Membuat Bayi Prematur Tumbuh Sehat dan Kuat Potret pelaku usaha - TopicsExpress



          

Membuat Bayi Prematur Tumbuh Sehat dan Kuat Potret pelaku usaha kecil yang menuai sukses dalam program inkubator bisnis Suara bising mesin jahit terdengar saling bersahutan dari bangunan yang terletak di RT 003 RW 01 Cipayung Jaya, Depok, Jawa Barat, Rabu (30/7) dua pekan lalu. Tapi, aktivitas di bangunan yang tidak terlalu besar itu bukan hanya menjahit. Ada pekerja yang memotong kain, ada juga yang mengemas produk sesuai jenis dan ukuran. “Pabrik” bra milik Saprin itu merupakan satu dari lima pa-brik bra yang tersisa di Cipayung Jaya. Padahal dulu, daerah ini tersohor sebagai sentra industri pakaian dalam wanita. Bahkan, Cipayung Jaya mendapat julukan Kampung Kutang. Di masa jaya hingga awal tahun 2000, ada sekitar 60 pelaku usaha kecil berbasis home industry yang memproduksi bra di Cipayung Jaya. Produk dari sini juga diekspor ke Timur Tengah. Tapi, masa keemasan Cipayung Jaya sebagai sentra industri bra mulai memudar. Satu per satu “pabrik” gulung tikar. Puncaknya saat bra asal China menyerbu masuk ke Indonesia. Mereka kalah bersaing dengan bra buatan Negeri Tembok Raksasa yang jauh lebih murah, tapi dengan kualitas yang sama, bahkan kadang lebih baik. Menurut Saprin, di masa emasnya, “pabrik” miliknya bisa memproduksi 1.500 lusin bra per minggu dengan omzet mencapai Rp 200 juta. Ketika itu, ia pun sanggup mempekerjakan 40 orang. Tapi sekarang, “pabrik”-nya hanya menghasilkan 750 lusin bra seminggu. Alhasil, dia terpaksa memangkas jumlah karyawannya menjadi tinggal 30 orang. Kini, pesanan yang datang hanya dari penjual di Pasar Tanah Abang, Pasar Jatinegera, dan Lampung, dengan sistem borongan. Modal, pemasaran, dan kualitas barang menjadi masalah utama pengusaha bra di Cipayung Jaya. Jadi, “Cuma bisa pasrah saja, buat modal kadang jual tanah,” kata Saprin yang meneruskan usaha ayahnya sejak tahun 2000. Celakanya, pemerintah tidak berbuat banyak untuk menggembalikan masa kejayaan Kampung Kutang, Cipayung Jaya. “Dari awal kami berusaha sendiri tanpa ada bantuan pihak lain,” ungkap Saprin. Memang, Saprin bilang, Pemerintah Kota Depok pernah datang ke “pabrik”-nya dan “pabrik” bra lain yang tersisa di Cipayung Jaya. Sehabis itu, banyak bank yang menawarkan pinjaman modal. Namun, “Pinjam duit ke bank harus pakai jaminan dan bunganya tinggi, ini yang berat,” keluhnya. Produsen bra lain yang masih bertahan di Cipayung Jaya adalah M. Yasin. Sejak 2003 lalu sampai sekarang produksinya tak pernah beranjak dari 600 lusin bra per minggu dengan 24 pekerja. “Kami sulit menambah produksi karena kalah dengan produk luar,” ujarnya. Bahan baku mahal Yasin tak menampik, mutu bra buatannya memang di bawah produk impor. Sebab, bahan baku yang dia gunakan kasar dan kurang bagus. Bra impor tak hanya menang dari segi bahan baku, tapi juga variasi warna yang mencapai 12 macam. Sedang bra made in Cipayung Jaya cuma mengandalkan empat warna, yakni merah, pink, coklat muda, dan hitam. “Kami bukan tak bisa memproduksi barang bagus. Masalahnya pekerja susah, peralatan, dan teknologi, serta bahan baku juga mahal. Kalau mau bagus, tentu saja modalnya harus besar juga,” tegas Yasin. Lantaran mutu yang kurang bagus, Yasin mengungkapkan, bra bikinan Cipayung Jaya sulit menembus pasar Jabodetabek. “Agen di Tanah Abang dan Jatinegara yang mendistribusikan ke daerah-daerah. Di Jabodetabek, kami tak pernah menemukan produk buatan Cipayung Jaya dijual,” tambahnya. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, Saprin, Yasin, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lainnya harus menghadapi pasar bebas, bersaing dengan produsen China. Tantangan semakin berat lantaran Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 siap bergulir. Itu berarti, produk-produk UMKM Indonesia harus bersaing juga dengan negara tetangga di Asia Tenggara. Saprin dan Yasin kompak mengatakan, UMKM kita tidak bisa jalan sendiri menghadapi pasar bebas, butuh pendampingan pemerintah. “Dan semestinya pemerintah intensif melakukan pembinaan sejak dulu,” imbuh Yasin. Sadar UMKM Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi pasar bebas, pemerintah mulai serius melakukan pembinaan agar agar pengusaha mikro, kecil, dan menengah bisa bersaing dan bertahan. Salah satunya adalah dengan mengembangkan inkubator kewirausahaan yang melibatkan perguruan tinggi. Pemerintah melibatkan perguruan tinggi untuk membuat inkubator bisnis yang