Masa Depan Dokter Lokal Oleh : Ario Djatmiko Ketua bidang penataan - TopicsExpress



          

Masa Depan Dokter Lokal Oleh : Ario Djatmiko Ketua bidang penataan praktik global PB IDI Padang Ekspres • Sabtu, 21/09/2013 11:54 WIB • 129 klik SEORANG pasien minta ketemu di luar jadwal. Ibu sederhana itu datang dengan ditemani putrinya, duduk tertunduk. ”Ini soal anak saya, Dokter,” ujarnya lirih. Lama dia menerangkan prestasi akademis cemerlang putrinya. ”Tolong, Dokter, bantu anak saya agar bisa masuk Fakultas Kedokteran Unair. Masuk kedokteran tidak mudah untuk orang biasa seperti saya, saya bukan dokter,” ucap dia. Saya terdiam, tidak siap dengan jawaban. Sorot mata penuh harap sang ibu sungguh me­ngusik nurani. ”Mengapa putri Ibu ingin jadi dokter? Pikirkanlah kembali, Bu, saya sendiri tidak menganjurkan anak saya jadi dokter. Dokter itu profesi yang teramat berat,” kata saya. Lalu, saya terangkan, ada tanggung jawab profesi, keilmuan, dan keterampilan. Setiap kata dan tindakan dokter tidak pernah lepas dari batasan etika, moral, dan tanggung jawab hukum. Tidak ada profesi yang mempunyai tanggung jawab sebesar itu. Dokter itu profesi yang amat mulia. Tapi, di tangan yang salah, profesi itu bisa menjadi amat kejam. ”Godaannya banyak, Bu. Kita tak bisa menghindar dari pertanggungjawaban Allah. Me­nu­rut saya, masuk FK dengan cara titipan itu tidak baik. Saya tidak akan me­la­ku­kan hal seperti itu walaupun untuk anak saya sendiri,” ujar saya. Dialog saya tutup dengan kalimat, ”Saya bukan siapa-siapa, Bu, hanya dosen biasa, tidak punya kuasa me­masukkan mahasiswa ke FK Unair.” Tetapi, dengan ngotot sang ibu me­nye­rahkan nama dan nomor ujian putrinya kepada saya. Dengan perasaan serbasalah, fo­to­kopi nomor pendaftaran saya terima. Be­berapa hari kemudian sang ibu da­tang. ”Terima kasih banyak, Dok. Atas bantuan Dokter, anak saya bisa di­te­rima di FK Unair,” ujar sang ibu. Saya harus jujur, ”Putri Ibu me­mang diterima karena kemampuannya sendiri. Saya tidak melakukan apa-apa.” Sampai saat ini, FK tetap pilihan utama. Peminatnya terus meningkat. Fakultas kedokteran baru ber­mun­cul­an, biaya masuk luar biasa. Rumor be­re­dar, sebagian besar kursi FK per­gu­ruan tinggi negeri terpandang di­siapkan untuk putra-putri para dokter dosen. Peluang spesialisasi hampir se­penuhnya diisi anak kolega. Benarkah? Wallahu a’lam! Kalau rumor itu benar, sungguh bencana besar untuk masa depan dokter Indonesia. Ruang kom­petisi yang sehat hilang dan peluang lahirnya bibit unggul pun ikut hilang. Sung­guh nepotisme tidak patut di­la­ku­kan pendidik. Bagaimana masa depan dokter lokal di negeri ini? Tulisan dr Datuk Kuljit Singh, Sekjen Malaysian Medical Association, di Jurnal MMA 2012 layak kita simak: Masa depan dokter di Malaysia amat suram. Doctors are going to face very difficult times regardless of whether they are in the public or the private sector. We face a potential disaster in terms of remuneration doctor income. Phillomene Lensen, overseas nurse consultant dari Maastricht, menyebut, di Belanda justru tidak banyak lagi anak muda yang berminat jadi dokter. Sebab, pemerintah telah membatasi penghasilan dokter. Tentang masa depan dokter di negeri ini, Ketua PB IDI dr Zainal Abidin MPH mengemukakan kece­ma­san­nya. ”Ke depan, dokter hanya mem­pu­nyai dua pilihan: bekerja di klinik la­ya­nan primer/rumah sakit sebagai buruh atau ikut memiliki sebagai pemegang saham. Sebagai buruh, nasib dokter sepenuhnya bergantung pada sang majikan,” tutur dia. Zainal me­na­war­kan solusi: koperasi dokter. Awal 2014 BPJS (Badan Pe­nye­leng­gara Jaminan Sosial) resmi berjalan dan 2015 AFTA (ASEAN Free Trade Area) hadir. ASEAN plus aturan main­nya sepenuhnya berlaku di NKRI. Dunia medik di negeri ini terimbas dan akan terbagi dua: ruang pasar ASEAN dan ruang BPJS. Di ruang pasar ASEAN, industri kesehatan global men­dapat tempat terhormat untuk berkompetisi. Sedangkan ruang BPJS disediakan untuk kaum yang tersingkir dari ”pasar ASEAN”. Mudah ditebak, gap layanan kesehatan di dua ruang tersebut akan sangat besar. Namun, ada kesamaan mendasar. Layanan medik di dua ruang itu tidak lagi merupakan layanan pribadi dokter, melainkan ”produk” layanan yang ter­sistem dan terukur. Harga dan kua­litasnya harus jelas untuk si pem­be­li atau si pembayar. Peluang dokter untuk menjalankan profesinya sebagai layanan pribadi hilang. Praktik pribadi tidak akan kuat memikul tekanan teknologi. ”Good bye solo player, do not expect quality from fragmented care,” pesan Mitra dari Tata Memorial Hospital. Benar, ke­ha­di­ran era korporasi di dunia medik tak ter­hindarkan. Rumah sakit supermewah terus bermunculan. Para pengusaha besar di bidang kesehatan sibuk menyiapkan diri untuk mengisi ruang pasar ASEAN. Ke­hadiran pemodal asing di bisnis ke­se­hatan tak terelakkan. Hadir de­ngan sis­tem yang teruji, global brand yang kuat, dan network luas. Juga, ma­nu­sia­manusia (baca: dokter) yang match dengan persyaratan global dan ke­bu­tu­han pasar ASEAN segera hadir di bu­mi ini. Lantas, bagaimana nasib dokter lokal? Pertanyaan ini harus dijawab!(*) [ Red/Administrator ]
Posted on: Sun, 22 Sep 2013 05:39:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015