Merupakan sebuah definisi umum jika agama (religi) diasumsikan - TopicsExpress



          

Merupakan sebuah definisi umum jika agama (religi) diasumsikan merupakan sebuah sarana bagi manusia ketika manusia mulai jauh dengan kebersatuan dirinya dengan alam,atau dengan kata lain ketika manusia telah tak dapat hidup dengan alam maka sebuah ketidakseimbangan (disorder) kemudian menjadi sebuah bagian yang disharmoni antara dirinya dengan Tuhan,ketika naluri manusia (instink) menjadi teramat dominan dengan hasratnya (desiree) maka yang terjadi adalah sebuah ketidakseimbangan antara pikiran (cogitans) dengan perasaan (emotion) serta antara jiwa dengan tubuhnya,sebagian orang mengatakan adalah suatu iman yang dapat menengahi ketidakseimbangan diantara keduanya yaitu antara pikiran atau perasaan dengan jiwa atau tubuhnya. Namun tanpa iman atau agama dalam sejarah manusia dapat tetap hidup dan bertahan pada sebuah harmoni,manusia hanya memerlukan sebuah kesadaran bahwa di dalam semesta bukan hanya manusia semata yang memiliki sebuah eksistensi,kesadaran manusia ada lebih dulu ketimbang iman,namun kesadaran berada di bawah suatu status psikologis tertentu pada sebuah kondisi manusia yang disebut dengan kepasrahan dan kemudian pada tahap tertentu manusia hanya memerlukan suatu kebebasan dan kehendak untuk menjadi sebagaimana layaknya Tuhan dalam berkehendak karena dalam hal ini manusia menjadi dapat secitra dalam eksistensinya yang optimal ketika suatu kehendak menjadi pada dirinya hanya karena adanya sebuah kehendak dari suatu Yang Lain. Pada awalnya manusia hanya memerlukan udara bernafas,nafas untuk detak jantung, jantung berdenyut nadi serta bernafas,pada awalnya yang dibutuhkan manusia hanyalah sebuah kehendak yang disadari olehnya bahwa manusia mendapatkan sebuah sarana pada tubuhnya untuk dapat bernafas,untuk hidup dengan kesadaran dirinya sebagai bagian dari sebuah sistem yang ada pada alam,sebagai mahluk yang diciptakan pada sebuah keterkaitan dirinya dengan segala apapun yang disadarinya sebagai sebuah sistem yang melekat padanya,ketika manusia memiliki kesadaran,maka manusia menyadari setiap potensi yang tak ada pada dirinya. Sebuah kenyataan bahwa manusia bukan mahluk yang paling sempurna justru hanya karena manusia harus bernafas untuk hidup sebagai sebuah dasar bagi setiap gerak dari setiap apa yang harus dilakukanya sebagai bagian dari alam yang juga memiliki kehidupan yang bukan melulu merupakan sebuah dominasi dari sebuah kehidupan manusia semata,dalam banyak agama kerap kali dikatakan mengenai betapa manusia diciptakan sebagai mahluk yang paling mulia serta sempurna,manusia dikondisikan untuk beriman agar manusia memiliki agama serta iman,agar manusia dapat menjadi subjek dari setiap objektifikasi agama atas dirinya agar dapat memiliki iman tanpa menjadi pada agama atau iman itu sendiri. Mengutip perkataan sosiologis dari Emile Durkheim,agama adalah elemen dasar (form) dari sebuah kontruksi dari perasaan kolektif dari keunikan majemuk individu atau kelompok sosial (group) yang ada pada suatu masyarakat,disebutkan oleh Sigmund Freud bahwa agama adalah sebuah kemayaan (virtualitas),sesuatu yang menjebak manusia pada kedangkalan makna dari pengetahuan manusia yang dianggap sebagai ilmu (cul de sac) hingga akhirnya manusia terjebak pada sebuah kondisi untuk berharap dari setiap keterputusaan penalaran (diskontinuitas) serta keterbatasan tubuh ataupun kegagalan setiap ataupun seluruh potensi manusia yang ada pada dirinya untuk tidak berharap pada Tuhan sebagai landasan bagi kenyataan serta harapan dirinya sebagai manusia yang bebas dalam berkehendak. Sebagaimana kemudian dikatakan oleh Karl Marx,agama kemudian menjadi sebuah candu dimana setiap