Nih min AL post cerpen dilike ya Surat di Bawah Bantal By - TopicsExpress



          

Nih min AL post cerpen dilike ya Surat di Bawah Bantal By muhammad jibril Sebuah kisah tentang kegundahan hati seorang remaja, nyaris ia depresi setelah di tinggal perasaan. Keresahan karena tiada peka akan satu hal yang namanya, cinta. Tertuang dalam coretan kasar yang mungkin tidak layak untuk di nikmati. Tetapi, tulisan kecil ini adalah isi hati dari seorang lelaki yang memilliki kesenjangan perasaan yang sebahagian orang bilang ‘salah‘. Entah di mana salahnya cinta ini saya tidak tahu. Namun saya percaya. Cinta itu tidak pernah salah. Cinta adalah sebuah perasaan yang Tuhan tiupkan kedalam setiap kalbu hamba-Nya untuk bisa mencicipi salah satu karunia terbesar-Nya yang di sebut, sayang. Karena dengan cinta, hati akan menjadi tentram dan damai. Dengan cinta dunia akan terasa semakin indah meski tidak terlalu luas jika di lihat dalam sekali kedipan mata. Karena cinta, semua manusia saling mengasihi dan saling menyayangi. Jika cinta ini salah, kenapa harus ada cinta? Atau karena cinta itu tidak pada tempatnya? Sehingga cinta inilah yang di namakan cinta terlarang? Seandainya cinta ini terlarang. Sekali lagi di katakan. Kenapa harus ada cinta? Dan saya kira. Tuhan memiliki misteri cinta yang manusia tidak akan pernah tahu sepenuhnya. Jadi, jangan salahkan cinta. Karena cinta itu tumbuh secara alami. Naluri hati terdalam pastinya akan tersiksa jika tidak mengungkapkan rasa itu pada seseorang yang di cintai. Nikmatilah cinta itu sebagai kebaikan Ilahi. Bukan karena birahi. Selamat membaca. *** Hujan turun deras membasahi kota Semarang. Petala langit seakan menjerit menghempaskan guntur di angkasa, mengisyaratkan seseorang sedang menangis pilu tiada terperi. Ia seperti meluapkan semua kekesalan hati akibat tertusuk perihnya luka yang menyesakkan dadanya selama ini. Tumpah tercurah seiring derai hujan yang terus merembes menjatuhi bumi. Menjadikan warna suram dan mencekam semakin terlihat kacau menyelimuti tengah kota. Tak ubahnya seperti gemerlap malam yang nyaris pudar akan kemewahannya karena langit tidak bersahabat. Dingin. Sepi. Sedih dan sesal berkecamuk dalam relung hati yang paling dalam, mengingat kesedihan itu datang menyakitkan dan tidak kunjung hilang. Seorang pemuda tampak terburu-buru membuka pintu lalu masuk ke dalam sebuah kamar apartement di pinggiran Utara kota. Ia melepaskan jaket dan menggantungkannya di balik pintu. Sesekali mengibas-ngibaskan sisa rintik hujan yang membasahi rambut dan pundaknya. Lelaki itu menghidupkan saklar. Malam itu suasana dingin dan sunyi terkesiap menyambut kedatangan Fajar. Lelaki yang sudah seminggu ini pergi keluar kota bersama rekan kerjanya guna membicarakan bisnis perusahaan di Nirmala, Bandung. Tidak seperti hari biasanya, malam ini Fajar merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya yang bisa dibilang ‘gelisah’. Tak di lihatnya sosok remaja yang biasa duduk di ruang tamu untuk menyambut kepulangannya walau terkadang sudah lewat larut malam. Tidak ada tanda-tanda kalau remaja itu sedang berada di rumah malam ini. Semua lampu padam, kecuali empat buah pijar yang menempel di setiap sudut luar loteng apartement. Lelaki keturunan etnik itu menyusuri seisi ruangan demi mendapati remaja yang telah di rindukannya sepekan ini. Ada rasa membuncah di dalam hatinya yang paling dalam, Fajar ingin melepas kerinduan dengan memeluk atau mencium bibir lembut remaja itu. Mendekapnya penuh kehangatan dan mengelus rambut wanginya seperti yang sudah-sudah. Di sisi lain hatinya juga harap-harap cemas. Ia membayangkan akan ada sesuatu hal buruk yang pasti akan terjadi. Dan pikiran itu mengarah pada tiadanya remaja itu saat ini di apartemen. Ada rasa tak sabar ingin menjumpai Alan. Selama ini, remaja itu telah menjadi seseorang yang penting dalam hidupnya. Remaja yang telah mengisi hari-harinya nyaris setahun terakhir. Remaja yang selalu tersenyum menemani kesedihan dan kegelisahannya. Remaja yang tidak pernah menunjukkan wajah tidak senang, meski jelas-jelas Fajar membuatnya kesal. Seorang remaja yang membuat rindu saat Fajar sedang bekerja di kantor. Remaja