lain. Kami semua pernah kena masalah karena duduk di kursi itu.” Nerisa merinding, apakah kursi itu ada penunggunya seperti di film-film hantu bangku kosong. Hiii... Seremmmm. “Duduk sama aku aja yuk...” Seorang cewek berambut keriting menawarkan solusi. “Tapi...” Nerisa makin penasaran, monster apa yang sekolah di tempat ini? Ini benar-benar gila, masa sekolah sebagus ini ada monsternya? “Kalian semua ngapain sih? Bubar... Sebentar lagi bel.” Rindu datang lagi. Rupanya sudah selesai dengan tugasnya. “Kalau mau, duduk saja, Nerisa. Di sini bebas, asal datang lebih pagi bisa duduk di manapun.” “Tapi Rindu... Lo yakin kalo anak baru ini duduk di sini nggak ada masalah?” Tanya Dina ragu. “Sudahlah, Dina, jangan membuat Nerisa nggak nyaman di kelas kita.” Rindu tersenyum. “Silakan.” Ragu-ragu Nerisa duduk di kursi itu. Satu detik... Dua detik... Nggak ada apa-apa. Ia nggak mimpi buruk. Kursinya nggak goyang sendiri. Orang-orang itu berlebihan banget. Ia juga nggak melihat monster seperti yang mereka katakan. Lama-lama Nerisa nyaman juga di kelas itu. Teman-temannya sepertinya semua baik dan welcome banget, ngajakin ngobrol duluan dan bertanya banyak hal tentang dirinya. Sampai tak terasa bel berbunyi. Seorang guru memasuki ruangan. “Selamat siang, anak-anak. Hari ini kita kedatangan satu murid baru pindahan dari Singapura. Silahkan, Nerisa, perkenalkan dirimu.” Nerisa masih sempat melihat sekeliling untuk mencari Freya. Sebelum maju ke depan kelas. Apakah sekarang Freya berubah sehingga Nerisa tak mengenali teman masa kecilnya itu lagi? Tapi sepertinya Freya memang tak ada di kelas ini. “Silahkan, Nerisa.” Ucapan Bu Guru membuat Nerisa tersadar bahwa ia sedang melamun. Di depan kelas Nerisa melayangkan pandangan ke sekeliling, mencoba bicara setenang mungkin. “Nama saya Nerisa Damayanti. Saya pindahan dari sekolah di Singapura. Saya senang sekali berada di kelas ini...” Nerisa sedikit kesulitan karena tak biasa berdiri dan berbicara di depan kelas, namun Bu Septi seakan tahu dan mencoba memecah ketegangan dengan menyuruh beberapa anak bertanya. Rata-rata yang bertanya adalah para siswa. Yang mereka tanyakan pun aneh-aneh, misalnya, sudah punya pacar atau belum, berapa nomor ponselnya, dan sebagainya. Hal itu tentu mengundang tawa seisi kelas. Setelah acara perkenalan selesai. Pelajaran dimulai. Anak-anak itu tenggelam dalam keseriusannya belajar. Mungkin inilah yang membedakan sekolah ini dengan yang lain. Ada saatnya bercanda dan ada saatnya serius. Tapi yang pasti walau Nerisa nyaman berada di kelas itu, masih ada yang mengganjal hatinya karena ia belum menemukan Freya. Mungkinkah ia salah masuk kelas, padahal menurut Om Frans, Freya ada di kelas ini? Apakah ada Freya yang lain? Nerisa merasa harus segera mengetahuinya. Ia tak ingin menghabiskan lebih banyak waktu karena memang tujuannya ia kembali ke Jakarta memang untuk mencari Freya. Walau agak kesulitan, Nerisa mampu mengikuti sistem belajar-mengajar di Jakarta. Tentu ada banyak perbedaan antara pelajaran di Singapura dengan yang di Jakarta, namun sepertinya guru-guru bisa memaklumi. Nerisa sendiri menyadari kemampuan akademiknya tak begitu bagus sehingga ia mesti belajar ekstrakeras nantinya. Kalau perlu ia akan meminta Om Frans mencarikan guru privat supaya