NAGASASRA SABUK INTEN EPS 35 Melihat mata tombak mengarah - TopicsExpress



          

NAGASASRA SABUK INTEN EPS 35 Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas Gunung terperanjat. Tetapi ia telah terlanjur meloncat keras sekali. Maka segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak Mahesa Jenar. Tetapi tangan Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru dalam keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya. Tetapi pada saat terakhir, Bagolan telah berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi bertangkai itu melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa Jenar harus berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat pada saatnya, kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan kegesitannya bergerak. Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak berkait Mahesa Jenar yang sedang berusaha menghindari bola besi itu, sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah suara berdentang senjata beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau belati panjangnya, ujung tombak Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun demikian Wadas Gunung tak dapat membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung tombak berkait itu merobek paha kanannya. Sambil mengerang kesakitan, Wadas Gunung meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi karena kesakitan yang amat sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh. Kejadian itu rupanya sangat berpengaruh pada semangat bertempur Wadas Gunung. Meskipun ia menyesal sekali tak dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya, tetapi tak adalah yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang berkapak yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah seorang anak buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam hatinya, bahwa anak itu diketemukan pastilah akan dikupas kulit kepalanya. Sebab dalam keadaan yang sedemikian sulit, ia sama sekali tidak menampakkan dirinya. Dalam keadaan yang demikian tidak ada jalan lain bagi Wadas Gunung kecuali harus menyelamatkan diri, meskipun hanya untuk sementara, sampai dapat tersusun kekuatan untuk membalas dendam. Karena itu segera ia bersiul keras dan dengan segera pula anak buahnya berloncatan mengundurkan diri dari gelanggang perkelahian. Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera mendukung Wadas Gunung, dan dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya. Sementara itu, yang lain berusaha melindungi apabila mereka dikejar. Melihat lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha mengejarnya. Orang berkapak itu juga tidak. Pada saat itu, warna langit di sebelah timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta bentuk-bentuk batang- batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang berkapak itu menjadi jelas. Kalau sebelumnya, kecuali karena gelapnya malam, juga karena Mahesa Jenar tidak sempat mengamati orang berkapak itu, kini ia dapat dengan jelas melihat wajahnya. Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu masalah yang memukul rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam seperti patung. Sedang orang berkapak itu, setelah melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar berlari, berdiri seperti acuh tak acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa Jenar memandangnya dengan wajah yang membayangkan keruwetan hatinya, orang berkapak itu sama sekali tidak mempedulikannya. Akhirnya, setelah agak tenang hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil berkata. ”Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima, sehingga aku terbebaskan dari tangan mereka.” Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun demikian ia menjawab pula. ”Tak usah kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah bahwa kedatanganku membawa suatu masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku menolongmu, itu adalah karena aku takut bahwa masalah kita akan tetap merupakan masalah yang tidak selesai.” Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya Mahesa Jenar merasa sedikit tersinggung oleh ketinggian hatinya. Tetapi meskipun demikian ia berusaha juga menyabarkannya. Katanya pula. ”Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari kekuasaan mereka.” ”Mungkin.... Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau hadapi sekarang,” jawab orang itu, masih dengan nada dingin. Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun hatinya bergetar hebat. Sampai orang tadi melanjutkan. ”Kedatanganku kemari adalah pertama- tama karena seseorang merasa mempunyai pinjaman sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat disuruhnya menyerahkan kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk mengembalikan barang itu kepadamu” Kedua, adalah karena masalahku sendiri. Masalah yang pada saat itu kau putar- balikkan kenyataannya dengan mengumpankan seorang yang sama sekali tak berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang demikian itu kau akan dapat menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan kesombonganmu, menyediakan diri dalam sayembara tanding itu, aku kira kau adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi menghadapi suatu masalah terakhir, kau melarikan diri.” Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak hebat. Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi seperti mengalirnya sungai yang sedang banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya. Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah termasuk seorang pemarah. Karena itu untuk menahan diri, Mahesa Jenar menekankan giginya sampai gemeretak. Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya. ”Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk beristirahat. Aku kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari ini dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu. Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat dibinasakan, maka aku akan tetap menyesali hidupku selama- lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas, kau adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian terakhir yang akan kita tentukan bersama.” Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi ketika tiba- tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan perlahan-lahan menjauhinya. Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar. Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan perantauan- perantauan yang penuh dengan kejadian- kejadian yang hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat kenyataan. Perlahan-lahan Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya. Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti membelai hatinya. Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk. Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar. Dan diluar sadarnya ia bergumam. “Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading. Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.” Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam- dalamnya. Yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan, tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya. Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali keinginannya untuk beristirahat. Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja melingkar-lingkar kepada Seruling Gading. Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh...? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu...? Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya. Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading. Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi Hati itu akan semakin tersinggung? Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya. Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya. Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba- tiba kembali ia bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding- dinding goa. Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut yang membelai pantai. Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih. Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai. Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya. Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa depannya. Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur. Seruling Gading yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya. Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula. Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur. Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading. Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading? Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini...? Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang beterbangan dengan lincahnya. Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai. Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama. Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti tangis anak-anak yang kehilangan ibunya. Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula. Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya. Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui. Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan susul- menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah Seruling Gading. Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri. Apalagi ketika diingatnya bahwa satu- satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras. “Hai pengecut yang hanya berani menghina dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu...!” Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir putus asa. Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan. Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya. Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh seketika. BERSAMBUNG..
Posted on: Thu, 19 Sep 2013 15:06:49 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015