Masa pra-Permesta Maret 1950 Ny. A.M. Waworuntu menjadi Waikota - TopicsExpress



          

Masa pra-Permesta Maret 1950 Ny. A.M. Waworuntu menjadi Waikota Manado untuk tahun 1950-1951. Pada pemilihan umum di kota Manado pada akhir tahun 1949, Ny. A.M. Waworuntu terpilih menjadi Walikota Manado, dan baru disahkan pada bulan Maret 1950. Dengan demikian Ny. Waworuntu adalah walikota wanita pertama di Indonesia. Sejarah kota Manado dimulai tahun 1919 dengan membentuk Dewan Kota (gemeente-raad). Pada awalnya, Asisten-Residen afdeling Manado merangkap Kepala Kota Manado. Nanti pada tahun 1928 barulah kota Manado memiliki seorang Walikota. pada tahun 1947 Manado dijadikan kotapraja tak sejati (neo-stadsgemeente) dan merupakan bagian dari Daerah Minahasa. Pada tahun 1954 barulah Manado dijadikan Kota-Besar setingkat Daerah Swatantra Tongkat II (DATI II) - Kota Madya Manado (Kodya Manado), dan memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kemudian pada Masa Orde Reformasi, Kota Madya Manado berubah menjadi Kota Manado, dengan memiliki Dewan Kota (sebelumnya DPRD). 20 Juni 1950 Wilayah Komando Tentara & Territorium VII - Indonesia Timur (TT-VII/TTIT) didirikan. Wilayah ini meliputi daerah 4 provinsi, yaitu provinsi Sulawesi, provinsi Sunda Kecil (Nusatenggara), provinsi Maluku, provinsi Irian Barat (yang masih dikuasai Belanda). Pada tahun 1951, Letkol Alex Kawilarang menjadi Panglima Komando TT-VII/TTIT selama beberapa bulan lamanya sampai bulan November, ketika tanggal 10 November ia secara resmi menjadi Panglima Komando TT-III/Siliwangi dengan pangkat Kolonel. 7 Agustus 1950 Langkah Kolonel Alex Kawilarang yang sulit dilupakan masyarakat politik pada tahun limapuluhan ialah ketika ia menempeleng Letkol Soeharto di Makassar saat sedang menumpas pemberontakan RMS dan pasukan KNIL/KL (KNIL=Koninklijke Nederlands Indisch Leger /Tentara Hindia Belanda, KL=Koninlijk Leger /Tentara Kerajaan Belanda). Kolonel Alex Kawilarang marah karena selaku Panglima TT-VII/TTIT ia baru melaporkan kepada Presiden Soekarno (tanggal 4-5 Agustus) bahwa keadaan di Makassar sudah aman. Tetapi Soekarno menyodorkan radiogram yang baru diterimanya bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar hari Jumat, tanggal 5 Agustus. Ternyata pasukan yang harus mempertahankan kota Makassar yaitu Brigade Garuda Mataram telah melarikan diri ke Lapangan Udara Mandai. Maka tidaklah mengherankan bahwa Kolonel Alex Kawilarang menjadi marah dan hari Senin ini buru² kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara Mandai ia langsung memarahi komandan Brigade Garuda Mataram Letkol Soeharto: sirkus apa²an nih? kata Kolonel Alex Kawilarang sambil menempeleng pipi Letkol Soeharto. Maka dapatlah dimengerti, akibat peristiwa tersebut, hingga saat Alex Kawilarang meninggal, Presiden Soeharto tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Penghargaan kepada A.E. Kawilarang secara resmi baru diberikan pada 1999 yang lalu, sewaktu Presiden B.J. Habibie berkuasa. 6 September 1950 Pembentukan Kabinet Natsir, kabinet pertama setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet, dan intinya adalah Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 21 Maret 1951. 10 November 1950 Serah terima jabatan Panglima Komando Tentara & Territorium III/Siliwangi dari Kolonel Sadikin kepada Kolonel Alex E. Kawilarang di Bandung. Upacara tersebut dihadiri oleh KSAD Kolonel A.H. Nasution, Menteri Sewaka, Menteri Suwiryo, Menteri Arnold Mononutu, Kapolri Sukanto, Jaksa Agung Suprapto dan Letkol Sutoko. Serah terima jabatan Panglima TT-IIII/Siliwangi kepada Kol. A.E. Kawilarang 27 April 1951 Kabinet Soekiman terbentuk di bawah Perdana Menteri Soekiman. Kabinet ini adalah suatu kabinet koalisi antara kedua partai terbesar waktu itu, yakni Masyumi dan PNI. Kabinet ini jatuh pula dan menjadi kabinet demisioner sejak tanggal 23 Februari 1952 sampai terbentuknya kabinet baru. 3 April 1952 Kabinet Wilopo terbentuk dibawah Perdana Menteri Wilopo (PNI), yang juga merupakan koalisi kedua partai terbesar, yaitu Masyumi dan PNI. Kabinet ini jatuh pada tanggal 3 Juni 1953, dan menjadi kabinet demisioner sejak saat itu. 15 April 1952 Kolonel Alex E. Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko Terr-III). Komando pasukan khusus ini memakai baret merah mengikuti kesatuan komando Belanda. Ide pembentukan kesatuan komando ini timbul oleh pengalamannya melawan Pemberontakan RMS di Maluku. Saat itu ia bersama Letkol Slamet Ridjadi (Brigjen Anumerta) cukup mengalami kesulitan menghadapi RMS Baret Merah dan bercita² mendirikan satuan komando semacam itu yang tangkas dan cepat. Kol. Kawilarang sangat menaruh perhatian yang besar pada latihan² komando ini. Komandan Kesko Terr-III/Siliwangi adalah Mayor Mohammad Idjon Djanbi (seorang berkebangsaan Belanda yang dulunya bernama Visser), dengan markas komandonya di Batujajar - Jawa Barat. Begitu pesatnya perkembangan dan keunggulan kesatuan ini sehingga pada tahun 1953 Kesko TT-III/ Siliwangi ditimbangterimakan kepada Inspektorat Infanteri MBAD. Namanya kemudian diubah menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), kemudian diubah lagi menjadi RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat), Palu RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), kemudian Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha), kemudian terakhir menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Kelak pada masa Pergolakan Permesta (Pemberontakan PRRI) pada tahun 1958-1961, kesatuan ini menjadi tulang punggung untuk menumpas Permesta dimana saat itu Alex Kawilarang sebagai Panglima Besar pasukan Permesta, dengan demikian seluruh bekas anak buahnya berbalik menyerangnya sebagai lawan dalam pertempuran. 