keterputusaan manusia seolah mendapat sebuah ruang bagi terwujudnya sebuah kenyataan,melalui kata-kata yang berharap,agama pada umumnya menamkan perasaan ketakutan (horror) akan sebuah kesengsaraan (nestapa) setelah kematian (ajal) ketika agama sebagai sebuah kerangka acuan yang semestinya tak lepas dari moral,etika ataupun nurani (sittlicheit),maka adalah benar jika dikatakan bahwa agama menciptakan sebuah ilusi (kemayaan) akan kehidupan yang menyenangkan (leasure) ataupun yang menyengsarakan (unpleasure) setelah tubuh mengalami kepunahan melalui kematian ragawi (pati)menanamkan adanya surga (svarha) atau neraka. Sebuah dualitas yang merupakan sebuah residu keduniaan,sebuah kondisi akhirat yang diidentikkan dengan suasana keduniaan,namun semua tergantung pada kelembutan pengetahuan manusia atas sebuah keberanian ataupun kepasrahan dalam menjalani sebuah proses spiritual menuju sebuah keabadian (perenis) yang hakiki tanpa menjebak manusia pada kebenaran (truth) atau kesalahan (false) pada dunia kehidupan (lebenwelt),merupakan sebuah contoh pada realitas dunia yang akan mempertanyakan seberapa jauh asumsi tentang surga atau neraka dapat memiliki arti bagi seseorang ketika individu mampu merubah individu lain yang sangat jahat menjadi individu yang sangat baik,atau sebaliknya merubah individu yang sangat baik menjadi sangat jahat. Pertanyaan bagi surga (paradiso) atau neraka (inferno) seolah adalah bagaimana memberi sebuah ruang perpspektif bagi manusia untuk dapat memaknai atau menilai suatu tempat yang teramat buruk bagi orang yang teramat benar atau sebaliknya adalah bagaimana menempatkan orang yang sangat salah pada sebuah ruang (spasi) yang teramat baik,dengan kata lain kesengsaraan (ketakutan) atapun kesenangan (keberanian) sama sekali tidak terkait pada ruang atau waktu (zeit) sebagaimana kehidupan (leben),neraka atau kematian (tod),surga,karena kebebasan manusia yang memiliki sebuah potensi untuk mungkin maka surga atau neraka adalah tiada (nothing). Seperti juga halnya dengan kematian atau kehidupan karena semuanya hanya menyangkut pada kesengsaraan manusia (dukha) ketika mesti menjadikan agama hanya sebatas iman semata,bukan kesadaran,kebebasan,kepasrahan dan terlebih adalah sebuah kehendak,tubuh,pikiran,perasaan dan bahkan jiwa (noema) dapat dimusnahkan hanya karena sebuah kehendak,namun tidaklah demikian halnya dengan iman,kesadaran,kepasrahan,kebebasan (keberanian) dan tentu saja sebuah kehendak itu sendiri,siapapun yang berkehendak untuk dapat merubah orang yang sangat jahat (evil thing) menjadi orang yang sangat baik atau sebaliknya dapat merubah orang yang sangat baik menjadi sangat jahat (evil think) adalah sebuah bukti (novum) jika iman,kesadaran,kepasrahan,kebebasan serta kehendak dapat merubah neraka menjadi surga atau surga menjadi neraka namun bagi mereka yang telah memahami kesadaran,kebebasan,kepasrahan serta sebuah kehendak di atas agama. Hal tersebut berarti adalah merupakan kematian manusia atas setiap kesalahan sejarah dari adanya kegagalan Tuhan yang menjadikan manusia sebagai sebuah proyek legitimasi bagi kekuasaan diriNya namun adalah menjadi suatu misteri terhadap penilaian Tuhan atas manusia ketika dualitas semacam ini telah dilampaui (beyond) oleh manusia sebagai suatu kesatuan (monistik) dalam kebebasan,kesadaran,kepasrahan serta kehendak yang ada pada dirinya sebagai sebuah iman,seperti yang dikatakan Betrand Russell sebagai Tuhan tanpa agama atau agama tanpa iman,namun demikian yang menjadi suatu contoh pada suatu realitas masyarakat adalah juga menjadi sebuah misteri atas suatu penilaian Tuhan akan sebuah kebenaran yang buruk (truth false) ataupun sebuah kesalahan yang baik. Dapat dikatakan bahwa apa yang benar belum tentu