Menyelami kebencian wanita. Apa beda antara perempuan dan lelaki - TopicsExpress



          

Menyelami kebencian wanita. Apa beda antara perempuan dan lelaki kalau hatinya sudah benci? Perbedaannya sangat besar dan nyata. Lelaki yang umumnya rasional dan tidak suka ribet cenderung melihat dunia dan berbagai fenomena di dalamnya secara hitam putih. Jarang mereka mau repot-repot memilah, menganalisa dan membuat perkecualian. Mereka mahluk yang praktis dan menyukai hal yang pasti-pasti saja, walau tidak semuanya begitu. Ada juga lelaki pemikir dan perenung, dan lebih banyak bergaul dengan para malaikat di awang-awang. Selebihnya adalah spesies macho yang efisien, rasional, realistis dan maunya yang serba tegas dan empiris—termasuk juga dalam urusan benci-membenci. Laki-laki kalau sudah benci ya benci. Mahluk yang menjadi duri di dagingnya itu bisa dicaci-maki, disumpah-sumpahi, dijotosi, dipermalukan atau kalau perlu dibikin sengsara sampai mati. Terlebih jika mahluk yang dimaksudkan adalah mantan kekasih hati yang pernah mengecewakan, mempermalukan, memperhinakan, merusak rencana dan visi hidupnya, tidak peduli mantan itu berkelamin perempuan atau sesama lelaki. Lain ihwalnya dengan kekasih Tuhan yang bernama wanita, perempuan atau organisme betina. Jika ada teknologi canggih yang bisa memindai dan memvisualisasikan sisi otak dan atau lipatan hati wanita yang dihinggapi virus rasa benci, kita bisa terperangah, keheranan, terharu atau menangis darah. Gambaran kebencian yang bersarang di dalam dada perempuan tak pernah hitam-putih atau tegas alias ‘zaklijk’ dalam bahasa Belanda. Kebencian perempuan dipenuhi gradasi, spektrum ribuan warna, sarat pesan rahasia dan yang terasa mustahil di kuping lelaki: kebencian wanita kadang ada indahnya. Kalau perempuan masih bisa memaki atau melabrak, kemungkinan besar bibit kebencian itu masih bisa diatasi. Pihak-pihak yang berseteru masih bisa rujuk, berbaikan, saling memaafkan meski tak mudah melupakan kesalahan lawannya. Perempuan yang sudah benar-benar muak dan benci bisa bersikap amat manis dan berbahasa amat santun, namun pandanglah mata mereka saat kalian bertemu muka: kalian akan saksikan kegelapan dasar jurang yang tak pernah tersentuh sinar mentari. Seperti itulah gambaran dirimu di matanya. Dia bisa menjaga sikap, tabiat, tutur kata dan sopan-santun yang dipersyaratkan tata karma peradaban. Namun di mata dia kau sudah jadi penghuni kuburan. Itu terjadi kalau kesalahanmu benar-benar tak lagi bisa diampuni. Lain lagi ceritanya kalau perempuan membenci mantan kekasih hati yang pernah menyentuh hati, jiwa dan galihnya sebagai wanita. Lelaki yang pernah berbagi kehangatan bersamanya, lelaki yang pernah memberi dia arti dan menjadikan hidupnya sesaat terasa lengkap dalam jagad kecilnya. Rasa cinta yang berubah jadi benci di dalam dada wanita sungguh amat rumit dan sulit ditafsirkan kecuali oleh dirinya sendiri. Jangan kalian kira kalau perempuan sudah membenci bekas kekasihnya lantas hatinya suwung, gersang, kering kerontang dan tak ada lagi sisa kelembutan atau getar hasrat. Kalau kalian pernah berpikir seperti itu, tolong banyak-banyaklah melihat film drama Hollywood, membaca buku psikologi wanita, membaca novel bermutu (misalnya: Wuthering Heights—Emily Bronte, Lady Chatterley’s Lover—DH Lawrence, Ana Karenina—Tolstoy, atau trilogi Ronggeng Dukuh Paruk—Ahmad Tohari). Buku-buku karya pujangga sastra itu akan membuka mata kalian perihal kebencian wanita. Benci bisa syahdu, benci bisa indah, benci bisa erotis, benci bisa menghancurkan sekaligus menghidupkan. Wanita bisa menghayati kebencian yang membakar hati dan merayapi ubun-ubunnya, namun lubuk jiwanya masih menyimpan semua memori, sentuhan, sensasi keindahan, syahdunya percumbuan, atau getar suara lelaki yang membisikkan kata cinta atau sekeping janji. Ketika hubungan mereka buyar karena suatu aral atau sandungan, kebencian di dalam hati, jiwa dan pikiran wanita itu menjelma menjadi lukisan, puisi, naskah drama atau memoir yang makna dan pesannya amat mendalam. Boleh jadi dia tak pernah benar-benar melaknat lelaki yang menoreh luka di hatinya. Yang dia kutuk adalah nasib yang mempertemukan mereka. Yang dia hujat adalah perbuatan khianat dan dusta lelakinya, yang dia sesali adalah jalinan nasib yang mempertautkan jiwa dan tubuh keduanya saat mereka khilaf, berahi atau sama-sama bernafsu. Di sudut jiwanya yang terdalam wanita masih menyimpan dan mengabadikan raut wajah tampan yang memabukkan, kehangatan yang menggairahkan, lekuk-liku kejantanan lelaki berikut semua tingkah nakal dan manjanya, yang pasti akan dia simpan hingga memutih rambutnya. Pada momen-momen rawan ketika wanita itu sepi hati atau kesal pada pasangan hidupnya, kenangan lama yang bersalut rasa benci itu bisa hadir tiba-tiba atau sengaja dia hadirkan di sela-sela desahan napas dan linangan air mata. Wanita yang dikecewakan tak pernah benar-benar membuang sosok pujaannya. Dari bibirnya masih terucap doa dan pengharapan terbaik bagi kumbang liar yang pernah singgah di taman hatinya. Makanya jangan heran kalau dalam dialog film drama atau kehidupan nyata ada perempuan bersimpuh mengiba: “Tolong pergilah, bantu akau melupakan dan membencimu, aku tak sanggup lagi begini bersamamu.” Sesungguhnya mahluk yang penuh cinta itu tengah membuka pintu pengampunan yang seluas-luasnya. Dia tak rela lelaki yang pernah meruntuhkan tembok keangkuhannya itu makin busuk di matanya. Dia ingin kau pergi secepatnya agar dia merdeka menimang-nimang sosokmu yang jenaka, ceria, penuh inspirasi dan selalu berhasil memantik bara cinta dan nafsu mereka. Tentang kesalahan dan dosa-dosamu, dia sudah merelakannya. Sampai ajal menjemputnya, perempuan yang membencimu itu masih terus merindu, mendoakan yang terbaik untukmu, sambil sesekali berfantasi akan dirimu. Arif Subiyanto
Posted on: Mon, 24 Jun 2013 02:30:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015