yang setia menjadi partner dimanapun dan kapanpun ia berada. Dan sejuta kelebihan yang selalu Alan beri untuknya yang tidak lain karena, cinta. Merasa lelah dan yang di cari tak kunjung dapat. Lelaki berkaca mata minus itu duduk terpaku menatap hujan yang membasahi jendela kamarnya. Seketika hatinya terenyuh merasa ada sesal yang mulai menjalar di lubuk kalbunya, setelah ia menduga sesuatu hal pasti telah terjadi pada Alan karena ulahnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan diamnya Alan seminggu sebelum Fajar meninggalkannya sendiri di apartement ini. Fajar sadar kalau beberapa hari terakhir, Alan memang bersikap dingin dan terkesan menjauhinya. Dan yang lebih parah, Alan tidak mejelaskan apa-apa padanya. Awalnya lelaki itu menganggap kalau Alan sedang tidak mood. Biasa dia begitu kalau sedang ada masalah. Fajar pun tidak ingin membuat orang yang di cintainya itu semakin bad mood. Maka dia membiarkan Alan menyendiri untuk sementara waktu, hingga remaja itu benar-benar sadar lalu bersedia menceritakan ada masalah apa sebenarnya. Tapi malam ini Fajar merasa ada kebiasaan yang hilang. Dia tidak bisa hidup tanpa Alan. Dan dia menyadari itu. Seketika dia teringat beberapa kejadian terakhir dalam bulan ini. Malam itu sepulang kerja, Alan menjumpai Fajar yang sibuk berkutat di depan laptopnya. Dia hanya ingin memastikan apa yang dilihatnya tadi itu, benar atau tidak. Alan duduk di ranjang menatap nanar pangerannya. Ia memberanikan diri untuk sekedar bertanya. ‘ Laki-laki yang sama kamu tadi siapa?’ lirih Alan berhati-hati. Sontak pertanyaan itu membuat Fajar terkejut. Ia menatap Alan pendar. ‘ Laki-laki yang mana?’ Fajar berkilah. Dan kembali sibuk mengetik. ‘ Ya, yang sering aku lihat jalan sama kamu. Tadi kamu sama dia ke kafe ‘kan?’ Fajar kembali menatap Alan lekat. ‘ Banyak kok lelaki rekan bisnis yang sering jalan sama aku.’ ‘ Termasuk pria yang memakai kemeja putih tadi?’ ‘ Ya. Dia juga rekan bisnis aku. kenapa?’ ‘ Nggak. Cuma kelihatannya kalian akrab sekali?’ ‘ Nggak ah, biasa aja. Karena partner kerja mungkin, jadi kesannya akrab.’ ‘ Tapi kalian kelihatan beda sebagai seorang rekan kerja, aku merasa kamu itu ada sesuatu sama dia..’ ‘ Kamu menuduhku selingkuh?!’ ‘ Tidak...’ ‘ Tolong kamu jangan berfikir yang macam-macam. Aku cuma bekerja. Dan aku nggak selingkuh. Kamu jangan takut. David itu rekan bisnis aku. Bukan pacar aku..’ ujar Fajar ketus. ‘ A-aku nggak nuduh kamu sama dia pacaran kok, aku kan cuma bertanya.’ ‘ Tapi pertanyaanmu seolah-olah mengatakan kalau aku selingkuh.’ ‘ Nggak kok. Kamu kok jadi nyolot sih..’ ‘ Eh, aku nyolot karena tahu maksud pikiranmu itu menjurus kemana. Kamu curiga aku selingkuh, ‘kan?! ‘ tukas Fajar kesal dan berlalu meinggalkan Alan sendiri di kamar itu. ‘ Ka-kamu, salah paham Fa...’ Semenjak malama itu Fajar kurang respect pada Alan. Dia kecewa karena di tuduh selingkuh, kontan hal itu membuat Alan tertekan. Dia sebenarnya menyaksikan ada hal lain yang tidak wajar di lakukan untuk seorang rekan bisnis. Meski dia tahu tentang kebenaran dan itu sungguh sangat menyakitkan, tetapi Alan mencoba bersabar. Alan hanya menyangkan perilaku Fajar yang dingin padanya. Seharusnya yang bersifat demikian itu Alan, karena dia yang di khianati. *** Fajar yakin, kalau Alan tidak ada di apartemen saat ini, ada kaitannya dengan kejadian waktu itu. Segera ia merogoh saku depan celana di sebelah kanan. Ia mengeluarkan benda yang di cari. Sebuah Handpone. Lalu jemari lentiknya sibuk mengutak atik angka di layar sentuh itu. Di susul menempelkannya di telinga. “ Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi. The number you are calling is...” Enam kali jawaban yang sama keluar dari mesin customer sevice. Fajar yang pulang sejak tadi mencoba untuk menahan emosi karena kehilangan Alan, seketika ia membanting kesal Androidnya di atas ranjang. Ia meraih guling dan langsung mendekapnya erat, air matanya meleleh. Tanpa melepas kemeja dan celananya. Fajar memejamkan mata seraya terus mendekap guling itu dengan berfikir kemana Alan pergi meninggalkannya? Pikiran bersalah itu gencar menggelayuti jiwa malaikatnya. Sambil ia menduga-duga apa kira-kira kesalahan