News Feature Pada kurun waktu 1980-an, cerita mBokmase Sroepijah - TopicsExpress



          

News Feature Pada kurun waktu 1980-an, cerita mBokmase Sroepijah menuturkan ulang pengalaman sohib kocloknya Dhe Degleng, sewaktu ndek markas gerakan aktivis gaek almarhum Dr Sjahrir di Jakarta. Dulu katanya mBokmase Sroepijah bisik-bisik, yang namanya aktivis enthu tidak ada yang berpikiran demonstran dibayar. "Enggak ada itu. Makanya saya benarkan kalao Dhe Degleng minggat desertir jadi PNS. Lha gimana, wong pegawai negeri jaman enthu kabeh-kabeh diharus-wajibkan milih satu partai kunig taek. Jelas dia ndak mau. Wong dasarnya koclok. Malah milih ngikuti and nyimak ajaran Dr Chiel alias Sjahrir bareng aktipis tuwek. Jadi pembangkang. Katanya Dhe Degleng, dia diajarin politik, ekonomi, dan dunia pergerakan. Selain itu juga diweling cara nyebarin provokasi dalam tanah," ujar mBokmase Sroepijah menirukan penuturan Dhe Degleng. Tidak hanya itu, ujar mBokmase Sroepijah, pesertanya dibatasi cuma 13 orang termasuk bintang pilm Mariza Hug dan aktivis mahasiswa dan pers ikut gabung. "Mereka diwulang Arief Budiman, Dhaniel Dhakidae, Marsilam Simanjuntak (yang kemudian menjadi menteri), Romo Magnis Suseno, Willien Lied, Masminar Mangiang, Rocky Gerung, Emmanuel Subangun, Gunawan Muhamad dan Dharmin Nasution (Bekas Deputi Gubernur BI) dan Rachman Tolleng (aktivis gaek ITB). Pokmen komplit-plit." Menurut cerita Dhe Degleng, tutur mBokmase Sroepijah ndremimil, ajaran yang paling berkesan yaitu para murid Sekolah Ilmu Soksial ech Sosial enthu dibekali buku-buku gratis pothocopian ilmuwan top-markotop sejagad. "Dr Chiel itu senengnya menyitir omongannya Amartya Sen, ilmuwan sekaligus ekonom India. Penulis buku Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation." Bukunya bicara soal kemelaratan. Lha wong India mlarat Jhe. Bedanya dengan Indonesia, cuma dikit. "Ndek Indonesia rakyat hampir mampus, pejabatnya banyak yang korup." "In 1981, Sen published Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (1981), a book in which he argued that famine occurs not only from a lack of food, but from inequalities built into mechanisms for distributing food. Sen also argued that the Bengal famine was caused by an urban economic boom that raised food prices, thereby causing millions of rural workers to starve to death when their wages did not keep up." Gak percaya pan. Lihat dan perhatikan kehidupan rakyat kecil. Tukang cuci-cetak film nyaris hampus lapangan kerjaannya. Tukang sablon kain, teknologi diganti oleh digital print yang bisa mencetak gambar dan tulisan bermeter-meter lewat dluwang-plastik. Slamet membaca. Matinya Sang Pencuci-Cetak Film Solo, Warta Jateng Ujian nasional tahun ini tampaknya tak memberi berkah, Masdar, 56, pencuci-cetak film hitam putih di samping Gedung Pengadilan Negeri Surakarta. Pasalnya, bukan lantaran anak atau cucunya tidak lolos seleksi ujian nasional, tetapi ia tak lagi kebanjiran pesanan mencetak foto para pelanggannya. Walhasil sudah lebih dari satu bulan ini, ia baru mengumpulkan uang sekitar dua puluh ribuan. “Hampir satu bulan ini saya baru memperoleh uang sekitar dua puluh ribu,” ujarnya menerawang. Bukan hanya Masdar yang saat ini sedang mengalami kondisi tak menentu mengais rejeki menyediakan ‘biro’ cuci-cetak film hitam-putih di pinggir jalan. Tetangga sebelah ‘toko’ penyedia layanan 24 jam pun mengalami hal serupa. Tanya saja Margianti, 37, janda beranak tiga yang juga membuka ‘toko’ cuci-cetak film disebelah kios Masdar. Menurut Margianti, jaman sekarang