baik serta apa yang salah belum tentu buruk dan hal ini adalah sebuah kontrak spiritualitas yang dilegalisasikan menjadi sebuah norma hukum antar agama (habitus) melalui pertemuan antar iman,kesadaran,kepasrahan (keberanian),kebebasan serta kehendak,sebagaimana menempatkan seorang pastor di sebuah lokalisasi ataupun menempatkan seorang pelacur di biara,demikianlah penilaian Tuhan terhadap setiap kebenaran (keburukan) ataupun kesalahan (kebaikan),dan demikianlah pula manusia mesti berlaku ketika manusia pada sejarah filsafat Jerman mengatakan bahwa manusia telah melampaui dualitas dirinya sendiri melalui Friedrich Nietzche,melampaui surga atau neraka,melampaui kehidupan (living) ataupun kematian (dying) dan bahkan melampai (beyond good and evil). Agama kemudian mengkondisikan manusia pada sebuah arena subjektivitas di bawah sebuah struktur ontologi kemelekatan dirinya dengan alam serta Tuhan (upadana) dan mengakui pada dirinya sendiri atas nama berbagai agama yang diimani manusia bahwa dirinya adalah mahluk yang paling mulia serta sempurna hanya karena manusia memiliki iman serta agama yang menjadikan objektifikasi Tuhan atas manusia mengangkat dirinya untuk melakukan sebuah perjuangan ulang,untuk menyadari bahwa manusia adalah sebuah upaya dari sebuah kesempatan yang diberikan agama untuk beriman,untuk kembali pada Tuhan serta kembali melakukan sebuah dosa (malum) yang telah disadari olehnya sebagai sebuah kesadaran bahwa dalam sejarah hingga kapanpun manusia tak akan pernah dapat secitra atau bahkan menjadi sebagaimana layaknya Tuhan. Meskipun manusia telah dilegitimasikan oleh beragam kitab suci sebagai mahluk yang mulia serta paling sempurna,sebuah modal keimanan untuk melampaui setiap ciptaan Tuhan yang lain,hanya karena semata-mata bahwa manusia merasa bahwa hanya manusia yang memiliki hak atas agama,untuk beriman dan berdoa,namun apa artinya menyadari semua kesempurnaan serta kemuliaan ketika manusia tak mampu dengan sadar menyadari setiap helaan nafasnya,setiap detak jantungnya,setiap kedipan matanya,serta setiap gerak aliran darah yang ada pada urat nadinya sebagai sebuah kenyataan eksistensial bahwa manusia sama sekali bukan mahluk yang sempurna atau mulia hanya karena semata-mata manusia menjadi salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan yang memiliki tubuh,namun jiwa tetap ada tanpa tubuh,tanpa perasaan,tanpa pikiran,jiwa tetap. Dengan melampaui ataupun mengatasi betapa penting iman terhadap suatu agama diperlukan bagi manusia sebagai sebuah sarana menuju suatu pengenalan diri,maka adalah sebuah kebebasan bagi manusia untuk memberikan posisi bahwa iman ataupun agama jauh lebih muda dibandingkan ruang (templum) ataupun waktu (temphus) disaat atau dimana sejarah suatu agama membentuk sebuah agama,kesadaran akan ruang atau waktu meniadakan iman (faith) sebagai sebuah kenyataan yang tanpa ruang ataupun tanpa waktu,sebuah kesadaran atas ketiadaan agama pada ruang ataupun waktu,karena sejarah telah ada lebih dulu dari nama Tuhan,dari agama bahkan dari sejarah dikenalnya kata sejarah itu sendiri,suatu sejarah ada semata-mata hanya karena adanya sejarah bahwa sejarah mesti dikatakan sebagai sejarah,tanpa kesadaran akan hal ini maka sebuah kata “KesadaraN” tak akan pernah ada hingga akhirnya manusia hanya sebuah bagian dari mekanisme dari nalurinya sebagaimana alam yang bebas. Sebuah kesadaran besar yang tak pernah disadari manusia sebagai sebuah kesadaran yang lebih mulia dari dirinya,alam sama sekali tak memiliki agama dan tak pernah dapat mengatakan pada Tuhan bahwa alam memiliki iman ataupun agama dan bahkan Tuhan tak pernah mengatakan hal tersebut pada manusia bahwa pada kenyataanya alam memiliki iman serta agama yang tak pernah dapat