yang telah ia lakukan terhadap remaja yang berarti untuk hidupnya itu? Perlahan matanya terbuka dan menatap langit-langit kamar seiring menghembuskan nafasnya yang panjang. Ada penyesalan yang mendalam. Serasa ada dosa yang telah di buat olehnya terhadap remaja itu. Desah dari rongga dada membuatnya sesak mengingat kenangan manis bersama Alan selama ini. Fajar yakin. Dirinya pasti melakukan suatu kesalahan saat bersama David. Dan sekarang dia sedang memikirkan kemungkinan-kemungkinan kesalahan lain, meski sekecil apapun yang telah di lakukannya. Perlahan matanya menatap bantal yang tergeletak persis di sebelah bantal yang di jadikan sandaran kepalanya. Mata coklat itu berkaca-kaca. Hatinya seperti tersayat sembilu. Perih. Sedih. Dan sangat menyesal. Jemarinya meraba lembut permukaan bantal putih. Ia tersenyum pahit menatap benda empuk yang baginya memilik banyak kenangan dengan Alan selama ini. Bantal di mana Alan biasa menyandarkan kepalanya untuk menemani malam Fajar meski sekedar bersenda gurau melepas kejenuhan selepas pulang dari kantor. Bantal yang dulu sering di jadikan senjata bagi mereka untuk main baku hantam. Dan bantal yang sulit di lukiskan dengan kata-kata hanya untuk menguak semua kenangan cinta dan kasih sayang yang pernah dialami keduanya bersama-sama. Fajar meraih bantal itu. Kemudian menciumnya dengan berharap Alan masih menyisakan aroma rambutnya yang wangi di sana. Satu kali tarikan nafas, Fajar mencium aroma itu, perlahan ia melepasnya lega. Kemudian di taruhnya bantal itu diatas dada. Sesekali mengingat kalau Alan dulu sering meletakkan kepalanya di atas dada bidang Fajar seraya mendekap erat tubuhnya. Bersatu dalam selimut yang bersimbah peluh. Menikmati sensasi malam menjelang pagi dalam peraduannya. Dan kini. Semua hilang. *** Fajar melirik kearah lampu duduk di dekat meja ranjang. Tanpa sengaja matanya mendapati sebuah amplop putih tergeletak di bawah bantal. Ia terduduk kaget lalu segera meraih amplop itu dan membukanya. Hatinya berdesir seiring robekan amplop itu melebar. Jantungnya berdetak tak beraturan. Jemarinya mengeluarkan sepucuk surat dengan harapan jangan sampai terjadi hal yang tidak di inginkan. Fajar membuka kertas itu lebar-lebar. ------------------------------------------------------------------- ‘Untuk Pangeran Hatiku’ Lelaki terindah yang pernah di dalam hidupku selama ini. Pangeran tampan yang datang untuk menyirami hatiku yang kering. Malaikat tangguh yang selalu membelaku di saat genting. Dan seorang kekasih yang tulus membuatku bahagia dalam senyuman. Maafkan aku! Gugurnya bunga di musim semi. Seperti gugurnya hatiku yang mengering. Terbangnya anai-anai, seperti terbangnya jiwaku yang tidak lagi bertuan. Rapuhnya dahan yang mengering, seperti rapuhnya jiwaku yang nyaris layu dan patah. Hilangnya jarum di tengah samudera, seperti hilangnya cahaya dalam hidupku. Engkau seperti malaikat yang Tuhan kirimkan untukku. Kau tak ubahnya sebagai seorang pangeran yang terlampau baik kepada seorang budak yang kau beli dari seorang saudagar. Budak yang tidak sepantasnya mendapatkan apa-apa darimu : Perhatian, kasih sayang, kebaikan, apalagi cinta. Tanpa engkau sadari kebaikanmu itu justeru menjadikan budak itu banyak berharap dengan menghayal lalu terbuai dalam angannya yang kosong. Ia berharap kalau engkau bukanlah pangeran yang di ciptakan untuk di layaninya. Akan tetapi dia berharap kalau engkau adalah sejatinya pangeran hati yang memang di ciptakan untuknya. Bak langit dan bumi seperti itulah kasta di antara kita. Karena sampai kapanpun tidaklah setara loyang dengan emas. Manalah sama sarung benang dengan selendang sutera. Aku sadar siapa diriku. Satu hal yang selama ini membuatku ragu untuk selalu dekat denganmu adalah kebaikanmu. Apalagi untuk terus tinggal serumah denganmu. Aku hanya berperasangka tanpa tahu kebenarannya. Tapi aku yakin. Kau memang tercipta bukan untukku. Aku terlampau berharap lebih padamu. Dan harapan itu pupus ketika aku tahu yang sebenarnya tentang hubungan kita selama ini. Aku hanyalah shepia-mu. Tidak lebih. Pandangan pertama ada getaran di hatiku saat menatap mata indahmu. Bibirmu membuatku berharap kalau engkau