Memakmurkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Bak Warung Kopi Posted - TopicsExpress



          

Memakmurkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Bak Warung Kopi Posted by: Pemustaka on 3 April 2012 in Artikel Perpustakaan Leave a comment 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Kabupaten Blora, sebagian desa telah memiliki perpustakaan dengan bentuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Hampir seluruhnya diresmikan oleh Bupati Blora secara bergiliran. Namun, taman bacaan tersebut hanya dikunjungi masyarakat pada saat diresmikan. Usai diresmikan, bupati pulang, masyarakat juga pulang, gedung taman bacaan tertutup rapat tak pernah dibuka lagi. Sejumlah buku tersusun rapi di rak-rak mulai tertutup debu, dan menjadi semacam pusaka azimat yang tabu untuk dipegang sembarang orang. Gedung-gedung taman bacaan berubah angker sehingga dijauhi masyarakat. Di tempat lain, orang-orang berkumpul menghabiskan berjam-jam seolah tak memiliki keperluan lain selain itu. Mereka ngobrol ke sana kemari tanpa bosan. Bersenda gurau tak pernah kehabisan topik. Sungguh asyik kelihatannya, gayeng sekali. Tempat itu adalah warung kopi. Dua tempat yang berbeda itu suasananya amat kontras. Padahal yang satu memiliki visi luhur, yang lain mungkin hanya sekedar menghabiskan umur. Namun, tidak salah kalau kita belajar pada warung kopi dalam hal menghidupkan suasana, untuk memakmurkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). 1.2. Rumusan Masalah Bagaimana memakmurkan Taman Bacaan Masyarakat sebagaimana makmurnya warung-warung kopi di segenap penjuru desa?  1.3. Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan mempelajari pola komunikasi pada warung-warung kopi untuk diterapkan dalam Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sehingga TBM tidak lagi sepi pengunjung. II. KOMUNIKASI COFFETAINMENT DI WARUNG KOPI Mengapa orang gemar nongkrong di warung kopi berjam-jam? Mungkin kita akan menjawab bahwa mereka adalah para pemalas yang egois memikirkan dirinya sendiri sehingga mengabaikan tanggungjawab pekerjaannya. Mereka memiliki masalah kronis dengan istri, sehingga istri ngambek tak mau lagi menghidangkan segelas kopi. Atau mereka memang tak memiliki pekerjaan, mereka miskin, anehnya justru menghabiskan sekian rupiah tiap hari di warung kopi. Namun, makmurnya warung-warung kopi bukan hanya oleh alasan-alasan tersebut. Persoalannya bukan sekedar pemalas, istri marah, dan pengangguran. Namun lebih dari itu. Warung kopi telah menjadi semacam â??media massaâ? yang memberi ruang para pengunjungnya untuk berkomunikasi dan berinteraksi, bahkan menyalurkan aspirasinya kepada orang lain. Warung kopi menjadi wadah penegasan diri bahwa mereka-pengunjung warung kopi itu- adalah orang-orang yang unik dan layak diperhitungkan dalam pentas kehidupan ini. Di dalam warung kopi terjadi komunikasi afiliasi di mana antar pengunjung dan pemilik warung kopi merasa saling menerima satu sama lain dan membutuhkan. Ada keinginan untuk terus membina hubungan baik tersebut, yang disebut Lasswell (1948, dalam Rakmat, 2001) sebagai fungsi correlation dalam komunikasi. Lebih lanjut, komunikasi dalam warung kopi lekat dengan topik-topik keseharian yang amat sederhana namun barangkali penting bagi mereka. Tidak perlu mencari data, fakta, untuk melengkapi argumen mereka, sebab data dan fakta itu adalah diri mereka sendiri. Tidak perlu berfikir rumit dan melakukan penelitian untuk mengungkapkan gagasan, sebab yang mereka fikirkan telah mereka alami sendiri. Bahkan tidak perlu mempertanggungjawabkan kepada siapa-siapa obrolan di warung kopi tersebut, sebab tidak ada juri, komentator, pengawas, atau pun penguji, sebab peran-peran tersebut melekat dalam diri mereka sendiri. Jadilah komunikasi di warung-warung kopi itu gayeng. Menggunakan prinsip kedekatan bahasa, kesederhaan topik, kemudahan proses interaktif, inklusif, dan pasti menyenangkan. Persis dengan apa yang menjadi kebutuhan dan insting manusia untuk melakukan hal-hal yang mudah, menyenangkan, serta membaur dengan banyak orang. III.TAMAN BACAAN BERPOLA EDUCOFFETAINMENT, KENAPA TIDAK? Akan halnya dengan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang sepi pengunjung, bagaimana solusinya? 