17 Oktober 1952 Momen yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952, dilakukan oleh para perwira militer /TNI-AD yang merasa tidak puas akan kinerja pemerintahan RI saat itu, dimana pemerintah terlalu mencampuri urusan dalam tubuh TNI dan menyingkirkan perwira² yang tidak disukai mereka. KSAD - Kolonel Abdul Harris Nasution, KSAP - Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang, Panglima TT-III/Siliwangi Kolonel Alexander Evert Kawilarang, serta beberapa perwira tinggi TNI lainnya menemui Presiden Soekarno di istananya di Jakarta, menuntut presiden untuk membubarkan Parlemen dan membentuk Parlemen baru. Hal ini menimbulkan kemarahan dari Presiden. Kemudian, KSAD menyatakan bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa itu dan mengajukan permohonan berhenti kepada Pemerintah. Juga Jenderal Mayor T.B. Simatupang mengundurkan diri, dan jabatan KSAP selanjutnya ditiadakan. 16 November 1952 Kepala Staf TT-VII/TTIT Letkol Jacob Frederik (Joop) Warouw mendaulat Kolonel Gatot Subroto sebagai Panglima TT-VII/TTIT akibat Panglima TT-nya berada di Kelompok pro-17 Oktober. Reaksi rakyat di Makassar atas tahanan rumah bagi Kolonel Gatot Subroto dan tahanan asrama bagi polisi militer Jawa ini cukup besar (CPM), menangkap inti dimensi daerah dalam peristiwa ini: Orang² Jawa dilucuti orang Manado. Kemudian ia menjadi penjabat sementara Panglima TT-VII/TTIT tanggal 5 Januari 1953, dan pada tanggal 1 Agustus 1954 resmi sebagai Panglima TT-VII/Indonesia Timur dengan pangkat Kolonel. Kepala Staf TT-VII/Wirabuana saat itu dijabat oleh Letkol H.N. Ventje Sumual, yang sebelumnya adalah Kasi-I Inspektorat Infanteri di Bandung. Tahun 1955 Mayor D.J. Somba menjadi Assisten II/Personalia di TT-VII/Wirabuana, dan pada bulan Desember 1956 menggantikan Letkol H.V.Worang sebagai Komandan RI-24 di Manado. Saat Joop Warouw inilah TT-VII diberi nama WIRABUANA (oleh Kolonel Ahmad Yani) dari bahasa Sansekerta yang artinya: negeri yang terang, dimana Wira = satria, terang, dan Buana = wilayah/daerah, karena wilayah ini adalah wilayah matahari terbitnya Indonesia, dan juga wilayah/daerah ini disiapkan untuk suatu wilayah militer. 20 Juni 1953 Wilayah Komando Tentara & Territorium VII resmi diberi nama WIRABUANA (oleh Kolonel Ahmad Yani) dari bahasa Sansekerta yang artinya: negeri yang terang, dimana Wira = satria, terang, dan Buana = wilayah/daerah, karena wilayah ini adalah wilayah matahari terbitnya Indonesia, dan juga wilayah/daerah ini disiapkan untuk suatu wilayah militer. Hari ini diperingati KODAM VII/Wirabuana sebagai HUT-nya. 1 Agustus 1953 Setelah krisis 58 hari lamanya, Kabinet Ali-Wongso terbentuk dengan Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) dan Wakil Perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (Partai Indonesia Raya, PIR). Dalam kabinet ini Masyumi tidak turut serta, tetapi Nahdlatul Ulama (NU) duduk di dalamnya. Kabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955. 1954 Status kota Manado dijadikan Kota-Besar dengan kedudukan sebagai Daerah Swatantra Tingkat II dipisahkan dari Kabupaten/Daerah Swatantra II Minahasa pada tahun 1954. Dengan peningkatan status Manado menjadi Kota-Besar, timbullah persoalan pemindahan ibukota Daerah Minahasa dari kota Manado. Hal ini berlarut² sehingga nanti pada tahun 1959 dengan melalui Parlemen RI, Pemerintah Agung di Jakarta menetapkan Tondano menjadi ibu kota dari Daerah Minahasa. Pemindahan Pemerintahan Daerah Minahasadari Manado ke Tondano telah direncanakan mulanya akan berlaku pada tahun 1961. Tahun 1954 ini juga kota Bitung dijadikan pelabuhan samudera. Pembangunan Bitung menjadi pelabuhan telah dipersiapkan sejak tahun 1950. Peresmiannya nanti berlaku pada tahun 1954. September 1954 Mayor Jan Maximillian Johan Nun Pantouw dinonaktifkan dari dinas militer TNI dalam kapasitasnya sebagai Asisten I (Intelegen) pada TT-VII/Wirabuana akibat keterlibatannya dalam penyelundupan kopra atas nama Staf Komando TT-VII/Wirabuana. 1 Oktober 1954 Wilhelmina Bertha (Nona) Politon memelopori pendirian Universitas (swasta) Pinaesaan (yang berarti persatuan) di Tondano, ibu kota Kabupaten Minahasa, pada 1 Oktober 1953. Kota Tondano dipilih menjadi lokasi pusat Universitas Pinaesaan, karena pertimbangan banyak anak muda yang nakal dan miskin hidup di kota itu pada masa itu, katanya. Semula dibentuk sebuah Panitia Perguruan Tinggi Sulawesi Utara pada tanggal 8 Februari 1953 yang kemudian diubah menjadi Yayasan Universitas Pinaesan yang diketuai Nona Politon. Universitas Pinaesaan waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum. Pada tahun 1958 saat pergolakan Permesta, Universitas Pinaesaan dipindahkan dari Tondano ke Manado. Lewat proses pengembangan Universitas Pinaesaan, wanita kelahiran 4 Agustus 1923 ini berhasil membangun hubungan kuat dengan Menteri Pendidikan RI saat itu, Prof Mr Moh Yamin. Bersama sejumlah pejuang pendidikan lainnya, Nona Politon meminta pemerintah pusat mendirikan perguruan tinggi di Manado. Alasannya sederhana. Akan makan biaya mahal, bila setiap anak muda Sulawesi Utara yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, harus pergi ke Pulau Jawa. Kalaupun terpaksa ke Jawa, kata Nona Politon, juga tidak banyak orang yang mampu membiayai dan bisa mengecap bangku pendidikan tinggi. Usaha ini ternyata mendapat tanggapan positif Prof Mr Moh. Yamin. Nasib Universitas Pinaesaan sendiri tidak cerah terutama karena kendala pergolakan Permesta, 1958-1960. Menyusul selesainya pergolakan, minat kaum muda, lulusan SLTA, lebih terarah ke perguruan tinggi negeri, IKIP dan Universitas Sam Ratulangi. Universitas Pinaesaan ini kemudian oleh pemerintah digabung dengan Universitas Permesta pada masa pergolakan Permesta menjadi Perguruan Tinggi Manado (PTM), lalu Universitas Sulawesi Utara (UNISUT, kemudian menjadi UNSRAT)pada tanggal 17 September 1961. November 1954 Panglima TT-VII/Wirabuana (Indonesia Timur), Letkol Joop Warouw mulai bulan ini mengizinkan ekspor kopra tanpa melalui prosedur yang biasa, yaitu dengan melakukan barter. Kegiatan ini memang akhirnya dihentikan oleh Jakarta setelah salah satu kapal yang mengangkut kopra ditahan pihak Angkatan Laut (ALRI). Letkol Warouw dan stafnya diperiksa Jaksa Agung Abdul Mutalib Moro serta pihak ALRI. Beberapa orang dibebastugaskan, sekalipun Letkol Warouw sendiri tetap menjabat panglima. 