lebih susah mencari uang dibandingkan dengan kondisi 15 tahun lalu. Saat itu, kenang Margianti, hampir setiap jam orang mengantri mencuci-cetakkan klise negatif film. Apalagi musim lulusan anak sekolah, yang jatuh awal Januari. Pada saat itulah musim kejayaan para pencuci film pinggir jalan. ”Orang berpikir panjang untuk mencuci-cetakkan nagatif film di toko Puji –maksudnya Fuji Film (red)– mendingan di pinggir jalan. Selain waktunya relatif cepat, dan bisa ditunggu, hasilnya juga sama. Ada gambarnya,” katanya. ”Tapi setelah kemajuan jaman, kamera pakai, apa itu namanya, plas diks –flash disck (red)– tukang cetak pinggir jalan amblas.” Jaman keemasan para pencuci-cetak film hitam-putih telah berlalu. Padahal, menurut Rahardjo, 58, pendapatan tukang cetak pinggir jalan waktu itu, bisa dikatakan lebih dari cukup. Berbekal kios berukuran 5 x 9 m yang berfungsi juga sebagai tempat tidur, pendapatan Rahardjo di tahun 80-an bisa mencapai lima puluh ribuan seminggunya. ”Dulu di tahun 80-an, saya peroleh pendapatan sekitar lima puluh ribuan bersih dalam waktu satu minggu. Apalagi kalau pas lagi panen, maksudnya lulusan anak sekolah dan mahasiswa, bisa seratusan ribu. Tapi itu harga beras masih sekitar lima puluh rupiah,” katanya. ”Kalau tidak salah ingat, dulu hanya ada sekitar 3-5 kios tukang cuci cetak pinggir jalan. Sekarang bejibun. Mati bareng.” Kondisi pahit para pencuci-cetak film saat ini juga dialami Tugiran, 47, pria yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, asal dukuh Makam Haji, Sukohardjo siang itu tak dapat menyembunyikan kegalauan hatinya. Peluh di wajahnya bergulir menetes di atas koran bekas alas rak kios ’kamar gelap’ tempat usahanya yang dilakuoni sejak 1976 lalu. Sebagai perintis usaha cuci-cetak film dan dituakan rekan-rekannya, kehidupan Tugiran saat ini makin tak pasti. Usaha yang ditekuni bersama isterinya, kini dilindas kemajuan teknologi tinggi bernama photography digital. Lantaran makin majunya teknologi kamera berbasis digital, usaha Tugiran ikut tergusur pula. Padahal, ujarnya Tugiran seraya menyeka keringat di jidatnya, di era tahun 70-90-an usahanya dapat menghidupi keluarga. Kalau dahulu, ujar Tugiran, saya dapat memperoleh penghasilan Rp50-Rp75 per hari. Jangan dibayangkan angka nominal rupiah 50-75 yang dihasilkannya tak ada harganya. “Kalau di hitung waktu, tahun 70-an uang Rp.50,- bukan main besarnya,” ujarnya. “Saya sampai menolak-nolak orang yang akan mencuci-cetakkan klise film.” Usaha yang digelutinya bukannya tak membawa hasil. Tugiran bersama isterinya bahu-membahu mengembangkan gerobak kios cuci-cetak di sepanjang Jl. Supomo di samping kantor Pengadilan Negeri Surakarta. Waktu itu, Selain usahanya dinilai mulai berkembang dan menjanjikan, Tugiran pun tak segan-segan merecruit sekaligus mendidik tetangga desanya teknik mencuci-cetak negative film. “Banyak anak-anak muda di desa yang saya didik cara mencuci-cetak film menjadi photo. Hampir sebagian besar rekan-rekan yang berusaha menekuni cuci-cetak film di JL. Soepomo ini saya yang melatih,” katanya. “Sebab keahlian ini juga saya peroleh dari seorang Burder Londo. Meski pun saya bukan penganut agama yang sama dengan burder itu.” Kalau pas perayaan keagamaan, tutur Tugiran, dirinya sering merasa seperti bertemu dengan burder yang mengajarinya mengafdruk film dan mencetaknya. ”Saya sering ingat kebaikan burder Pieter Zoen yang mengajari saya afdruk film dan mencetak.” (eddy j soetopo)
Posted on: Fri, 05 Jul 2013 06:28:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015