Membangun Celah Komunikasi dan Kesepahaman Antar Lembaga Pesantren - TopicsExpress



          

Membangun Celah Komunikasi dan Kesepahaman Antar Lembaga Pesantren Dalam Penguatan NKRI Pertimbangan Pemikiran Jakarta (26/11/2012)- Posisi komunikasi seringkali disinggung sebagai sesuatu yang sentral untuk melakukan penguatan terhadap keberadaan NKRI. Banyak orang mempertimbangkan komunikasi memainkan peran signifikan dalam mencapai resolusi konflik, ketidakpercayaan, kecurigaan serta permusuhan yang terjadi di masyarakat. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan diklaim sebagai keberhasilan komunikasi. Kemampuan menyatukan beragam pemikiran ke dalam keterikatan pemahaman yang sama, juga dikatakan sebagai keberhasilan komunikasi. Pendek kata, apakah sebuah masyarakat itu damai atau penuh dengan perselisihan, peran komunikasi sangat signifikan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bingkai NKRI, yang secara sosial politis menunjukkan adanya keberagamaan dan perbedaan yang nyata, jelas kedudukan komunikasi sangat strategis. Kekuatan komunikasi dapat dipakai untuk menstruktur dan mengkonstruksi realitas. Komunikasi mampu mengintegrasikan perbedaan-perbedaan dalam makna dan pengertian yang relatif sama. Tetapi juga sebaliknya, kegagalan dalam berkomunikasi, sering menjadi penyebab terjadinya berbagai konflik, pertikaian dan peperangan itu sendiri. Perbedaan dan keragaman itu tercermin dari berbagai sisi, seperti etnis, bahasa, ras, suku, orientasi politik, kepentingan dan agama. Belum, bila keragaman dan perbedaan itu dilihat dari sikap terhadap keberadaan negara. Ada diantaranya yang telah menganggap NKRI sebagai sesuatu yang final. Namun pada sisi lain ada pula yang ragu dan bahkan menolak keberadaan NKRI sebagai organisasi sosial politik tertinggi dalam wilayah juridis sebuah bangsa. Penolakan terhadap negara (NKRI) memang dapat dipicu oleh berbagai alasan dan faktor. Pemicunya dapat dikarenakan faktor sosial, ekonomi, politik, atau primordial. Selain itu, penolakan juga dapat ditentukan oleh keyakinan keagamaan tertentu. Penolakan terhadap negara, dapat terjadi karena alasan-alasan ideologis dan keyakinan keagamaan. Faktor-faktor yang disebutkan pertama di atas, menjelaskan berbagai proposisi misalnya, karena adanya penilaian tentang distribusi sumber-sumber kekayaan bangsa yang dilakukan dengan tidak adil, maka gerakan-gerakan politik yang menolak dan pisah dari negara menjadi muncul. Distribusi kekayaan dan sumber-sumber negara yang tidak dilakukan secara adil menjadi argumen dan pengabsah untuk menolak dan pisah dari negara yang sudah ada. Kesenjangan, kemiskinan dan keterbelakangan sering kali dijadikan alasan untuk melakukan tuntutan dan ancaman untuk keluar dari bagian NKRI. Selanjutnya, gerakan-gerakan penolakan terhadap keberadaan negara, bukannya tidak mungkin dilakukan oleh alasan-alasan keagamaan. Keberadaan negara ditolak karena dipandang merupakan rezim yang tidak menerapkan prinsip-prinsip keagamaan sebagaimana yang mereka pahami. Penolakan ini sering kali dibenturkan oleh pandangan dogmatis yang menilai negara tidak merupakan representasi dari keyakinan keagamaan yang benar. Dengan perkataan lain, mereka menyatakan bahwa tidak ada ketaatan (al-Wala) terhadap negara yang tidak menjalankan dan memerintahkan kebaikan berdasarkan prinsip-prinsip agama, katakanlah syariah misalnya. Sikap ini sekaligus memunculkan penolakan (al Bara) terhadap negara. Dengan landscape demikian, dalam negara, gerakan-gerakan politik yang menolak keberadaan negara serta berkeinginan untuk mendirikan negara, masing-masing dapat berjalan sendiri-sendiri, yakni pertama, mereka yang bergerak karena didorong pada pengelolaan terhadap sumber-sumber kekayaan negara, orientasi primordialisme atau kepentingan politik dan yang kedua