1955 Dalam sebuah statistik, penduduk Minahasa berjumlah 525.606 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%. Januari 1955 Para petani di Sulawesi Utara mengambil alih kantor dan fasilitas Yayasan Kopra di Manado yang dikelola oleh Kementrian Perekonomian, dan mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa bulan berikutnya. Kegiatan ini mendapat sokongan penuh dari pimpinan militer setempat. Yayasan Kopra didirikan pada masa penjajahan, berpusat di Makassar, tetapi pada tahun 1950 dipindahkan ke Jakarta. Yayasan itu dianggap kurang bijaksana terutama karena melakukan diskriminasi harga. Mutu kopra di Minahasa yang jauh lebih tinggi dari pada mutu kopra Jawa dihargai lebih rendah oleh Yayasan Kopra. Selain itu, karena kekurangan dana, Yayasan Kopra membayar para petani dengan bon, yang menurut perjanjian akan ditebus dengan uang yang sesuai jumlahnya. Tetapi pelunasan itu tidak kunjung dilaksanakan, sehingga sejumlah petani terpaksa memperjualbelikan bon² (kupon²) tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada bulan November 1955, wilayah² penghasil kopra lainnya pun menyusul mendirikan yayasan sendiri. Maka berdirilah Yayasan Kelapa Sangir Talaud, Yayasan Kelapa Bolaang Mongondow, dan Yayasan Kelapa Gorontalo. 4 Februari 1955 Terbentuknya Yayasan Kelapa Minahasa (YKM) dengan tokohnya Jan M.J. (Noen) PANTOUW, kemudian mengadakan perdagangan barter Kopra sebagai penyelundupan terselubung ke luar negeri yang memuncak pada bulan Februari April 1956 dengan masuknya 6 buah kapal asing di pelabuhan Bitung yang mengangkut 25.000 ton kopra. YKM lalu melebarkan sayapnya sampai di Singapura dengan nama Eastern Produce Agency, Ltd.. Disamping itu, dua orang tokoh yang cukup berperan dalam perdagangan barter kopra di Minahasa yang dimulai oleh Letkol Hein Victor Worang (Komandan Resimen Infanteri 24 /RI-24 di Manado) dan penggantinya, Panglima KDM-SUT (sebelumnya Resimen Infanteri / RI-24) Mayor D.J. Somba. Namun nasib Mayor H.V. Worang selanjutnya setelah pihak pusat memantau aksi perdagangan barter tersebut adalah diganti bulan Desember 1956 dan ditawari studi lanjut ke luar negeri, kemudian ditugasi di Sumatera Selatan selaku Komandan RI-6/TT-II di Tanjungkarang, Lampung. Di sana ia bertindak sebagai Komandan TT-II, Letkol. Barlian, pada Musyawarah Nasional bulan September 1957. 12 Februari 1955 Panglima TT-VII/Wirabuana menyusun organisasi untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dengan cara barter yaitu dengan cara melegalisasikan kegiatan barter tersebut. Hari ini, ia mengangkat Mayor M. Saleh Lahede sebagai perwira yang menangani OPI X TT-VII (Opsir Pekerjan Istimewa X TT-VII) yang langsung berada di bawah panglima. Tugas Mayor Saleh Lahede adalah mengkoordinasi ekspor di Bitung dan di Morotai (besi tua). Namun penyelenggaraan perjudian kasino di kota² besar, yang telah dilakukan dalam rangka mencari dana itu, dihapus oleh Mayor Saleh Lahede. Dana yang diperoleh OPI X TT-VII digunakan untuk membiayai opeasi militer dan kegiatan sosial ekonomi. April 1955 Mayor M. Saleh Lahede mendapat kepercayaan Pejabat Gubernur untuk menangani Yayasan Kopra di Makassar dengan mendirikan Yayasan Kopra Sulawesi berkedudukan di Makassar yang berusaha mengkoordinasi seluruh perdagangan kopra di pulau Sulawesi. 12 Agustus 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap terbentuk, yang merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedangkan PNI menjadi partai oposisi. 22 September 1955 Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) berdiri di Tondano atas usaha Nona Politon dan Prof Mr G.M.A. (Laan) Inkiriwang yang menjadi Dekannya, berdasarkan SK Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI No. 2450/Kab/55.. Karena pengalaman Nona Politon dalam memroses dan mendirikan Universitas Pinaesaan (yang berarti persatuan), Prof Moh Yamin lalu menugaskan Nona Politon menyiapkan pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Sulawesi Utara. Perguruan Tinggi ini mulanya menjadi cabang fakultas pada Universitas Hasanuddin Makassar di Tondano. Dana yang dipakai antara lain atas bantuan dari TT-VII/Wirabuana dengan ekspor kopra (oleh administrasi pemerintah dianggap penyelundupan kopra). PTPG ini kemudian berubah namanya menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Tondano di Manado yang berafiliasi ke FKIP Makassar (FKIP Unhas Tondano) pada tahun 1956-1958, dan akhirnya berkembang menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Tondano di Manado pada waktu pergolakan Permesta berakhir. Karena gangguan keamanan FKIP Unhas di Tondano hijrah dari Tondano ke Manado pada bulan Agustus 1958 tanpa perntah dari Depdikbud atau Pemerintah Pusat. Setelah itu, pada tahun 1994, IKIP Negeri Manado secara resmi dipindahkan dari Manado ke Tondano dan menjadi IKIP Negeri Tondano (Fakultas POK, FMIPA, Fakultas Pendidikan Teknik sudah menyusul sebelumnya), akhirnya menjadi Universitas Negeri Manado (UNIMA) pada bulan September 2000. Sebelum IKIP menjadi UNIMA, waktu itu namanya adalah Universitas Negeri Walanda Maramis yang akhirnya tidak disetujui namanya sehingga ternyata yang disetujui adalah nama UNIMA. UNIMA kini menempati kampus seluas 400 hektar di areal perkebunan Tonsaru Tondano. Sejak didirikan hingga sekarang, UNIMA telah menghasilkan ribuan sarjana dari berbagai strata (S1, S2, dan S3). 29 September 1955 PEMILIHAN UMUM Pertama di Indonesia, untuk memilih anggota DPR, dengan sistem demokrasi liberal. Hasilnya Masyumi (60 kursi), PNI (58 kursi), NU (47 kursi), PKI (32 kursi) sebagai partai terbesar. DPR hasil pemilihan umum beranggota 272 orang, yang dilantik pada tanggal 20 Maret 1956. Sedangkan di Minahasa, partai yang mendominasi adalah PNI, PSI dan Parkindo. 28 Oktober 1955 Kabinet Ali-Wongso memutuskan untuk mengangkat Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD, yang mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat yang dijabat sementara oleh Wakil Kepala Staf AD Kolonel Zulkifli Lubis. Sebelumnya, KSAD yang lalu, Jenderal Mayor Bambang Sugeng mengundurkan diri, dan pelantikan penggantinya Kolonel Bambang Utojo sebagai KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 diboikot oleh perwira² Angkatan Darat. A.H. Nasution selanjutnya dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Mayor. (pangkat Brigadier Jenderal belum dikenal dalam sistem perpangkatan TNI saat itu). 