sebenarnya sedang menunjukkan radar. Tepat sekali. Seminggu kita bertemu di simpang itu. Sebagai perantara Tuhan, kau menjadikanku memiliki pekerjaan tetap meski sebagai seorang penyanyi cadangan di sebuah kafe yang ternyata milikmu. Jika Rifki dan Andin berhalangan, akulah penyanyi di panggung itu. Tanpa kusangka, suara teriakan dan riuhnya tepuk tangan pengunjung membuatku bersemangat untuk terus bernyanyi meski suaraku pas-pasan. Kau selalu mengacungkan jempol dari sudut sofa merah itu. Aku menyanyi dengan hati. Dan aku mempersembahkan setiap lagu, selalu untukmu. Apakah kau tahu itu? Seminggu, awal yang baik dalam hubungan kita. Menjalin kasih tanpa restu Ilahi karena cinta kita bukanlah cinta yang sebenarnya. Cinta kita salah. Cinta kita tidak akan pernah di benarkan dengan dalil apapun. Hanya satu pertanyaanku pada Tuhan. Kenapa cinta kita ini harus terlarang? Kenapa harus ada rasa cinta di antara dua insan sejenis seperti cinta kita, Kenapa? Sebulan berlalu. Kita masih bisa tertawa bersama. Kita bahagia. Dan aku percaya kalau engkau bisa menjaga amanah ini. Aku tidak pernah sedikitpun berfikiran buruk tentang dirimu. Hingga malam prahara itu tiba. Aku masih mencoba menepisnya. Atau menipu diriku sendiri untuk berpura-pura tidak tahu dengan apa yang telah kau perbuat selama ini. Lelaki yang beberapa hari terakhir ku lihat dekat denganmu, membuatku cemburu. Sangat cemburu. Tidak pernahkah kau berperasangka? Kalau aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku? Diamku itu sungguh suatu tanda, kalau aku sangat butuh perhatianmu. Seperti dulu. Hampir empat hari kita tidak berbicara. Aku masih merasa kekecewaan ini semakin mendalam. Aku seperti engkau permainkan. Aku tidak sanggup melihatmu mendekap lelaki lain di depan mataku sendiri. Kau melumat bibir lelaki itu dengan mesra. Kau sadar itu ‘kan? Bukankah engkau pernah berkata, kalau aku hanya ada untukmu seorang? Aku tidak bisa lagi tinggal bersamamu, karena aku merasa tidak ada tempat di hatimu. Sekian lama aku berpangku pada kebaikanmu yang ku anggap utuh untuk diri ini. Tapi aku salah, aku terlalu beraharap lebih darimu. Untukmu wahai pangeran tampan dalam jiwaku. Aku pergi bukan karena aku ini membencimu, justeru karena aku sangat mencintaimu. Dan aku ikhlas kalau engkau lebih bahagia dengan lelaki selain diriku. Aku rela. Mungkin engkau akan lebih nyaman dan tentram jika tinggal bersama lelaki lain yang engkau lebih cinta sepenuh hatimu dari pada aku. Dan jika aku membuatmu kesal, marah, benci, aku minta maaf. Untuk terakhir kalinya aku berterima kasih atas semua kebaikan yang kau berikan padaku selama ini. Salam rinduku untukmu. Lelaki yang mencintaimu. Alan Prasetyo’ ----------------------------------------------------------------- Membaca surat singkat itu, air mata Fajar meleleh. Seperti lelehan hujan yang sedari tadi belum juga reda. Tanpa banyak cakap Fajar langsung menyusul Alan. Semoga remaja itu masih bekerja di cafe. Hati lelaki ini semakin cemas setelah membaca surat Alan yang sangat menyesakkan dadanya, tak disangka semua akan jadi seperti ini. Sesampainya di tempat ia mencari di setiap sudut ruangan, tapi tidak juga menemukan Alan. Fajar mencari satu ruang yang tersisa, ruang khusus. Tempat dimana biasanya dia dan personel band, serta beberapa staffnya bercengkerama di sana. Fajar menghampiri Rifki. “ Loh, kamu udah pulang, Fa?” tanya Rifki menyambutnya. Serta-merta mereka yang tersadar akan kedatangan Fajar, beranjak dari tempat duduk masing-masing dan turut menyambut dengan menyalami. Untuk sejenak mereka berbasa basi. Setelah itu Fajar mengajak Rifki ke sudut ruangan. Lelaki itu menanyakan kadaan Alan. “ Aku memang tidak melihatnya seminggu ini, dia juga nggak kasih kabar. Aku kira dia sudah minta izin sama kamu untuk tidak masuk kerja. Ya aku dan Andin nggak tahulah kalau dia pergi diam-diam. Memangnya ada apa sama hubungan kalian?” “ Aku juga nggak tahu, Rif. Tapi yang jelas, Alan sepertinya salah sangka. Dia pasti menduga aku ini punya pacar lain. Dan dia sepertinya cemburu padaku.” “ Maksudmu?” “ Dia mengira kedekatanku dengan David ada hubungan khusus. Padahal kami hanya rekan bisinis. Kamu tahu