adalah mereka yang didorong oleh keyakinan keagamaan. Namun demikian, keduanya dapat bertemu pada satu muara, yakni karena alasan keagamaan dan politik sekaligus. Bertemunya agama dan politik yang menolak keberadaan negara, sering kali membawa konflik dan hubungan yang sangat keras serta berkepanjangan. Ada pemetaan yang cukup menarik yang dilakukan As’ad Said Ali (2012:64-69) dalam melihat Islam sebagai agama sekaligus sebagai ideologi politik. Pemetaan ini menuntun pemahaman bahwa terdapat relasi yang kuat antara agama dan negara, yang pada gilirannya menentukan corak keberadaan negara secara keseluruhan. Dalam pandangan As’ad, ada empat kelompok gagasan yang menjadikan Islam (baca: agama) sebagai ideologi politik yang mau tidak mau berkaitan dengan keberadaan negara (NKRI), yakni: a.Pandangan Islam Modernisme Ciri utama pandangan Islam modern adalah berusaha memajukan Islam melalui pengembangan gagasan rasional, liberalisme dan modernisme. Mereka pada umumnya mengambil posisi melakukan sekularisasi ekonomi dan politik. Agama harus dipisahkan dari negara. Ekonomi harus dipisahkan dengan negara. Dalam pandangan ini, agama adalah persoalan spiritual dan berurusan dengan persoalan pribadi. Sedangkan negara lebih berurusan dengan persoalan duniawi yang mestinya bersifat rasional dan kolektif. b.Pandangan Islam Tradisional-Konservatif Sikap dasar dari pandangan ini adalah mengedepankan sikap moderat, kooperatif dan tidak oposan. Dengan sendirinya, terhadap keberadaan negara lebih akomodatif. Artinya, keberadaan negara diterima dengan bersikap kritis agar selalu berada dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat di dalam kebaikan. Pandangan ini merupakan mainstream di dalam masyarakat kita. c.Pandangan Transformisme Islam Ciri utama pandangan ini adalah Islam harus menjadi kekuatan progresif dan transformatif dengan tujuan utama menegakkan keadilan, membela masyarakat yang lemah dan terpinggirkan, serta melawan kezaliman politik atau pun ekonomi. Umumnya pandangan ini bergerak di lembaga-lembaga swadaya masyarakat. d.Pandangan Islam Fundamentalisme Akar fundamentalisme Islam setidak-tidaknya dapat ditelusuri dari permusuhan Barat dan dunia Muslim. Mereka menolak sekularisasi yang memisahkan agama dengan negara atau duniawi dengan ukhrowi. Mereka juga menolak westernisasi dan modernisasi. Dengan demikian, terdapat penolakan terhadap demokrasi, yang umumnya berorientasi sangat politis dengan basis-basis jamaah-jamaah yang sangat ekslusif. Dalam konteks demikian, meskipun tidak persis betul, hubungan agama dan negara dapat dirumuskan ke dalam tiga bentuk, yakni pertama apolitis. Dalam arti antara agama dan negara sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda. Pemahaman keagamaan yang apolitis dengan sendirinya bukan menjadi ancaman serius bagi keberadaan sebuah negara. Sebab, mereka secara otomatis terserap dalam negara. Agama dan negara merupakan domain yang berbeda. Kedua, adalah akomodatif. Dalam pengertian ini hubungan antara agama dan negara merupakan bersifat akomodatif dan kooperatif. Agama dan negara tidak dipisahkan, melainkan keberadaannya satu sama lain saling menopang dan mendukung. Di dalamnya cenderung tidak ada perjuangan yang berusaha mewujudkan adanya negara agama. Ketiga adalah politis. Dalam konteks ini diyakini bahwa antara agama dan negara merupakan sesuatu yang tak terpisahkan. Bentuk-bentuk aktivitas dan perjuangan yang dilakukan diarahkan pada terbentuk dan terwujudnya sebuah negara dan pemerintahan (Ad-daulah) yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dan dogma keagamaan. Dengan sendirinya, sangat besar kemungkinannnya berkembang gerakan pemikiran dan keyakinan dalam upaya menafikan/menentang keberadaan negara yang ada, karena dinilai sebagai rejim thogut. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan memiliki kecenderungan untuk menggantikan negara yang sudah ada. Gambaran semacam ini, sangat penting dalam rangka mempertimbangkan berbagai relasi yang dapat dan mungkin dibangun dalam kaitannya antara agama dan negara serta melihat celah komunikasi bagi tujuan penguatan kelembagaan kenegaraan dan penyelenggaraannya di dalam bingkai NKRI. Tentu saja penguatan semacam ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, pendekatan, dan tujuan. Satu diantaranya adalah melalui jalur pendidikan, seperti pondok pesantren. Pondok Pesantren: Tipologi Pemikiran Keislaman Sejarah dan keberadaan pondok pesantren di tanah air mempunyai akar yang dalam yang mencerminkan segi serta lingkup yang luas- sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama itu sendiri. Perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan RI pun juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pondok-pondok pesantren. Sejumlah pondok pesantren yang telah berusia tua dan pertama tersebar di tanah air adalah bagian dari realitas sejarah yang membuktikan catatan-catatan semacam ini. Misalnya di Solo ada Pondok Pesantren Jamsaren, Krapyak di Yogyakarta, Jombang, Ponorogo, Kudus, Demak, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, jumlah dan keberadaan pondok pesantren di Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat, kompleks, dan heterogen yang mencerminkan berbagai model dan pandangan ideologis yang berbeda-beda. Sebaran terhadap perkembangan ini tidak dapat dikatakan sedikit dan diremehkan keberadaannya. Artinya, keberadaan pondok pesantren sedikit banyak dapat dijadikan cerminan tipologi pemikiran dan pandangan keIslaman yang ada. Banyak atau hampir semua tipologi pemikiran keIslaman tertentu dibangun dan dikembangkan melalui jalur pendidikan, seperti pondok pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan keislaman. Galibnya sebuah lembaga pendidikan, seperti yang dikatakan Heru Nugroho (2005:143) merupakan arena perjuangan terhadap kekuasaan. Lembaga pendidikan merupakan tempat atau sebuah forum di mana di dalamnya terdapat transfer pengetahuan, nilai, budaya dan keyakinan termasuk menanamkan ideologi-ideologi politik tertentu. Pandangan yang kurang lebih sama seperti dikemukakan oleh Louis Althusser yang dikutip Stephen W. Littlejohn (2002: 211) yang menjelaskan bahwa pendidikan merupakan instrumen ideologis yang meneguhkan sebuah keyakinan dan nilai-nilai tertentu. Dengan begitu, dapat dilihat bahwa keberadaan pondok pesantren yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia ini berada dalam persimpangan dalam kaitannya dengan keberadaan dan tujuan penguatan NKRI. Pondok pesantren dapat menjadi arena tarik ulur kepentingan dan tujuan-tujuan ideologis. Ketika pondok pesantren dikonstruksikan bagi tujuan-tujuan ideologis politis yang menolak keberadaan NKRI, maka keberadaannya menjadi hibridisasi yang harus diwaspadai dan tantangan serius. Pada sisi lain, keberadaan pondok pesantren ini merupakan peluang dan aset bangsa yang sangat besar bagi kepentingan dan tujuan negara itu sendiri. Pondok pesantren telah banyak membantu negara dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, keagamaan, lapangan pekerjaan, budaya dan sosial kemasyarakatan. Jadi, untuk mempertegas batas-batas persimpangan atas keberadaan pondok pesantren dalam relasinya dengan negara, identifikasi terhadap keberadaan pondok pesantren di seluruh tanah air, perlu dilakukan. Bukan saja hanya semacam pemetaan terhadap keberadaan mereka, melainkan interaksi antara negara dan pondok pesantren perlu dilakukan secara lebih terbuka. Hubungan ini bukan semacam kontrol negara terhadap pondok pesantren, melainkan bagaimana partisipasi pondok pesantren menjadi hal yang penting bagi penguatan negara. Seperti yang dijabarkan Julie Chernov