Motif Rawan Dijiplak, Kesulitan Urus Hak Paten Mengintip - TopicsExpress



          

Motif Rawan Dijiplak, Kesulitan Urus Hak Paten Mengintip Persiapan UMKM Kaltim Hadapi Pasar Bebas; Sarung Samarinda (3-Habis) Sabtu, 19 Oktober 2013 - 06:57:26 | Pro Bisnis | Dibaca : 226 Kali PILIH INDUSTRI MODERN: Cukup minim generasi muda yang tertarik menenun sarung Samarinda. (adi Chandra/kp) Kemilau corak kain tenun khas Kota Tepian ini telah tenar hingga mancanegara. Sarung Samarinda namanya. Bahkan, beberapa pihak, terutama pemerintah berani berkoar untuk menjadikannya salah satu produk unggulan Kaltim hadapi pasar bebas. Namun, silau kejayaan warisan kebudayaan lokal itu seakan menutup banyak mata bahwa sebenarnya produk tersebut kini terancam punah. NUR RAHMAN, Samarinda DEBU tampak mengaburkan pandangan media ini ketika mengunjungi Berdikari, salah satu pusat kerajinan Sarung Tenun Samarinda di kawasan Samarinda Seberang. Puluhan sarung dengan beragam corak seakan telah lama tak tersentuh. Ya, pada periode tak banyak event kebudayaan daerah seperti sekarang, sebagian besar pengrajin maupun pengusaha Sarung Samarinda memang “menganggur”. Mereka lebih memilih menekuni aktivitas lain mereka untuk mencari nafkah. “Saat ini, saya rasa sudah tidak ada yang menjadikan produksi Sarung Samarinda sebagai mata pencaharian utama. Bisa tidak makan, kalau hanya mengandalkan itu,” ucap Maisyarah, pemilik usaha. Dia mengaku, saat ini dirinya lebih sibuk mengurus usaha tekstil biasa miliknya. Kondisi tersebut, disebutnya telah banyak dialami para pengrajin yang dahulu bekerja padanya. “Saya kini hanya menjadikan kerajinan ini sebagai usaha sampingan. Para pengrajin saya sudah tua-tua dan tidak ada yang mau menggantikan. Generasi penerus mereka lebih memilih menjadi karyawan di industri modern,” bebernya. Sejak didirikan ibunya pada 1964 silam, Maisyarah menyebut Berdikari yang memiliki arti “Berdiri di atas kaki sendiri” itu memiliki hingga 36 pengrajin. “Sekarang tak sampai sepuluh orang, sehingga saya tak bisa mengejar jumlah permintaan. Kemampuan mereka juga makin hari makin menurun,” ucapnya. Maraknya peredaran produk serupa dari luar daerah yang justru memiliki harga lebih murah, diakui perempuan berdarah Kutai itu sebagai penyebab daya saing sarung tenun produksi asli Samarinda tak lagi kuat di pasaran. Meski memiliki spesifikasi corak dan bahan yang jauh lebih unggul, keterbatasan wawasan kebanyakan masyarakat disebutnya sebagai alasan lahirnya persepsi bahwa semua sarung tersebut sama. “Padahal jelas berbeda. Meski sama-sama menenun, sarung tenun asli Samarinda menggunakan benang khusus dari Tiongkok, yang harganya memang tak main-main mahalnya. Per kemasan (sekira 5 kilogram) saja saat ini sudah Rp 2,5 juta. Itu hanya bisa dipakai membuat sekitar 19-20 sarung. Belum ongkos lain, seperti membayar para pengrajin,” ungkapnya. Dengan komposisi tersebut, dia menyebut harus menjual satu buah sarung dengan harga sekitar Rp 400 ribu hingga Rp 700 ribu rupiah. Sementara untuk satu set pakaian dari bahan serupa, mereka jual dengan harga Rp 1,1 juta. Kenaikan cukup besar itu, kata dia, merupakan dampak menguatnya dolar terhadap rupiah serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tiap bulan, pengrajin hanya mendapat sekitar Rp 500 ribu dari rata-rata produksi tiga sarung. Jadi dalam sekali produksi (sekitar tiga bulan), mereka mendapat Rp 1,5 juta. “Memang masih kalah jauh dengan penghasilan sebagai buruh di industri modern,” tuturnya. Padahal, dirinya menceritakan bahwa pada masa jayanya, para pengrajin sangat terjaga kesejahteraannya. “Bahkan ada sampai bisa berangkat haji dari pekerjaan menenun sarung. Kalau sekarang, dengan uang Rp 1,5 juta (dalam tiga bulan), untuk makan saja rasanya sudah sulit,” jelasnya. Keistimewaan produk tersebut dinilainya tak mendapat perhatian pemerintah. Untuk mengurus hak paten produknya saja, dirinya menyebut tak tuntas hingga saat ini. “Saya hanya mengurus hak paten atas nama produk saya, tak selesai. Padahal sudah saya ajukan sejak lebih dari 20 tahun lalu. Apalagi mengurus hak paten untuk corak yang saat ini sudah banyak ditiru pengrajin dari luar daerah,” kata Maisyarah yang mengaku selalu membuat corak berbeda untuk tiap sarung produksinya itu. Seperti diketahui, saat ini memang banyak beredar produk yang sepintas serupa Sarung Samarinda. Tak banyak yang bisa membedakan, sarung buatan luar daerah tersebut dengan sarung asli Samarinda. Ironisnya, karena bahan lebih sederhana dan masih diminati banyak pengrajin, Sarung Samarinda dari luar Kaltim bisa dijual dengan harga lebih murah. “Sepintas, motifnya memang sama. Tapi bahannya jelas berbeda. Seandainya keaslian Sarung Samarinda bisa dijaga, saya yakin produk ini dapat bersaing, bahkan dengan produk luar negeri sekalipun,” pungkasnya. (wan/k1)
Posted on: Sun, 20 Oct 2013 03:59:23 +0000

Trending Topics




© 2015