ia bisa mengikuti pelajaran. Mengingat sebentar lagi akan ada tes final semester, ia mesti benar-benar mempersiapkan diri. Jam istirahat merupakan waktu yang sangat melegakan bagi para siswa setelah beberapa jam berada dalam ketegangan. Begitu juga dengan Nerisa yang langsung memburu Rindu yang hendak ke kantin. “Gue heran sama diri gue sendiri. Gue suka banget makan dan paling nggak tahan laper. Tapi tubuh gue kok nggak gemuk ya?” Rindu terus nyerocos sambil menuju kantin. “Mungkin karena lo banyak aktivitas.” Nerisa memesan es cendol. Rindu memesan semangkuk bakso dan es jeruk. Nerisa geli melihat cara makan Rindu, kayak orang nggak makan seminggu. Nggak peduli panas dan pedasnya bakso, Rindu terus melahapnya. Beberapa kali ia mengusap keringat yang mengucur di keningnya. “Woi, kok ngeliatin gue kaya gitu sih? Aneh, ya?” Rindu meneguk es jeruk dengan dua sedotan sekaligus. “Cara makan lo asyik banget.” “Lo kalo sudah merasakan bakso di kantin ini pasti ketagihan. Enak banget...” Nerisa tersenyum, tangannya memainkan sendok es cendol yang tinggal separo gelas. “Gue boleh tanya sesuatu nggak? Gue penasaran banget sama ucapan... Siapa tadi... Dina, ya? Yang bilang bangku yang gue duduki kepunyaan monster. Emang di kelas kita ada setan yang bentuknya kayak monster, ya?” Rindu spontan tertawa, hampir saja bakso dalam mulutnya menyembur keluar. Ia terus tertawa, apalagi melihat Nerisa semakin cemberut plus kebingungan. “Sudah dong ketawanya... Serius nih?” Desak Nerisa. “Kamu itu lugu banget ya, Nerisa?” Tawa Rindu telah berhenti. Tangannya mengusap mulut yang sedikit belepotan kuah bakso. “Gini lho, Nerisa.” Rindu melihat sekeliling sejenak, memastikan tak ada orang yang menguping pembicaraan mereka. “Bangku itu sering diduduki teman kita yang sifatnya sedikit aneh. Makanya anak-anak sering menjulukinya monster.” “Maksudnya aneh?” “Ya... Aduh, sebenarnya nggak enak juga ngomongin orang. Tapi ya sudahlah, orang itu nggak punya teman karena dia tertutup. Nggak mau bergaul dengan kita-kita. Masuk sekolah pun jarang, tapi orangnya pinter. Sayang banget, ya?” “Kasihan juga ya?” Komentar Nerisa. “Dan dia akan marah kalo bangkunya diduduki orang. Kalo dia pas nggak masuk sih no problem. Tapi kalo dia masuk, mendingan lo pindah bangku karena dia bisa marah. Marahnya juga aneh, nggak banyak bicara. Cuma menatap dingin, makanya dikatain monster karena tatapannya menakutkan,” cerita Rindu. “Wow... Menarik banget,” kata Nerisa. “Udahlah, entar juga lo tahu orangnya. Jujur gue nggak enak ngomongin dia kayak gini. Gue juga pengin suatu saat nanti dia bisa berubah. Bagaimanapun sebagai ketua kelas gue pengin kelas kita nyaman,” kata Rindu. “Hebat, idealis banget,” kata Nerisa kagum. “Satu pertanyaan lagi...” Rindu menarik napas panjang, “Oke, apaan?” “Hm... Apa di kelas kita ada yang bernama Freya?” “Freya?!” Rindu melotot. “Wajah kamu lucu kalo melotot gitu. Kayak Momo, boneka monyet gue.” Nerisa tertawa lebar melihat raut wajah Rindu. “Sialan lo... Lo nyamain gue dengan monyet...” “Habis wajah lo lucu banget. Emangnya aneh ya kalo gue tanya tentang Freya?” “Ya, iyalah. Emang dari tadi gue belum menyebut nama Freya, ya?” Tegas Rindu. Dahi Nerisa berkerut. “Seingat gue belum. Dari tadi kita kan ngomongin monster.” “Nah itu dia