bertugas membina UMKM di daerah. Dengan UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), salah satunya. Langkah ini boleh dibilang terlambat memang karena Thailand sudah mendirikan inkubator bisnis sejak tahun 2005 lalu. Tapi, masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Menyasar usaha baru Sejatinya, UKM Center FE UI sudah membangun inkubator bisnis sejak mereka berdiri tahun 2005 lalu, tapi secara informal. Tahun 2012, barulah mereka mendirikannya secara formal ketika pemerintah menggandeng pusat UKM ini. Saat ini, ada tujuh UMKM yang mengikuti program inkubator bisnis UKM Center FE UI, misalnya Sehati, Dreamdelion, Nara Kreatif, dan Orange. “Program inkubator bisnis manfaatnya banyak,” kata Dwi Widaryanti, pemilik Sehati. Ambil contoh, empat produk Sehati sekarang sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI) Kementerian Hukum dan HAM, yaitu ayam kampung kremes instan, ayam negeri kremes instan, bebek kremes instan, dan bandeng presto lengkap dengan sambal terasi. Lebih dari itu, Dwi menyatakan, setelah ikut program inkubator bisnis tahun lalu, ia mendapat semangat baru karena selama pendampingan memperoleh motivasi dan menemukan solusi dalam menghadapi kendala usaha. “Jadi punya misi dan visi yang jelas ke depan, produk saya juga bisa mendapat sertifikasi dari Ditjen HaKI dan halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI),” ujarnya. Dwi yang rajin mengikuti konsultasi inkubator bisnis setiap Jumat juga giat menghadiri seminar, pelatihan, dan pameran yang difasilitasi UKM Center FE UI. “Kini, pemasaran produk saya lebih efektif karena UKM Center FE UI, kan, jaringannya luas,” kata dia senang. Tak hanya itu, makanan instan buatan Dwi juga sudah memenuhi standar kemasan dan keamanan pangan. Produk Sehati tidak mengandung bahan pengawet, bebas monosodium glutamate (MSG), dan tanpa bahan pewarna buatan. Saat ini, produksi Sehati sudah satu kuintal sehari. Hebatnya, produk mereka sudah masuk ke lima supermarket di daerah Depok dan sekitarnya. Dengan bantuan empat pekerja, Dewi mengantongi omzet sebesar Rp 50 juta per bulan. Padahal, di awal usahanya, Dwi hanya bermodal uang Rp 200.000. Dia berkeliling Kampung Warung Silah, Jagakarsa, untuk menjajakan ayam ungkep presto racikannya. Manfaat besar ikut program inkubator bisnis UKM Center FE UI juga dirasakan Alia Noor Anoviar. Pendiri Dreamdelion yang bergerak di jasa pelatihan kerajinan tangan sekaligus memproduksi kerajinan tangan mengaku usahanya sekarang lebih terarah. “Punya visi serta misi yang jelas,” tutur Chief Executive Officer (CEO) Dreamdelion yang masih berstatus mahasiswi UI ini. Omzet usaha Alia memang masih terbilang mini, baru Rp 15 juta per bulan. Tapi, angka ini cukup besar bagi sebuah usaha yang baru berjalan satu tahun tersebut. Dreamdelion yang berbasis di daerah Manggarai, Jakarta Selatan, ini berdiri pada Juli 2012 lalu. Dewi Meisari Haryanti, Wakil Kepala UKM Center FE UI, menjelaskan, program inkubator bisnis lembaganya menyasar UMKM yang baru berdiri. Soalnya, usaha baru tergolong ringkih kalau tidak mendapat pendampingan melekat. “Umumnya belum memiliki sumber daya, konsep, dan rencana bisnis yang matang,” katanya. Selain itu, pelaku usaha baru juga rentan dengan tantangan teknis dan operasional yang sering membuat mereka patah semangat. Itu sebabnya, kehadiran inkubator bisnis punya peranan sangat penting bagi UMKM karena umumnya mereka rentan terhadap kebangkrutan terutama pada fase memulai usaha atawa start-up. Pada fase ini, UMKM ibarat bayi yang masih prematur. Biasanya mereka perlu perlakuan khusus sehingga bisa hidup menjadi bayi normal dan terhindar dari risiko kematian. Nah, inkubator bisnis dirancang untuk membantu UMKM baru dan sedang berkembang sehingga mapan serta mampu meraih keuntungan. Ada 7S layanan yang program ini tawarkan: space, shared, services, support, skill development, seed capital, dan synergy. Namun, Dewi mengingatkan, dalam praktiknya, inkubator bisnis tidak gampang dijalankan. Kunci keberhasilan program ini adalah ketangguhan fasilitator dalam mendampingi UMKM. Sebab, fasilitator tidak memberikan solusi tapi menggali hal-hal yang ada pada UMKM dan mengarahkan untuk mencari solusi sendiri. Sentuhan inkubator bisnis harus sampai di Cipayung Jaya. Tanpa itu, bisa jadi kejayaan Kampung Kutang benar-benar tinggal kenangan. (KONTAN Edisi 19-26 Agustus 2013)
Posted on: Tue, 17 Sep 2013 07:02:34 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015