10 November 1955 Yayasan Kopra di daerah Sangihe-Talaud (Satal), Bolaang-Mongondow (Bolmong), dan Gorontalo diambil alih ; sekalipun hanya Yayasan Kopra Sangihe-Talaud yang diakui Pemerintah Pusat. 15 Desember 1955 Pemilihan Umum kali ini untuk pemilihan anggota-anggota Konstituante (Sidang Pembuat Undang² Dasar). Anggota Konstituante berjumlah 542 orang, yang dilantik pada tanggal 10 November 1956 1956 Dalam statistik Balai Konsultasi Ekonomi - R.C. Lasut, penduduk Minahasa pada tahun 1956 berjumlah 543.936 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%. 3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap menyerahkan mandatnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955. 24 Maret 1956 Kabinet Ali II terbentuk, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Kabinet ini merupakan kabinet pertama setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Partai pendukung Kabinet ini ialah PNI, Masyumi dan NU serta beberpa partai kecil lainnya. PKI sendiri tidak masuk dalam Kabinet karena masuknya komunis dalam Kabinet masih ditentang oleh beberapa pihak mengingat tindakan² PKI di masa lalu, terutama Pemberontakan PKI di Madiun. 2 April 1956 RUU yang membatalkan seluruh perjanjian KMB secara unilateral yang diajukan Kabinet, disetujui secara bulat oleh DPR. RUU ini ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 8 Mei 1956. Inilah awal dari ketegangan baru antara Indonesia dengan pihak Belanda sejak KMB ditandatangani. Pembatalan persetujuan KMB secara sepihak oleh Indonesia pada prinsipnya didasarkan kepada sikap Belanda yang tidak mau menepati persetujuan KMB yang menyangkut soal Irian Barat. 12 Juli 1956 Andi Pangerang Petta Rani (Andi Pangerang Daeng Parani) diangkat menjadi Gubernur Sulawesi, jabatan yang dipangkunya sampai dengan tanggal 20 April 1960. 25 Mei 1956 Pemerintah Pusat memutuskan, Yayasan Kopra secara resmi akan dibubarkan pada tanggal 26 Juli 1956, dan akan digantikan setahun kemudian oleh Koperasi Kopra Pusat. 13 Agustus 1956 Panglima TT-VII/Wirabuana, Kolonel Joop Warouw, dalam konferensi persnya yang terakhir sebelum serah-terima jabatan Panglima TT-VII, sebelum pemindahannya ke Peking, mengatakan bahwa ia menerima semua tanggung jawab penyelundupan kopra yang melewati Bitung. -------------------------------------------------------------------------------- Pada hari ini, CPM di dalam TT-III/Siliwangi menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Gamal Abdel Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan KSAD A.H. Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan akhirnya bisa berangkat ke luar negeri. 14 Agustus 1956 Timbang terima Panglima TT-III/Siliwangi dari Kolonel Alex E. Kawilarang kepada Kolonel Suprayogi, untuk selanjutnya bulan Desember tahun itu pergi ke Washington, D.C. menjadi Atase Militer pada Kedutaan Besar RI di sana. Selama memimpin TT-III/Siliwangi, Kolonel Kawilarang bermasalah antara lain pernah menangkap menteri Ruslan Abdulgani karena dituduh korupsi. 17 Agustus 1956 Pembentukan provinsi Papua Barat (Irian Barat) dengan ibukota di Soa Siu. Gubernur yang pertama pada bulan September 1956 adalah Sultan Tidore - Zainal Abidin Syah. Provinsi tersebut meliputi wilayah yang masih diduduki Belanda dengan daerah² Tidore, Oba, Weda, Patani, serta Wasile di Maluku Utara. 22 Agustus 1956 Kolonel J.F. (Joop) Warouw hari ini meletakkan jabatannya sebagai Panglima Komando TT-VII/ Wirabuana dalam rangka pergantian pimpinan Komando Tentara & Territorium VII/Wirabuana. 23-26 Agustus 1956 Serah-terima Panglima TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur dari Kolonel J.F. Warouw kepada Letkol H.N. Ventje Sumual, Kepala Staf TT-VII/Wirabuana sebelumnya. Kemudian Joop Warouw dipindahkan sebagai Atase Militer pada Kedubes RI di Peking - Cina. 8 September 1956 Komandan Batalyon 714 Kapten Dolf Runturambi memerintahkan untuk menahan kapal Susane Skow di pelabuhan samudera Bitung, karena surat² yang tidak lengkap untuk menurunkan mobil² dan mengangkutnya. Hal ini didasarkan pada radiogram Panglima TT VII pertengahan Juni tahun itu - penahanan mana segera dilaporkan kepada Panglima TT VII/Wirabuana Let.Kol. H.N.V. Sumual dan Komandan RI-24 Let.Kol. H.V. Worang. 5 Oktober 1956 Opsir Pekerdja Istimewa X (OPI X) TT-VII/Wirabuana dibubarkan hari ini ketika M. Saleh Lahede dijadikan Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara (KoDPSST atau KDP-SST) oleh KSAD. Kegiatan OPI X selanjutnya dilaksanakan oleh Yayasan Wirabuana dan Yayasan Sulawesi Selatan. 21 November 1956 Diadakan reuni ulang tahun Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad) di Bandung. . Desember 1956 Mayor D.J. Somba sebagai Assisten II/Personalia di TT-VII/Wirabuana bulan Desember 1956 ini menggantikan Mayor H.V. Worang sebagai Komandan Resimen Infanteri 24 (RI-24) di Manado, karena Worang saat itu terlibat upaya penyelundupan/barter kopra. 1 Desember 1956 Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah dengan mundurnya Drs. Mohammad HATTA dari Wakil Presiden. 9 Desember 1956 KSAD Jenderal Mayor A.H. Nasution mengeluarkan pengumuman yang melarang perwira² Angkatan Darat melakukan kegiatan politik. 24 Desember 1956 Laurens F. Saerang diangkat menjadi Kepala Daerah Minahasa definitif, dan merupakan kepala daerah termuda di waktu itu (1956-1958). Ia bekas komandan kompi dalam Batalyon 3 Mei berpangkat Kapten. Ia dikenal sebagai pengusaha sukses dalam perdagangan besi rongsokan sisa Perang Dunia II di Morotai. Pada saat Pergolakan Permesta di Sulawesi Utara pecah, ia kemudian membentuk Brigade Manguni serta memimpinnya. Masa kepemimpinan resminya sampai tanggal 16 Juni 1958 dan digantikan Kapten Bert Supit (sampai tanggal 23 September 1958). Meskipun demikian, pemerintahan sipil Permesta masih mengakui kepemimpinannya sebagai Kepala Daerah Minahasa (KDM) Permesta, yang tugas kesehariannya dijabat oleh Wakil KDM Pati Arie Mandagi sebagai pejabat KDM Permesta dan berkantor di desa Pinaras - Tomohon yang terletak di tengah hutan. 