hal itu ‘kan?” “ Ya, aku tahu itu. Terus masalahnya sekarang apa?” “ Alan nggak ada di apartement. Sepertinya dia pergi setelah aku berangkat ke Nirmala. Dan aku nggak tahu dia pergi kemana.” “ Oh, Kenapa kamu nggak mencoba menghubunginya? Kau ‘kan bisa langsung menjelaskan kesalah pahaman itu.” “ Sudah aku hubungi! Tapi nomornya nggak aktif.” “ Terus, sekarang kamu mau berbuat apa?” “ Aku hanya ingin tahu keberadaannya saat ini. Dia ada dimana? Dan apa dia baik-baik saja. Di Semarang, dia nggak punya siapa-siapa lagi.” “ Tunggu dulu, kamu tahu Alan pergi dari apartemen seminggu ini dari mana?” tanya Rifki penasaran. “ Dia kasih ini ke aku...” lirih Fajar seraya menyodorkan selembar surat pada Rifki. Fajar yang tidak tahu lagi harus berbuat apa memilih untuk duduk menyudut di kursi rotan. Matanya pendar menatap gemerlap lampu kota yang pias di guyur hujan. Sedangkan di balik ruanga sana, beberapa orang terlihat bahagia dengan tawa canda mereka. Lain halnya dengan Fajar yang merasa kecewa. Kenangan itu terus terbayang-bayang. Saat-saat dimana kedekatan diantara mereka terasa hangat menyelimuti jiwa. Angan dan impian menyatu dalam ucapan dan tindakan. Mereka dua sejoli yang saling menghargai, mengasihi dan mencintai. Fajar salah jika harus menguji Alan dengan keinginginannya yang berujung nafsu. Dia sadar Alan mencintai bukan karena birahi. Tetapi karena Ilahi. Dia mencintai Fajar apa adanya. Bukan karena ada apa-apanya. Dan Fajar menyesal kalau selama ini meminta lebih pada remaja tampan itu. Remaja berambut kasual dan berkaca mata lebar. Remaja cerdas yang selalu mengkritik Fajar jika salah dalam ucapan dan perbuatan. Remaja yang selalu membangunkan Fajar untuk shalat subuh di Masjid di depan apartemen. Remaja yang melayani sang pangeran sepenuh hati sebagai rasa ucapan terima kasih atas kemurahan hati memberinya pekerjaan dan kebaikan selama ini. Remaja yang tidak pernah lelah menanti kekasihnya pulang kerja, lalu menyuguhkan secangkir senyum dan sebutir ucapan ‘selamat datang’. Remaja yang selalu membantu meringankan beban pekerjaan Fajar dengan menemani tidur malam di samping ranjangnya. Remaja yang tidak pernah meminta lebih meski dia sangat membutuhkan. Alan remaja yang mandiri. Berdedikasi. Dewasa. Dan yang pasti, masih labil hatinya. “ Ehem, aku tahu perasaan Alan sekarang. Wajar sajalah kalau dia kecewa padamu.” Suara Rifki sukses membuat Fajar tersentak. Lelaki itu mengelap air matanya yang menggenang. Perlahan ia menatap pendar lelaki yang berdiri di depannya. “ Apa, maksudmu?” tanya Fajar memastikan. “ David itu cukup membuat Alan cemburu. Apa benar dugaan Alan, kalau kalian itu ada hubungan spesial?” tanya Rifki ketus. Tidak ada suara di antara mereka. Rifki menunggu jawaban. Sedangkan Fajar enggan menjelaskan. “ Kenapa kamu malah diam? Atau jangan-jangan benar, kalau kamu itu selingkuh?” sambung Rifki bersabar. Fajar masih diam. Ada rasa malu untuk menjelaskan kebenaran pada sahabatnya itu. Dia seakan tidak sanggup kalau harus berkata jujur mengapa ia sampai melakukan apa yang di katakan Alan dalam surat itu. Semua tidak lain karena Fajar belum tulus mencintai Alan. Seandainya dia tulus, tentu dia akan memegang janji itu. Dia tidak akan meminta lebih pada Alan. Fajar sadar kalau sifat egois itu masih merajai benaknya saat ini. “ Aku bukan bermaksud ingin mencampuri urusan kalian. Kalau kamu ingin masalah ini segera tuntas. Kau harus berterus terang pada Alan. Katakan apa yang kau sembunyikan darinya. Jujurlah meski itu sakit. Biar semuanya kembali seperti sedia kala...” desis Rifki. “ Terus aku harus gimana?” ” Kau harus segera menemuinya, katakan hal yang paling jujur meski itu menyakitkan, kau pasti tahulah Alan sekarang ada dimana. Seingatku di Semarang, dia hanya memiliki satu keluarga angkat bukan?” “ ? “ *** Hujan tak lagi di pedulikan. Sedih sebentar lagi akan terbayarkan dengan kebahagiaan. Itulah yang ada di isi hati Fajar saat itu. Dengan kecepatan 40km/jam. Ia mengemudi dengan penuh konsentrasi. Jalan licin. Hujan terus mengaburkan kaca mobil. Dia tidak peduli. Yang ada dalam ingatanya sekarang hanyalah Alan, Alan dan Alan. Selang beberapa saat kendaraan pribadinya