Mudik Itu Bid’ah? Eko Prasetyo Dalam sebuah posting, - TopicsExpress



          

Mudik Itu Bid’ah? Eko Prasetyo Dalam sebuah posting, seorang kawan saya melontarkan diskusi yang bertema mudik. Yang menarik, ia mengutip pernyataan salah satu temannya. ”Mudik itu bid’ah. Rasulullah tidak pernah mencontohkannya. Para salafussalih juga tak melakukannya,” komentar temannya tersebut. Masih ada lanjutannya. Ini lebih menarik. Ia mengatakan, pada saat sepuluh hari terakhir Ramadhan, seharusnya seorang muslim sibuk iktikaf dan beribadah. ”Bukan malah sibuk bepergian ke kampung halaman,” ucapnya. Eit, lanjutannya yang lain masih ada. Juga menarik (disimak). Dia bilang, halal bihalal (kegiatan bermaaf-maafan) itu juga tidak ada pada zaman Rasulullah. ”Kosakatanya saja sudah salah,” tutupnya. Inilah yang menjadi salah satu alasan dirinya menyebut bahwa mudik itu bid’ah alias sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, tetapi diada-adakan bahkan dikultuskan. ***** Senin, 5 Agustus, besok saya mudik ke rumah mertua di Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah Idul Fitri, saya beranjak ke Malang, Jawa Timur. Mudik ke rumah ebes dan emes di sana. Setelah menyimak diskusi tentang mudik tersebut, saya sebenarnya ingin menanggapi panjang lebar. Namun, saya hanya menulis singkat bahwa setiap orang berhak ikut Lebaran, tapi tidak semua berhak ber-Idul Fitri. Saya kira mereka akan paham maksud kalimat tersebut. Soal mudik (berasal dari kata udik yang berarti ndeso/kampung), saya tidak hendak berdebat tentang hukumnya. Saya lebih melihat pada kenyataan lain. Ramadhan adalah bulan penuh berkah, demikian yang kami yakini. Sementara puncaknya, 1 Syawal, disebut sebagai penanda kemenangan. Yakni, setelah satu bulan lamanya ditempa dalam latihan tempur melawan hawa nafsu duniawi, membangun sikap toleransi, menjaga keistikamahan beribadah, dan menjalin ukhuwah, umat Islam yang menjalankan puasa Ramadhan dihadapkan pada kemenangan. Saya kira, kemenangan ini memiliki arti yang lebih luas. Dalam sebuah diskusi lain, saya menangkap pesan dari seorang alim ulama bahwa Ramadhan itu adalah penempaan diri. Tantangan yang menuntut profesionalitas itu adalah bulan-bulan lain. Yaitu, tuntutan agar seseorang mampu istikamah dalam menjalankan ibadah setelah menjalani kawah candradimuka selama sebulan penuh tersebut. Jadi, berkah Ramadhan dan hari yang fitri nanti pun bisa dinikmati oleh siapa saja. Salah satunya adalah kegiatan mudik. Berapa banyak orang dari kalangan bawah yang memetik rezeki dari mudik ini? Tak heran jika ”ritual” tersebut sangat dinanti-nantikan, termasuk oleh mereka dari kaum marginal. Lihat saja betapa bahagianya seorang penjual jamu bisa pulang ke desanya di Banyumas setelah merantau lama di Tangerang. Ia naik bus yang sudah disiapkan pemerintah dan tentu saja gratis. Karena sudah tiga tahun tak menengok keluarganya di kampung halaman, raut ceria pun tak terbantahkan di wajahnya. Semangat silaturahmi tergurat jelas. Lihat juga betapa senangnya seorang pembantu rumah tangga di Bekasi yang ikut mudik gratis ke Pasuruan. Uang yang sejatinya disiapkan untuk ongkos mudik akan diberikan kepada orang tuanya. Semangat silaturahmi dan berbagi ini begitu menginspirasi. Mudik kini telah bergeser menjadi sebuah tradisi tahunan yang dinanti-nanti. Ia menjadi sumber nafkah bagi para pencari berita, satpam perumahan, hingga pengusaha kecil di bidang industri makanan rumahan. Rasulullah memang tak pernah mencontohkan mudik. Wajar jika ada yang menyebut bahwa mudik ini bid’ah (keluar jalur). Di sisi lain, Rasulullah juga mengobarkan semangat berbagi kepada sesame (penyantun), menjadi pribadi pemaaf, serta sikap mengasihi dan menghormati orang tua. Dan justru itu juga ada dalam prosesi yang biasa kita sebut mudik. Anda ingin tahu strategi menulis? INFORMASI & PENDAFTARAN Seminar dan Workshop "Strategi Menulis dalam Meningkatkan Kompetensi Profesi". Bandung, 08 September 2013. https://docs.google/forms/d/1mFXaGHeCJ4-V9VEvLDCAgbjqGxzG-7n28lR5IS8OGLQ/viewform
Posted on: Mon, 12 Aug 2013 04:19:35 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015