27 Desember 1956 Kongres Masyumi di Bandung yang berlangsung tanggal 22-29 Desember menyatakan menarik menteri²nya keluar dari Kabinet Ali II (serta kehilangan 57 suara dalam Dewan Perwakilan Rakyat). 31 Desember 1956 Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, menyatakan daerah Sumatera Selatan atau daerah Komando Tentara & Territorium II (TT-II) dalam keadaan bahaya perang. 7-8 Januari 1957 Rencana TT-VII/Wirabuana diajukan kepada KSAD A.H. Nasution. Letkol M. Saleh Lahede (Kastaf KDPSST) dan Mayor Andi Muhammad Jusuf (Kastaf Resimen Hasanuddin) membicarakan masalah² di Indonesia Timur guna mengatasi masalah gangguan keamanan di wilayah Sulawesi (terutama DI/TII Kahar Muzakhar), dengan mengajukan alternatif jalan keluar, yaitu agar tanggung jawab keamanan daerah diserahkan sepenuhnya kepada putra daerah. Selain itu juga mereka berbicara mengenai keadaan politik & ekonomi di Indonesia Timur. Awal Februari 1957 Gubernur Sulawesi - Andi Pangerang, dan rombongan berada di Jakarta untuk memperjuangkan realisasi rencana pembangunan di wilayahnya. Selain menghubungi berbagai pihak dan instansi selama sekitar satu bulan, juga Presiden Soekarno dan Bung Hatta mereka kunjungi. 3 Februari 1957 Sekitar 47 organisasi pemuda di Makassar mengadakan rapat. Mereka sepakat bahwa penyelesaian keamanan di Indonesia Timur serta peningkatan kesejahteraan masyarakat harus bisa dilakukan melalui pelaksanaan pembangunan. Kemudian mereka membentuk organisasi yang mengkoordinasikan antar-organisasi pemuda yang ada dengan nama Dewan Pemuda Sulawesi, yang dipimpin presidium dengan badan pekerja untuk tugas harian, yang kepengurusannya sbb: Presidium: Nurdin Johan, Mustafa Tari, Abdul Chalik, Mattulada, Ismael Habi, J.B. Rumbayan, G.W. Bawengan Sekjen: R.A. Daud Seksi²: Indra Chandra, Abdul Muis, Husein Achmad, Djihan Njompa, Nahariah 10/18 Februari 1957 Terbentuknya Dewan Manguni di Sulawesi Utara, atas inisiatif Kapten G.K. Montolalu, dkk. Pimpinannya terdiri atas: Ketua : Henk L. Lumanauw Sekretaris: Jan Torar Anggota: Hein Montolalu & A.C.J. (Abe) Mantiri (direktur Pelayaran Rakyat Indonesia di Manado) 19 Februari 1957 Penyelenggaraan reuni tokoh² tokoh PKRS di Kantor Pembangunan Daerah yang dihadiri ±19 orang. Kemudian mereka membentuk wadah perjuangan baru yaitu Pusat Konsentrasi Tenaga untuk Keselamatan Rakyat Sulawesi (disingkat Konsentrasi Tenaga) dengan Pengurus Sementara: Ketua : Andi Burhanudin (residen di gubernuran Sulawesi/Ketua Umum PKR) Wakil Ketua: J.Latumahina (Kepala Departemen Politik di Kantor Provinsi Sulawesi) Sekretaris: Henk Rondonuwu (Ketua Partai Kedaulatan Rakyat/PKR) Bendahara: Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses (Ketua Dewan Kota Makassar) Komisaris: Achmad Siala (Dg.Masalle), Intje Tadjuddin, Abdul Muluk Makatita 20 Februari 1957 Dewan Pemuda se-Sulawesi mengadakan sidang sekali lagi hari ini dan menyetujui garis² pimpinan organisasi dan suatu program terperinci mengenai politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pokok pertama program itu adalah suatu tuntutan akan otonomi seluas²nya. 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengemukakan konsepsinya yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden Soekarno atau Konsepsi Presiden yang isinya adalah menolak sistem demokrasi parlementer secara Barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan menggantinya dengan sistem demokrasi terpimpin, dan menyatakan perlunya suatu kabinet gotong royong yaitu Kabinet Kaki Empat dengan Nasakom -nya (Nasional, Agama, Komunis). Bekas Wakil Presiden Drs. Moh.Hatta menyatakan bahwa ia tidak menyetujui konsepsi itu. 23 Februari 1957 Perencanaan formal proklamasi 2 Maret mulai pada suatu pertemuan para perwira senior Sulawesi pada hari ini. Pertemuan ini diadakan di rumah Letkol dr. O.E. Engelen, ketua Ikatan Perwira Republik Indonesia - Indonesia Timur (TT-VII). Letkol dr. O.E. Engelen, sekretaris IPRI TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur Kapten Bing Latumahina, Letkol Saleh Lahede,dan Mayor M. Jusuf berbicara dalam pertemuan itu. 25 Februari 1957 Setelah mengadakan rapat komite perwira TT-VII/Wirabuana yang mengadakan rapat di kediaman Mayor Eddy Gagola untuk menyusun dan merumuskan rencana Perjuangan Semesta, kemudian Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol Ventje Sumual hari ini berangkat ke Jakarta untuk menjelaskan langkah² yang akan diambilnya kepada teman²nya di MBAD terutama Korps Perwira SSKAD, terutama mengatasi keamanan daerahnya dengan pemberlakuan SOB/darurat perang. Komite sebelas orang ini dikepalai oleh Letkol M. Saleh Lahede. Letkol Saleh Lahede dengan bantuan Kapten Bing Latumahina dan Kapten Lendy R. Tumbelaka, menyusun Piagam Perjuangan Semesta, yang meringkas berbagai keluhan, tuntutan, dan saran pejabat² dan rakyat dari Sulawesi. Mayor M. Jusuf ditunjuk sebagai perwira operasi. Anggota² komite yang lain adalah: Letkol dr. O.E. Engelen, Ketua IPRI - Indonesia Timur; Letkol Andi Mattalatta, Komandan Kota Militer Kota Besar (KMKB) Makassar dan wakil komandan KoDPSST; Mayor Jan Wellem (Dee) Gerungan, Asisten IV/Logistik TT-VII; Mayor Sjamsuddin, Kepala Staf Komando Militer Kota Besar (KMKB) Makassar; Mayor Eddy Gagola, dari stafko TT-VII. Selain itu, anggota kesebelas yang disebutkan adalah Letkol tituler Arnold Achmad Baramuli, Jaksa Agung Provinsi Sulawesi dan Komando Indonesia Timur; Kapten John Ottay, Komandan Batalyon 702; Kapten Arie W.Supit, stafko TT-VII. 28 Februari 1957 Letkol Ventje Sumual saat mengadakan kunjungan di Jakarta selama dua hari dengan Mayor Andi M. Jusuf dan Arnold Baramuli, SH (Jaksa Tinggi Provinsi dan Militer), ia mengirimkan kawat/telegram kepada komandan resimen seperti RI-23, RI-25. Komandan RI-24 Mayor D.J. Somba datang ke Makassar hari ini, dan hanya bertemu dengan Mayor Jan Wellem (Dee) Gerungan. Yus Somba kembali lagi ke Manado pada tanggal 1 Maret. 