itu berhenti di sudut trotoar jalan. Fajar keluar dari mobil dan berlari menuju rumah khas Jawa yang sudah lama tak di kunjunginya. Setelah mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya membuka tabir. Senyum tulus Fajar ia tebar untuk wanita yang seusia ibunya sekarang. “ Apa benar ini rumahnya Bagus?” lirih Fajar berhati-hati. “ Ya, benar. Anak ini siapa?” “ Nngg. Sa-saya temannya Bagus, bu. Apa dia ada di rumah?” “ Ohhh, temen Bagus? Ada-ada. Silahkan masuk. Sebentar saya panggilkan dulu. Ayo masuk. Jangan sungkan-sungkan...” “ Terima kasih, bu.” Selang beberapa saat. “ Loh, mas Fajar toh?” tukas Bagus terkejut. Dia langsung menyalami dan kemudian duduk di kursi. “ Ada apa mas, tumben main kemari?” “ Aku mau ketemu, Alan. Dia ada ‘kan?” tanya Fajar tanpa basa-basi. “ Alan?” “ Ya. Alan!” “ Dia baru saja tidur mas. Ada apa ya?” tukas Bagus sambil menggaruk-garuk kepala. “ Sudahlah Gus, aku nggak mau kamu pura-pura nggak tahu. Alan pasti sudah cerita ke kamu tentang masalah dia denganku, ‘kan? Jadi aku mohon. Aku mau menjelaskan semuanya sama dia. Aku nggak mau dia salah paham lagi...” Ibu Bagus datang tergopoh-gopoh dengan membawa nampan. “ Nih, minum teh dulu. Ibu cuma punya getuk goreng. Jadi hanya itu yang bisa di keluarin...” “ Wah, nggak usah repot-repot bu. Saya cuma mau singgah sebentar saja kok.” “ Ya, ndak apa-apa kan kalau main sekalian. La wong masih hujan, masa iyo mau keburu-buru...” ibu Bagus duduk di sebelah anaknya. “ Oh, ya. Nak ganteng namanya siapa?” lanjut ibu bernama Sumirah itu. “ Dia ini mas Fajar, bu. Orang yang waktu itu ngantarin bapak kerumah sakit karena kecelakaan. Terus mas Fajar juga yang membayar biaya rumah sakitnya bapak. Di tambah lagi, dia ini yang kasih kerjaan Alan. Ibu ingat ‘kan?” Bu Sumirah memutar bola matanya dengan menatap lekat wajah Fajar. “ Oalah...ini nak Fajar Kurniawan anak Pak Puspito itu?!” “ Hehehe, i-iya bu..” “ Ya Gusti, ibu sampai pangling. Pantesan waktu lihat kamu tadi, kayak ingat seseorang, tapi siapa gitu. Eh, rupanya nak Fajar. Kamu sudah makan belum?” “ Alhamdulillah sudah bu..” “ Bener ini sudah makan? Kalau belum biar saya sediakan..” “ Benar bu, saya sudah makan...” “ Yo weess, ibu permisi ke dalam ya. Ada kerjaan yang belum selesai.” Sela bu Sumirah yang seakan mengerti kalau Fajar datang karena ada urusan penting dengan anaknya. “ Silahkan di cicipi getuknya.” Tukasnya berlalu dengan perasaan ingin tahu gerangan apa yang akan Fajar dan Bagus bicarakan. Setelah itu bu Sumirah sempurna menghilang di balik pintu dapur, Fajar kembali memastikan Bagus kalau dirinya ingin bicara dengan Alan. “ Kalau begitu, besok mas Fajar datang aja kemari. Alan juga sedang kurang enak badan..” “ Dia sakit?!” sela Fajar terkejut. “ Tiga hari ini, Alan uring-uringan, mas. Demamnya nggak sembuh-sembuh.” “ Boleh aku melihatnya Gus? Plis!” “ Bo-boleh, mas. Dia ada di kamarnya. Mari saya antar.” Fajar beranjak dari kursinya setelah Bagus mempersilahkan lelaki itu menuju kamar remaja yang di cintainya. Bagus membuka pintu. “ Kalau mas mau menginap, nanti aku bilang ke ibu. Biar di sediain selimut sekalian...” “ Emang boleh aku numpang tidur disini?” “ Ya boleh lah, mas. Kami sudah sangat berterima kasih atas semua kebaikan mas Fajar selama ini. Apalah artinya menginap di gubuk ini. Mas tidur sama Alan? Biar aku tidur di kamar satunya. Nanti selimutnya aku antar.” Bagus memberikan kesempatan itu secepatnya. Dia remaja yang tanggap akan situasi dan keadaan. Karena dia tahu Alan juga ingin sebuah kepastian akan cintanya dari Fajar. Apakah dia hanya sephia, atau yang sesunggunya? *** Malam yang dingin membuat hati lelaki itu membeku. Kian kemari dia pasrah akan cintanya, namun terasa hampa tanpa remaja itu. Dia sadar betapa agungnya cinta ini. Alan remaja biasa yang hanya memiliki sebuah cinta. Cinta yang di dasari atas suka sama suka. Bukan yang lainnya. Hujan masih menetes di atap genting rumah ini. Perasaan rindu perlahan sirna seiring dia melihat sosok yang sedang berbaring. Remaja kurus yang sangat di sayanginya. Lelaki itu pun mendekati Alan yang telah terbuai dalam mimpi indahnya. Ia membaur dalam selimut bersama-sama. Mendekapnya