3.1. Pengemasan Buku TBM Membaca memang merupakan aktivitas kognisi yang lebih berat daripada sekedar ngobrol, atau mendengarkan musik, dan menonton televisi. Membaca melibatkan proses berfikir yang cukup kompleks. Mulai dari penginderaan huruf-huruf literatur yang terkadang tidak kondusif, pembongkaran memori untuk mencocokkan stimulus baru dengan memori lama, sampai pada pembentukan persepsi baru sebagai hasil dari aktivitas membaca. Baru pada tahap pertama saja; yakni penginderaan, kita sudah harus mengerahkan segenap â??energiâ?. Tak dipungkiri, buku-buku bacaan yang beredar dan dikoleksi TBM banyak yang menggunakan kertas buram, dengan layout yang cepat melelahkan mata. Ukuran huruf yang terlampau kecil, cover buku yang apa adanya, huruf-huruf berjubel tanpa gambar ilustrasi, bahkan topiknya amat jauh dari kehidupan masyarakat. Betapa tidak seperti pusaka azimat yang pantang didekati pembaca. Buku-buku yang dikoleksi Taman Bacaan Masyarakat seyogyanya dikemas khusus sesuai dengan karakter masyarakat. Terlebih TBM memang ditujukan bagi peningkatan minat baca masyarakat berpendidikan rendah di pedesaan. Ukuran huruf yang cukup besar, cover yang atraktif, serta gambar fullcolour rasanya lebih pas. Di samping itu topik bacaannya juga disesuaikan dengan keseharian masyarakat. Pada masyarakat petani dan peternak, akan amat kesulitan mencerna buku teknologi aerotik. Mereka akan tertarik dengan buku bagaimana menggemukkan sapi, beternak lebah, mengolah selai mangga, atau profil petani sukses. Pada masyarakat pesantren buku doâ??a-doâ??a, profil ulama, sejarah nabi dan para sahabatnya, banyak diminati. Masyarakat urban menyukai buku-buku tentang profil berbagai daerah, legenda, atau komik dan sastra. Dengan memerhatikan dua hal tersebut : pengemasan buku dan pemilihan topik, kita telah berupaya menjalin komunikasi dengan pembaca melalui kemudahan proses membaca dan kedekatan topik dengan keseharian pembaca. 3.2. Bedah buku ala obrolan warung kopi Pengelola Taman Bacaan Masyarakat bukanlah sosok â??satpamâ? yang pekerjaannya hanya menjaga buku-buku agar tetap rapi atau tidak hilang. Pengelola TBM juga bukan â??resepsionisâ?? yang hanya menyambut tamu pengunjung dengan senyum manis. Pengelola TBM harus aktif dan kreatif dalam pengupayakan kemakmuran TBM-nya. Jika pengunjung sepi, pengelola harus berupaya mengundang pengunjung untuk datang membaca. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan bedah buku yang acaranya disusun sedemikian rupa sehingga pengunjung merasa gayeng seperti sedang di warung kopi saja. Misalnya pada masyarakat perajin bubut kayu jati di Blora ini, diadakan bedah buku tentang peluang pemasaran hasil industri bubut. Narasumber yang dihadirkan pengusaha di antara mereka sendiri yang memiliki pengalaman tersebut. Tak perlu suasana formal. Untuk menciptakan kenyamanan para pengunjung TBM dibuat lesehan, bahkan boleh sambil minum kopi dan makan pisang goreng. Formasi tempat duduk dibuat melingkar atau formasi huruf u. Pembicaraan juga sesekali diselingi canda agar tidak membosankan. Tentang membaca sambil minum kopi dan makan pisang goreng, apa tidak membuat buku kotor? Siapa bilang buku tidak boleh kotor. Sangat baik buku menjadi kotor terkena percikan kopi dan minyak goreng saat dibaca para pengunjung, ketimbang buku tetap bersih sama sekali karena tidak pernah dibaca. Kegiatan bedah buku tersebut sebaiknya sering-sering dilakukan. Sangat baik dilakukan dengan topik yang berbeda-beda untuk memenuhi aspirasi masyarakat yang memiliki ragam minat berbeda. Tak perlu besar-besaran, yang penting kontinyu dan masyarakat tergugah