1 Maret 1957 Pada petang hari, semua pejabat di Makassar yang bertolak ke Ibukota - Jakarta, yaitu rombongan Gubernur, delegasi Konsentrasi Tenaga dan rombongan Panglima Letkol Sumual, tiba kembali di pesawat dengan menumpang satu pesawat. Setibanya di Makassar, diputuskan untuk mengadakan rapat sebelum rencana² itu dilaksanakan. Rapat berlangsung hingga pukul 01:00 dinihari tanggal 2 Maret. Masa Awal Permesta (Pembangunan I) 2 MARET 1957 Jumat dinihari tanggal 2 Maret 1957, sejumlah pejabat, tokoh politik dan tokoh masyarakat di kota Makassar dijemput kendaraan yang dikawal militer (sekitar 49 tokoh & 2 wartawan) untuk menandatangani piagam yang telah disusun oleh Panitia Perwira TT-VII yang lalu, untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak mengadakan rapat untuk persiapan sebuah proklamasi dari suatu hasrat luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam telah merambat dini hari. Pukul 3 dinihari rapat dibuka oleh Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol H.N. Ventje SUMUAL yang kemudian membaca naskah Proklamasi SOB Inilah Proklamasi SOB (Staat van Oorlog en Beleg = negara dalam keadaan perang & darurat perang) PERMESTA tersebut, yang memulai babak baru dalam sejarah Indonesia Bagian Timur: P R O K L A M A S I Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia pada umumnja, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian Timur pada chususnja, maka dengan ini kami njatakan seluruh wilajah Territorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunja pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang - Undang Dasar Sementara , dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik Indonesia. Segala peralihan dan penjesuaiannja dilaku- kan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja dalam arti tidak ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia. Semoga Tuhan Jang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidajatNja atas ummatNja.- Makassar, 2 M a r e t 1957.- Panglima Tentara & Territorial VII tertanda Letkol : H.N.V. Sumual Nrp : 15958 Pada saat Proklamasi Permesta Dari kiri ke kanan: Letkol HNV Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Dolf Runturambi, Letkol Saleh Lahede. Proklamasi Keadaan SOB ini berdasarkan pasal 129 UUD Sementara yang memberikan keleluasaan kepada panglima militer di daerah memberlakukan SOB (keadaan darurat perang/militer) dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 (Peraturan yang memberlakukan SOB sehubungan dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun itu). Selanjutnya Letkol M. Saleh Lahede selaku Komando Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara (KoDPSST), membacakan Piagam Perdjuangan Semesta, yang lebih dikenal sebagai Piagam PERMESTA , yang menjadi landasan pelbagai program pembangunan yang segera dilancarkan. Pukul 07:00 keluar pengumuman pertama Letkol Sumual sebagai Kepala Pemerintahan Militer mengenai organisasi² kepemimpinan dibantu dua staf. Staf pertama: sebuah staf militer (yang terdiri atas staf TT-VII/Wirabuana yang ada), Staf kedua: sebuah staf Pemerintahan yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede sebagai Kastaf, Mayor Eddy Gagola sebagai Wakil Kastaf, & Sekretariat yang dipimpin Kapten W.G.J. Kaligis. Hubungan dengan seluruh daerah di wilayah Wirabuana (Indonesia Timur) tetap terpelihara, sekalipun menjelang pertengahan 1957, beberapa daerah telah dipengaruhi oleh pemerintah pusat serta MBAD. Melalui jaringan pemerintah daerah serta organisasi pemuda, wanita, mahasiswa dan pers, Permesta merencanakan pembangunan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Penerangan² melalui pers dan RRI dilancarkan segera setelah upacara di Gubernuran itu. Sejak itu berkumandang semboyan Sekali Dua Maret, Tetap Dua Maret yang diciptakan oleh Letkol Saleh Lahede, dan singkatan Permesta untuk Piagam Perjuangan Semesta diciptakan dan dipopulerkan oleh G. Kairupan, seorang pejabat Kantor Penerangan kota Makassar. Kedua semboyan itu senantiasa terdengar melalui RRI Makassar, Manado, dan Ambon. -------------------------------------------------------------------------------- Sejak hari ini, Kepala Pemerintahan Letkol Ventje Sumual mengambil langkah darurat memulihkan keamanan dan ketertiban. Jam malam dinyatakan mulai berlaku pukul 22.00. Pengiriman uang melalui bank ke luar wilayah TT-VII/Wirabuana dinyatakan terlarang, kecuali dengan ijin khusus. Juga barang² kebutuhan pokok masyarakat dilarang dibawa ke luar wilayah itu. Para pengusaha pun dilarang mengadakan penimbunan atau menaikkan harga². 3 Maret 1957 Salah satu rapat Permesta. Dari kiri: Henk Rondonuwu (berdiri), Letkol Saleh Lahede, Letkol Andi Mattalatta, Mayor CPM Her Tasning. Rapat di Balai Perwira oleh Tim Asistensi Staf Pemerintahan Permesta yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede (yang terbagi atas 10 seksi). Dalam rapat ini dijelaskan bahwa tindakan 2 Maret bertujuan utama untuk mengatasi kekacauan di wilayah itu. Hari ini juga Letkol Sumual sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana & Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur mengirim laporan tertulis kepada KSAD di Jakarta mengenai tindakan 2 Maret tersebut yang yang tetap mengakui Jakarta sebagai pemimpin yang sah. Ia juga melaporkan bahwa ia telah meningkatkan ketiga wilayah hukum Resimen Infanteri TT-VII/Wirabuana menjadi Komando Daerah Militer (KDM), yaitu KDM Sulutteng dengan Mayor D.J. Somba sebagai komandan, KDM Maluku/Irian Barat dengan Mayor Herman Pieters sebagai komandan, KDM Nusa Tenggara dengan Mayor Minggu sebagai komandan; sedangkan Sulawesi Selatan dirangkap oleh Gubernur Andi Pangerang dengan pangkat Letkol Tituler. Keempat tokoh ini juga merangkap sebagai Gubernur Militer di masing² daerah sesuai dengan ketentuan SOB (Staat von Oorlog en Beleg = Negara dalam Keadaan Perang & Darurat Perang). 