dipahami oleh manusia sebagai sebuah agama atau iman,hal ini semata-mata hanya karena sebuah sebab yang justru menjadikan sebuah tulisan (ecrit) atau kata-kata diperlukan manusia ketika manusia gagal membentuk sebuah simbol (monad) untuk mengatakan sebuah kenyataan bahwa alam memiliki iman dan agama serta menjadi pada Tuhan itu sendiri sebagai sebuah kitab suci. Namun manusia kembali gagal memahami hal ini sehingga banyak kitab suci alam yang tak diperdulikan lagi dan kemudian dihancurkan hanya semata-mata karena manusia merasa dirinya paling mulia serta sempurna,menjadikan dirinya secitra dengan Tuhan (imago dei) melalui agama tanpa mampu lebih dulu memberikan ruang kesadaran dirinya bahwa manusia lebih awal lebih secitra dengan alam ketimbang Tuhan dan terlebih bahwa manusia lebih secitra dengan dirinya sendiri,sebagai manusia yang gagal memahami setiap eksistensi yang ada pada semesta sebagai sebuah kitab suci besar. Suatu agama yang mesti diimani bukan oleh sebuah doa ataupun permintaan,harapan,syukur ataupun sebuah pertobatan tapi oleh sebuah kesadaran bahwa alam adalah sebuah media antara yang menghubungkan hubungan manusia dengan Tuhan,sebuah kesadaran dimana alam bergerak pasrah untuk manusia dengan keberanian yang memiliki sebuah kehendak pasti yang tetap,sebuah kepastian yang tak sanggup sama sekali dipahami manusia sebagai suatu absoluditas hingga akhirnya manusia menjadi sebuah objek yang tak pasti dari sebuah rotasi subjektivitas alam yang tak pernah habis untuk dipahami sebagai sebuah bagian terkecil (atomic) dalam jiwa manusia,yaitu kesadaran,kepasrahan,kebebasan dan kemudian adalah satu hal semata yang dapat mengatasi atau melampaui apapun bahwa segala apapun ada atau tiada dengan segala pelampauan paradoksikalitas adalah semata-mata dapat demikian hanya karena sebuah kehendak belaka. Setiap apapun yang pantas disebut sebagai sebuah eksistensi adalah setiap apa yang memiliki kesadaran bahwa sebuah eksistensi ada semata-mata hanya dapat demikian,hanya karena sebuah kehendak bahwa segala sesuatu ataupun bukan segala sesuatu,setiap atau bukan sama sekali,adalah demikian,adalah semata-mata demikian hanya karena sebuah kata yang teramat tabu (pamali) untuk disebutkan tanpa adanya sebuah kehendak dan kata itu adalah kehendak,adalah hanya karena sebuah kehendak pula maka manusia mengakui eksistensi dari beragam agama ataupun aliran kepercayaan yang ada tak melulu sebagai sebuah agama yang ada pada dunia semata,namun terlebih adalah agama yang ada pada semesta yang melampaui setiap paradoksikalitas yang ada ketika agama menjadi sebuah iman (faith). Agama adalah:”laku”:”yang (hyang) berawal dari kata sansakerta “gama”,agama artinya tanpa “laku”,tanpa polah,tanpa tingkah,tanpa tindakan,tanpa praktik (yoga),artinya agama adalah sebuah teori,sebuah metode,sebuah definisi,sebuah dokrin,sebuah isme,agama adalah sebuah isme teoretik (samkya)”,namun dalam aras dunia materi tak ada tanpa noumenalitas,artinya sebuah teori (agama) tak akan ada tanpa “gama”,sebuah arena pengetahuan (connaissnance) ketimbang ilmu (empirisme),dualitas antara keduanya adalah sebuah bukti (factum) bahwa apa yang ada di dunia hanya sebuah harmonisasi sebuah isme terhadap segala apa yang ada di luar dunia,di luar suatu materi,sebuah roh (gist) yang tak memerlukan suatu tingkah (ach) ataupun tindakan (behavior)melalui tubuh sebagai sebuah materi yang identik dengan dunia. Adalah bagaimana menjadi pada sebuah teori (gama) dan sama sekali memiliki sebuah teori,memiliki sebuah aras praktik semata (agama),namun keduanya sebagai sebuah kesatuan monistik dari setiap segala apapun yang dikatakan oleh Emile Bergson sebagai suatu “Russell Paradoks”,suatu aras dualitas yang ada pada berbagai