Menarik untuk kita simak ... ENGGEMUKKAN SYAHWAT DAN HAWA NAFSU DI - TopicsExpress



          

Menarik untuk kita simak ... ENGGEMUKKAN SYAHWAT DAN HAWA NAFSU DI BULAN RAMADHAN DAN SYAWWAL By Alfathri Adlin Adalah lazim bahwa umat Islam pada umumnya telah sering mendengar salah satu fungsi shaum itu adalah untuk latihan mengendalikan diri dari tarikan syahwat dan hawa nafsu. Syahwat adalah hasrat materi, sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali Imran [3]: 14, yaitu hasrat dan kecintaan terhadap perempuan, anak, emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Sementara hawa nafsu adalah hasrat imateri, misalnya merasa tersinggung karena dianggap bodoh, ingin dianggap terpandang di lingkungannya, dengki, iri hati, memandang rendah orang lain dan hasrat-hasrat imateri lainnya. Terkait dengan kedua hasrat tersebut, dalam hadisnya Rasulullah saw mengatakan bahwa pada bulan Ramadhan, setan-setan itu dirantai. Menurut seorang ulama, pengertian di rantai dalam hadis tersebut bukanlah dalam pengertian harfiah bahwa setan itu dirantai seperti halnya narapidana. Akan tetapi, maksudnya bahwa pada bulan Ramadhan, sekalipun setan tetap berkeliaran, namun pengaruh mereka melemah. Karenanya, bulan Ramadhan menjadi saat yang paling baik bagi siapa pun untuk bercermin. Apabila di sepanjang Ramadhan, ternyata dia masih suka marah-marah, bahkan hingga kalap, hal itu lebih menunjukkan wataknya yang sebenarnya selama ini. Juga apabila masih suka bergunjing, mendengki, melampiaskan hasrat seksual secara visual di warnet, dan lain sebagainya, maka itulah wataknya yang sebenarnya, padahal pengaruh setan terhadap dirinya melemah. Karena itu, kualitas pengendalian diri saat Ramadhan pun bertingkat-tingkat. Imam Al-Ghazali membaginya menjadi tiga tingkatan kualitas, yaitu: puasa umum, yaitu menahan syahwat yang berupa lapar dan seksual; puasa khusus, yaitu, menahan pandangan, penglihatan, lidah, tangan; dan puasa khusus dari yang khusus, yaitu menahan pikiran-pikiran rendah dan duniawi. Namun, hal yang mungkin sering orang lupakan bahwasanya ketimbang menguruskan syahwat dan hawa nafsu di bulan Ramadhan, dan juga Syawwal, alih-alih, yang terjadi malah penggemukan syahwat dan hawa nafsu. Perkara penggemukan syahwat yang paling lazim terjadi adalah saat berbuka. Setelah seharian perut dikosongkan dari makanan dan minuman, ketika berbuka, terjadilah “pembalasan dendam” yang dilakukan dengan makan sebanyak-banyaknya. Ini tak ubahnya seperti membuat singa kelaparan untuk sekian lama, dan kemudian mengumpankan korban yang langsung di lahap habis. Singa tersebut tidak akan menjadi terbiasa makan sedikit. Malahan sebaliknya, syahwat perutnya akan semakin menjadi-jadi. Untuk manusia, pengendalian syahwat tersebut harus dibarengi dengan pengetahuan. Bukan asal menahan lapar (tentu siapa pun sudah tahu hal ini), tapi juga menahan diri ketika sedang makan. Maksudnya, bukan semata menahan diri dari dorongan untuk makan banyak, tapi juga menahan diri dari hasrat untuk langsung merasakan makanan yang enak. Seorang ulama lainnya pernah mencontohkan bahwa sebaiknya seorang muslim itu membiasakan diri bahwa ketika sedang makan, dia hanya mengambil nasi putihnya dulu, tanpa dilengkapi lauk pauk. Suaplah nasi putih itu saja kurang lebih tiga sendok. Setelah itu, barulah ambil lauk pauk dan sayuran yang menjadi teman makan nasi. Apa maksud dari ajarannya ini? Belajar bersabar. Bayangkan, setelah lapar seharian, dan di hadapan kita ada sekian lauk pauk dan sayuran enak kesukaan kita, namun kita memilih untuk mendidik diri sendiri agar bersabar. Memilih memakan nasi putih terlebih dahulu yang tidak ada rasanya, ketimbang langsung merasakan enaknya