4 Maret 1957 Hari ini diadakan pelantikan terhadap Team Asistensi Staf Pemerintahan Permesta, yang meliputi baik anggota² militer maupun sipil. Tim Asistensi ini dibentuk untuk tugas sehari² dalam Staf Pemerintahan, yang dipimpin oleh Kepala Staf Pemerintahan Letkol M. Saleh Lahede, yang dibagi dalam 10 seksi, yaitu: 1. Seksi Politik, Tata Negara, Hukum dan Tata Tertib dipimpin Letkol M. Saleh Lahede Sendiri. 2. Seksi Moneter dipimpin Kapten Arie W. Supit. 3. Seksi Ekonomi dan Pembangunan dipimpin Baharuddin Rachman. 4. Seksi Makanan Rakyat, Bahan² Vital, dan Pertanian dipimpin Sampara Daeng Lili. 5. Seksi Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Perburuhan dipimpin Letkol Oscar E. Engelen. 6. Seksi Perhubungan, Pekerjaan Umum, Tenaga, dan Irigasi dipimpin Kapten J.H. Tamboto. 7. Seksi Penerangan dan Informasi dipimpin Kapten Bing Latumahina. 8. Seksi Koordinasi Keamanan dipimpin Mayor J.W. (Dee) Gerungan. 9. Seksi Agama dipimpin Kapten Anwar Bey. 10. Seksi Pemuda dan Veteran dipimpin A.N. Turangan. -------------------------------------------------------------------------------- Rapat yang dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual dengan seluruh stafnya (yang hadir ±120 perwira & bintara). Ia menekankan bahwa tindakan 2 Maret sama sekali bukan tindakan kudeta. -------------------------------------------------------------------------------- Hari ini juga, KSAD Mayjen A.H. Nasution menginstruksikan kepada Letkol R. Sudirman - Panglima KoDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara), yang memimpin 9 batalyon dari Divisi Brawijaya di Sulawesi yang diperbantukan untuk menumpas pemberontakan DI/TII), untuk tidak perlu mengambil tindakan apapun terhadap Letkol Ventje Sumual dan Gerakan Permesta-nya. 5 Maret 1957 Pemerintah Pusat mengirimkan utusan menemui Letkol Sumual di Makassar guna membicarakan masalah Permesta. -------------------------------------------------------------------------------- Dukungan dari kelompok² pemuda terutama melalui Dewan Pemuda Se-Sulawesi, yang hari ini menyatakan dukungannya bagi proklamasi Permesta juga mengganti namanya menjadi Dewan Pemuda Indonesia Timur. 7 Maret 1957 Hari ini diumumkan di Manado, bupati Minahasa Laurens F. Saerang sudah menemui Jan Timbuleng, Komandan Pasukan Pembela Keadilan (PPK) yang mengacau di daerah ini terutama di daerah Minahasa Selatan. Perlu diketahui, bahwa Timbuleng adalah ipar dari Laurens F. Saerang. Pada tanggal 8 Maret 1957 (keesokan harinya), Laurens F. Saerang menyertai Jan Timbuleng dan istrinya ke suatu pertemuan dengan Mayor D.J. Somba, dan dirundingkan pengaturan penyerahan dan rehabilitasi 3.000 orang pengikut PPK. Penyerahan Jan Timbuleng disebut² Letkol Ventje Sumual dalam jumpa pers tanggal 13 Maret sebagai suatu contoh hasil yang bisa diharapkan dari kebijaksanaan keamanan kepada gubernur militer yang diangkat belum lama berselang. (Walaupun begitu, Jan Timbuleng dan pasukannya kemudian akhirnya kembali ke hutan menjelang akhir tahun. Ia dikatakan tidak merasa puas dengan perlakuan yang diberikan kepadanya dan orang²nya). -------------------------------------------------------------------------------- Doktrin Eisenhower (dari Presiden AS waktu itu- Dwight Eisenhower) dijadikan UU oleh Senat Kongres AS sebagai sikap politik anti-komunis. Doktrin ini membawa AS untuk terlibat lebih jauh lagi dalam perpolitikan Indonesia untuk menjatuhkan komunis dengan memberi bantuan senjata kepada pihak² yang meminta mereka untuk melawan komunisme internasional. (Permesta pada masa Pergolakan akhirnya menerima bantuan senjata tersebut (dalam PRRI), namun menyatakan bahwa semuanya dibeli dengan cara barter). 8 Maret 1957 Dilantiknya 111 orang anggota Dewan Pertimbangan Pusat Permesta yang dipimpin Residen Andi Sultan Daeng Raja (Haji Makkaraeng Daeng Mandjarungi). Dewan Petimbangan Pusat (DPP) Permesta ini telah diangkat sehari sebelumnya. Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang Petta Rani (Andi Pangerang Daeng Parani), secara formal dilantik sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan-Tenggara, dengan kekuasaan penuh bagi kebijaksanaan keamanan daerah itu. 10 Maret 1957 Rapat umum di Lapangan Karebosi Makassar yang diselenggarakan oleh Tim Assistensi Staf Pemerintahan Permesta dan DPP Permesta untuk menyambut Piagam Permesta, yang dihadiri oleh sekitar 100.000 orang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada 8 pembicara yang berorasi di rapat umum ini. 11 Maret 1957 Hari ini diadakan pelantikan di Manado terhadap Mayor D.J. Somba sebagai Gubernur Militer Sulawesi Utara-Tengah oleh Panglima TT-VII/Wirabuana - Kapala Pemerintahan Militer Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang (SOB). Hari ini juga, 387 orang bekas KNIL dilantik menjadi TNI oleh Mayor D.J. Somba, yang telah mengusulkan kepada MBAD agar kekuatan RI-24 ditingkatkan menjadi dua batalyon. Ia mendapat izin untuk membentuk kira² dua kompi baru dari bekas serdadu KNIL di daerah Minahasa. Tadinya Minahasa merupakan daerah pengerahan utama bagi KNIL dan taksiran jumlah veteran KNIL di daerah ini berkisar antara 18.000 sampai 30.000 orang. 12 Maret 1957 Mahkama Agung RI menyatakan bahwa Konsepsi Presiden tentang Kabinet Kaki Empat tidak menyalahi Undang² Dasar (Konstitusi). 