seperti yang biasa di lakukannya. Kemudian berbisik pelan. “ Sayang, maafin aku yah? Aku udah buat kamu menangis..” desahnya. Alan tidak bergerak. Tampak nafasnya teratur berhembus pelan. “ Alan, maafin aku. Aku sayang kamu...” lirihnya dengan mata berkaca-kaca. Remaja itu tidak merespon. Fajar pun kembali berbisik dengan menggoyang pelan pundak remaja itu. “ Alan, aku datang. Aku pulang untukmu...” Agaknya Alan benar-benar terlelap. Tapi Fajar tidak menyerah. “ Aku sudah baca suratmu. Kau tampak kecewa sekali padaku. Sekarang kau pasti membenciku, ‘kan? Tapi demi Allah, aku nggak pernah berniat sedikit pun untuk menduakanmu. Maafkan aku yang melakukannya bersama David, temanku itu. Aku menyesal telah membuatmu menangis. Alan sayang, kalau kau mendengar suaraku ini, tolong beri aku isyarat. Agar aku tidak terus merasa bersalah, tapi kalau kau benar-benar sudah tidur, maafkan aku yang telah lancang mengganggumu. Aku mencintaimu, Al. Seperti aku mencintai diriku sendiri. Biarpun takdir tidak ingin melihat cinta kita bersatu, tapi aku tidak akan gentar menghadapi halilintar, karena cintaku padamu bukan karena nafsuku, akan tetapi karena aku ingin membahagiakanmu yang berarti dalam hidupku. Sungguh, kau sangat berarti untukku.” Suara hening semakin terasa ketika rintik hujan menjadi raja yang menyelimuti suasana kamar itu. Lelaki itu tak kuasa menitikkan air matanya yang tidak berdosa, ia memeluk Alan dengan mesranya. Mungkin ini kali pertama Fajar melakukan kemesraan itu. Ternyata, dalam diam Alan juga sedang menangis menahan emosi hatinya. Dia pasrah dengan apa yang di lakukan kekasihnya itu. Dia cukup sabar untuk sekedar menanggung beban selama ini. Alan tidak pernah berontak untuk meminta lebih pada lelakinya yang berhidung mancung. Rintik hujan yang menangis membuat Fajar semakin erat memeluknya. Ia tidak ingin melepas pelukan itu untuk selamanya. Biarlah masa lalu yang menyakitkan hanya di ingat sebagai sebuah pelajaran. Pelajaran cinta dari seorang remaja yang lembut hatinya. Seperti Alan yang tulus mencintainya sepenuh jiwa. Bagus membuka pintu dan tatapan itu tidak bisa di hindari untuk melihat pelukan mesra antara Fajar kepada kekasihnya. Kekasih yang tidak lain adalah saudara angkatnya selama ini. Bagus mengurungkan langkahnya untuk memberikan selimut. Dia tidak mau mengganggu keduanya. Setelah menutup pintu, Bagus pun berlalu. Perlahan Alan menggeliat karena ia merasa ada dekapan yang membuat sesak nafasnya. Sontak Fajar tersenyum sumringah. Dia yakin Alan terbangun. Lagi-lagi dia berbisik “ Alan, kamu dengar suaraku ‘kan?” desahnya dengan tangan masih mendekap tubuh remaja itu. Alan enggan merespon meski hati kecilnya ingin segera meluapkan emosi cinta yang selama ini terpendam. Sebenarnya dia juga sangat merindukan Fajar. Alan mendesah. “ Kalau kamu dengar suaraku, aku minta izin untuk memelukmu, sebagai ucapan perminta maafku dan sebagai rasa sayangku untukmu. Tapi aku mohon, jangan diamkan aku, Al. Aku nggak bisa melihatmu begini. Bukan hanya kamu saja yang tersiksa, setelah kau mendiamkanku waktu itu, aku semakin tertekan batin. Kamu fikir aku sepekan ini konsen dengan pekerjaanku? Tidak. Aku kepikiran kamu terus. Al, aku nggak tahu harus ngomong apa biar kamu tahu aku ini sangat sayang sama kamu. Jangan diam aja, sayang. Lihat aku...” Tanpa di sangka, Alan membalikkan badan lalu segera mendekap erat tubuh lelakinya itu. Air matanya pecah seiring ingatan akan sakit hatinya perlahan mulai memudar. Dia yakin kalau Fajar berkata benar. Dia yakin lelaki itu tidak menduakannya. Fajar yang terkejut langsung membalas pelukan itu. Mereka bersimbah air mata dalam pelukan kerinduan yang mendalam. Jika Alan menangis, maka Fajar lebih dari sekedar menangis. “ Apa kau masih mencintaiku?” tanya Alan menangis. “ Justeru aku yang harus bertanya, apakah kamu masih mencintaiku?” Alan mengangguk cepat. Air matanya terus menderai pipi bersihnya. Dia tidak ingin kehilangan Fajar lagi. Dia sudah melupakan apa yang pernah Fajar lakukan dengan lelaki lain beberapa hari terakhir. “ Kenapa kau mencium David waktu itu?” tiba-tiba Alan bertanya dan sukses membuat Fajar melotot. Lelaki itu