Muharram, antara Syiah dan Sunni Dalam tradisi Syiah atau yang - TopicsExpress



          

Muharram, antara Syiah dan Sunni Dalam tradisi Syiah atau yang lebih kenal dengan madrasah Ahlul Bait, penghormatan terhadap 10 Muharram adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar baik dari sisi ritual, intelektual dan praksis sosial. Pernyataan yang terkenal tentang pentingnya 10 Muharram diungkapkan oleh Imam Jafar Shadiq, "Setiap hari adalah Asyura dan setiap jengkal tanah adalah Karbala". Imam Khomeini menyebut bahwa Revolusi Islam Iran adalah suatu revolusi yang diinspirasi oleh perjuangan Husain dan keluarganya di padang Karbala. Dalam pandangan madrasah Ahlul Bait, peristiwa heroik Karbala bukanlah kekalahan keluarga Nabi, tapi sebaliknya ia adalah peristiwa kemenangan keluarga Nabi. Darah mengalahkan pedang, begitu realitas yang ditunjukkan para pengikut Mazhab Ahlul Bait. Bagaimana dengan kaum Sunni? Kalangan Sunni sebagian besar juga mengakui bahwa tragedi 10 Muharram adalah tragedi yang menyedihkan, akan tetapi mereka tidak merefleksikan sebagaimana Syiah. Tampaknya, mereka lebih memilih untuk melihatnya dari sisi kemenangan hari itu. Hal ini berkaitan juga dengan peristiwa-peristiwa kemenangan di hari 10 Muharram seperti selamatnya Nabi Nuh as dari banjir, Nabi Musa as terselamatkan dari kejaran Firaun dan beberapa peristiwa lainnya yang mengindikasikan kemenangan para Nabi-Nabi. Meskipun buku-buku hadist Sunni menyebutkan pentingnya memperingati syahadah Imam Husain dengan peringatan duka, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Rasulullah Saw. Di sisi itulah menariknya 10 Muharram yang menjadi titik temu Sunni dan Syiah. Dua mazhab besar Islam Sunni dan Syiah mengakuinya sebagai hari yang Agung. 10 Muharram dan suku-suku di Indonesia Penghormatan suku-suku yang ada di Indonesia tidak kalah serunya dengan yang dilakukan oleh para pemeluk agama-agama Ibrahimik (Yahudi, Kristen dan Islam). Sebagai contoh suku Jawa bahkan merubah nama bulan pada kalender mereka dengan nama Suro sebagai ganti nama Muharram. Suro dari kata Asyura yaitu tanggal ke 10 bulan Muharram. Mungkin terinspirasi dengan hadist dari Imam Jafar di atas, orang-orang Jawa ingin menyebut semua hari di bulan Muharram itu adalah hari ke 10, Asyura (Suro). Di Tanah Jawa bulan Muharram adalah bulan yang sakral. Spiritualitas bulan ini luar biasa sehingga pekerjaan suci seperti memandikan keris, mustika mesti dilakukan pada bulan ini. Mereka juga memperingati 10 Muharram dengan membuat bubur merah yang mereka sebut sebagai bubur Suro. Di Sumatra ada tradisi Tabot yang diselenggarakan dengan maksud memperingati duka nestapa Nabi dan Keluarganya yang dibantai oleh bani Umayyah. Menurut Assegaf pada Jurnal Al Qurba (1:58-81), tradisi ini diperkenalkan oleh tentara India yang berafiliasi dengan tentara Inggris. Di Sumatra tradisi ini diselenggarakan di Bengkulu, Pariaman dan Padang (Kuncoroningrat 1990). Ada tradisi yang mirip dengan upcara Tabot juga ditemukan dilakukan di Ternate, Maluku (Assegaf, 2010). Walhasil tradisi 10 Muharram merupakan hari yang bersejarah dan mempunyai arti penting bagi kehidupan masyarakat beragama di Indonesia dan juga diperingati oleh suku-suku yang tersebar di Seluruh Indonesia. Oleh karena itu alangkah indahnya kalau 10 Muharram dijadikan sebagai hari libur Nasional mengingat pentingnya hari itu baik dari sisi agama dan budaya Indonesia. Sangat boleh jadi hari itu dapat dijadikan sebagai titik temu perennial agama dan budaya di Indonesia sedemikian sehingga karakter-karakter intoleransi bisa dikikis habis.(IRIB Indonesia/PH)
Posted on: Wed, 03 Jul 2013 13:07:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015