14 Maret 1957 Satu setengah jam setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (dan Kabinet Ali II nya) menyerahkan mandatnya, maka Presiden Soekarno menyatakan bahwa seluruh wilayah teritorial Republik Indonesia DALAM KEADAAN DARURAT PERANG (SOB=Staat van Oorlog en Beleg). Salah satu sebab utama dari keadaan ini adalah karena Proklamasi SOB yang telah dikumandangkan Panglima TT-VII/Wirabuana dalam wilayah Indonesia Timur, yang adalah komando daerah terluas di Indonesia saat itu (mencakup setengah wilayah NKRI) yang seharusnya hanya boleh dikumandangkan oleh presiden suatu negara. -------------------------------------------------------------------------------- Hari ini, suatu delegasi yang ditugasi Kepala Pemerintahan Militer Permesta Letkol Ventje Sumual dan disetujui DPP Permesta, pergi ke Jakarta untuk menjelaskan latar belakang proklamasi 2 Maret kepada Presiden dan pemerintah pusat. Delegasi ini dipimpin oleh Henk Rondonuwu dan Ny. Mathilda (Milda) Tololiu-Hermanses (Ketua Dewan Kota Makassar), Haji Makareng Daeng Manjarungi, Sun Bone (Masyumi), Achmad Siala (PNI), J. Latumahina dan Andi Burhanuddin (PKR dan pejabat kantor Gubernur). Dektrit Darurat Perang 15-22 Maret 1957 Rapat para Panglima Territorium dan SUAD di MBAD di Jakarta, yang dihadiri semua panglimanya kecuali Letkol Achmad Husein yang berhalangan. Konperensi itu dimulai dengan kunjungan kehormatan pada Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Pembicaraan dalam pertemuan itu berkisar sekitar pengembangan dan perbaikan tentara, dan melindunginya dari pengaruh politik, yang hanya menggangu kesatuan tentara. Dalam rapat itu, KSAD Mayjen A.H. Nasution memutuskan untuk membubarkan TT-VII/ Wirabuana dan membaginya menjadi 4 KDM (Kodam) terpisah seperti yang telah dilakukan Letkol Ventje Sumual sebelumnya, walaupun KSAD menyatakan menyetujui Piagam Permesta. Pada penutupan pertemuan itu, juru bicara Tentara mengomentari situasi di TT-VII: ...MBAD mengerti dan memahami proklamasi 2 Maret itu, tetapi demi menjaga hukum dan ketertiban tak bisa membenarkan cara yang ditempuh. MBAD berpendapat, keinginan dan hasrat proklamasi itu bisa disalurkan melalui lembaga² yang ada. Sementara KSAD A.H. Nasution berunding dengan Letkol Ventje Sumual secara formal, Kolonel Sukendro, Asisten I (Intelijens) KSAD melancarkan operasi intelijennya. Para perwira bawahan dipecah-belah, emosi kesukuan dibakar, tindakan palsu dilontarkan. Banyak orang yang menjadi bingung dan guncang. Persatuan di antara para perwira berbagai suku bangsa itu mulai retak. 20 Maret 1957 Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol Ventje Sumual mengeluarkan rencana pembagian wilayah TT-VII/ Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi: 1. Sulawesi Selatan/Tenggara --> ibukota Makassar 2. Sulawesi Utara/Tengah --> ibukota Manado 3. Maluku --> ibukota Ambon 4. Irian Barat --> ibukota Soasiu 5. Nusa Tenggara Barat --> ibukota Singaraja 6. Nusa Tenggara Timur --> ibukota Kupang Surat Keputusan Panglima/Penguasa Militer TT VII Wirabuana No.Kpts.0139/36/1957 tentang pembagian Indonesia Bagian Timur dalam enam provinsi otonom dan No. Kpts. 0140/36/1957 dan No. Kpts. 0141/36/1957 yang dikeluarkan di Makassar masing² tentang pembagian wilayah provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) menjadi dua yaitu Barat dan Timur serta provinsi Sulawesi menjadi Utara dan Selatan. 21 Maret 1957 Seluruh anggota Tim MBAD Korps Perwira SSKAD (sebuah korps reuni siswa SSKAD) mengadakan rapat yang menilai bahwa masalah pergolakan daerah mempunyai aspek sangat penting yang justru diabaikan dan dianggap sepele oleh KSAD Mayjen A.H. Nasution dalam keputusan dan tindakannya. Hasil rapat ini kemudian menimbulkan kemarahan KSAD Mayjen A.H. Nasution. Petisi 45 orang perwira tersebut dipaksa untuk mencabut pernyataan tersebut. Hanya 10 orang yang bertahan atas petisi tersebut. April 1957 Sesuai dengan Piagam Permesta, Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) Permesta menyusun delegasi untuk bertemu dengan para pejabat di Jakarta. Henk Rondonuwu bertindak sebagi ketua delegasi dengan Andi Burhanuddin, Achmad Siala, dan Ny. Towoliu-Hermanses sebagai anggotanya. Delegasi ini ternyata bisa bertemu dengan Presiden Soekarno dan Bung Hatta, tetapi tidak sempat bertemu dengan Kabinet yang saat itu telah demisioner menyusul berita Peristiwa Proklamasi Permesta - 2 Maret di Makassar tersebut. Kepada Presiden, delegasi DPP mengusulkan agar 70% anggota Dewan Nasional yang akan dibentuknya itu terdiri atas wakil² daerah. Selain itu sangat diharapkan agar Dwitunggal kembali rujuk untuk memimpin bangsa Indonesia selanjutnya. Delegasi juga menyampaikan undangan kepada Presiden dan Bung Hatta untuk menghadiri Kongres Bhinneka Tunggal Ika yang akan diselenggarakan pada bulan Mei 1957 mendatang. Dalam kesempatan ini, tentu saja delegasi mengalami hambatan dari pihak yang kurang senang dengan perkembangan di Indonesia Timur. Malah beberapa tokoh asal daerah Sulawesi menerima surat kaleng yang mengancam jiwa mereka. -------------------------------------------------------------------------------- Pada awal bulan April, Tokoh Utama Permesta Letkol Ventje Sumual tiba di Manado. Di lapangan Mapanget, rakyat berduyun² menyambutnya. Seorang gadis dengan pakaian khas Minahasa mengalunginya dengan rangkaian bunga sedang para pemuda menyambutnya dengan tari perang cakalele. Dengan pengawalan ketat iring²an mobil Panglima TT-VII/Tokoh Utama Permesta tiba di manado melalui ribuan rakyat serrta anak² sekolah yang berjajar di pinggir jalan sepanjang Mapanget-Manado sambil melambai²kan bendera merah-putih dan meneriakkan pekik Hidup Permesta. Siang itu juga dilangsungkan upacara pelantikan Mayor D.J. Somba sebagai Gubernur Militer Sulutteng dan Mayor Dolf Runturambi sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Sulutteng. Sore harinya diadakan pertemuan besar yang dihadiri oleh semua tokoh² militer, sipil dan masyarakat Sulutteng yang telah diundang. 1 April 1957 Gubernur Sulawesi Andi Pangerang diangkat oleh Kepala Pemerintahan Militer Permesta Letkol Ventje Sumual sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan-Tenggara dengan pangkat Letkol tituler TNI. 9 April 1957 Presiden Soekarno mencoba membentuk kabinet baru setelah Kabinet Ali II meletakkan jabatan pada tanggal 4 Maret yang lalu. Setelah Suwirjo (dari PNI) gagal membentuk kabinet, maka Soekarno mengajak KSAD Mayjen A.H. Nasution ke Cipanas - Bogor untuk bersama² membentuk kabinet itu. Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) Kabinet Darurat Ekstraparlementer ini tidak tergantung pada dukungan partai². Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri-nya seorang tokoh tak berpartai (Message over 64 KB, truncated)
Posted on: Sat, 19 Oct 2013 00:22:52 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015