lapisan antara magma (agni) dengan langit (bhavana),sebuah pencerahan (auklarung) atas setiap apa yang ada di atas permukaan bumi tanpa ruang ataupun waktu,namun sebuah suatu kepastian bahwa senantiasa terdapat cahaya (psike) pada setiap kegelapan (shadow) yang terhitam,. Namun hitam atau putih,terang atau gelap adalah sebuah tipuan pikiran (kilesa) atas perasaan hingga hal tersebut dijiwai tanpa kesadaran dan dijiwai oleh kebanyakan manusia sebagai sebuah kenyataan bahwa manusia telah terlampau melekat (upekha) pada matanya,sebagai sebuah sarana aksiologis (modal) yang paling dominan yang lebih menjadikan perasaan (anima) atau pikiran hidup (animus),namun dalam aras keduniaan yang berpasangan tersebut (oposisi biner) mata bukan satu-satunya sarana dalam menilai,manusia memiliki sarana lain seperti telinga,hidung serta potensi lain yang dapat menjadi sebuah sarana fungsional dalam mengatasi serta melampaui setiap nilai (value) yang diberikan mata terhadap kita. Apa yang tampak (sat) sesungguhnya apa yang tidak tampak (asat),apa yang merupakan fenomena (en soi) adalah sebuah noumena (pour soi) dan ketika kita terjebak pada dualitas keduanya sebagai sebuah nilai (value) maka kita akan kehilangan makna (meaningless) adalah kedua paradoksikalitas tersebut adalah sebuah harmoni (equilibirial),sebuah dualitas yang satu (monistik) hanya karena sebuah kehendak (will) untuk tidak melihat dengan mata semata,namun mendengar dengan tetap bernafas,manusia tak dapat melihat jantungnya sendiri,tapi manusia mampu mendengar detak jantungnya tanpa manusia harus memiliki fungsi atas telinganya atau memilikinya,maka kemudian Tuhan menciptakan hidung bagi manusia untuk memaknai setiap apapun yang ada pada semesta dengan melampaui fungsi mata dan telinga untuk menilai setiap apa yang tak dapat dilakukan oleh mata atau telinga,manusia dikaruniai mulut (baham) untuk berkata bahwa segala sesuatu dapat dilakukan tanpa salah satu dari keempatnya meskipun hal itu tanpa adanya detak jantung,. Merupakan sebuah kesadaran manusia dalam kebebasanya untuk mengakui sebuah kuasa otonom dari salah satu dari sekian banyak potensi fungsional yang ada pada tubuhnya sebagai sebuah kekuatan,yaitu sebuah kehendak sadar bahwa manusia dapat menghentikan ketidaksadaranya dalam bernafas,sebuah kebebasan sempurna yang tak dimiliki oleh mahluk lain selain sebuah otoritas dari manusia yang menyadari otoritas subjektif dari kebebasanya untuk bernafas,maka setiap sesuatu dapat memiliki legitimasi sebagai sebuah eksistensi yang sempurna di dunia dalam otoritasnya ketika eksistensi tersebut menyadari bahwa dirinya memiliki suatu otoritas terhadap sebuah kehendak yang tak disadarinya sebagai sebuah kehendak,sebuah pelampauan yang diatasi,sebuah kehendak untuk abadi melampaui kehidupan ataupun kematian yang sama. Sebuah wilayah aras teoretik dari para arahat (bhagava) yang megatasi setiap pelampauan atas segala sesuatu yang memiliki sebab atau akibat lepas dari kebenaran (karma) ataupun kesalahan (wikarma),melampaui setiap dualitas termasuk kondisi harmoni atau konfliktual tanpa mesti menjadi oleh sebuah kehendak sama sekali justru ketika sebuah kehendak disadari sebagai sebuah kepemilikan (having) untuk menjadi atau tidak keduanya sama sekali (akarma),kepasrahan adalah awal dari sebuah kebebasan (liberte),karena manusia tak memerlukan agama,manusia hanya memerlukan dirinya sendiri dengan setiap kebebasan dirinya dalam mencari setiap keabadian,manusia tak memerlukan iman selain sebuah kesadaran sebagai sebuah awal (alfa) dari suatu kebebasan (nibbana),kepasrahan yang tak terungkapkan (tacit),sebagaimana halnya alam yang tak memiliki setiap potensi yang dimiliki manusia,alam adalah sebuah kepasrahan yang senantiasa