untuk memperbanyak informasi melalui TBM. Cara bedah buku semacam ini mengakomodasi insting ingin tahu manusia, kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan menyalurkan aspirasi, dan dilakukan dengan komunikasi interaktif serta dalam suasana menyenangkan. Wal hasil, informasi baru didapat, minum kopi gratis didapat, kesenangan didapat. Efek jangka panjangnya lebih besar lagi. 3.3. Pengelolaan TBM: Pengorbanan dan Pendanaan Pengelola TBM memiliki tanggungjawab berat dalam menarik pengunjung untuk datang membaca. Tidak sembarang orang dapat memikul tugas ini. Hanya mereka yang kreatif dan bersedia â??memberi yang terbaikâ? yang dapat melakukannya. Oleh karena itu tugas ini harus diserahkan kepada mereka yang memiliki kriteria tersebut. Tidak terlalu sulit menemukan orang seperti ini di zaman serba sulit seperti ini sekalipun. Kita tidak pesimis bahwa masih begitu banyak anak-anak muda kita yang kreatif dan selalu ingin membantu. Mereka perlu diberi kesempatan. Pengelola TBM perlu menyusun jadwal kerja yang jelas. Jam buka TBM setiap hari disosialisasikan kepada masyarakat. Pengelola TBM kreatif menciptakan kegiatan yang mengundang pengunjung. Selain bedah buku, diskusi membahas persoalan desa yang sedang hangat, kajian-kajian agama, belajar bersama bagi anak-anak sekolah, pembacaan dongeng, pelatihan ini itu yang diperlukan masyarakat dapat dilakukan secara sinergis. Tentu semua itu butuh biaya. Pemerintah desa harus bersedia menanggungnya. Pengelola TBM perlu digaji secara layak, sesuai dengan kelayakan masing-masing desa. Kegiatan-kegiatan tersebut juga harus disokong oleh desa. Dapat menggunakan pendapat asli desa maupun iuran masyarakat. IV. KESIMPULAN Pada dasarnya semua manusia memiliki insting ingin tahu dan kebutuhan ingin maju. Namun, tidak semuanya menemukan jalannya. Pendidikan merupakan salah satu cara yang logis, empiris dan sistematis dalam upaya ingin tahu dan ingin maju tersebut. TBM menjadi salah satu sarana pendidikan nonformal yang diharapkan dapat mencerahkan kehidupan masyarakat desa. Jika warung-warung kopi di segenap pelosok desa sukses meraih pengujung, maka TBM dapat belajar darinya. Kemakmuran warung kopi didasari atas prinsip komunikasi dengan mengedepankan kedekatan bahasa, kesederhaan topik, interaktif, serta menyenangkan. Prinsip yang sama dapat diusung untuk memakmurkan TBM. Bedah buku dengan topik-topik aktual desa, diskusi, kajian-kajian agama dan hoby, belajar bersama, pembacaan dongeng, lomba-lomba, secara sinergis dapat dilakukan untuk mengundang pembaca TBM. Tak masalah, buku-buku sedikit kotor terpercik kopi, atau terkena minyak dari pisang goreng. Semua kegiatan tersebut dapat mengatasi kesulitan belajar yang diakibatkan beratnya proses kognitif dalam membaca. Yang terpenting, dapat menciptakan suasana gayeng di TBM sehingga masyarakat datang dan datang lagi untuk membaca. Memang tidak mudah. Namun, pengelola yang kreatif dan bersedia berkorban, serta dukungan pendanaan dari desa, dapat mewujudkannya. Harapan kita, masyarakat makin cerdas. Kesejahteraan ekonomi meningkat, kesejahteraan psikologi meningkat. DAFTAR PUSTAKA Baron, RA., Donn Byrne, 2004, Psikologi Sosial (Edisi Indonesia) Jilid 1 dan 2 Jakarta : Penerbit Erlangga. Hernowo, 2003, Andai Buku Itu Sepotong Pizza, Bandung: Kaifa. Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Psikologi Komunikasi,  Bandung : Rosda Karya Remaja. Penulis: Sri Purnamawati,S.Sos.I Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah Kata Kunci Penelusuran: makalah tentang warung kopi, daftar pustaka bacaan tentang media dan masyarakat, daftar pustaka makalah TBM, masalah pendidikan teknologi didaerah pedesaan, peran kopi dalam keseharian, psikologi sosial jilid 2 bedah buku, skripsi tentang taman bacaan masyarakat Sumber: pemustaka/memakmurkan-tbm-bak-warung-kopi.html
Posted on: Wed, 10 Jul 2013 04:40:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015