lauk pauk dan sayur kesukaan kita. Dengan cara ini, bukan cuma syahwat yang dididik, taoi juga hawa nafsu untuk terburu-buru pun ikut ditempa. Apabila kita belum sempat melakukan hal ini di bulan Ramadhan, semoga kita masih melakukanya di saat shaum sunnah di bulan Syawwal, shaum sunnah Senin Kamis dan tiga hari di pertengahan bulan. Selain itu, Ramadhan pun berpotensi untuk menggemukkan badan kita dalam pengertiannya yang harfiah, yaitu melalui cara berbuka dengan makanan dan minuman yang manis. Rasulullah Saw tidak pernah mencontohkan bahwa berbuka itu hendaknya dengan yang manis. Beliau hanya mencontohkan kurma atau minum air putih. Permasalahannya, kurma yang kita makan di Indonesia berbeda dengan kurma yang dimakan oleh Rasulullah saw. Kurma yang sampai ke Indonesia adalah “manisan” kurma yang telah ditambahi dengan gula. Kenapa berbuka puasadengan yang manis justru merusak kesehatan? Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga memakan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik secara langsung. Sangat tidak sehat. Sementara karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan. Selain itu, di zaman sekarang, ada satu cara penggemukan syahwat dan hawa nafsu yang unik ketika bulan Ramadhan, yaitu paket berbuka puasa di hotel mewah bersama beberapa selebritis yang harga tiket masuknya memang mahal. Dalam acara berbuka puasa ini, menu makanan yang ditawarkan pun pastilah bukan makanan sederhana dan murahan. Di sinilah syahwat mengalami penggemukan. Sementara, citra gengsi berbuka puasa di hotel mewah dan bertemu dengan selebritis menjadi wahana untuk menggemukkan hawa nafsu. Kemudian, di penghujung Ramadhan, menjelang Syawwal, ada mekanisme penggemukan syahwat dan hawa nafsu lainnya yang sudah menjadi rutinitas tahunan, yaitu makanan enak dan belanja. Biasanya, bulan syawwal menjadi bulan yang cukup menyibukkan bagi para dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis syaraf. Pada bulan Syawwal, biasanya terjadi peningkatan pasien yang penyakit jantungnya kumat atau terserang stroke, dan penyakit dalam lainnya yang disebabkan karena kebanyakan makan makanan enak dan berkolesterol tinggi. Tentunya ini merupakan hal yang ironis, bahwa setelah “digembleng” sebulan penuh di bulan Ramadhan untuk “menahan” syahwat, yang terjadi malah penggemukan syahwat yang memperlihatkan batang hidungnya pada bulan Syawwal. Selain itu, di bulan Syawwal pun tak jarang terlihat penggemukan hawa nafsu berupa pameran individu atau keluarga ihwal segala barang baru, entah itu pakaian baru, perabotan baru, dan lain sebagainya. Sedikit banyak kita bisa merenungkan bahwa ada dorongan hawa nafsu untuk memperlihatkan citra yang memukau dari diri kita kepada orang lain dalam bentuk materi, entah itu kepada yang datang bersilaturahmi, atau ketika akan bersilaturahmi kepada orang lain. Tak jarang ada saja orang yang merasa kecil hatinya ketika tidak dapat memperlihatkan aspek material baru yang dimilikinya saat merayakan 1 Syawwal atau Idul Fitri. Benarlah Rasulullah saw ketika beliau bersabda bahwa datangnya penyakit itu dari makanan dan pikiran. Karena itu pulalah, Imam Al-Ghazali pun memaparkan bahwa shaum yang khusus dari yang khusus adalah shaum yang bahkan bisa mengendalikan bukan hanya makanan, tapi juga pikiran. Karena itu, di bulan Syawwal, tidak ada salahnya kita melihat ke belakang lagi, ke Ramadhan yang sudah kita lewati dan merenung: “Apakah Ramadhan yang kita lewati berhasil menguruskan syahwat dan hawa nafsu kita, ataukah malah menggemukannya?” Wallahu ‘alam bi shawwab. 6 jam yang lalu sekitar Garum, Jawa Timur
Posted on: Tue, 09 Jul 2013 09:51:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015