masalahnya. Freya itu monsternya.” Jantung Nerisa berdegup kencang. Ia sungguh tak percaya bila Freya sampai disebut monster. Pasti ada kesalahan. Nggak mungkin teman kecilnya yang dulu periang bisa sampai nggak punya teman. Pasti bukan Freya yang Nerisa maksud. Pasti Om Frans salah informasi. Duh... Gimana nih, terlanjur ngedaftar di sekolah ini. “Nerisa, kok bengong sih?” Nerisa menarik napas panjang, mencoba kembali ke alam nyata setelah beberapa saat melanglang buana dengan alam pikirannya. “Nggak, sebenarnya gue mencari sahabat kecil gue. Namanya Freya dan dia sekolah di sini. Tapi kayaknya gue salah orang. Freya yang gue kenal itu suka bercanda, orangnya asyik dan suka jail. Dia juga pantai memanjat pohon kayak monyet.” Rindu nyengir. “Ya, moga-moga aja bukan Freya yang gue kenal. Lo tahu namanya Freya sapa gitu... Nama panjangnya?” “Gue nggak tahu, tapi gue tau rumahnya kok. Entar gue kesana.” “Nah, gitu lebih pasti.” Rindu melihat jam di tangannya. “Udah mau bel, gue bayar makanan dulu. Es cendol lo gue bayar sekalian.” “Wow, beneran? Thanks ya?” Seru Nerisa gembira. “Tapi lain kali gantian. Lo yang bayarin. Oke?” Nerisa nyengir. “Oke, tapi ada limitnya. Nggak boleh porsi jumbo.” “Sip... Lo tenang aja.” Rindu berlalu. Rindu memang asyik. Cepat sekali Nerisa akrab dengan Rindu. Namun Nerisa nggak mau percaya begitu saja pada Rindu. Apalagi Rindu mengatakan bahwa Freya itu dingin, seram, nggak punya teman di sekolah sampai dijuluki monster. Pasti itu bukan Freya teman kecil Nerisa. Rasa penasaran Nerisa dituntaskan dengan mencari Freya di rumahnya. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya Nerisa merasa banyak kenangan yang kembali. Ia juga sempat melihat rumah mereka yang dulu. Sekarang sudah dibeli orang dan direnovasi. Ia hampir tak bisa mengenali rumah itu. Banyak sekali perubahan di lingkungan itu, bahkan Nerisa sempat tersesat, namun setelah tanya beberapa orang ia dapat menemukan rumah Freya. Rumah besar itu juga mengalami banyak perubahan. Tampak tak terurus. Halaman depan kini ditumbuhi rumput liar. Ia ingat dulu Mama Freya paling suka menghabiskan waktunya merawat tanaman anggrek di depan rumahnya, namun sekarang rumah itu tampak sepi. Nerisa melangkah menghampiri pintu rumah bercat kuning gading itu. “Freya-nya ada, Bi?” Pembantu Freya sepertinya tak mengenali Nerisa. “Freya-nya pergi. Non teman sekolahnya?” “Bi Narsi lupa ya sama saya?” Tanya Nerisa. Bi Narsi tampak berpikir keras, “Non Nerisa, ya?” “Iya, Bi... Akhirnya Bibi ingat.” Bi Narsi girang banget. Nerisa tertawa lebar. “Sekarang Non Nerisa cantik banget. Bibi sampai lupa...” “Ya... Maklumlah, Bi, sudah lama banget jadi lupa.” Nerisa melongok ke dalam ruangan. “Freya-nya pergi ya, Bi?” “Iya, dari pagi,” jawab Bi Narsi. “Hm... Ya udah, entar saya balik lagi.” “Nggak masuk dulu?” Tawar Bi Narsi. “Nanti saja, Bi, saya pasti kembali. Mau cari buku dulu di toko.” Nerisa pergi meninggalkan rumah itu. Sayang banget ia nggak bisa ketemu dengan Freya. Mungkin belum saatnya. Tapi masih ada banyak waktu. Setidaknya Freya nggak ke mana-mana. Rumahnya masih di sini dan nggak pindah, jadi akan mudah bagi Nerisa menemukan Freya. Mrs :3 huft capek
Posted on: Tue, 08 Oct 2013 08:54:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015