kikuk, tidak tahu harus menjelaskan apa. “ Kenapa diam?” sambung Alan manja. “ Karena aku belum pernah merasakan ciuman itu. Waktu itu David tanpa sengaja meminta aku melakukannya setelah aku curhat. Kalau aku belum pernah mendapatkan apa-apa darimu.” “ Jadi, selama ini kau cerita pada semua orang kalau kita berpacaran tapi tidak pernah berciuman?” lirih Alan yang mulai reda tangisnya. “ Bu-bukan. Ta-tapi aku..” Cuph. Hmmmph. Mata Fajar seketika terbelalak. Dadanya berdegup kencang. Nafasnya tersengal-sengal. Ini kali pertama Alan melakukan apa yang selama ini Fajar harapakan. Dan ini bukan mimpi. Remaja itu liar melumat rongga mulut wanginya Fajar. Mereka larut dalam kenikmatan. Fajar berusaha mengimbangi permaianan remaja itu. Mereka mendesah dalam basahnya hujan yang seakan cemburu melihat dua lelaki saling berpagutan. Awan dan petir memaki keduanya yang tidak tahu berterima kasih. Ya. Awan dan petir memaki karena hujan yang berlangsung sebenarnya suatu anugerah untuk mereka lebih menikmati malam pertamanya berpagutan. Alan menghentikan lumatan itu. “ Kenapa berhenti..?” tanya Fajar. “ Kalau itu bukti cinta yang ingin kau dapat dariku, aku pasti akan terus melakukannya. Tapi aku mohon, jadikan aku lelaki terakhirmu, agar aku bisa tenang...” “ Ya sayang, aku janji.” “ Apa buktinya?” tanya Alan dengan tatapan menggoda. “ Apa kau mau, kalau aku melakukan hal yang lebih jauh lagi dari sekedar ciuman untuk membuktikan cintaku padamu?” “ Maksudmu?” “ Ya, kita bisa melakuakn apa yang pasutri lakukan. Gimana?” “ Eiiiihh, enak aja. Aku nggak mau yang lain-lain. Aku cuma mau yang ini aja. Titik.” “ Lho, katanya minta bukti..” “ Tapi bukan itu.” “ Sekaliiiii aja. Yah?” “ Nggak mau. Kok malah kamu yang jadi maksa, sih.” Alan merasa ada penyesalan karena terlanjur ceroboh minta bukti cinta pada Fajar. “ Plisssss???” lanjut lelaki itu. “ Nggak mau!” “ Ayolah, aku mau kamu. Aku sangat menyanyangimu.” paksanya sambil meraba dada Alan. “ Aku juga sayang kamu, tapi jangan yang begituan, nanti kalau aku hamil gimana?” “ Hamil? Sejak kapan cowok bisa hamil?” sentak Fajar kaget. “ Ya sejak malam ini, kalau kamu memaksaku terus, aku pasti hamil..” “ Mana mungkin..” “ Tidak ada yang tidak mungkin, kalau kamu maksa terus aku pasti Hamil, Harus Milih... mau atau tidak. Begitu!” “ Ouuuuw Jadi itu tho hamil maksudmu?” tukas Fajar terkekeh. “ Ya.” “ Jadi. Sekarang kamu milih apa?” tanya Fajar berharap penuh. Lagi-lagi ia meraba dada hingga ke perut Alan dan mampu membuat remaja itu nyaris tidak tahan untuk menerima tawaran mahal itu. “ Aku milih, kita tidur saja. Titik!” pungkasnya membelakangi Fajar. Lelaki itu meraih tubuh Alan, dan menikmati aroma maskulin remaja tampannya itu. “ Yaaaah. Kok tidur, aku ‘kan kangen tahu!” “ Aku juga kangen, tapi apa obat kangen itu harus begituan?” “ Kalau kamu rela, aku mau kok.” “ Malas ahh, DOSA!” “ Ahh, sudahlah, dosa itu kan bisa di dorong saja!” “ Enak aja.” “ Alan?” “ Hmmmm?” “ Sekali aja dek...” “ Kalau begituan aku nggak mau. Yang lain..” “ Apa?” “ Kiss aja yah?” tawar Alan. “ Tapi yang lama?” “ Berapa menit?” “ Kalau sampai pagi gimana?” “ Emang kamu sanggup?” pungkas Alan tak percaya. “ Sanggup. Meskipun di tambah begituan aku sanggup kok..” “ Ya sudah, kiss aja. Tanpa begituan.” “ Oke sayang. Sekarang lihat aku dong.” Pinta Fajar. Alan perlahan membalikkan badannya, pipi merona tampak jelas menghiasi wajah bersih remaja itu. Ada senyum malu-malu tersirat dari wajah Alan. Dengan degup jantung tak beraturan Fajar mendekatkan bibir merahnya pada bibir tipis pangeran kecil itu. Darahnya berdesir kacau. Hujan semakin membuat suasan teduh dan membuat mereka menikmati saat-saat seperti itu. Saat cinta kembali bersemi di antara dua hati lelaki. *** Author : Jibril Twitter : @almuchliesh2 Nb : This Story Spesial Requst From Allan Frit’z. Thanks to belived me to make it. Karena ini cerita request, jadi saya tidak bisa menambahakan catatan apapun sebagai pendukungnya. Sekian. Allan, Maaf kalau ceritamu nggak sempurna. soalnya aku jarang ada waktu senggang. Maklumin aja ya. (Sibuk kerja).
Posted on: Sat, 19 Oct 2013 00:42:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015