Hwang (2009:69-70), partisipasi kelompok-kelompok Islam merupakan yang penting. Inklusi institusional merupakan hal yang lebih penting daripada konsensi-konsensi materi dan tindakan keras yang dilakukan negara untuk menekan mereka agar meninggalkan kekerasan dan perlawanan terhadap negara. Banyak segi yang dapat dilakukan di dalam membangun inklusi institusional bagi pondok pesantren seperti memahami relasi antara kyai/ustad dengan pemerintah dan unsur-unsur masyarakat yang lain; memahami relasi kyai/ustad dengan santri; memahami budaya pondok pesantren; membuka akses yang lebih terbuka bagi teknologi dan masyarakat; pelibatan terhadap program pemerintah dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi; dan pembahasan dan pengembangan bersama terhadap kurikulum pondok pesantren yang melibakan kementerian terkait dengan pondok pesantren. Inklusi institusional ini tidak hanya menitikberatkan pada hubungan pemerintah dengan pondok pesantren. Inklusi ini perlu diperluas dengan melibatkan partisipasi antara sejumlah pondok pesantren dari berbagai aliran dan perspektif pemikiran serta keyakinannya. Interaksi dan komunikasi dari berbagai pemikiran mendekatkan jarak perbedaan pemahaman, khususnya hubungan mereka sendiri dan hubungan mereka dalam kaitannya dengan keberadaan negara. Adalah akan sangat menarik dan memberi pengaruh yang konstruktif, manakala pandangan Islam modernisme berdialog dengan Islam fundamental. Demikian pula akan memberi kemanfaatan yang lebih bersifat long term ketika pandangan Islam tradisional berinterakasi dan berkomunikasi dengan pandangan Islam modernisme. Dalam perspektif komunikasi, interaksi merupakan kunci yang secara gradual dapat menstransformasikan pemikiran yang berbeda ke dalam kerangka pikir dan kesepahaman terhadap sesuatu. Melalui interaksi, makna baru dapat diwujudkan yang disebabkan adanya persilangan pemikiran yang mengisi kekosongan argumentasi terhadap apa yang tidak atau sebelumnya tidak terlihat secara jernih. Melalui interaksi pula, sebuah kesadaran baru dapat muncul, karena disebabkan adanya fakta baru serta sudut pandang baru sebagai konsekuensi logis dari keterbatasan pemikiran dan pemahaman. Dengan demikian, penguatan kenegaraan ini mesti dipahami dalam kerangka kerja komunikasi. Kerangka kerja komunikasi ini mesti disinkronkan dengan dimensi penguatan terhadap NKRI. Dimensi Penguatan Negara: NKRI Negara mempunyai sumber kewenangan dan otoritas tertinggi dalam wilayah juridiksi tertentu. Negara sebagai integrasi kekuatan politik, mempunyai kekuasaan untuk menertibkan masyarakat yang di dalam operasionalisasinya mempunyai tujuan: a) Memelihara ketertiban umum (John Locke); b) Memajukan masyarakat dalam segala bidang (Plato); c) Memadukan aktivitas negara (Hegel); dan d) Menunjukkan dan mendistribusikan sumber-sumber daya material dan non-material (Karl Marx). Dalam konteks itu, penguatan kenegaraan jelas mempunyai kedudukan yang berbeda dengan penguatan pemerintahan. Semestinya, setiap periode kekuasaan pemerintahan, kebijakan utama yang dilakukan adalah melakukan penguatan terhadap negara. Meski kenyataannya, dua posisi ini tidak selalu bersifat simetris. Tidak ada jaminan, bila pemerintahan kuat menggambarkan kondisi negara kuat. Demikian pula tidak ada jaminan, bila negara kuat membawa pemerintahan yang kuat. Di sini, negara dapat dianalogikan sebagai wadah yang mengakomodasi berbagai kepentingan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Sementara pemerintah adalah pelaksana yang menjalankan mesin organisasi dan struktur negara. Bila kualitas dan landasan negara terbangun dengan baik, setidak-tidaknya memberi dukungan dan pengaruh bagi pelaksanaan pemerintahan. Sebaliknya, bila pemerintahan yang dijalankan berkualitas, semestinya menyumbang pada penguatan kelembagaan kenegaraan, sehingga semakin matang dan disegani. Interplay antara pemerintah dan negara ini pada gilirannya menentukan percepatan pencapaian cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 itu sendiri. Pertanyaannya kemudian, seberapa luas lingkup penguatan terhadap negara? Siapa yang bertangungg jawab terhadap penguatan negara? Untuk pertanyaan pertama, jawabannnya memerlukan perumusan tersendiri. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, tentu saja jawabannya pemerintah dan masyarakat Indonesia itu sendiri. Dimensi penguatan terhadap negara setidak-tidaknya diarahkan pada penguatan pilar kenegaraan. Pertama, penguatan terhadap dimensi kesejarahan bangsa. Jatuh bangunnya sebuah bangsa dan negara, ditentukan oleh ingatan terhadap sejarah dirinya. Sebuah bangsa yang lupa terhadap dirinya, sangat mudah kehilangan arah dan mudah mengalihkan pada pandangan dan ideologi politik yang lain serta tidak berakar pada kesejarahan dirinya. Perjuangan bangsa merupakan perjuangan melawan lupa terhadap pilar kesejarahan, khususnya tentang bagaimana sebuah negara ditegakkan. Kesejarahan bangsa ini harus kembali diingatkan dalan konstelasi membangun dan mendefinisikan serta mengingatkan siapa kita, siapa bangsa Indonesia dan mengapa NKRI. Penguatan kesejarahan ini pun harus berkompetisi dan bertarung dengan cerita kesejarahan lain, baik cerita kesejarahan keagamaan, cerita heroik negara lain, cerita heroik primordialisme atau ideologi lain serta cerita yang mungkin sangat tidak bermutu tetapi memberi hiburan yang melenakan. Dimensi penguatan negara yang kedua adalah penguatan terhadap ideologi negara. Pancasila yang merupakan ideologi negara merupakan capaian dan pemikiran yang sangat cerdas dan futuristik yang menyatukan perbedaan yang ada ke dalam visi kenegaraan yang matang. Sebagai ideologi negara, keberadaannya mesti sering dibicarakan, didiskusikan, diwacanakan serta dijabarkan ke dalam rumusan-rumusan yang dinamis, terbuka dan berperspektif maju. Karena itu, kesalahan kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan, tidak dapat dijadikan alasan menjadi phobia terhadap ideologi negara ini, sehingga takut untuk membicarakan, mendiskusikan, mewacanakan, atau menjabarkan ke dalam rumusan-rumusan kebijakan yang tepat. Ketiga, penguatan negara terhadap konstitusi. Konstitusi negara merupakan fundamen penting bagi terjaminnya pelaksanaan kenegaraan dan kepemerintahan. Penguatan ini dapat diwujudkan implementasi kerja sebagai amanat konstitusi tersebut, tetapi penguatan ini juga dapat dilakukan terhadap kandungan konstitusi itu sendiri. Setidak-tidaknya yang dapat dicatat di sini, konstitusi negara (UUD 1945) telah mengalami amandemen sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002. Pokok gagasannya tidak terletak pada amandemennya, melainkan apakah perubahan itu membawa pada penguatan konstitusi negara atau tidak. Keempat, penguatan ekonomi bagi penduduknya. Basis kekuatan NKRI salah satunya terletak pada penduduknya. Penguatan kenegaraan, bila dijauhkan dari penguatan ekonomi bagi warga negaranya, sebenarnya kurang memiliki makna yang berarti. Pilar ekonomi secara tegas dinyatakan di dalam konstitusi. Dikatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Kelima, penguatan militer, pertahanan dan keamanan. Penguatan negara terhadap militer, pertahanan dan keamanan, tidak dimaksudkan sebagai militerisasi kekuasaan dan pemerintahan. Dalam bingkai kenegaraan-militer, pertahanan dan keamanan itu seharusnya kuat, terlepas dari siapa yang memerintah dalam pemerintahan NKRI. Sebab, dalam kondisi tertentu, diperlukan institusi yang dapat menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan sebuah negara. Salah satunya di dalam institusi militer. Selain itu, secara tidak langsung, penguatan terhadap militer, pertahanan dan