terbangun kembali (recontruct) ketika dihancurkan (destruction) ataupun dibongkar (decontruct). Demikian pula halnya manusia ketika manusia dengan kebebasanya menyadari kebebasan alam yang demikian pasrah tanpa iman ataupun agama dapat terus berlanjut hingga sekarang kita membaca kata (nousea),adalah sebuah realitas (sat) ketika dalam potensi filsafat terkini dapat dipahami oleh tiga dokrin (samkya) untuk mencapai sebuah arena (medan) transendensi (progresi): 1.Medan teknologi dikatakan Talcott Parson bahwa realitas adalah sirkulasi peradaban semesta (cibernetic). 2.Medan kosmologi dikatakan oleh Frijrof Capra bahwa realitas adalah jaringan manusia (weblife). 3.Medan arkeologi dikatakan oleh Michael Foucoult bahwa realitas adalah sistem kebudayaan dunia (formasi). Dokrin (isme) dalam agama (empirisitas) adalah sebuah hasil dari sebuah realitas (fenomena) yang tampak,selebihnya hanyalah sebuah harapan (sollen) untuk tidak memiliki teori (agama) selain menciptakanya,namun sebuah teori (sein) tak akan pernah eksis tanpa adanya praktik (gama),sebagaimana sebuah realitas tak akan ada atau tiada tanpa adanya sebuah harapan,demikian pula halnya dengan harapan ketika ilmu (patriarki) atau pengetahuan (matriarki) diacu atas keduanya sebagai sebuah kesatuan humanitas yang tak lepas dari “sebuah sistem jaringan sirkulasi (the web formation of cibernetic),sebuah pra kehidupan (jati) paska kematian (pati). Pra kehidupan (natal) paska kematian (post mortal) adalah awal dari kekosongan atas setiap segala sesuatu namun tetap sebagai sebuah eksistensi yang mutlak memiliki iman,kesadaran,kepasrahan,kebebasan serta kehendak,kelimanya adalah dasar dari “jhana” atau makrifat,makrifat pertama (jhana pertama),sebuah tahapan akhir yang dilampaui ketika sebab atau akibat menjadi satu hal yang sama (akarma),sebagaimana berbagai macam dualitas (oposisi biner) yang diatasi ataupun dilampaui oleh satu kehendak (cetana) yang pasrah (aufhebung),makrifat kedua (jhana kedua) adalah sebuah wilayah kemenjadian (dharma) dimana kemelekatan manusia terhadap suatu objek (sistem) apapun adalah sebuah nihilitas,makrifat ketiga (jhana ketiga) adalah pengorbanan (intermediasi) untuk tetap menjaga harmoni antara alam,manusia ataupun Tuhan,pada jhana ketiga (makrifat ketiga) pada akhirnya manusia dihadapkan pada kenyataan subjektivitas dirinya sebagai sebuah simbol (chiffer) dari sebuah penyesalan penciptaan (apologia creatum),manusia pada akhirnya menjadi sebuah simbol itu sendiri (homo simbolicum), Sebuah penebusan atas sebuah penyesalan melalui pengorbanan (sacrifice) setiap potensi yang ada pada dirinya untuk menghubungkan setiap segala apapun yang ada (be) atau tiada (not) pada alam dengan segala setiap apa yang tiada atau ada pada Tuhan untuk mengenal setiap ketidakmungkinan potensi (potent) yang umum pada ketiga jhana sebelumnya,apa yang disebut sebagai makrifat keempat adalah makrifat itu sendiri,sebuah kebebasan untuk menjadi dengan segala apa yang telah terlampaui pada tingkatan makrifat (mripat) sebelumnya (pra arahat),yaitu:arahat (kenabian) dalam makrifat keempat (nurmohamad),menyangkut kontruksi dokrinal dari dua pemikir terkenal,yaitu:Friedrich Nietczhe (sakagami) dan Mircea Elliade (anagami) mengenai kembaliNya yang (Hyang ) Abadi (sotapathi) sebagai sebuah kontradiksi atas tidak kembalinnya YANG (hyang) tak abadi kepada yang “abadi”(arahat),arahat (prophet) merupakan tingkat makrifat tertinggi (supreme) yang kemudian lazim disebut dalam Kristianitas sebagai ‘RohulkuduS”yang mewakili kemayaan (“ismaya”) ruang (pada) atau waktu (kala) “Isya”(Isa) yang melewati siang (pater) menuju malam.
Posted on: Tue, 26 Nov 2013 09:11:33 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015