keamanan, diperlukan penguatan terhadap penguasaan teknologi. Selain dimensi pokok tersebut, masih terdapat beberapa dimensi lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat memperkuat keberadaan negara seperti penguatan politik dan penguatan budaya. Pondok Pesantren dan Penguatan NKRI Posisi pondok pesantren bagi umat Islam sangat penting dan mempunyai akar kuat dalam sejumlah tradisi keIslaman di Indonesia. Pondok pesantren yang ada mempunyai varian kegiatan dan orientasi ideologis berbeda-beda. Setiap pondok pesantren mempunyai patronase, struktur keorganisasian, dan corak pengembangan pendidikan tertentu. Sudah tentu, posisi dan sikap pondok pesantren terhadap negara, tidak sama baik dalam intensitas serta jarak hubungan yang telah terbentuk: akomodatif, kooperatif atau pun antipati. Keberadaan pondok pesantren secara keseluruhan merupakan aset bangsa yang penting. Dalam kedudukannya, sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, lembaga keagamaan atau pun lembaga ekonomi, pondok pesantren langsung berhubungan dengan kepentingan dan keinginan masyarakat yang membentuk nilai, orientasi, keyakinan dan tujuan-tujuan tertentu. Dalam setiap tahunnya keluaran dan keinginan masyarakat untuk memasukkan anak-anak mereka ke pondok pesantren, tidak dapat disebut sebagai jumlah yang kecil. Artinya, keberadaan pondok pesantren mempunyai tempat tersendiri dalam menerima kepercayaan masyarakat bagi proses pendidikan. Kenyataan bahwa pesantren bisa diterima masyarakat merupakan suatu hal yang menarik, ketika gerakan dan pemikiran terhadap penguatan negara, lahir dan dikembangkan dari pusat-pusat pendidikan kepesantrenan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan perkataan lain, bagaimana menginisiasi pondok pesantren yang dalam jangka dan periode waktu tertentu, lebih banyak dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan yang muted group ditarik ke dalam pusat pusaran yang lebih kuat di dalam program kegiatan penguatan negara. Pondok pesantren dapat ditempatkan sebagai lembaga yang melakukan penguatan kesejarahan bangsa yang menjelaskan tentang akar kesejarahan bangsa, kesejarahan keIndonesiaan dan kesejarahan NKRI. Pemikiran mereka di dalam merumuskan dan mendefinisikan akar kesejarahan yang memperkuat keberadaan NKRI. Demikian pula penguatan terhadap ideologi negara, konstitusi atau pun penguatan ekonomi negara. Arus besar ini, perlahan-lahan akan menarik berbagai varian ideologi yang dikembangkan dalam berbagai pondok pesantren ke dalam forum bersama, pertukaran pikiran, sumbangsih dan saran serta pendapat di dalam melakukan penguatan-penguatan kenegaraan. Di sini, satu sisi inisiasi yang menempatkan pondok pesantren sebagai sentral pemikiran dan gerakan terhadap penguatan negara, akan mempertemukan berbagai corak pondok pesantren yang berbeda, sedangkan di sisi lain, pertemuan itu menempatkan kedudukan pondok pesantren sebagai tempat yang secara politis penting. Sumber pemikiran politik, kenegaraan, dan kekuasaan, tidak lagi dipersepsikan lahir dari perguruan tinggi, organisasi sosial politik, DPR atau pun lembaga kepresidenan, melainkan juga lahir dari pondok pesantren. Dengan perkataan lain, posisi tersebut akan menempatkan pondok pesantren mempunyai partisipasi politik dalam kehidupan kenegaraan yang jelas. Oleh karena itu, dengan sendirinya hubungan antara pondok pesantren dan negara tidak lagi didasari unsur kecurigaan. Komunikasi: Menakar Kekuatan Interaksi Berdasarkan paparan tersebut di atas, baik secara langsung atau tidak langsung menunjukkan bahwa posisi komunikasi sangat penting dan strategis. Aspek penting dari komunikasi adalah kemampuan menstruktur dan mengkonstruki realitas. Sementara dari perspektif ini, komunikasi merupakan sebuah kekuatan ampuh yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam sebuah diktum komunikasi misalnya, disebutkan bahwa kita tidak dapat tidak untuk berkomunikasi/ we can’t not communicate ( Bower and Bradac, 1982). Pengertian dasar komunikasi itu sendiri adalah membangun makna, menciptakan kesepahaman, interaksi, tersampaikannya pesan, serta membangun hubungan. Dengan pengertian itu, melalui komunikasi, unsur-unsur yang menimbulkan kecurigaan, ketidakpercayaan, keraguan, benih-benih konflik, penolakan atau kebencian, dapat diubah dan ditransformasikan ke dalam terciptanya pengertian yang sama, hubungan yang harmonis, kepercayaan dan kesetiaan. Dengan perkataan lain, cara penerimaan atau penolakan diri terhadap orang atau sesuatu, sebenarnya ditentukan oleh cara orang lain atau sesuatu menempatkan dirinya. Dalam perspektif komunikasi, bila seseorang menempatkan orang lain sebagai musuh, maka orang lain itu juga akan menempatkan orang itu sebagai musuh. Definisi seseorang terhadap sesuatu ditentukan oleh cara orang itu melihat dan menempatkannya-taking the role of other (Turner, 1998:361). Para ahli komunikasi sangat yakin bahwa dengan komunikasi, perubahan dapat dicapai. Melalui kekuatan komunikasi, kebencian dapat berubah menjadi kesetiaan, curiga menjadi percaya, penolakan menjadi penerimaan. Ini menjelaskan bahwa komunikasi mampu memproduksi realitas-realitas baru yang mungkin sebelumnya dipikirkan sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Semua menjadi sangat terbuka, karena di dalam sudut pandang komunikasi, makna dan pemahaman dapat dinegosiasikan. Setiap sudut pandang dapat dipahami sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari adanya perbedaan frame of experience dan frame of reference. Sementara terbentuknya frame of experience dan frame of reference adalah melalui interaksi. Bila di kemudian hari, proses terbentuknya frame of experience dan frame of reference diketahui sebagai sesuatu yang salah, sesat dan tidak benar, maka hanya komunikasi yang mampu melakukan perbaikan dan koreksi. Persepsi yang salah terhadap negara misalnya, dapat diperbaiki melalui komunikasi. Betapapun rumit peta pemikiran keagamaan terhadap keberadaan negara, khususnya NKRI, yang berkembang di masyarakat, masih terdapat celah penting yang dapat digunakan untuk membangun kesepahaman terhadap lembaga pesantren dalam rangka dan tujuan penguatan NKRI. Lagi pula, dimensi penting bagi penguatan negara, seperti penguatan pemahaman terhadap kesejarahan bangsa, penguatan ideologi negara, konstitusi negara sebagai pilar pokok negara, bila dicermati merupakan masalah komunikasi, yakni menyangkut bagaimana hal itu disampaikan. Posisi komunikasi sangat penting dan strategis dalam membangun dan memperkuat NKRI. Mempertemukan berbagai varian pemikiran dan ideologi politik yang berbeda yang berkembang dalam lembaga pondok pesantren, juga persoalan komunikasi. Jadi, optimisme ini sangat beralasan bahwa celah komunikasi dapat merupakan cara di dalam membentuk kesepahaman antar lembaga pendidikan pesantren dalam rangka penguatan NKRI. (*) Rujukan Pustaka Ali, As,ad Said , 2002, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Jakarta: LP3ES Bower, John White and Bradac, James J “ Issue in Communication Theory: A Metatheoretical Analysis, “ in Michel Burgoon and New Brunswick (ed), 1982, Communication Yearbook 5, New Jersey: Heinemann Hwang, Julie Chernov, 2009, Peaceful Islamist Mobilization in the Muslim World, New York: Palgrave Macmilan Littlejohn, Stephen W, 2002, Theories of Human Communication, CA: Wadworth Turner, Jonathan H, 1998, The Structure of Sociological Theory, CA: Wadworth MPR RI, 2011, Materi Sosialisasi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI, Jakarta: Sekretaris Jenderal MPR RI
Posted on: Thu, 05 Sep 2013 04:47:04 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015